6. Mulai Mencari Tahu

.
.
.

Ada rasa mengganjal dan aneh ketika harus memaksakan diri menerima sesuatu yang bukan seharusnya. Pura-pura menjadikan hak milik, di saat kita tahu bahwa orang lain jauh lebih berhak akan hal tersebut.

Dan itu adalah perasaan sang puan sekarang.

Ghea menyingkap selimut berwarna biru tua, lalu berjalan tertatih keluar kamar pagi itu dengan perasaan tak menentu. Seluruh ingatannya tentang diri Kiana kini telah kembali, sehingga ia memutuskan untuk pulang setelah dua hari terbangun dari tidurnya di rumah sakit.

Perempuan berambut gelap itu kemudian melangkahkan kaki menuju ruang keluarga, ruang yang pertama kali ia temui sesaat setelah membuka pintu kamar. Ghea kemudian mendudukkan diri di karpet bulu tepat di depan televisi, lalu menoleh ke arah kanan yang memperlihatkan banyak foto-foto Ardian, Tata, El, dan Ghea. Seluruh bingkai foto berukuran kecil hingga sedang hanya terisi tiga anggota keluarga saja. Seperti bingkai pertama ketika Ardian, Tata, dan El sedang berlibur di suatu tempat. Namun, pada bingkai lain akan ditemui Ghea dan kedua anaknya sedang bermain di taman. Rasanya foto keluarga ini tak pernah lengkap, kecuali yang terpajang di dinding di belakang sofa dan berukuran besar.

Ah, mungkin saja Mbak Ghea dan Mas Ardian gantian gitu ambil gambarnya. Tapi kan ya bisa manggil orang buat bantuin. Gak harus satu satu begini. Jadi nggak lengkap, deh, batin Ghea.

Tangan perempuan tersebut bergerak menuju laci-laci kecil di samping televisi, mengambil beberapa album yang tersimpan rapi beragam ukuran di sana. Ghea membuka halaman demi halaman dengan perlahan, hingga ekspresi datar yang semula ia tampilkan seketika berubah menjadi cerah ketika melihat banyak kenangan yang diabadikan dalam bentuk gambar.

Jemari Ghea tertahan untuk membuka halaman selanjutnya saat dua foto beda tahun tampak diatur berdampingan, mendadak menarik atensinya. Foto itu menampilkan Ghea sedang berada di rumah sakit seraya menggendong bayi yang masih merah. Tak perlu ditanyakan lagi bahwa foto yang di sebelah kanan adalah gambar Ghea setelah melahirkan El. Sedangkan di sebelah kiri adalah Tata. Wajah perempuan di foto itu terlihat lelah, tetapi memancarkan kebahagiaan yang tiada tara. Begitu pula pada sang ayah yang berada di samping mereka.

Ting...
Sret...

Suara sistem keamanan yang dipasang di pintu pun terdengar. Sempat hening beberapa saat, hingga akhirnya sesosok perempuan berusia mungkin sekitar 40-an tahun, sedikit beruban, dan tampak keriput di beberapa titik wajah pun muncul di depan Ghea. Senyumnya meneduhkan dan terlihat tenang membuat Ghea langsung mengangkat kedua sudut bibirnya.

"Ibu sudah pulang?" sapanya sembari melangkah ringan menuju Ghea.

Ghea ingin berdiri untuk menyapanya kembali. Sayang, ia merasa kakinya sedikit bergetar dan cepat lelah. Melihat itu, perempuan tersebut melangkah untuk meraih dan memapah Ghea ke arah sofa.

"Iya. Omong-omong, Ibu siapa ya? Maaf, saya nggak ingat apapun," jawab Ghea lembut dengan senyum setelah mendudukkan diri di sofa kulit berwarna hitam.

"Nggak papa, Ibu. Oh iya, nama saya Sumi. Tapi, Ibu sering panggil saya Bi Sum. Saya udah ikut Ibu sama Bapak sejak Ibu masih mengandung Kakak El, lebih tepatnya waktu hamil tiga bulan."

Mata Ghea membelalak. "Wah, udah lama juga ya."

"Iya, Bu."

Bi Sum kembali melanjutkan, "Kemarin malam saya udah ditelpon sama Bapak untuk datang hari ini, karena katanya Ibu sudah pulang. Syukur karena Ibu baik-baik aja, udah sehat."

Ghea tersenyum tipis. "Iya, sih, Bi. Badannya syukur nggak papa, tapi otak saya nggak tau sampe kapan bakalan nggak ingat apa-apa."

"Pelan-pelan aja, Ibu. Siapa tau tiba-tiba bisa ingat."

Tapi, gue ingatnya tentang Kiana doang. Nggak dengan Ghea, batin sang hawa.

"Ibu mau dibuatin apa untuk sarapannya?" Pertanyaan Bi Sum membuat lamunan Ghea langsung buyar.

Ghea tersenyum canggung. "Bi-biasanya Bi Sum masak apa?"

"Kalo sarapan mah biasanya nasi goreng, trus Bi Sum buatin susu hangat juga. Atau Bi Sum telepon Bapak dulu, Bu? Takut ternyata ada makanan yang nggak boleh Ibu makan."

Ghea sempat tertegun mendengar perkataan Bi Sum. Seingatnya, Ardian tak mengatakan apapun terkait pantangan. Selama di rumah sakit juga dia makan apa saja pemberian suaminya. "Ah, gak usah, Bi. Saya bisa makan semuanya, kok."

"Beneran, Bu?" tanya Bi Sum penuh selidik.

"Beneran...." Ghea terkekeh pelan.

"Yaudah, kalo gitu Ibu tunggu di sini. Saya masakin ya."

"Eh," Ghea refleks terlonjak, "bareng aja ya, Bi. Saya temenin."

Awalnya, Bi Sum tampak tak yakin dengan penuturan Ghea. Terlihat jelas dari guratan-guratan di keningnya yang masih setia berada di sana bahkan ketika dirinya telah bangkit dari duduk. Akan tetapi, ia langsung mengangguk setuju tatkala Ghea berujar, "Saya duduk di kursi sambil nemenin Bibi masak, gitu maksudnya. Saya nggak ikut megang-megang peralatan dapur, kok."

"Ohhh, Bi Sum kira Ibu juga mau masak. Ya kan Ibu nggak pernah masak." Bi Sum menggoda Ghea yang sudah tampak mengerucutkan bibir.

"Emang iya?"

"Iya, Bu."

Bi Sum memapah Ghea dengan pelan-pelan menuju meja makan yang langsung terhubung dengan dapur bersih. Dibalik dinding di ruang makan tersebut, terdapat dapur kotor yang bersambung pada garasi mobil dan pintu kecil yang biasa Bi Sum lalui setelah berbelanja di pasar, katanya. Sesungguhnya, cukup jauh mereka berjalan, karena Ghea baru menyadari bahwa rumah ini sangat besar dengan tiga lantai. Ghea yang berada di lantai dasar hendak menuju dapur saja sudah merasa berat untuk melangkah.

Sesampainya mereka di ruang makan, Ghea memperhatikan Bi Sum menyiapkan bahan yang ia ambil dari kulkas berwarna biru navy di dapur kotor. Ghea tidak tahu bahwa ada kulkas sebesar, selengkap, dan secanggih itu. Memang dia akui bahwa dirinya kurang update tentang barang-barang elektronik.

"Bi Sum," panggil Ghea yang saat ini duduk di kursi plastik. Sebenarnya, Bi Sum melarangnya untuk duduk di sana dan lebih menyarankan menunggu di kursi dekat meja makan saja. Tapi, Ghea menolak. Ia mengakui bahwa ia masih ingin bercerita dengan asisten rumah tangga tersebut.

"Kenapa, Bu?" jawab Bi Sum tanpa menoleh ke Ghea.

"Hmmm..." Ghea tampak berpikir sejenak seraya memainkan jemarinya. "Saya pernah berantem sama Bapak gak, sih?"

"Berantem gimana maksudnya, Bu?"

"Yaaa berantem karena sesuatu yang mungkin bikin kita berdua sampe tereak-tereak, mukul, atau apa kek gitu. Atau ... sampe ngomong cerai?"

Bi Sum seketika membalikkan tubuh. Bawang merah yang berada di tangannya, hendak dikupas pun akhirnya ia hentikan sejenak. Bi Sum terkekeh, lalu berucap, "Ibu kalo ngomong bisa aja."

"Ya kan siapa tau aja, Bi."

Perempuan itu menjatuhkan tatapan pada kedua tangan yang kini sibuk mengupas bawang. Dengan menggeleng pelan, Bi Sum berkata, "Bapak itu kalo marah sama Ibu nggak pernah di depan para pembantu seperti saya, nggak pernah di depan anak-anak juga. Pasti Bapak bakalan ngajak Ibu ke kamar. Setelah itu baru, deh, Bapak ngeluarin unek-uneknya."

Bi Sum melanjutkan bahwa ia pernah akan masuk ke kamar utama setelah menyetrika pakaian di sore hari. Namun, baru akan membuka pintu, ia mendengar Ardian membentak Ghea. Jika ia tidak salah dengar, Ardian marah pada istrinya yang ternyata bukan pulang larut lagi, tapi subuh. Alhasil, Bi Sum pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar dan menunggu hingga pertengkaran mereka selesai.

"Setelah itu, saya nggak pernah denger Ibu sama Bapak berantem gede lagi. Kalo debat-debat kecil, mah, itu biasa dalam rumah tangga."

"Kalo boleh tau, itu berantemnya kapan ya?"

"Oh kalo itu mah, udah lama, Bu. Waktu Ibu hamil Adek Tata."

"Yahhh," Ghea mendesah kecewa, "kirain baru kemarin-kemarin."

Wanita paruh baya itu nampak tersenyum tipis sambil membelakangi Ghea. Tangannya dengan lincah mulai memotong-motong bawang merah, sosis, dan cabai di talenan kayu setebal 2cm.

"Memang sebegitu pengennya Ibu berantem sama Bapak? Kalo nggak berbahaya atau nggak penting-penting amat, kayaknya Bapak nggak bakalan marah, deh, Bu. Soalnya Bapak orangnya sabar banget."

Ghea seketika sangsi dengan ucapan jiwa perempuan yang masih bergentayangan di rumah sakit tempatnya berbaring beberapa hari lalu. Sebenarnya, ia ragu dari awal sejak melihat bagaimana reaksi Ardian terhadapnya saat terbangun dari koma dan anggota keluarga lain memperlakukannya. Rasanya memang mustahil jika keadaan rumah tangga Ghea dan Ardian sedang goyah saat ini.

"Nggak gitu juga, sih, Bi. Saya cuma pengen nanya aja."

"Kalo nanya yang bener aja dong, Bu. Bapak ke Ibu, tuh, kayak apa ya sebutan anak sekarang? Bu ... bu-cin? Nah iya itu," acap Bi Sum seraya menggoyangkan sudip untuk menggoreng bahan-bahan yang telah ia olah sebelumnya.

"Ah, si Bibi bisa aja...." Wajah Ghea kontan bersemu.

Nampaknya, Ghea memang harus sedikit berusaha keras untuk mencari kebenaran ini. Entah bertanya kepada keluarga, teman, atau bahkan ke Ardian secara langsung. Rasanya, hal yang mengganjal jiwa Ghea untuk kembali ke raganya pastilah berkenan dengan permasalahan suami istri. Akan tetapi, mendengar penuturan Bi Sum membuat sang puan perlahan goyah. Ia jadi semakin bertanya-tanya.

Benarkah ini yang harus ia selesaikan?

.
.
.

.
.
.

Setelah sarapan, Bi Sum kemudian mengantar Ghea kembali ke kamarnya. Sebelum beranjak meninggalkan sang nyonya rumah, Bi Sum yang saat itu telah meraih kenop pintu pun menoleh cepat ke arah Ghea yang duduk di tepi ranjang dan memanggilnya kembali.

"Ibu butuh apa?" tanya Bi Sum dengan pelan.

Ghea menepuk-nepuk tempat tidur. "Nggak, cuma pengen nanya. Ini pasti bukan kamar saya, 'kan?"

Bi Sum mengangguk. "Iya, Bu. Kamar Ibu di lantai dua."

"Boleh anterin nggak, Bi?"

"Boleh boleh, Bu."

Bi Sum kembali meraih lengan Ghea dan memapahnya perlahan menuju lantai dua, melewati pilar-pilar rumah berwarna putih yang menjulang tinggi dan banyaknya anak tangga. Ghea dapat memastikan bahwa rumah ini luar biasa megah dengan jumlah ruangan yang tidak sedikit, kolam renang berada di halaman belakang, kolam ikan di sudut taman, serta air mancur berukuran kecil di depan rumah. Tak hanya itu, garasi bahkan memuat hingga delapan mobil dan parkiran depan yang lebar.

Rumah tersebut memiliki beberapa lampu kristal gantung berukuran besar, barang-barang pecah belah diletakkan dalam lemari kaca, dan lukisan-lukisan mahal yang tergantung rapi di dinding layaknya pameran. Semuanya tampak memanjakan mata.

Selama berjalan, Bi Sum bercerita bahwa di rumah ini terdapat beberapa asisten rumah tangga, seperti Lita, Atik, dan Fika yang membersihkan rumah. Andi dan Ucup bertugas sebagai satpam. Bi Sum sendiri memiliki kewajiban dalam memasak, Asti bagian menyetrika dan mencuci, Fikar sebagai pengurus taman depan dan belakang rumah. Sedangkan Rafli adalah supir pribadi Ardian. Dulu ada beberapa suster yang dipekerjakan oleh Ardian. Sayangnya, mereka tidak lanjut bekerja ketika Ghea memutuskan untuk merawat sendiri anak-anaknya.

Beberapa pekerja seperti Lita, Atik, Fika, Asti, dan Fikar akan pulang pada siang atau sore hari begitu pekerjaan mereka selesai. Sedangkan Rafli kembali ke rumahnya tergantung jadwal Ardian. Bi Sum, Ucup, dan Andi tinggal di dalam rumah. Namun, untuk saat ini Ucup dan Andi diizinkan pulang. Besok hari semua pekerja akan kembali bekerja seperti biasanya.

"Yang atur kita semua, kan, Ibu. Jadi, waktu Ibu di rumah sakit, Bapak mutusin buat liburin beberapa pembantu dan lebih fokus untuk tinggal di rumah sakit nemenin Ibu," acap Bi Sum seraya membereskan tempat tidur. Setelah yakin bahwa tempat tidur telah bersih, Bi Sum menyarankan untuk Ghea berbaring saja.

"Kamar Ibu ini tadinya saya yang beresin, tapi sekarang jadi tugas Atik. Yang lainnya baru diberesin besok sama dia ya, Bu. Sekarang, saya mau ke dapur dulu, mau lanjut masak untuk makan siang."

"Oh iya, makasih banyak ya, Bi Sum."

"Iya, Bu."

Sret....

Setelah pintu ditutup oleh Bi Sum, Ghea merebahkan tubuh di atas tempat tidur berukuran King Size sambil menatap langit-langit kamar.

"Sumpah ya, nih rumah gede banget. Sepuluh kali lebih gede dari apartemen gue," monolog Ghea.

Perempuan itu menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan tiap sudut. Ruangan ini memiliki arsitektur klasik yang sangat ia sukai dengan dominasi warna putih. Di sisi sebelah kanan terdapat jendela yang terhubung pada balkon, di sisi dekat pintu terlihat tiga sofa single tanpa meja, dan bagian lantai di bawah tempat tidur dilapisi oleh karpet berbulu abu-abu tua.

Untuk menuntaskan rasa penasarannya, Ghea pun bangkit meskipun kakinya masih terasa lemah. Ia berjalan menuju lorong kecil di mana terdapat tiga pintu yang menuju ruangan berbeda. Pintu pertama adalah ruang yang berisi banyak laci dan lemari, setelah melihat-lihat sejenak ia akhirnya tahu bahwa itu adalah ruangan perhiasan, tas dan sepatu, serta riasan. Di depan ruangan itu adalah kamar pakaian Ghea dan sang suami yang juga berisi banyak laci-laci. Sedangkan ruangan tersisa adalah toilet.

"Dalam semalam, hidup gue berubah jadi Paris Hilton. Asli, semua ini cuma ada di mimpi gue," acap Ghea dengan takjub.

Ia kemudian membuka laci-laci yang memuat dokumen penting dan membacanya satu per satu dengan teliti seraya duduk bersila di lantai. Aset berupa rumah mewah ini, sebuah mobil, saham-saham perusahaan, dan satu hotel bintang lima di kawasan elit beratasnamakan Ghea Aurellia membuat perempuan itu melongo hebat.

"Gue jadi nggak berani ngeliat tabungan Mbak Ghea di bank kalo kayak gini. Pasti ngeri-ngeri sedap...."

Akan tetapi, ekspresi Ghea yang semula terkejut mendadak berubah menjadi kebingungan dengan memperlihatkan kedua alis yang bersatu dan kening berkerut. Sesekali ia mengusap dagu sambil membuang tatapan dari kertas-kertas yang berada di paha. Tentu saja ia kebingungan, pasalnya dari banyaknya dokumen yang berserakan, tak ada satu pun yang berasal dari Pengadilan Agama.

"Duh, Mbak Ghea ... kamu, tuh, jadi cerai atau gimana, sih? Urusan apa ya yang mengganjal kamu, Mbak? Jadi bingung, deh, sekarang," gerutu perempuan itu.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top