47. Realita Menyakitkan
.
.
.
Bagi orang-orang tanpa kemampuan khusus yang melihatnya, Tata saat ini sedang tertidur di sofa sembari memeluk bantal. Namun sebenarnya anak kecil itu sedang memeluk Kiana erat, bahkan tidak mengizinkan sang hawa beranjak walau sejenak. Kiana dapat menemukan raut ketakutan. Akan tetapi, ketika ditanya Tata tidak memberikan respons apapun.
Mendengar suara pintu dibuka, Ardian masuk ke dalam rumah bersama El dengan santai. Di saat itu pula Kiana dengan pelan melepas genggaman si kecil yang melingkari lehernya.
El naik ke lantai atas untuk mengganti pakaian, sedangkan Ardian berjalan lurus menuju kamar lantai dasar yang telah digunakan oleh sepasang suami istri tersebut selama lebih dari sebulan.
Kaki Kiana mengikuti Ardian dari belakang, hingga akhirnya mereka tiba di dalam kamar. Laki-laki itu bergerak menyimpan tas di kursi lalu melepas jas dan jam tangan. Ia terlihat sibuk menggantung jas tersebut di sudut ruangan tanpa memandang Ghea sama sekali. Kiana hanya mengamati semua pergerakan itu dari pintu yang kini terbuka lebar.
"Tadi Ibu Prita nelpon Papa, katanya Mama nggak angkat telpon dia padahal ada yang pengen didiskusiin. Akhirnya Ibu Prita ngasih pesan kalo minggu depan pertemuan dimulai di rumah Ibu Tris. Kalo misalnya Mama setuju, Mama langsung hubungi Ibu Prita aja."
Hening.
Tak mendengar respons apapun, Ardian pun menoleh pada wanita yang sedang berbaring di tempat tidur.
"Ma? Mama?"
Sekali lagi, ia tak mendapatkan tanggapan. Ardian kemudian memiringkan sedikit kepala untuk melihat wajah Ghea yang terlihat tertidur pulas.
Pria berambut hitam tersebut bergegas duduk di tepi tempat tidur lalu menaikkan selimut untuk menutup tubuh sang istri. Akan tetapi, geraknya terhenti ketika tangannya tanpa sengaja menyentuh ujung kaki Ghea. Entah apa yang Ardian rasakan hingga ia memastikan berulang kali dengan memijat sejenak kedua kaki istrinya.
Ardian langsung membuang selimut tersebut dan semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Ghea. Sedetik kemudian ia meraba kedua tangan sang hawa, sampai pada akhirnya secara perlahan jari telunjuk diletakkan horizontal di depan hidung puan.
Tak ada.
Sang adam dengan cepat mendekatkan kepala di dada sang istri, berharap dapat mendengar denyut walau dengkik. Namun sekali lagi, Ardian hanya mampu menelan perihnya kebenaran setelah ia yakin bahwa istri yang selama ini selalu menemaninya, telah damai dalam pelukan Sang Pemilik Kehidupan. Ghea pergi tanpa seorang pun di sisinya.
Terjeda, waktu di sekeliling Ardian terasa berhenti saat itu juga. Dunianya seakan runtuh, tak tahu ke mana harus melangkah atau menggenggam sesuatu agar tubuhnya tak limbung.
Mata laki-laki tersebut seketika memerah dan basah, airnya luruh menjejak di pipi tirus. Dadanya naik-turun tak beraturan, bahkan bernapas pun terasa begitu berat dan terputus-putus, sampai-sampai tangan sang adam serta merta bergetar hebat.
Ketakutannya selama ini menjadi kenyataan!
Diraihnya kepala Ghea lantas dipeluk erat dan dikecup berulang kali. Ardian tak mampu lagi menahan perihnya hati ketika sang kekasih harus dilepas pergi. Dipaksa untuk merelakan, meskipun menyakitkan. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat apapun selain hanya menumpahkan seluruh air mata sembari memanggil-manggil nama sang istri berulang kali.
Dadanya benar-benar sesak seolah beban berat kini menimpanya dan bersemayam di sana untuk beberapa saat. Ia menggigit bibir bawah sekeras mungkin, tak ingin berteriak walau rasanya ia ingin melakukan hal tersebut. Berharap jika mungkin teriakannya membuat sang istri mendengar lantas kembali. Tapi tidak, apapun yang Ardian lakukan, Ghea tak akan pernah kembali padanya.
Lagi-lagi hanya ada penyesalan.
Bak kaset usang yang diputar ulang, memori-memori bersama sang istri terbayang dalam benak. Semakin Ardian mengingatnya, semakin deras pula air mata yang jatuh.
"Maafin Papa karena nggak nemenin Mama ... bahkan di saat terakhir." Untaian kalimat itu mengalun dari bibir Ardian yang bergetar.
"Terima kasih juga untuk semua kenangan yang Mama kasih, entah itu suka maupun duka seperti janji kita di hadapan Tuhan. Setelah ini Papa akan pastiin, Papa dan anak-anak tetap kuat. Tidak ada satu pun dari kita yang akan rebah ... Papa janji!"
Ardian tersenyum di sela-sela tangisan lalu memandang dan membelai wajah istrinya yang telah memucat. "Mama udah nggak sakit lagi, Mama nggak perlu khawatir karena kita akan baik-baik aja. Tidur yang nyenyak ya, Sayang. I love you."
Sang adam masih setia memeluk Ghea, sementara Kiana telah mematung sempurna di ambang pintu. Bahkan setelah El dan Tata melewati tubuh berupa bayangan itu, Kiana tetap bergeming.
Satu per satu pegawai yang berada di rumah segera masuk ke kamar untuk menguatkan Ardian, Tata, dan El. Suara tangisan pilu mereka terdengar memenuhi ruangan dan organ pendengaran setiap manusia. Dan Kiana, hatinya pun ikut teriris.
"Nggak nggak nggak nggak," Kiana menggelengkan kepala dengan cepat, "gue yakin Mbak Ghea masih ada di taman. Pasti!"
Segera perempuan itu berlari menuju taman belakang. Ia memegang tuas dan mencoba memutarnya. Sayang, itu tetap tak terbuka.
"Mbak, Mbak Ghea masih ada di sana, kan? Mbak!" panggil Kiana sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan buku jari. Sesekali, ia melirik lewat jendela. Akan tetapi, taman itu kini kosong tak berpenghuni seperti hari-hari biasanya.
Kiana masih kukuh untuk membuka pintu. Lantas sang puan berlari menuju dapur untuk mengambil kunci cadangan yang terpajang di dinding dekat kulkas. Setelah Kiana menemukannya, ia kembali dan mencoba membuka pintu.
Berhasil!
Sayangnya, tempat ini tak seperti yang ia harapkan. Binar-binar harapan untuk bertemu Ghea akhirnya lenyap, tergantikan oleh setetes air mata yang jatuh bebas tanpa bisa dicegah. Pintu di belakang Kiana mendadak tertutup keras membuat sang puan hanya mematung di depan seorang laki-laki yang sangat ia kenal. Dan tempat ini ... tak asing.
Ya, Kiana akhirnya menyadari bahwa pintu yang ia buka sebelumnya adalah akses menuju balkon kamarnya di Rumah Sakit Pelita.
Laki-laki di depan Kiana berdiri dengan kedua tangan dimasukkan dalam kantung. Ekspresinya datar, persis Kiana saat ini.
"Semuanya bohongan, kan, Zel? Yang tadi gue liat itu cuma proyeksi lo aja, kan? Mbak Ghea ... Mbak Ghea tadi cuma tidur bentar, Zel. Itu ... Mbak Ghea—"
Hazel, pria bersetelan lengkap tersebut menggeleng lemah. Sedetik kemudian laki-laki itu berjalan dan memeluk tubuh Kiana, sementara sang puan terisak kuat ketika menyadari bahwa semuanya memang benar terjadi.
Ghea benar-benar telah pergi!
"I'm sorry."
Tangan laki-laki itu membelai punggung sang hawa hingga afeksi yang diberikan membuat Kiana kembali mematung dan berteriak keras, tak kuasa menahan air matanya.
"Mbak Ghea bilang dia mau kembali ... dia mau pulang—"
"Inilah pulang, Kiana. Inilah definisi kembali bagi Ghea." Hazel berbisik tepat di telinga Kiana.
"Nggak gitu, Zel!" teriak Kiana sambil mendorong sedikit tubuh dan memukul-mukul dada sang adam. Napas Kiana benar-benar berlomba sekarang. "Dia bilang pengen kembali ke tubuhnya-"
"Dan itu yang udah dia lakuin! Ghea kembali ke tubuhnya hanya untuk beberapa jam, setelah itu dia bakalan pergi. Perjanjian Ghea memang sudah seperti itu."
"Dengan siapa? Dengan siapa Mbak Ghea buat perjanjian konyol kayak gitu?!" murka Kiana sekali lagi.
Hazel berjalan mundur dengan perlahan sambil kedua tangan dinaikkan ke atas dada, seolah menyuruh Kiana untuk tidak mendekatinya. Lantas ketika ia merasa bahwa jarak tubuh kedua sosok itu berada dalam radius aman, Hazel menurunkan kedua tangan dan memasukkannya ke dalam kantung celana kembali.
Dengan raut penuh ketenangan, Hazel berujar, "Dengan gue—"
"Apa?!"
"Gue bakalan ceritain semuanya kalo lo udah tenang."
"Nggak, gue mau lo bilang semuanya sama gue sekarang!"
Hazel menggeleng sekali lagi dan tersenyum samar-samar. Sedetik kemudian, laki-laki itu menghilang dari pandangan Kiana membuat perempuan itu terdiam sesaat.
Kiana akhirnya jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu, seraya memukul dadanya berulang kali karena tak berhasil membuat Hazel tetap di sisinya detik itu.
.
.
.
.
.
.
Kiana menyandar pada terali besi di balkon kamar dengan wajah datar dan mata sembap. Tubuhnya begitu letih didera perasaan sakit, sesak, marah, dan bingung. Lebih dari dua puluh menit ia merenung sendirian, pikirannya benar-benar kosong.
Jendela terbuka lebar, hingga kain-kain putih tipis bertebangan bak dedaunan yang diterpa angin. Demikianlah akhirnya tatapan lurus Kiana terpaku pada tubuh yang terbaring di dalam kamar dengan alat-alat medis penopang hidupnya, pun sesekali terdengar dengkusan pelan yang menandakan letihnya jiwa tersebut untuk menelaah segala hal.
Puan itu bahkan tidak repot untuk menoleh ketika tiba-tiba saja seseorang telah duduk di sampingnya, seorang pria yang meninggalkannya beberapa menit yang lalu tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Kenapa?" tanya Kiana.
Sang adam menjawab datar, "Maksudnya?"
"Kenapa kejadian ini cepet banget? Gue bahkan belum bisa mencerna semuanya dalam satu waktu."
"So, itu berarti gue belum bisa ngasih tau lo—"
Kiana terkekeh mencemooh sambil menggeleng lemah membuat Hazel menggantungkan perkataannya dan menoleh pada perempuan itu dengan tatapan sendu.
"Trus kalo bukan sekarang, kapan? Kapan lo mau ngasih tau gue? Lagian percuma juga lo nunda-nunda. Toh, sampe kapan pun gue nggak bakalan bisa tenang, Zel!" acap Kiana yang kini tatapannya telah bertemu dengan netra Hazel.
Mendapatkan sorot mata tajam, pria tersebut seketika membuang pandangan ke arah depan sambil mendengkus kuat-kuat. Ia lantas merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah ponsel.
"Satu hp lo dan satu lagi hp Ghea," ujar Hazel seraya mengangkat kedua tangan setinggi dada.
"Tunggu, bukannya hp Mbak Ghea ada di Mas Ardian? Dia bilang sama gue kalo hp punya Mbak Ghea sempat diperbaiki, tapi udah nggak bisa. Itu berarti hpnya ada di dia, 'kan?"
"Harusnya lo udah tau kalo gue bisa ngambil apa aja tanpa ketahuan-"
Kiana mengangguk cepat, namun ekspresinya sedikit ragu. "Ya ... iya, lo bener."
"Tapi hp Ghea ini," Hazel menaikkan satu tangan yang menggenggam ponsel dengan stiker Ar di belakangnya, "tidak pernah disentuh oleh pria itu—"
"Tapi, kenapa?"
"Ardian terlalu sibuk untuk sekadar ngambil di kantor polisi. Selain itu, banyak rahasia yang dia nggak pengen lo tau karena dia merasa bahwa rumah tangga kalian harus dimulai dari awal lagi setelah lo terbangun dari koma. Dengan kata lain, dia menutupi banyak hal seperti yang Ghea lakuin ke elo kemarin-kemarin."
"Wait," Kiana menaikkan satu tangan, "gue nggak paham."
"Lo bakalan paham setelah lo baca semua ketikan Ghea di sini. Sebelum pergi, dia udah ngetik panjang lebar buat lo. Tapi, gue mau ngasih tau tentang hal-hal yang mengganjal Ghea untuk balik ke tubuhnya, karena dia nggak nulisin itu di hp ini."
Sontak saja Kiana memutar tubuh menuju Hazel. Kedua kaki yang semula menjulur, kini dilipat bersila. Kiana benar-benar meletakkan atensi pada Hazel sekarang. Sementara pria itu masih tetap tak memandang Kiana yang kini diselimuti oleh tanda tanya yang besar.
"Pertama, Ghea pernah berjanji bakalan buat pesta ulang tahun untuk Agatha alias Tata di tahun ini dengan meriah. Itu juga udah termasuk dengan buatin Tata gaun," Hazel menganggut lambat sambil sesekali mengulum bibir ke dalam, "dan lo berhasil wujudin janji itu di tengah perasaan lo yang kacau balau, bahkan lo sampe pingsan waktu itu."
Sontak saja Kiana menjatuhkan tatapan menuju lantai dingin dan kedua bahunya turun bebas. Perempuan itu kembali mengubah posisinya seperti semula, menjulurkan kedua kaki dan menyandarkan tulang belakang pada pembatas balkon. Kepala dimiringkan sedikit dengan satu besi dari terali sebagai tumpuan. Pandangannya kembali memaku ke depan seperti Hazel.
"Yang kedua, Ghea janji ke Gabriel alias El kalo dia bakalan datang ke acara sekolah anak kecil itu. Yaaa karena memang selama ini yang hadir selalu Ardian—"
Kiana melirik sedikit. Tampak ia ingin berucap, tapi Hazel sudah buru-buru menambahkan, "Karena Ghea selalu sibuk. Dia nggak pernah datang bahkan jika itu adalah acara Hari Ibu sekalipun. Makanya El membuat janji supaya Ghea benar-benar bisa datang. Dan lo berhasil membuat itu jadi kenyataan."
"Kalo dipikir lagi —kecualikan gue yang ada di dalam tubuh Mbak Ghea waktu itu, Mbak Ghea berarti tidak pernah datang ke acara sekolah El seumur hidupnya?"
Sang adam mengangguk lagi dengan lambat. "Itu adalah pertama kali fisik Ghea dan jiwa Kiana menghadiri acara sekolah El."
Hazel lantas memajukan satu tangan dengan ponsel Ghea dalam genggaman itu ke arah Kiana membuat sang puan mengerutkan kening. Berkali-kali hawa itu bergantian memandang Hazel dan tangan laki-laki tersebut. Melihat kebingungan Kiana, Hazel menunjuk dagu pada ponsel sebagai isyarat bahwa Kiana harus mengambil ponsel tersebut. Mau tak mau, Kiana menerimanya.
"Yang terakhir, lo berhasil merayakan ulang tahun pernikahan berdua doang di konser waktu itu.
"Nyatanya, penglihatan gue memang terkadang tidak sepenuhnya akurat karena takdir biasanya berubah tanpa adanya pemberitahuan. Gue nggak selalu bisa menebak masa depan, tapi gue selalu punya cara supaya semuanya kembali lagi ke trek lurus seperti di awal, seperti pada apa yang gue rencanain.
"Dan ide untuk mempertemukan Valdy dan Ardian menjadi opsi terakhir gue setelah melihat kalo hidup Ghea nggak akan lama lagi. Omong-omong, makasih ya ... itu semua karena usaha lo, Kiana. Pada dasarnya kita memang secara tidak langsung saling membantu satu sama lain."
Mata Kiana kembali memanas. Bulir-bulir air mata jatuh untuk kesekian kali laksana hujan, tetes demi tetes berubah menjadi luapan yang begitu menyayat hati. Pedih, Hazel pun dapat merasakannya.
Akan tetapi, laki-laki itu hanya mampu menarik tubuh Kiana semakin dekat dan menyandarkan kepala puan pada bahunya yang kokoh.
"Alasan kenapa gue buat perjanjian sama Ghea ... karena sebenarnya perempuan itu udah nggak mungkin bertahan hidup sejak kecelakaan. Tapi, dengan penuh tekad dia bilang kalo dia pengen banget wujudin janji-janjinya untuk terakhir kali. Itu yang menggetarkan perasaan gue dan ngasih dia satu kesempatan lagi.
"Itu juga yang menjadi alasan kenapa lo bisa pake tubuh Ghea dan kuat ke mana-mana, yaaa itu sebenarnya lo pake energi gue—"
Sambil terus terisak, Kiana kemudian menekuk kedua kaki dan menenggelamkan wajahnya di paha. Kedua tangan wanita itu jatuh tak berdaya di sisi-sisi tubuh.
"Gue nggak bisa cerita banyak hal. Jadi, lebih baik kalo lo baca dulu apa yang Ghea tulis di note hp itu, baru lo bisa liat langsung kejadiannya kayak gimana."
Dengan ragu-ragu, Kiana mengangkat wajah dan bertanya, "Maksudnya?"
"Gue bakalan liatin ke lo semua kejadian di hidup Ghea di tahun-tahun yang lalu, sambil ngembaliin sedikit demi sedikit memori lo yang sempat dia ilangin. Dengan begitu, lo bisa tau suasananya seperti apa dan bagaimana perasaan Ghea yang sebenarnya."
Mendengar perkataan Hazel, Kiana menghapus air mata dengan kasar menggunakan lengannya dan mengangkat kepala sekali lagi. Wajahnya, terutama mata yang sembap sudah tak terelakkan lagi. Hazel berani bertaruh bahwa kepala Kiana mungkin telah berdenyut keras saat ini.
Kiana bergegas untuk menghidupkan ponsel tersebut. Lantas perempuan itu tertegun sebentar ketika mendapati foto keluarga kecilnya yang sedang berlibur di taman bermain menjadi lockscreen. Ya, gambar yang diambil saat jiwa Kiana berada di dalam tubuh Ghea. Ini juga menjadi satu-satunya foto terakhir yang Ghea peluk dalam tidur damainya.
Sebelum Kiana bertanya, Hazel sudah lebih dulu menjelaskan bahwa ia yang memberikan foto itu ke Ghea agar dia bisa mengganti gambar di layar kunci ponsel.
Jari Kiana lantas memilih untuk membuka aplikasi surel dan menggulirnya. Entah mengapa ia memilih itu untuk pertama kali.
Ketika netra gelap sang hawa menemukan tiga buah alamat email yang telah tersinkronkan dalam satu aplikasi, Kiana dengan cepat memincingkan mata untuk memfokuskan penglihatan pada alamat tersebut. Tanpa berpikir lama, ia menekan alamat yang namanya persis dengan akun Primrose kedua.
Perempuan tersebut bergegas membuka draft, lantas membelalakkan mata yang bengkak dengan susah payah ketika membaca isinya yang menuliskan nama lengkap seseorang. Sontak, Kiana pun menoleh kembali pada Hazel sambil memperlihatkan layar ponsel.
"Ini ... i-ini Mbak Ghea yang nulis?"
"Iya."
"Te-terus? Maksudnya?!" Bibir Kiana bergetar sembari mata bengkak itu bergerak tak karuan penuh kegugupan.
"Iya ... Ghea selalu mengirimkan perkembangan pada perempuan itu, Adiana Hana Vikki adalah anagram dari nama lo sendiri, Kiana Ivanka Hadi."
Sesak. Satu kata yang Kiana mampu rasakan saat ini. Bagai seluruh lapisan udara telah lenyap, rasanya amat asak hingga Kiana bahkan tak mampu bergerak sama sekali. Otaknya bak lumpuh untuk sepersekian detik membuat Hazel harus memanggilnya berulang-ulang.
"Lo harus baca note-nya Ghea juga. Itu lebih penting!" titah Hazel untuk kesekian kalinya yang membuat kesadaran Kiana seketika tertarik kembali.
Tanpa menunggu waktu lama, Kiana membuka catatan panjang itu dan membacanya penuh penghayatan. Tak ada selaan atau bahkan sedikit gerakan dari Hazel yang dapat memecah konsentrasi Kiana saat itu juga. Laki-laki tersebut lebih memilih terdiam seraya menatap lurus ke depan.
Hingga pada akhirnya, Kiana kembali mengeluarkan air mata dan memandang Hazel lekat. Tatapan tak percaya dengan sejuta rasa pedih akhirnya kembali terbayang-bayang dalam benak sang adam ketika Kiana berpaling padanya. Hancur. Hati perempuan itu kini telah terburai setelah mengetahui seluruh fakta yang Ghea tuliskan di sana.
"Zel—"
"Pegang tangan gue, dan gue akan ngeliatin ke lo tentang semua kejadian yang tertulis di sana. Oke?" sela Hazel cepat.
Kiana tanpa pikir panjang langsung meletakkan kedua tangannya pada tangan Hazel yang sudah menengadah.
Ketika kedua pasang tangan dan mata itu saling terpaut satu sama lain, Kiana berujar lirih, "Zel ... Ga-Gabriel—"
"Iya, Kiana."
Kiana merunduk sambil menggeleng cepat. Ia menyembunyikan wajahnya kuat-kuat. Rasanya sang puan benar-benar ingin berteriak sekarang ketika Hazel berujar pelan dan penuh keyakinan....
"Itu adalah anak yang hidup di rahim lo."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top