48. Bagian Satu - Empat
Note:
Bagian yang di italic adalah catatan Ghea yang dibaca oleh Kiana, sedangkan part selanjutnya adalah suasana kejadian yang Kiana lihat beberapa tahun lalu atas bantuan kekuatan Hazel.
Semoga tidak membingungkan ya hehehe
.
.
.
.
.
.
__________
'Hai, Kiana. Ini aku, Ghea Aurellia. Mungkin sekarang kamu masih bingung, aku bisa paham itu. Aku mau nyeritain dari awal sambil Hazel sekarang mengembalikan ingatan kamu pelan-pelan tentang aku. Mungkin ini akan lebih baik jika aku menulisnya dalam beberapa bagian.
Pertama
Aku pernah memberitahu kamu kalau aku punya satu adik perempuan, mungkin kamu sudah lupa tentang ini. Sampai akhirnya umurku sepuluh tahun, aku dan adikku akan menyebrang jalan untuk membeli es krim.
Sayangnya, aku tidak bisa menjaga dia dengan baik. Alhasil, sebuah mobil dengan roda yang banyak dan besar menabrak tubuh adikku yang masih berusia tujuh tahun. Sejak saat itu, duniaku menjadi beda. Orang tua, keluarga besar, dan orang-orang terdekat menyalahkanku atas hal tragis tersebut serta memberiku label sebagai 'Pembunuh'.
Setiap malam aku hanya bisa menangis karenanya.
Kamu tahu, Kiana? Kamu sebenarnya nggak terlalu suka es krim, tapi kamu sering membahas atau bahkan memakannya dengan lahap setelah bangun di badan aku. Sekarang kamu tahu alasannya.
Kedua
Mas Ardian telah hadir di hidupku sedari belia —dulu aku memanggilnya dengan sebutan 'Kak'. Karena sosoknya yang begitu penyayang, sabar, rendah hati, tidak pernah memberiku julukan yang menyeramkan, dan selalu melindungiku. Aku menganggapnya sebagai kakak laki-laki yang paling keren. Tak lama kemudian, Kak Valdy pun muncul membuat hari-hari kami menjadi penuh warna. Sayangnya, kehadiran Kak Valdy tak bertahan lama.
Ketika aku akhirnya menjadi mahasiswa, Mas Ardian memperkenalkan aku pada teman-temannya seperti Kak Angga, Kak Reza, Kak Dion, Kak Sissy, dan Kak Lisa. Terbiasa menghabiskan waktu bersama, aku memiliki perasaan pada salah satu laki-laki di antara mereka.
Ya, Mas Ardian bukanlah laki-laki ini ....'
________
Kiana yang mengenakan gaun selutut beraksen bunga-bunga di bagian bawah tiba-tiba mengerjap berulang kali ketika menemukan dirinya telah berada di tepi jalan yang ramai. Suasana sekitar nampak begitu berbeda dengan yang ia rasakan selama ini. Orang-orang yang lalu lalang terlihat mengenakan pakaian dengan gaya retro, begitu pula pada kendaraan yang berseliweran. Jangan lupakan bangunan di tahun 90-an. Entahlah, Kiana juga tak paham mengapa ia berakhir di sini.
Seingatnya, beberapa menit yang lalu ia menggenggam tangan Hazel. Lantas ketika ia membuka mata, semua pemandangan ini telah terjadi di depan mata. Ini benar-benar aneh.
Jadi ini yang dimaksud Hazel?
"Awasss!" teriak seorang anak kecil yang memakai gaun hijau tua di seberang jalan, tepat di depan mata Kiana.
Tidak, anak itu tidak berteriak padanya, tetapi pada seorang anak kecil lainnya yang tengah berlari menuju ke arah Kiana.
Tunggu sebentar!
"Adek, awas!" pekik anak kecil itu sekali lagi membuat orang-orang di sekitar ikut terpaku dan tak ada yang berani meraih tubuh gadis yang berlari tersebut.
Bugh....
Tubuh mungil perempuan bergaun putih terbang bak merpati, terhempas jauh begitu ringan. Saat akhirnya ia terkulai lemah di atas tanah beraspal itu, gaun yang semula berwarna putih pun berubah menjadi merah.
Kejadian ini membuat warga berlari menuju anak yang terluka dan kakaknya yang sudah menangis sesenggukan seraya meraih kepala sang adik. Tidak, Kiana tak pernah membayangkan jika adegan demi adegan tersebut terjadi tepat di depan mata layaknya fragmen yang bergerak lambat pada sebuah film.
Puan itu mematung di tengah-tengah banyaknya orang yang berlarian. Ia mengerjap beberapa kali dengan bulir-bulir keringat dan napas yang seolah tercekat, tak percaya dengan kejadian mengerikan tersebut.
Bergegas, Kiana memutar tubuh untuk menjauh. Namun, ketika ia memalingkan badan, ia telah melihat sebuah kedai es krim. Sekali lagi, Kiana memerhatikan dua anak tersebut dan seketika ia ingat....
Itu Mbak Ghea dan adiknya!
Kiana membelalak sempurna. Lantas ia buru-buru meninggalkan lokasi dengan berlari kecil memecah keramaian di tepi jalan. Ia berlari tanpa henti entah ke mana kakinya melangkah.
Saat napasnya mulai terengah-engah, ia menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Bahunya bergerak naik-turun cepat. Namun, ini tidak akan menghentikan langkahnya untuk segera berlabuh di salah satu rumah makan yang berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang.
Pintu kaca rumah makan bertuliskan 'Resto Segitiga' itu pun terbuka lebar dan salah seorang pegawai dengan ramah mempersilakan Kiana untuk masuk.
Kiana hanya mengangguk pada pegawai wanita tersebut dan tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. Tidak, ia sudah tak peduli lagi dengan semuanya. Yang ia butuhkan saat ini hanya segelas air putih dingin untuk melegakan tenggorokan. Puan itu berpikir bahwa mungkin segelas air dapat pula menurunkan sedikit keterkejutan akibat peristiwa tadi.
Sang hawa memilih duduk di salah satu tempat yang tepat berada di samping jendela kaca, memperlihatkan secara langsung suasana di luar rumah makan tersebut.
"Air putih aja, Mbak, satu," acap Kiana ketika kaki sang pegawai tiba di mejanya.
"Baik, Mbak."
Kiana memejam sebentar untuk menetralkan perasaan yang sudah teracak itu sembari menormalkan napas sesaat setelah pegawai meninggalkannya.
Rasanya ini tak masuk akal, tetapi ia benar-benar mundur ke belasan tahun ke belakang, tepat seperti perkataan Hazel. Pada awalnya, ia berpikir bahwa dirinya hanya akan diperlihatkan seperti proyeksi Hazel saat makan malam dengannya beberapa waktu lalu. Sayangnya, itu tidak benar sebab Kiana benar-benar berada di lokasi kejadian.
Semakin lama Kiana memejam, semakin terasa pula suasana dingin yang tiba-tiba menyerangnya.
"Bilang sama aku kalo Kakak memang nggak sayang aku!"
Suara perempuan di belakang sana tampak begitu familier di telinga Kiana. Sontak saja, Kiana membuka mata dan memfokuskan organ pendengaran untuk memperhatikan percakapan perempuan itu dengan lawan bicaranya. Jika boleh ditebak, perempuan tersebut duduk tepat di belakang Kiana, sehingga ia dapat mendengar apapun dengan jelas.
"Iya, aku nggak sayang sama kamu—"
"Tapi kenapa, Kak? Kakak bilang sama aku waktu itu kalo Kakak sayang sama aku. Secepat itu perasaan Kakak berubah?"
Tidak ada suara untuk sejenak.
"Maaf Ghea, karena perasaan aku cuma untuk orang lain ... aku nggak punya perasaan apa-apa sama kamu sekarang," ucap sang pria dengan lembut.
Eh? Mbak Ghea? Jadi ini bagian kedua dari tulisan Mbak Ghea yang gue baca tadi? Ternyata Hazel melompat waktu jauh banget sampe Mbak Ghea udah sebesar ini.
Tanpa berpikir panjang lagi Kiana mengangkat kepala dan memutarnya hingga netranya bertemu dengan obsidian gelap milik laki-laki tersebut. Kedua tatapan mereka bertemu, tetapi sang adam tidak memedulikan Kiana dan memperlihatkan mimik muka tanpa ekspresi.
Betapa kagetnya Kiana bahwa pria itu memang bukanlah Ardian....
"Kak Reza!" panggil Ghea ketika melihat laki-laki sang empunya nama tersebut telah bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan Ghea seorang diri.
Ghea menenggelamkan kepala pada kedua telapak tangan, menutup cukup erat. Kedua bahunya terlihat naik turun. Namun, tentu saja orang-orang yang melihat dapat dengan mudah mengatakan bahwa perempuan itu tengah menangis dalam diam.
Kiana tak butuh penjelasan apapun terkait ini, sebab ia sudah pada kesimpulan bahwa laki-laki yang Ghea cintai adalah Reza, sahabat sekaligus rekan kerja Ardian.
.
.
.
.
.
.
__________
'Ketiga
Aku mengetahui jika Mas Ardian telah memilih seseorang untuk menjadi istrinya. Tentu saja aku berbahagia untuk mereka, meskipun aku sendiri tak tahu kapan dan di mana mereka menikah. Sepertinya pernikahan itu juga tak mengundang ayah dan ibu, tetapi informasi pernikahannya bocor dari Tante Intan ke ibu. Aku disuruh untuk diam-diam saja. Jadi, ya sudah.
Ah, itu tidak penting. Yang terpenting adalah kebahagiaan Mas Ardian dan istrinya.
Aku juga selalu berharap bisa menemukan laki-laki yang dapat membuatku merasa menjadi ratu. Sayangnya, bayang-bayang laki-laki itu masih terus berada dalam pikiran. Entah bagaimana aku melepasnya.
Keempat
Setelah Mas Ardian menikah, dia pun tinggal di rumah lain yang terpisah dari keluarga Bratadikara dan aku bersama keluarga juga meninggalkan perumahan tersebut. Iya, kami tidak hidup bertetangga lagi, tetapi aku terkadang mampir jika ada waktu untuk mengobrol dengan keluarga Bratadikara.
Selang satu minggu dari informasi itu, secara mendadak aku diajak oleh ayah dan ibu mengunjungi kediaman Bratadikara, rumah yang selalu aku sambangi sedari kecil sehingga aku tahu seluk beluk rumah tersebut. Untuk pertama kalinya aku melihat sosok wanita yang memenangkan hati Mas Ardian.
Itu dirimu, Kiana Ivanka Hadi.
Dan akhirnya aku juga tahu jawaban dari segala pertanyaanku sebelumnya.'
__________
Sang puan membuka mata dan mendapati dirinya tengah berdiri di ambang pintu ketika Ghea tiba-tiba saja melewati tubuhnya yang berupa bayangan -tidak seperti sebelumnya yang terlihat oleh orang-orang.
Ghea nampak anggun dengan gaun merah marun polos selutut, sepatu hak gelap, dan tas yang sedang ia genggam erat. Tak lupa pula Ghea menenteng sebuah buket bunga di tangan lainnya.
"Permisi, Oma ...."
"Hai, Sayang," acap perempuan bernama Dewi dengan ramah pada Ghea yang menyembulkan kepala dari balik pintu ruangan. "Sini, sini, Nak. Ayo masuk!"
Mendengar ajakan itu, bayangan Kiana bergegas mengikuti Ghea menuju sebuah sofa panjang di dalam ruangan yang dapat disebut sebagai ruang kerja. Ghea lantas memeluk dan mencium kedua pipi Dewi bergantian lalu menyerahkan buket bunga.
"Duh, cantiknya Ghea ...."
"Oma bisa aja muji Ghea sampe segitunya," ucap puan tersenyum malu.
"Emang kenyataannya gitu, kok," ujar Dewi yang langsung menengadahkan tangan untuk menunjuk seseorang membuat Ghea memutar tubuh, "Ardian sama istrinya ...."
Mata Ghea nampak membulat lalu menarik kedua sudut bibir ke atas penuh antusias ketika melihat Kiana dan Ardian yang kini telah berdiri.
"Apa kabar, Kak?" tanya Ghea sembari mengulurkan tangan.
Dengan senyum tipis, Ardian meraih uluran tangan tersebut dan membalas, "Aku baik. Oh iya, ini istri aku. Namanya Kiana."
"Haiii, aku Ghea," sapanya tanpa mengurangi sedikit pun keramahan.
"Kamu ke sini sama siapa, Ghea?" tanya Dewi yang membuat atensi puan yang semula berada di Kiana pun berpindah dengan cepat ke Dewi yang sudah membelai lengan Ghea wanita tersebut.
"Aku ke sini sama ayah, sama ibu juga. Katanya Oma mau ketemu aku, makanya aku buru-buru ke sini."
"Oma ganggu waktu kamu ya—"
"Ehhh nggak, Oma. Aku nggak sesibuk itu juga."
Perempuan dengan rambut memutih yang dicepol itu pun tersenyum kecil. "Kalau begitu, kita duduk dulu, yuk! Ada yang pengen Oma bicarain dengan kalian bertiga."
Lantas Ghea menurunkan tas dengan perlahan, begitu pula pada Dewi yang menyimpan buket bunga di sampingnya. Kini Ghea duduk di sofa tepat di sebelah kiri Dewi, sedangkan Ardian dan Kiana duduk di depan mereka. Kedua sofa panjang itu dipisahkan oleh meja kaca hitam bening dengan asbak rokok berbentuk lingkaran di atasnya.
Sedetik kemudian, Dewi mengambil sebuah amplop cokelat dari sisi bawah meja tersebut diikuti pula oleh pandangan Ardian, Ghea, dan Kiana. Dilempar ringan amplop tersebut ke atas meja menuju Ardian membuat Kiana menunduk dalam dan Ghea mengerutkan kening.
"Buka amplop itu, Ardian!" titahnya pada putra penerus kerajaan bisnis Bratadikara tersebut.
Tanpa perlu menunggu lama, Ardian membuka amplop dengan hati-hati. Dari jarak dekat sekalipun, Ghea bahkan tak dapat menebak isinya, selain hanya lembaran putih kertas dan beberapa potongan gambar seorang pria yang puan itu tak kenali.
Ardian mengernyit untuk beberapa saat sambil membaca dokumen dan melihat gambar membuat Ghea didera rasa penasaran setengah mati. Akan tetapi, ia tetap menahan diri untuk tidak mengusik Ardian saat itu.
"Ini pasti nggak bener, Oma," tutur Ardian.
"Itu semua adalah informasi yang benar dari orang-orang kepercayaan Oma di sana."
"Tapi ... ini nggak mungkin." Raut wajah Ardian menyiratkan perasaan terguncang hebat hingga Ghea dapat memastikannya penuh keyakinan.
"Begini, Ardian," Dewi memperbaiki posisi duduk yang semula sedikit membungkuk menjadi tegap, "semua informasi dan foto-foto itu, tidak ada yang keliru. Keluarga Kiana atau Si Pak Hadi Surya ini memang melakukan tindakan yang merugikan perusahaan kita di sana. Semuanya tertera jelas di situ!"
Kiana lantas mengangkat kepala. "Maksud Oma apa ya?"
Dewi menghela napas lalu tersenyum kecil pada Kiana. "Ayah kamu itu ternyata penipu, membawa lari uang perusahaan kami yang jumlahnya belasan —atau mungkin puluhan milyar. Nama ayah kamu benar Hadi Surya, 'kan?" Dewi mengambil foto-foto yang berada di tangan Ardian lalu memberikannya ke Kiana, "dan ini adalah ayah kamu?"
Sang puan mengamati foto tersebut dengan tangan yang bergetar. Selama bertahun-tahun tak bertemu, ternyata ayahnya di sana malah menipu orang lain. Tentu saja ini membuat Kiana malu dan murka secara bersamaan. Terlebih yang membongkarnya adalah keluarga suaminya sendiri.
"Kamu tau, Kiana? Alasan pernikahan kamu dengan Ardian dilakukan diam-diam dan tidak dipublikasikan adalah karena kamu berasal dari sebuah rumah singgah dengan latar belakang keluarga yang tidak jelas. Oma pengen nyari tau tentang keluarga kamu itu. Makanya, setelah Oma tau kalian mungkin akan menikah, Oma mengatakan pada seluruh keluarga untuk menahan publikasi atau sebisa mungkin pernikahan kalian dilakukan secara private.
Sementara kalian sibuk dengan pekerjaan satu sama lain, Oma juga sama. Saat akhirnya Oma tau fakta keluarga Hadi, Oma sampai pada satu kesimpulan bahwa Oma nggak mau punya hubungan dengan keluarga laki-laki penipu itu—"
Ardian menyela, "Nggak, aku nggak paham maksud Oma."
"Tentu kamu paham, cucuku. Kamu nggak usah pura-pura bodoh!" acap Dewi tenang, masih mempertahankan sungginggan senyum yang khas dengan mata bulan sabitnya.
"Trus, kalo Ardian nggak peduli, gimana? Lagian Oma udah telat ngasih tau ini semua ke kita."
"Ya nggak papa telat, daripada Oma dan kamu menyesal di kemudian hari? Tapi, Oma sangat optimis kamu bakalan terima permintaa Oma ini kalo—"
Perempuan kulit putih dengan kerutan-kerutan yang terlihat jelas di wajah itu memutar tubuh dan mengambil sebuah benda yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya selama perbincangan berlangsung.
TAK....
Dewi melemparkan sebuah pistol ke atas meja. "—dengan menggunakan senjata itu. Gampang, kan, Ardian? Kita selesaikan semuanya dengan cara yang tenang tanpa perlu berlarut-larut"
Netra Ardian membelalak. "Tapi, Oma—"
Dewi menaikkan jari telunjuk tepat di wajah laki-laki tersebut seraya bertanya, "Kamu lepasin Kiana ... atau Oma misahin kalian dengan cara Oma sendiri? Silakan pilih."
Ghea yang menyaksikan keseluruhan percakapan itu hanya termangu dengan mata membulat juga, terpaku pada senjata yang berada di atas meja. Degup perempuan itu kini berlomba dan punggungnya mulai terasa basah oleh biji-biji keringat. Ia tak tahu jika Dewi berani melakukan hal seperti ini, benar-benar tak terduga.
Sementara itu, Kiana hanya menunduk jauh lebih dalam dan mulai menangis dalam diam. Perempuan itu meletakkan kedua tangan di atas lutut dan menggenggam erat gaun yang ia kenakan.
"Itu mau Oma?" tanya Ardian yang terlihat sama kalutnya dengan Kiana.
"Tentu masih ada lagi. Selama dua minggu mulai dari hari ini, Oma akan persiapkan segala hal untuk acara pernikahan kamu dan Ghea."
HAH?!
"O-oma ... Oma, Oma nggak mungkin, kan? Maksud aku, Kak Ardian udah punya istri. Masa nikah lagi sama Ghea?" sergah Ghea dengan cepat. Nampak kedua alisnya bertautan mendengar pernyataan mendadak tersebut.
"Tapi, kamu denger sendiri kalo mereka akan berpisah, kan?"
"Itu kemauan Oma." Ghea masih berusaha bersikap tenang, meskipun ia ingin sekali menghentikan semua omong kosong ini. "Bukan kemauan Ghea, atau pun Kak Ardian."
Dewi lantas meraih tangan Ghea dan mengusapnya dengan lembut. "Setelah kamu pulang dari sini, kamu pasti menerima permintaan Oma itu. Begitu pula Ardian. Satu dua hari untuk berpikir Oma rasa cukup. Tapi, apapun keputusan kalian tidak akan mengubah rencana Oma sedari awal. Dan Oma rasa, ini adalah pilihan paling tepat."
Percakapan itu berhasil membuat gemuruh dalam pikiran dan hati sang puan.
"Kamu adalah perempuan yang paling pantas untuk keluarga Bratadikara, Ghea."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top