49. Catatan Lima & Enam
Note:
Sama seperti sebelumnya, yang diitalic adalah tulisan Ghea yang dibaca oleh Kiana. Sementara bagian selanjutnya adalah Hazel masih memperlihatkan situasi yang terjadi dalam catatan tersebut.
Semoga tidak membingungkan yaaaa
.
.
.
.
.
.
"Aku boleh ngomong nggak, Yah?" tanya Ghea pada Damar yang sedang fokus mengendarai kendaraan roda empatnya itu, di mana Ghea duduk di belakang, sementara Meira —sang ibu duduk di depan bersama sang suami.
"Kamu mau ngomong apa?" Damar berbalik tanya dengan nada datar.
"Aku nggak mau terima permintaan oma!"
"Kamu jangan keras kepala, jangan egois begitu, Ghea!" hardik Meira, sekilas menengok ke belakang untuk mengamati anaknya tersebut. "Ini demi kebaikan kita."
"Demi kebaikan Ayah sama Ibu, bukan aku." Sang putri sulung menghela napas kuat-kuat. "Bu, aku suka sama orang lain dan itu bukan Kak Ardian—"
"Suka atau cinta itu bakalan tumbuh seiringnya kalian bersama. Dulu waktu kamu masih kecil, kamu selalu bilang pengen jadi istri Ardian. Sekarang apa yang kamu tunggu? Perasaan kamu udah berubah?"
"Itu, kan, cuma perkataan biasa, Bu. Bukan bermaksud apa-apa. Lagian aku waktu itu masih kecil dan belum ketemu orang yang benar-benar aku suka."
Kesenyapan kembali menyelimuti. Meskipun begitu, Ghea masih berharap —walaupun sedikit jika kedua orang tuanya menyetujui permintaannya tersebut.
"Sekarang Ibu tanya, apa yang kamu takutin?"
"Aku cuma nggak mau dianggap perusak rumah tangga orang. Lagian, aku juga lebih sayang sama Kak Reza—"
"Reza? Reza anaknya Pak Tommy?"
Ghea membasahi bibir bawah dan berujar ragu-ragu, "I-iya, Bu ...."
Meira tergelak kecil mendengar pernyataan putrinya membuat sang suami hanya menggeleng perlahan sambil memperlihatkan senyuman tipis-tipis. "Ghea, Reza nggak bakalan bisa kasih kamu seperti halnya Ardian. Reza jauh di bawah, Nak. Kalo kamu menikah dengan Ardian, semuanya akan merayakannya penuh kebahagiaan.
"Lagian ya Ghea, kamu nggak hancurin rumah tangga mereka, kok. Kelakuan orang tua Kiana yang justru merusak semuanya."
Ghea tidak menampik hal tersebut. Namun, ia juga merasa bahwa ini tidaklah benar. "Bu, bayangin kalo kita di posisi Kiana, kita juga pasti bingung dan marah. Kita juga nggak bakalan tau kalo kejadiannya akan seperti ini, kan?"
"Kamu benar, Ghea. Tapi sekarang kita nggak ada di posisi Kiana, kan? Jadi ya udah, apa yang harus dikhawatirkan kalo kayak gitu?"
Ghea memejam sebentar lalu membuang tatapan keluar jendela sembari tangannya bertaut satu sama lain. Perasaannya terasa campur aduk: sedih, marah, dan kecewa.
"Ibu sama Ayah bahagia kalo aku nerima itu?"
Sedetik kemudian Meira menjawab dengan yakin, "Ya iya, dong. Orang tua mana yang nggak bahagia ngeliat anaknya menikah dengan orang yang paling terbaik menurut mereka?"
"Memangnya selama ini Ayah sama Ibu nganggap aku sebagai anak? Sejak kematian Gita, sikap Ibu sama Ayah berbanding terbalik. Trus kenapa sekarang berubah? Apa karena aku cuma barang bernilai tinggi yang sebentar lagi bakalan dijual? Aku nggak nyangka aja anak yang nggak dianggap ternyata bernilai mahal dan menguntungkan buat keluarga."
Itu benar. Setiap kali ada acara keluarga besar, Ghea selalu dijauhi oleh para anggota. Damar dan Meira juga tidak perlu repot-repot membela anaknya itu, bahkan mereka ikut sependapat dengan anggota keluarga lain jika Ghea hanya membawa kesialan karena membuat adiknya kecelakaan.
Sejak menerima banyak hujatan itu, Ghea tidak ingin lagi menghadiri acara keluarga. Jika ia mengetahui ada acara yang akan digelar, ia dari jauh-jauh hari telah meminta izin untuk menginap di rumah temannya dengan alasan mengerjakan tugas kelompok. Meskipun kedua orang tuanya tahu bahwa itu hanya kebohongan belaka, mereka sama sekali tidak peduli dengan Ghea. Mungkin mereka malah terkadang bersyukur Ghea tak ikut.
Mendengar perkataan sang putri, Damar berucap lirih, "Ghea, Ayah sama Ibu minta maaf kalo—"
Ghea berdecak dengan senyum mengejek membuat Damar dan Meira seketika terdiam. Entah apa yang ada dipikiran mereka sekarang.
"Oke, aku bakalan terima permintaan oma. Dengan begitu Ibu sama Ayah bakalan bahagia. Aku juga bakalan bahagia karena akhirnya bisa keluar dari rumah kalian. Impas, kan?"
Meira langsung menoleh ke belakang, memperhatikan Ghea yang sudah mengeluarkan air mata dalam diam sambil berkali-kali pula dihapusnya menggunakan lengan. Sayangnya, air itu terus berjatuhan membuat Meira berusaha meraih tangan sang anak untuk menenangkan. Sayangnya, Ghea lebih dulu menarik tangannya agar tak dapat digapai oleh sang ibu.
"Ibu ... Ibu minta maaf, Nak," tutur Meira dengan suara yang merendah.
Sekali lagi, Ghea lebih memilih bergeming seraya memandang jalan dan bangunan-bangunan di luar sana. Toh, ia sudah tak tahu lagi jika maaf yang diucapkan tulus atau tidak.
Ia tak peduli lagi sekarang!
__________
Kelima
Di satu sisi, kalian begitu bahagia menjalani kehidupan berumah tangga. Namun di sisi lain, ada aku yang justru menghancurkan segalanya. Dua minggu dari pertemuan itu, aku dan Mas Ardian menikah.
Tentu ini ada alasannya!
Setelah Oma mengetahui bahwa salah satu perusahaan mereka di luar negeri mengalami kerugian akibat ulah Pak Hadi, Oma memutuskan bahwa kamu dan Mas Ardian harus berpisah. Namun, perpisahan itu tertunda ketika beliau tahu bahwa dirimu ternyata tengah mengandung. Oma akhirnya memiliki rencana lain. Kita bertiga: aku, kamu, dan Mas Ardian terbang ke Amerika untuk menantikan kelahiran bayi tersebut.
Demi apapun, aku sama sekali tidak bermaksud menjadi perusak dalam pernikahan kalian. Aku pun terpaksa menerima pernikahan ini karena ayahku mengatakan bahwa hanya itu satu-satunya cara agar aku dapat membahagiakan seluruh keluarga. Nyatanya tidak, melainkan ayah telah dijanjikan jabatan penting di perusahaan oma.
Dan juga, ini menjadi cara aku untuk keluar dari rumah orang tuaku.
Maafkan aku, Kiana. Aku benar-benar minta maaf karena berlaku egois.
Keenam
Menjadi istri kedua membuat aku sadar diri. Setiap Mas Ardian pulang dari kantor di sore hari—kebetulan salah satu cabang perusahaan Bratadikara juga berada di Amerika dan Kak Ardian disuruh untuk menuntaskan permasalahan perusahaan itu, aku selalu bergegas ke kamar. Sebisa mungkin aku makan pukul enam, jadi kalian berdua bisa makan bersama tanpa aku satu atau dua jam setelahnya. Ini berlanjut hingga usia kandunganmu menginjak empat bulan.
Meskipun kita bertiga berada dalam satu rumah, kita tak pernah mengobrol banyak. Hanya bertanya tentang kabar di pagi hari, setelah itu kita akan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Akan tetapi, suatu siang kamu mengajakku untuk pertama kalinya makan di luar bersama dan aku menyetujuinya. Ternyata mengobrol denganmu benar-benar seru. Sejak saat itu, kita menjadi dekat satu sama lain.
Aku selalu berada di sampingmu ketika kamu morning sickness. Ah, kalau ingat itu, aku langsung meringis sendiri karena kasihan.
Aku menyiapkan seluruh kebutuhanmu —meskipun aku harus beli makanan di luar karena aku tidak bisa masak— dan mengurus seluruh rumah seorang diri karena tubuhmu yang lemah. Tapi, aku senang melakukannya karena mungkin aku sudah terbiasa mengerjakannya di rumah keluargaku. Itu sebenarnya tidak terpenting. Yang terpenting itu adalah kamu selalu baik padaku.
Pada suatu malam, untuk pertama kalinya kita makan bertiga karena kamu memaksa supaya aku ikut. Mas Ardian tetap sama seperti dulu, selalu menyenangkan. Dia duduk di ujung meja, sementara kamu dan aku saling berhadapan satu sama lain. Setiap kali aku melihat Mas Ardian memandangmu dengan penuh cinta, entah mengapa aku juga ikut senang dan terkadang tersenyum sendiri. Kalian menggemaskan.'
__________
Malam itu dapur nampak terlihat sunyi, hanya diterangi oleh lampu berwarna kuning di setiap sudut yang menambah sedikit kehangatan di tengah musim dingin Los Angeles. Kiana terlihat sedang berada di dapur untuk mengambil segelas air sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Baru akan beranjak meninggalkan meja makan, suara pintu rumah yang tiba-tiba saja terbuka membuatnya menoleh cepat.
Begitu melihat sosok yang masuk, Kiana menyunggingkan senyum manis. Sang suami, Ardian Bratadikara langsung meletakkan tas di atas meja ruang keluarga dan bergerak menuju dapur, seolah ia langsung mendapatkan sinyal tentang keberadaan Kiana.
"Mas ...."
"Malam istri Mas yang paling cantik," puji Ardian seraya memeluk Kiana dari belakang. Kedua tangannya yang kekar itu melingkar dan mengelus perut sang istri. "Si kecil udah makan, belom?"
"Belom nih, Papa. Makan bareng yuk!" ajak Kiana seakan-akan anaknya yang berbicara langsung.
"Ya udah, yuk!"
Ardian lantas bergerak menarik kursi untuk sang istri yang berada di sebelah kanannya. Pandangan laki-laki itu mengedar untuk melihat makanan yang tersaji di depan mata dengan begitu nikmatnya.
"Tadi aku belanja bahan makanan, sekalian beli makanan yang udah jadi juga, sih," ucap Kiana ketika Ardian mulai mengambilkan istrinya sesendok nasi.
"Jangan capek-capek ya, Sayang-"
"Nggak kok, Mas. Soalnya aku pergi sama Kak Ghea. Kak Ghea nemenin aku belanja banyakkk banget dan bantuin aku," ujar Kiana penuh antusias.
Saat Ardian akan kembali mendaratkan bokongnya pada kursi, Kiana dengan cepat memegang tangan suaminya membuat sang adam mengalihkan pandangan dari piring menuju obsidian indah milik Kiana.
"Kenapa, Sayang? Kamu butuh apa?"
Kiana nampak bergumam sebentar, sebelum akhirnya ia berucap hati-hati, "Kita makan bertiga yuk, Mas. Makan bareng Kak Ghea. Nggak papa, kan?"
"Lho, kok kamu nanyanya ke Mas, sih? Seharusnya Mas yang nanya, kamu nggak papa?"
Sang puan mengangguk cepat. Terlihat rona kebahagiaan menguar dari wajah putihnya membuat Ardian seketika menarik kedua bibir ke atas.
"Yaudah kalo gitu Mas panggilin—"
"Eh, bareng aja!"
"Ayo!"
Suara ketukan demi ketukan dari buku-buku jemari yang dikepal sedikit itu terdengar memenuhi rungu setiap insan yang berada di rumah, termasuk Ghea yang saat itu baru saja keluar dari toilet. Mendengar ketukan yang ternyata berada di pintu kamarnya, Ghea bergegas untuk menarikan tuas pintu.
Begitu mendapati Ardian berada di hadapannya, Ghea terlonjak kecil. Ia mengira jika itu adalah Kiana, bukan suaminya.
"Oh, Kak Ardian. Kenapa ya, Kak?"
Ardian tersenyum lembut. "Kamu udah makan?"
"Kalo itu belum Kak. Tapi aku makannya nanti aja, soalnya baru banget bangun tidur, jadi sedikit kliyengan. Mungkin aku kecapean setelah jalan-jalan tadi kali ya," balas Ghea disertai cengiran kaku seperti biasa.
Mendadak kepala Kiana menyembul dari bahu Ardian membuat Ghea terkejut. Ternyata tubuh Kiana sekecil itu hingga ia dapat tenggelam dan bersembunyi di balik punggung sang adam yang memang lebar. Melihat Kiana, entah mengapa hati Ghea merasa sedikit lapang. Ya, itu berarti ia tak berdua saja dengan Ardian saat ini.
"Kak Ghea nggak papa, kan? Sekalian makan bareng kita aja kak, abis itu minum obat. Mau ya?"
"Eh? I-itu—"
Kiana tiba-tiba mengeluarkan seluruh tubuh dari persembunyian dan meraih satu tangan Ghea lembut. "Ya? Ayolah Kak. Kita nggak pernah makan bertiga, lho, sejak tinggal di sini.
"Kakak juga tadi paling banyak bawa barang belanjaan, pasti sekarang capek dan lapar banget. Ayo, Kak!" bujuk Kiana sambil menggoyang-goyangkan tangan Ghea manja.
"Ini mau kamu, atau mau si kecil?" tanya Ghea yang juga memamerkan senyum tak kalah manisnya.
"Ini mau aku."
Ghea menatap Kiana lamat-lamat seolah mencari kebohongan dari tuturan singkat itu. Sayangnya, Kiana tetaplah Kiana. Perempuan berambut panjang sepinggang tersebut tak pandai menyembunyikan isi hati, sehingga Ghea sebenarnya mudah untuk menemukan berbagai celah pada Kiana.
Ketika Ghea tak menemukan asumsi negatif yang terbentuk di kepalanya, ia masih sedikit tak percaya. Mungkinkah Kiana menerima keberadaan Ghea sekarang? Bagi perempuan itu, bahkan bertahun-tahun dirasa terlalu cepat untuk menerimanya dalam keluarga ini.
Akan tetapi, jika Ghea menolak ajakan itu, bukankah ia menjadi lebih tak enak lagi?
Setelah cukup lama berpikir, Ghea pun mengangguk setuju dengan ajakan Kiana.
Mereka bertiga kini telah berada di meja makan dengan Ardian berada di ujung, sedangkan Kiana dan Ghea saling berhadapan satu sama lain. Kecanggungan yang ada benar-benar terlihat jelas membuat siapa saja yang melihatnya mungkin akan merasa tidak nyaman. Sampai suapan demi suapan pun masuk ke dalam mulut.
Semula hanya suara alat makan yang beradu. Namun, suara dari kursi Ardian yang terdorong ke belakang, akan bangkit membuat Kiana menyergah cepat, "Mau ke mana, Mas?"
"Mau ambil gelas."
"Ya ampun, aku lupa nyiapin ternyata. Biar aku aja yang ambilin, Mas— eh, maksudnya Kak," kata Ghea terbata-bata.
Bergegas Ghea berdiri untuk mengambil gelas sambil dalam hati merutuki diri sendiri karena salah memanggil. Seharusnya ia tak memanggil Ardian dengan sebutan 'Mas' di depan Kiana. Ah, Ghea merasa tak enak hati sekarang.
Sang puan meletakkan gelas di depan Ardian sekalian menuangkan air mineral.
Ketika Ghea kembali pada posisinya semula, Kiana tiba-tiba saja kembali meraih satu tangan Ghea yang menjulur di atas meja membuat puan itu tersentak selama beberapa detik.
"Kak, Kakak nggak papa lho kalo mau manggil Mas Ardian dengan sebutan yang sama. Kan Mas Ardian juga suami Kakak," anjur Kiana membuat wanita tersebut salah tingkah.
Lantas Ghea tersenyum hambar. "Ahhh, itu tadi refleks aja, kok. Kan aku biasanya ngedenger kamu manggil kayak gitu, mungkin terngiang-ngiang kali ya sampe-sampe keluar dari mulut aku."
"Aku malah seneng kalo kamu manggil aku kayak gitu juga, Ghea," sela Ardian mendadak membuat sang empunya nama terdiam untuk beberapa saat.
Ardian kemudian meletakkan alat makan yang berada dalam genggaman dan meraih satu tangan Ghea lainnya. Untuk sesaat, Ghea merasa jantungnya berdetak kuat. Bukan, ini bukan karena ia memiliki rasa pada lelaki itu. Akan tetapi, sang hawa merasa bahwa ia tak pantas diperlakukan seistimewa ini.
Ya, puan itu hanyalah orang luar yang tiba-tiba masuk ke dalam keluarga mereka. Harusnya Ardian atau Kiana bersikap tak ramah pada Ghea. Bahkan ketika pada akhirnya perempuan itu akan mendapatkan sesuatu yang menyayat hati, ia akan menerima dengan ikhlas.
Toh, Ghea sudah terbiasa mendapatkan perlakuan yang kasar dari orang-orang terdekat sekalipun. Seharusnya satu dua umpatan dari Kiana tidak menjadi masalah baginya. Akan tetapi, hal yang terlihat di depan mata justru sebaliknya.
Ghea bingung harus bagaimana menghadapi semuanya. Rasanya ia semakin merasa bersalah dengan semua hal yang terjadi. Menyesal? Mungkin saja.
"Nggak papa, Kak Ghea."
Perkataan Kiana itu membuat Ghea seketika menoleh pada Ardian yang sudah menggangguk penuh keyakinan.
"Ma-Mas ... Mas Ardian." Ghea kembali mengucapkannya dengan terputus-putus.
Sontak saja ketiganya berbagi senyum satu sama lain, menambah kehangatan di ruangan tersebut. Sedetik kemudian mereka melanjutkan makan malam seraya berbagi cerita. Ah, tentu saja Kiana yang memulai duluan mengingat dirinya talkative.
"Mas tau, nggak? Masa tadi Kak Ghea nyomot anggur di supermarket, langsung dimakan di tempat," adu Kiana yang sontak membulatkan kedua bola mata Ghea.
"Ihhh nggak, Mas. Itu bukan aku, tapi Kiana yang asal nyomot." Ghea melambaikan kedua tangan di depan dada, menolak keras tuduhan Kiana yang sekarang tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi keterkejutan wanita yang duduk di hadapannya itu.
"Tapi Kakak juga makan. Ya, kan? Waktu aku kasih anggur warna ijo, Kakak juga langsung nge-hap, tuh. Kakak bilang rasanya lumayan," ucap Kiana sambil menirukan gerak kepala Ghea ke atas dan bawah secara teratur.
"Itu, kan, karena kamu yang maksa!"
"Tetap aja Kakak juga makan anggurnya. Aku duluan yang ambil, trus Kakak lanjutin nyomot juga."
Ghea langsung melayangkan telunjuk pada Kiana. "Tuh, Kiana ngaku duluan, Mas!"
"Kak Ghea yang ngaku duluan malah ...."
Gemas dengan interaksi kedua wanita itu, Ardian seketika bertanya, "Tapi kalian berdua langsung beli anggur yang kalian comot itu, kan?"
Ghea dan Kiana secara kompak menjawab, "Nggak, Mas."
"Astagaaa, untung kalian nggak diusir satpam!"
Ardian menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil membuat Kiana dan Ghea tersenyum malu. Kiana bahkan menggaruk tengkuk sembari membuang tatapan menuju piring.
Malam itu terasa menyenangkan dengan berbagai topik pembicaraan yang entah dari mana Kiana mendapatkannya. Hal ini juga secara tak langsung membuat Ardian mulai dekat dengan Ghea, tak canggung seperti sebelumnya meskipun mereka teman kecil sekalipun.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top