51. Kiana [END]
.
.
.
"MAMAAA!" teriak El memecah keheningan koridor pemulasaraan jenazah di RS Pelita.
Untung saja tak terlalu banyak orang lain di sana -kecuali beberapa sanak saudara, sehingga mereka tak perlu mendengar pekikan suara El yang menyayat hati. Ardian lantas menggendong sang putra menuju salah satu tempat duduk panjang dari kayu. Didekapnya erat tubuh anak itu sembari ia mengelus punggung dan membisikkan kalimat menenangkan.
El kemudian menarik tubuh dari sang ayah. "Kakak ... nggak mau ditinggal ma-mama," ungkapnya terbata-bata yang membuat Ardian kembali meneteskan air mata di sela-sela senyum hampa.
"Papa tau, Nak. Papa ngerti. Tapi kalo mama liat Kakak kayak gini, pasti mama juga sedih. Kakak nggak mau, kan, liat mama sedih?"
El mengangguk. "Tapi, Kakak nggak mau ... mama pergi."
"Kan masih ada Papa, Nak."
"Kakak mau mama!" seru El sekali lagi dengan nada tinggi. Tangis anak itu meluap bak air bah yang menerjang seluruh perasaan hingga mungkin membangkitkan rasa iba bagi para insan yang melihatnya.
Ardian kembali mendekap El yang sudah menangis kuat-kuat membuatnya ikut dirundung pedih. Belum pernah ia mendengar pekikan melengking dari putranya tersebut hingga hari ini. Jujur saja, ia juga berat melepaskan Ghea. Akan tetapi, ia harus bisa menerima semua ini karena setiap yang bernyawa tentu akan berpulang pada Sang Pencipta.
"Sabar ya, Nak. Papa tau Kakak kuat dan sabar," bisik Ardian tepat di telinga sang putra.
"Kenapa mama ninggalin kita ... Papa? Mama nggak sayang lagi sama kita?"
"El, liat Papa dulu!" Ucapan lembut Ardian seketika membuat El melepaskan pelukan dan memandang sang ayah dengan mata sembap. "Semua makhluk hidup itu akan pergi, termasuk Kakak dan Papa. Cuma kita tidak tau kapan perginya. Yang sekarang bisa kita lakukan adalah ikhlas, sabar, dan selalu jadi orang yang baik—"
El menggeleng di sela-sela isakan. "Kakak belum jadi anak yang baik buat mama, belum bisa dibanggain."
Kedua tangan Ardian turun menuju bahu sang adam dan tersenyum lemah. "Siapa bilang? Kakak tau, nggak? Waktu Papa, mama, sama adek nontonin Kakak lagi pentas di sekolah, mama bilang sama Papa kalo mama bangga banget sama Kakak."
"Iya?"
"Iya, Nak ...."
Dengan kedua tangan mungilnya, El menghapus air mata yang turun. Meskipun tak sepenuhnya hilang, tapi anak itu berusaha menghentikan tangis sambil tangan Ardian mengelus dada sang anak untuk menenangkannya.
El mengambil napas kuat-kuat lalu diembuskan perlahan lewat mulut. Berulang kali, tepat seperti yang selalu Ghea ajarkan ketika anak itu merasa akan meraung-raung atau hatinya sakit tak terkira. Walaupun pada akhirnya ia tetap menangis seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang ayah dan menenggelamkan wajah di ceruk Ardian.
Tak lama kemudian Aini pun datang sambil menggendong Tata yang menangis tersedu-sedu. Diraihnya putri bungsu itu hingga kini Ardian memeluk anaknya bersama-sama. Tak lupa pula Aini memberikan kekuatan pada mereka bertiga, hingga satu per satu anggota keluarga menghampiri Ardian dan anak-anak.
Bukankah lebih baik melewati semua ini dengan kehadiran keluarga?
.
.
.
.
.
.
Dari kejauhan, Kiana tampak berdiri gamang bersama Hazel di tengah-tengah koridor. Mereka menyaksikan dengan jelas bagaimana tubuh dingin Ghea melewati mereka beberapa menit yang lalu, tepat seusai Hazel memperlihatkan adegan demi adegan yang ditulis oleh Ghea dalam catatan di ponsel.
Mendengar dengan jelas percakapan Ardian dan El membuat hati keduanya ikut remuk, terlebih bagi Kiana. Ia tak pernah melihat Ardian dan anak-anak sehancur itu sebelumnya. Bahkan ketika ingatan saat mereka bercerai dulu akhirnya kembali, rasanya belum sebanding dengan kehilangan ini.
Ghea orang baik, sangat baik. Bahkan di detik-detik terakhir pun ia masih ingin berusaha memperbaiki semuanya. Jangan katakan bagaimana Kiana meminjam seluruh tubuh, waktu, dan tenaga Ghea untuk menyelesaikan urusannya —tentu dengan bantuan Hazel. Jika tak ada Ghea, mungkin sampai saat ini berita-berita kontroversial Kiana masih bergulir bak bola panas.
Hazel yang berdiri di samping Kiana dengan kedua tangan dimasukkan dalam kantung celana pun berkata, "Kalo teriakan bocah itu nggak bisa bikin hati lo bergetar, nggak bisa bikin lo punya sedikit motivasi untuk kembali hidup ... gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi, sih."
Kiana sontak menoleh pada Hazel dengan mata yang bengkak sebab menangis hebat beberapa menit sebelumnya. Semula perempuan itu ingin mengeluarkan beberapa kalimat. Namun, suara lirih Tata membuatnya kembali mengatupkan rahang dan berpaling pada sosok kecil itu.
"Kita nggak bisa ketemu mama lagi ya, Papa?"
Ardian tersenyum lembut sambil menyampirkan helaian rambut yang menutupi wajah putrinya. "Bisa, kok. Kita bisa samperin mama di rumah barunya kalo Adek kangen mama. Ya, Nak?"
"Iya, Papa ...."
Lantas Tata kembali menyandarkan kepala di dada Ardian. Kedua tangan terkepal kuat dan kakinya ditekuk sejajar dada, layaknya kucing melingkar dengan nyaman si atas tempat tidur untuk beristirahat.
Hazel mengembuskan napas kasar melalui mulut lalu berujar, "Setidaknya kalo lo bangun, El masih punya papa dan mama yang lengkap. Tapi, bagaimana dengan Tata? Anak sekecil itu bahkan belum ngerti apa-apa, tapi sudah ditinggalkan mamanya."
Kiana mengangguk cepat. "Kalo El anak gue, berarti Tata juga—"
"Itu nggak akan ada gunanya kalo lo nggak kembali. Mereka akan kehilangan dua ibu, yang berarti dua-duanya ngasih luka yang sama. Setidaknya kalo waktu lo masih ada, habiskan dengan mereka. Tinggalkan mereka dalam keadaan mereka bisa menerima kenyataan dunia yang keras."
Perkataan Hazel benar-benar menyentuh relung hati terdalam Kiana. Namun, apalah arti sebuah kata jika tak ada aksi berwujud.
Sang adam tiba-tiba menghadapkan tubuh ke arah Kiana seraya menjulurkan tangan untuk berjabat membuat Kiana mengernyit. Seakan paham dengan ekspresi puan, Hazel pun berujar lembut disertai senyum manisnya, "Kalo gitu gue pamit."
Kiana menyambut uluran tangan itu. "Eh? Lo udah mau pergi?"
"Iya," Hazel melepaskan jabatan tangan tersebut, "soalnya Ghea juga udah pergi."
"Gue penasaran, lo itu sebenarnya siapa? Kenapa selalu ada di sisi Kak Ghea?"
Hazel sontak terkekeh kecil mendengar pertanyaan tersebut. "Kalo gue bilang gue siapa, lo bakalan percaya, nggak?"
"Yaiyalah gue percaya. Lo, kan, nggak bisa bohong!"
Pria itu menganggut-nganggut sembari melipat kedua bibir ke dalam dan menjatuhkan tatapan ke lantai. Lantas setelah ia siap, Hazel berucap tenang, "Gue adalah saudara kembar Ghea yang meninggal setelah dilahirkan."
"Hah?" pekik Kiana.
"Iya, lo nggak salah denger. Nggak mirip ya? Ah elah, kalo gue bisa hidup selama Ghea pasti gue juga mirip dia. Cuma mungkin gue bakalan jadi bintang terkenal. Lebih terkenal dari pada lo!" seloroh Hazel membuat Kiana membulatkan mata lalu tersenyum lebar. Sedikit tak menyangka dengan perkataan Hazel.
"Sorry ya, tapi sekarang posisi itu diisi sama gue—"
"Nah, itu dia masalahnya. Bukan rejeki gue, sih!"
Kiana tergelak kecil membuat Hazel melakukan hal yang sama. Sedetik kemudian sang adam meraih Kiana dalam dekapannya. Tak lama, tapi sangat menenangkan.
"Selalu jadi orang baik, Kiana. Karena dengan itu, semua kebaikan semesta juga akan berpihak ke lo. Kalo lo merasa terpuruk, yakin aja suatu saat rasa itu bakalan digantikan dengan kebahagiaan. Kalo roda tidak berputar, itu berarti bukan hidup."
"Lo benar, Zel."
"Oke, kalo gitu gue pergi dulu. Jaga diri lo baik-baik! Makasih juga untuk semuanya."
Kiana mengelus lalu menepuk-nepuk bahu Hazel disertai tarikan dua sudut bibir ke atas. "Gue yang harusnya bilang gitu. Makasih banyak ya, Zel. Lo udah ajarin gue banyak hal selama ini."
Hazel mengacak-acak rambut Kiana gemas, lantas memutar tubuh dan mengayunkan derap menjauhi bayangan wanita yang masih terpaku tersebut. Sebelum hilang di belokan koridor di depan sana, Hazel berkata, "Jangan lupa nonton tv ya!"
Awalnya Kiana benar-benar kebingungan. Kenapa juga kata-kata terakhir Hazel harus menyuruhnya menonton televisi? Tak adakah yang lebih penting dari itu?
Meskipun begitu, Kiana tanpa henti berucap syukur dan terima kasih pada Ghea dan Hazel. Mereka benar-benar orang yang luar biasa. Kiana tak menyesal telah mengenal mereka.
Tak lama kemudian, pintu ruangan pemulasaraan terbuka. Peti dari kayu terbaik itu akhirnya dikeluarkan dan didorong oleh beberapa petugas rumah sakit menuju mobil ambulance. Kembali suara duka bergema di setiap sudut membawa sang puan kembali menjelajahi memori-memori lampau, yang begitu sakit untuk dikenang, tetapi juga terlalu indah untuk dihilangkan.
Pandangan Kiana bertemu pada sesosok perempuan yang berdiri di samping pintu ruangan pemulasaraan dengan kedua tangan ditautkan di depan tubuh dan tersenyum teduh. Lantas Kiana melakukan hal yang sama.
"Makasih ya, Kak Ghea," ucap Kiana yang dibalas oleh sosok itu dengan anggukan kecil lalu menghilang bak ditelan angin.
Sepeninggal keluarga Bratadikara, Kiana mengayunkan kaki lemah menyusuri koridor —bahkan mungkin lebih tepat ia menyeretnya. Suasananya persis ketika pertama kali ia menjinjing tas dan menggunakan topi dengan merek ternama. Ia yang berjalan centil nan bersemangat, menyapa satu per satu jiwa yang berkeliaran kini tak terlihat lagi. Antusiasmenya turun seolah ikut pergi bersama tubuh dan kenangan tentang Ghea Aurellia.
Terkadang ia bertanya-tanya, mungkinkah ini hanya sekadar mimpi buruk? Jika iya, mengapa terasa begitu nyata?
Sampai akhirnya derap itu tiba di bagian informasi rumah sakit, tempat di mana sosok tanpa kepala sedang duduk membelakangi Kiana dan mengetik sesuatu di komputer. Mas Tara, namanya. Tak perlu bingung dari mana orang-orang bisa mengetahui nama sosok itu, sebab papan namanya masih terpanjang di seragam putih perawat yang ia kenakan.
Sorot mata Kiana memaku pada televisi yang ternyata menyampaikan berita terkini.
"Selamat sore, Saudara. Bertemu lagi dengan saya, Sinta Daria dalam Breaking News pukul 06.50 Waktu Indonesia Barat.
"Polisi dalam Konferensi Persnya menyebut bahwa korban kecelakaan yang terjadi di ruas tol adalah salah satu aktris ternama, Kiana Ivanka Hadi. Kiana diketahui mengendarai mobil seorang diri menuju salah satu lokasi syuting sekitar pukul 06.27 pagi. Kondisinya saat ini kritis dan sedang menerima perawatan intensif di Rumah Sakit Pelita pasca kecelakaan.
"Korban lainnya adalah seorang perempuan bernama Ghea Aurellia. Ghea diketahui adalah istri dari penerus kerajaan bisnis Dikara Group, Ardian Bratadikara. Saat ini informasi yang diterima oleh media terkait kondisi Ibu Ghea masih sangat minim. Satu pun dari pihak keluarga belum memberikan statement terkait kecelakaan tersebut.
"Demikian Berita Terkini hari ini. Ikuti terus perkembangan informasi secara aktual di Breaking News bersama saya, Sinta Daria."
Kiana dapat menangkap seluruh gambar yang ditampilkan selama pewarta memberikan penjelasan.
Mobil Ghea di bagian depan benar-benar hancur, begitu pula pada mobil Kiana. Jika ditelisik lebih jauh memang kemungkinan besar para korbannya tak akan mungkin selamat, skeptis akan terbangun dan kembali menjalani hidup normal.
Ketukan demi ketukan Tara di meja informasi membuyarkan lamunan Kiana. Laki-laki itu menyerahkan sebuah potongan kertas pada Kiana yang membuat perempuan itu mengernyit sebentar lalu membacanya dengan teliti.
'Pemberitaan tentang Ghea itu sepenuhnya telah ditutupi oleh pihak keluarga Ardian. Makanya nanti kalo lo sadar dan mulai cari-cari potongan rekaman berita itu di banyak portal berita, lo nggak bakal nemuin. Itu juga gue dapatnya gegara obrak-abrik file di stasiun tv dan disiarin tepat beberapa menit setelah lo kecelakaan. Setidaknya lo jadi tau kalo kasus kecelakaan itu memang diakibatkan oleh kelalaian Ghea.
Gue atas nama Ghea Aurellia meminta maaf yang sebesar-besarnya. Semoga lo lekas pulih ya, Kiana.
Salam, Hazel'
Kiana mengembuskan napas kuat-kuat seraya menunduk dan memejam beberapa detik. Suara-suara pasien di sekitarnya seakan lenyap begitu saja.
Perempuan itu kembali membuka mata dan berjalan lambat menuju kamar lantas membuka ruangan yang telah mendingin itu. Balkon tempatnya bercerita bersama Hazel beberapa waktu yang lalu kini kosong dengan jendela terbuka lebar dan kain putih tipis sebagai penutup bak menari-menari begitu indahnya karena tertiup angin.
Kiana mengambil satu kursi. Ia duduk tenang dan satu tangannya bergerak untuk mengelus pipi yang telah menirus. Netranya seakan-akan memindai tubuh tersebut dari atas ke bawah. Lantas senyum hampa pun terukir lemah.
"Gue terlalu sibuk ... sibuk banget ya sampe gue nggak merhatiin lo." Kiana kemudian menoleh ke arah sofa-sofa panjang di belakang. "Tuh, barang-barang juga masih stay di sana. Mas Valdy nggak ngambil lagi barang pemberiannya?"
Kiana tergelak kecil di tengah-tengah tangisannya. "Nanti kalo lo bangun, lo jualin dah tuh barang-barang, trus uangnya lo sumbangin. Lo nggak butuh, soalnya lo bisa beli sendiri. Ya, kan?"
Sang hawa mengangguk cepat sambil menyeka air matanya lalu berujar, "Gue mau bangun, mau meluk anak-anak. Gue nggak mau kayak gini. Nggak mau!"
Kiana menangis tersedu-sedu seraya menenggelamkan wajah di samping tubuh ringkih itu. Suaranya bak bersahut-sahutan dengan alat medis penunjang hidup. Kiana menangis sejadi-jadinya dan sepuas mungkin. Toh, tidak ada yang mendengarnya. Bahkan Laras dan Rara yang ternyata telah berdiri di belakang perempuan itu hanya dapat memberi ruang buat Kiana. Setelahnya, mereka berdua menghilang.
Saat Kiana mengangkat wajah menuju jendela, tangisnya mereda. Seolah ada suara-suara yang memanggilnya dari sebuah gerbang berwarna putih menyilaukan mata.
Benar-benar bersinar!
Sang puan pun sontak berdiri dengan sekuat tenaga. Entah mengapa, kakinya terasa bersusah payah untuk bergerak. Padahal beberapa menit yang lalu ia merasa biasa-biasa saja. Akan tetapi, Kiana tak menyerah. Ia menyeret-nyeret kaki dengan satu tangan terangkat untuk menutup sinarnya yang masuk ke mata.
Ketika akhirnya ia tiba di pintu gerbang, Kiana menjulurkan tangan dan langkahnya kembali ringan. Aneh, tapi Kiana telah masuk dalam gerbang putih tersebut dan tak ada apapun di sana.
Kosong, kosong, dan kosong!
Dirinya memutuskan untuk berlari tanpa berhenti atau memandang ke kiri-kanan agar fokusnya tak terpecah. Kiana memang tak melihat apapun, selain hanya ruangan berdinding putih dan hampa. Namun, selama kakinya masih kuat untuk berlari, ia akan melakukannya entah sampai di kapan dan di mana.
Ting...
Ting...
Ting...
Irama dari alat medis terdengar teratur membuat Kiana secara perlahan mulai membuka mata. Rasanya tenggorokan perempuan itu sangat kering dan matanya berat. Berkali-kali ia mengerjap untuk memfokuskan penglihatan pada sekelilingnya.
Apakah ini nyata?
"Dokter, dokter. Pasien sadar!" tukas salah seorang wanita berbaju putih pada laki-laki yang berada di sampingnya dengan nada penuh keterkejutan.
Di saat itulah Kiana tahu bahwa ia...
Telah kembali!
.
.
.
END
.
.
.
Kalo ada prolog, udah pasti ada epilog. Sampai bertemu di epilog ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top