50. Akhir Catatan Ghea
Note:
Bagian yang di italic adalah catatan Ghea dan part selanjutnya adalah suasana yang diperlihatkan oleh Hazel. Semoga tidak membingungkan.
.
.
.
.
.
.
__________
'Ketujuh
Kami akhirnya meninggalkanmu di Amerika karena permintaan Oma dengan Little Lion berada dalam gendonganku. Aku ingat, kamu bahkan tidak menangis ketika bayi itu diserahkan ke aku. Sebelum kembali, aku sempat memoto bayi kita ketika berada di rumah sakit dan menyimpannya hingga saat ini.
Our Little Lion, Gabriel Bratadikara.
Aku tidak tahu kapan kamu kembali ke negara ini. Tapi yang pasti, beberapa bulan berselang, aku melihatmu di mana-mana. Mulai dari acara televisi, menjadi pemeran di sinetron dan film, wawancara radio, cover majalah, dan lain sebagainya.
Kamu tampak sangat mengagumkan. Tanpa beban. Aku tidak tahu bagaimana jadi kamu, sehingga aku juga tidak tahu apa yang kamu rasakan. Akan tetapi, aku paham bahwa kamu masih seorang ibu. Maka dari itu, aku selalu mencoba menghubungimu melalui apapun yang aku bisa. Aku tidak ingin memisahkan El dengan ibunya.
Hingga akhirnya kita bertemu di suatu acara, di mana kamu jadi MC di sana saat usia El menginjak satu tahun. Kita berdua mengabaikan larangan Oma untuk saling bertegur sapa. Ya, kita lebih dari sekadar bertegur sapa, bahkan kita menangis bersama kala itu. Kalau aku mengingatnya lagi, aku jadi ingin tertawa terbahak-bahak karena keseruan pembicaraan kita dengan beragam topik. Dari acara itulah aku mengetahui email pribadimu.
Adiana Hana Vikki adalah email yang kamu berikan ke aku.'
__________
"Nah, sekarang baby lion udah cakep. Udah mandi ya, Nak?" acap Kiana seraya memberikan bayi itu pada Ghea. "Sekarang sama Mama Ghea dulu."
Kiana langsung duduk di tepi tempat tidur setelah memandikan dan menyusui Gabriel, tepat di samping Ghea.
Sudah delapan hari setelah Kiana melahirkan Gabriel, Dewi telah memberikan ancaman berkali-kali pada Ghea dan Ardian untuk segera membawa Gabriel pulang ke Indonesia. Dewi punya alasan mengapa ketiganya harus bertolak ke Amerika, agar orang-orang di luar dan dalam keluarga tidak mengetahui bahwa Kiana hamil dan akan menganggap Ghea yang melahirkan Gabriel di luar negeri.
Begitu tak sukanya Dewi pada Kiana hingga ia harus memikirkan dan mempersiapkan segalanya agar mereka segera menjauh dari perempuan tersebut.
"Na, kamu nggak papa? Aku beneran khawatir, lho, sekarang," ungkap risau hati Ghea. "Masa aku bawa Gabriel, sementara kamu stay di sini?"
Kiana membelai lembut bahu Ghea disertai seulas senyum. "Kak, udahlah ... lagian emang kesepakatan dengan oma, kan, kayak gitu. Anggap aja sekarang Kakak yang lahirin Gabriel, bukan aku-"
"Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu. Ini darah daging kamu! Aku aja yang nggak lahirin dia nggak tega kalo harus begini. Aku nggak tega dia pisah dari ibunya sendiri."
Kiana menjatuhkan tatapan dan tersenyum lembut pada sang bayi yang menggeliat dalam dekapan hangat Ghea. Punggung jari telunjuk sang ibunda bergerak membelai wajah putranya dengan penuh kasih.
Tanpa menoleh pada Ghea, Kiana melanjutkan, "Rata-rata perempuan bisa melahirkan, Kak. Tapi tidak semua perempuan itu bisa jadi ibu. Dan aku merasa, aku belum pantas jadi ibu yang baik untuk Gabriel. Aku nggak pengen nantinya dia tau kalo kakeknya penipu, nggak pengen dia tau kalo ibunya terbuang di keluarganya sendiri. Aku nggak bisa bayangin itu semua.
"Yang bisa aku lakuin sekarang adalah mengusahakan keluarga yang terbaik buat Gabriel, keluarga yang utuh. Dan aku percaya Kak Ghea dan Mas Ardian bisa memberikan Gabriel sesuatu yang paling berharga itu."
Air mata Ghea tak dapat dibendung lagi, rasanya begitu sesak menghujam hati. Sementara Kiana hanya tersenyum tipis sambil menghapus jejak-jejak itu di pipi Ghea dengan jemarinya yang lembut.
"Kakak jangan nangis! Nanti Gabriel juga ikutan, lho," tutur Kiana yang justru membuat Ghea semakin terisak.
Tak lama setelahnya, Ardian pun masuk ke dalam kamar dengan pakaian yang rapi. Sebenarnya Ghea juga mengenakan pakaian yang sama rapinya, karena mereka bertiga bersama Gabriel akan kembali ke Indonesia hari ini, meninggalkan Kiana sendirian.
Seketika Ardian berjongkok dengan menumpu satu kaki di depan Kiana membuat puan itu harus menunduk. Ditangkupnya wajah Ardian dan kecupan ringan tersebut seketika menjejak di kening sang adam.
"Aku sayang kamu, Mas," ucap Kiana lirih.
"Mas juga, Mas sayang banget sama kamu. Setelah ini, Mas akan penuhi semua janji dan kesepakatan. Jadi, kamu nggak usah khawatir, ya? Kalo kurang, kamu tinggal bilang aja sama Mas. Apapun kebutuhan kamu akan Mas siapkan."
"Iya, Mas ...."
Ardian pun berdiri dan membawa bahu Kiana hingga hawa itu bangkit pula bersamanya. Sedetik kemudian Ardian menarik tubuh sang istri dalam pelukan seraya satu tangan laki-laki itu membelai lembut punggung Kiana. Begitu erat, hingga keduanya tak ingin melepaskan satu sama lain. Seakan-akan kini mereka hanya berdua dalam ruangan.
Ghea yang melihat itu hanya menunduk, memperhatikan Gabriel sambil sesekali bermonolog dalam hati tentang betapa menyedihkannya bayi tersebut. Oleh sebab keadaan, ia harus terpisah dari orang yang melahirkannya ke dunia. Jika itu adalah Ghea, sudah tentu ia tak akan melepaskan buah hatinya. Namun setelah dipikir kembali dan berandai-andai jika ia berada di posisi Kiana, mungkin ia akan melakukan hal yang sama.
Entahlah, Ghea memang tak berada di posisi itu dan tidak mengetahui isi hati Kiana yang sebenarnya.
Ardian mengecup bibir Kiana, lama dan penuh cinta kasih. Setelahnya, laki-laki itu menoleh pada Ghea dan Gabriel diikuti pula oleh Kiana.
"Kak Ghea, nanti telat, lho," acap Kiana membuat Ghea langsung mendongak untuk mengamati sepasang suami istri yang telah tersenyum itu.
Mau tak mau, Ghea pun bangkit dengan perlahan.
Ardian kemudian menawarkan untuk meletakkan Gabriel dalam keranjang bayi sambil diberikan penyumbat telinga agar perjalanan menuju bandara tetap tenang bagi si kecil, dan Ghea pun setuju.
Setibanya mereka di depan pintu rumah, Kiana memberikan pelukan pada Ghea lalu ke Ardian untuk terakhir kalinya. Tak lupa pula Ardian mendaratkan kecupan berulang di wajah Kiana.
"Terima kasih sekali lagi, Kiana. Maaf kalo selama ini ada kata-kata dan perbuatan Mas yang buat kamu sakit atau tersinggung," ungkap Ardian.
"Nggak, kok, Mas. Nggak ada sama sekali. Selama ini Mas selalu baik sama aku dan itu udah lebih dari cukup. Aku juga terima kasih ya, Mas."
Semuanya berakhir di sini.
.
.
.
.
.
.
__________
'Kedelapan
Aku memutuskan untuk membuka hati, beberapa bulan setelahnya Mas Ardian melakukan hal yang sama. Aku belajar untuk menerima, begitu pun sebaliknya. Hal yang pertama kami lakukan sebagai pasangan suami-istri pada umumnya adalah nonton konser. Iya, nonton konser. Setelah itu, kami melanjutkan keliling kota pada malam hari. Tak jelas arah dan tujuan.
Hidup kami penuh cinta kasih, terlebih setelah kami tahu jika seorang bayi mungil akan hadir di antara kami.
Namun terkadang, aku bisa lepas kendali dan tanpa sadar melampiaskan kemarahan pada El. Aku minta maaf, aku terlalu kasar padanya. Tapi jujur, aku sayang El. Hanya saja, kadang-kadang tingkahku tidak dapat dimaafkan.
Tahun demi tahun pun terlewati. Aku ingat pagi itu mengendarai mobil untuk mengantarkan dokumen Mas Ardian ke kantor melewati jalan tol. Terlalu terburu-buru memang tak pernah baik. Di perjalanan, aku mengangkat telepon Mas Ardian. Sayangnya, hp yang ada di tangan aku tiba-tiba jatuh di saat aku ingin menyalip sebuah mobil. Aku berusaha untuk mengambilnya. Tapi malangnya, mobil berkecepatan tinggi yang aku kendarai mulai oleng dan aku tidak dapat menyeimbangkannya.
Aku tidak sengaja menyenggol mobil di sampingku lantas aku membanting stir dan benar-benar hilang kendali. Mobilku berputar-putar, menabrak pembatas jalan, dan terpelanting beberapa kali. Semuanya kacau dan rusak parah.
Mobil yang aku tabrak itu, adalah mobil milikmu Kiana.
Mungkin dulu kamu berpikir bahwa aku baru tiga mengalami koma. Sayangnya tidak, aku juga telah terbaring di rumah sakit sekitar dua minggu, tetapi di rumah sakit yang berbeda. Setelah Mas Ardian mendapatkan informasi jika fasilitas rumah RS Pelita lebih lengkap, dia memindahkanku ke sana. Aku akhirnya bertemu denganmu untuk pertama kalinya dalam keadaan berupa bayangan yang bahkan orang-orang pun tak mampu melihat kita.
Sejujurnya, sejak kecelakaan itu aku sudah tidak mungkin selamat, Kiana. Aku sempat mendengar perkataan dokter pada Mas Ardian bahwa kecelakaan itu mengakibatkan kerusakan parah di otak.
Aku terbangun pun dirasa menjadi suatu keajaiban yang luar biasa. Dokter bilang aku sudah diambang, dan tidak akan mungkin kembali. Itulah yang menjadi penyebab mengapa kepalamu sering pusing setelah bangun di tubuh aku.
Akan tetapi, aku beruntung karena diberi satu kesempatan lagi oleh Dia.
Hingga saat ini, aku selalu merasa bersalah. Seharusnya kamu yang berada di sisi Mas Ardian dan anak-anak, bukan aku. Maka dari itu ketika melihatmu berada di rumah sakit, aku pikir ini saat yang tepat agar kamu dapat merasakan memiliki mereka semua dengan cara menghilangkan ingatanmu tentang Mas Ardian beserta memori-memori indah yang pernah ada.
Ya, aku melakukan semua itu karena aku terlalu egois dan tidak ingin menyia-nyiakan satu kesempatan bahkan untuk terakhir kalinya.
Semua karena aku, skenario itu berasal dari aku. Aku tidak menyesal telah melakukannya ketika melihatmu selalu menghampiriku di rumah sakit dalam keadaan bahagia, senyum yang terlampau lebar.
Aku ingat dulu waktu kita di Amerika ketika aku akan keluar untuk berbelanja, kamu selalu mengatakan sesuatu yang membuat hatiku menghangat dan merasa dibutuhkan. Untaian kalimat singkat yang membuat aku merasa berharga di saat orang-orang meludahi wajahku dan berkata kasar tanpa belas kasih.
"Hati-hati ya, Kak Ghea. Aku sayang Kakak."
Aku juga menyayangimu, seperti aku melihat sosokmu pada adik kecilku.
Terima kasih sudah menjadi teman yang menyenangkan, tidak pernah menganggap dan memberiku label yang buruk meskipun perbuatanku sangat hina, dan begitu sabar menghadapi segalanya.
Aku harap melalui tulisan ini sudah dapat menjawab semua pertanyaan kamu, meskipun tak lengkap.
Kamu harus tahu, Kiana, aku masih pengen cerita banyak sama kamu. Kalau nanti kita ketemu di kehidupan lain, mari berbagi cerita seru lagi.
Sekali lagi, terima kasih dan maafkan aku.'
__________
Rasanya waktu telah mundur lagi, Kiana yang mengandung delapan bulan bangkit susah payah dari sofa panjang ketika mendengar suara pintu kamar Ghea terbuka sambil memperbaiki gaun selutut yang ia kenakan.
Sontak saja, perempuan itu menoleh ke belakang. "Kak Ghea udah mau berangkat?"
Tanpa memandang Kiana dan mulai mengunci kamar, Ghea berujar, "Iya, keburu kamu ganti menu ...."
Kiana hanya terkekeh mendengarnya, mengingat ia benar-benar plin plan dan terkesan labil selama hamil. Jika ia telah mendapatkan makanan di depan mata, sedetik kemudian Kiana menginginkan makanan yang lain. Ini memang membuat Ardian dan Ghea kelabakan sendiri. Belum lagi terkadang Kiana meminta di jam-jam yang tidak semestinya, seperti pukul dua atau tiga pagi.
Orang-orang mengatakan bahwa inilah yang disebut mengidam pada orang hamil. Mau tak mau harus dituruti, sebab Kiana akan menangis tersedu-sedu jika keinginannya tak terpenuhi.
Lantas ketika akhirnya Ghea mulai memasang kaus kaki dan sepatu boot kulit berwarna hitam, Kiana tersenyum seraya berjalan menuju sang puan.
Ghea mengambil tas yang berada di atas meja, Kiana mengekor. Ghea bergerak menuju dispenser untuk mengambil air minum, Kiana tetap mengikuti. Bahkan Ghea berjalan untuk meraih jaket yang tergantung di stand hanger, Kiana masih setia di belakang. Sampai-sampai Ghea menggelengkan kepala melihat tingkah wanita tersebut.
Risih? Tidak juga. Sebab Kiana sudah sering melakukan ini padanya dan Ghea menjadi terbiasa.
Setibanya Ghea di depan pintu rumah, ia memutar tubuh menuju Kiana. "Buah sama susu doang, nih? Ada lagi, nggak? Kue atau makanan manis lainnya gitu?"
Kiana menggaruk pelipis. "Nanti aku sms Kak Ghea kalo ada tambahan-"
"Kalo bisa dipikirnya yang cepet ya, supaya aku nggak bolak-balik rumah."
"Ok sip!"
Ghea kemudian mengangguk samar lalu melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir di carport samping rumah. Kiana juga nampaknya tak ingin melewatkan kepergian Ghea hingga pandangannya sekali lagi memperhatikan punggung yang semakin lama semakin menjauh itu.
"Kak Ghea!" panggil Kiana sesaat setelah Ghea membuka pintu mobil.
Mendengar namanya disebut, Ghea pun menghentikan gerakan dan memutar tubuh. "Kenapa, Na?"
"Hati-hati ya! Bawa mobilnya jangan kenceng-kenceng! Aku nungguin, lho, di rumah. Cepetan pulang ya!"
Seketika perempuan itu terkekeh kecil. "Iya, bawel ... ya ampunnn. Ada lagi, nggak?" ucap Ghea tak mampu menahan rasa gemasnya.
Kiana terdiam sebentar, seolah-oleh sedang berpikir keras saat ini. Sontak saja Ghea menaikkan kedua alis serempak dan memperhatikan mimik wajah perempuan yang berdiri beberapa meter dari tempatnya sekarang.
"Aku sayang Kak Ghea-" tutur Kiana lembut secara tiba-tiba yang membuat lawan bicaranya refleks menarik kedua sudut bibir ke atas. Tak menduga jika Kiana akan mengatakan kalimat tersebut, meskipun ia sudah sering mendengarnya.
"Kamu selalu ngomong kayak gitu tiap aku mau pergi, padahal aku cuma mau ke supermarket buat beliin kamu susu sama buah. Aku nggak ke mana-mana, okey? Kamu ngomongnya kayak aku mau pergi jauh aja ...."
Kiana seketika mengerucutkan bibir. "Siapa tau aja Kakak mau pergi jauh, ninggalin aku sendirian di negara orang."
"Ya nggak mungkin. Bisa dimarahin aku sama Mas Ardian kalo ninggalin kamu." Ghea akhirnya masuk ke dalam mobil lalu membuka kaca dan berseru dengan nada yang sedikit dinaikkan akibat jarak yang terbentang. "Beneran nggak ada lagi, nih, ya?"
"Beneran, Kak. Kalo ada tambahan nanti aku sms," ulang Kiana.
"Ya udah, kalo gitu aku berangkat dulu. Oh iya, jangan ke dapur, kecuali ambil air minum doang! Jangan pegang pisau atau apapun itu! Pokoknya diem aja di rumah. Okey?" titah Ghea dengan menaikkan jari telunjuk sejajar matanya. "Jangan begajulan!"
"Buset bahasanya. Begajulan nggak, tuh," kata Kiana terkekeh. "Iya, Kak. Tenang aja!"
Ghea membunyikan klakson satu kali lantas berlalu dari pandangan teduh dan senyuman indah Kiana, seakan-akan fatamorgana jalan di sana berhasil melumatnya dan tidak menyisakan sedikit pun.
Selamat jalan....
.
.
.
Part selanjutnya adalah ending ya hehehe
Akhirnya cerita ini kelar juga, meskipun sempat mau nyerah di tengah jalan, tapi nggak jadi dan sekarang aku udah lega banget. Terima kasih buat temen-temen yang sudah memberikan kritik, saran, komentar, dan vote untuk cerita ini. Love love love love 🤗
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top