45. Terkait Merelakan
.
.
.
Dua minggu setelah kembali dari taman bunga, Ardian dan Ghea tampak sangat bahagia. Begitu pula anak-anak mereka. Akan tetapi, semakin hari kondisi Ghea juga semakin buruk. Semula hanya bagian kaki yang melemah, tapi sekarang kedua tungkai itu telah lumpuh total. Tangannya juga mulai memperlihatkan perbedaan hingga Ghea tak mampu lagi mengangkatnya tinggi-tinggi.
Ghea sadar sepenuhnya akan keadaannya ini, tapi ia sama sekali tak pernah mengeluh. Puan itu terus memperlihatkan senyum pada semua orang karena dirinya tahu bahwa sebentar lagi pemilik asli tubuh ini akan kembali. Begitu pula dirinya akan kembali ke tubuh Kiana.
Semuanya ... selesai!
Hari ini, Ardian memiliki jadwal untuk menonton konser jaz internasional di sebuah lapangan terbuka di pinggiran kota dengan panggung yang luar biasa megah.
Laki-laki itu memperoleh dua tiket dari Abi yang pontang-panting mencari. Padahal Ardian memiliki banyak koneksi di konser tersebut agar masuk dengan mudah. Namun, Abi sudah terlebih dulu menawarkan diri dengan semangat untuk mencarikan tiket ketika menjenguk Ghea di rumah beberapa hari yang lalu.
"Papa, ini rame banget," ujar Ghea dengan senyum sumringah ketika dirinya dan Ardian telah berhasil menukarkan tiket dengan dua wristband berwarna emas.
Sebab Ghea termasuk penonton yang butuh perhatian khusus, ia bersama sang suami dipisahkan dari para penonton lainnya dan melewati jalur yang jauh dari keramaian.
Ardian memilih tempat yang memang sangat jauh di belakang sana, hingga penyanyi dan pemain musik di atas panggung terlihat seperti miniatur karakter anime kesukaan El. Memang benar bahwa lapangan ini sangat luas, hingga beberapa penonton yang tak ingin bergabung dengan khalayak ramai dapat menjauh dan diberikan kain persegi panjang sebagai alas duduk.
Ya, panitia tidak menyiapkan tempat duduk. Jika ada penonton yang ingin melihat pertunjukan lebih jelas, maka mereka dapat maju dan berdiri bersama lainnya.
Konser sendiri dimulai pukul lima sore, tetapi Ardian dan Ghea tiba satu jam setelahnya. Alasannya tentu saja karena macet dan Tata yang sempat rewel tak ingin ditinggalkan. Setelah anak itu terlelap, barulah pasangan itu meninggalkan rumah dan menitipkan Si Bungsu pada Bi Sum seperti biasa.
Ardian mencari tempat yang lebih rindang dan tidak banyak orang di kanan-kiri mereka. Kalaupun memang ada, jarak mereka semua bahkan lebih dari enam meter. Lapangan berumput hijau itu juga tidak terlalu gelap karena terdapat lampu sorot di beberapa titik, meskipun mereka tak terlalu mendapatkan cahayanya.
"Ah, saya bantu ya, Pak, Bu," ucap seorang perempuan muda yang jalan bersama pasangannya. Mereka membantu Ghea untuk turun dari kursi roda dan mendudukkan di kain panjang tersebut. Sementara Ardian memegang kaki Ghea yang sudah menjulur.
"Terima kasih banyak ya, Dek," tutur Ardian dan Ghea bergantian.
"Sama-sama. Mari, Bu, Pak ...."
Setelah kedua pasangan muda itu menjauh, Ardian langsung duduk di samping Ghea.
"Papa ...."
"Iya, Sayang?"
"Kayaknya punggung Mama nggak kuat, deh, kalo duduknya kayak gini." Ghea berujar di sela-sela tawa ringan yang mengalun.
"Kalo begitu gini aja." Ardian bangkit lalu duduk di belakang Ghea. Tubuhnya maju hingga Ghea berada di antara kedua kaki yang ditekuk dan tangan kekar melingkari tubuh sang istri. "Jadinya Mama bisa nyandar di dada Papa."
Ghea lantas bergerak mengikuti perkataan sang suami lalu kembali terkekeh kecil. "Nggak malu, Pak, kelakuannya kayak anak muda lagi pacaran gini?"
"Emang cuma anak muda yang bisa meluk-meluk pasangannya seperti ini? Kakek-nenek juga bisa, dong. Mama terlalu mengotak-ngotakkan," ujar Ardian yang juga nampak tersenyum malu.
Hingga akhirnya langit yang semula berwarna kuning kemerah-merahan perlahan berganti menjadi biru gelap lalu hitam pekat, tak ada satu pun yang menaruh atensi penuh pada Ghea dan Ardian membuat keduanya amat tenang mendengarkan musik-musik jaz.
"Pa, kira-kira umur anak muda tadi berapa ya?" tanya Ghea seraya mendongak, melirik ke arah atas di mana ia dapat melihat sedikit dagu sang adam.
"Kalo Papa nebak, mereka seperti kita sepuluh tahun yang lalu—"
"Sepuluh tahun yang lalu? Kita udah tua ya ternyata."
"Kalo seusia kita masuk dalam jajaran direksi, kita termasuk muda. Kalo raih gelar profesor, kita adalah profesor muda. Kesimpulannya, kita masih muda."
Ghea mengangguk seraya tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang rapi.
"Selera musik mereka keren juga ya, musik jaz. Biasanya anak muda sukanya pop gitu. Ya, kan, Pa?"
"Nggak juga, ah. Tergantung orangnya. Ada yang suka klasik, pop, R&B, dan lainnya." Ardian menjentik pelan hidung Ghea membuat perempuan itu terlonjak kecil. "Emang kenapa, sih, penasaran sama mereka? Kita juga masih muda, tau!"
Ghea tidak langsung menjawab. Ia hanya mengatupkan rahang sambil mengikuti gerakan tubuh sang suami ke arah kanan dan kiri secara teratur mengikuti musik di depan sana. Tatapan sendu dengan mata berbinar Ghea nyatanya tak mampu ditangkap oleh Ardian yang kini telah meletakkan kepala di bahu sang hawa.
Sepasang insan itu membiarkan pikiran mereka terbang bersama nada-nada indah dan irama hidup nan dinamis. Ketika satu penyanyi menyelesaikan penampilan dan mendapatkan tepuk tangan yang meriah lalu digantikan oleh pelantun lainnya, mereka tetap seperti ini. Tak ikut bertepuk tangan atau bersorak-sorai seperti penonton pada umumnya.
Dekapan Ardian semakin menguat selaras dengan sejuknya angin malam yang berembus menusuk-nusuk permukaan teratas kulit. Oleh sebab itu, Ardian mengulurkan tangan untuk mengambil kain yang telah ia siapkan, dilipat dan disimpan dalam kantung bagian belakang kursi roda.
Ardian melilit kain tersebut ke tubuh sang istri, membuat Ghea lebih terlihat seperti kepompong sekarang. Meskipun begitu, Ghea dengan cepat mengucapkan terima kasih.
"Papa nggak pake kainnya juga? Papa cuma bawa satu ya? Nggak kedinginan?"
Ardian lantas menggeleng setelah diberondong banyak pertanyaan. "Meluk Mama kayak gini udah buat Papa hangat banget."
"Dihhh, gombalnya kumat!"
Wajar jika Ghea sedikit khawatir mengingat Ardian hanya mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam dan celana jin. Sedangkan dirinya mengenakan gaun selutut dengan dasar kain yang lumayan tebal. Bi Sum juga tak lupa menyerahkan sebuah jaket untuk Ghea yang telah puan gunakan beberapa menit yang lalu. Nampak berlapis-lapis, tetapi Ghea nyaman dan tidak merasa kepanasan sama sekali.
"Pa."
"Hm?"
"Kita ... sepuluh tahun lalu seperti apa ya?"
Ardian terdiam sejenak seperti berpikir sangat dalam. Lantas, ia pun berkata, "Kita sepuluh tahun lalu—" Laki-laki itu menggantungkan tuturan membuat Ghea menoleh sedikit untuk mengamati ekspresi datar Ardian.
"Kita sepuluh tahun yang lalu sempat ada jarak. Papa mencoba menghindari Mama waktu itu karena beberapa hal—"
Ghea menyela cepat. "Salah satunya?"
"Salah satunya ketika seseorang mulai menaruh hati ke Mama. Bukan, Papa bukannya cemburu. Saat itu menurut Papa sebaiknya Mama tidak terlalu dekat dengan dia, makanya Papa menjauh untuk membatasi pertemuan kalian berdua, di mana Papa mengenal dekat orang itu. Bahkan bisa dibilang kami sahabatan."
"Kenapa Papa nggak setuju?"
"Karena waktu itu dia bilang ke Papa kalo dia udah punya perempuan lain. Kenapa dia harus deketin Mama di saat dia udah ada pilihan? Ya, kan, ada-ada aja itu, mah."
Jemari Ardian bergerak perlahan menyampir anak-anak rambut Ghea yang turun ke kening. "Bicara lebih jauh dari sepuluh tahun yang lalu, kita sudah berteman akrab dari kecil. Papa udah anggap Mama seperti Risa dan Aini, bahkan sebenarnya Mama lebih butuh perhatian daripada dua adik Papa.
"Mama yang waktu itu masih kecil seperti Tata dengan mata bulat dan pipi gempil kayak bakpao, suka banget lari-larian di tengah jalan kompleks perumahan. Papa tau kalo di perumahan kayak gitu pasti mobil jarang lalu-lalang, tapi tetap aja melihat Ghea kecil aktif seperti itu membuat Papa pengen jaga dia."
Laki-laki itu refleks tergelak kecil membuat Ghea melakukan hal yang sama.
"Papa waktu jaman sekolah selalu ngerjain tugas di meja belajar yang menghadap langsung ke jendela kamar di lantai dua, biasanya ngeliat dia lari-larian di bawah panas matahari. Papa biasanya akan bilang, 'Paling bentar lagi dia tereak.' Ehhh, ternyata beneran teriak keras banget karena dia nangis dan lututnya berdarah. Buru-buru Papa turun dan obatin dia. Gemes banget kalo ingat itu ...."
Keduanya kembali terdiam untuk beberapa sekon tepat setelah Ardian tiba pada ujung tuturan dan penyanyi di panggung mencapai bait terakhir. Rasanya sangat akurat hingga membuat Ghea tak dapat mengucap sepatah kata, takjub sejenak.
"Yang paling Papa ingat dari perkataannya, 'Nanti kalo udah gede, Ghea pengen nikah sama Kak Ardian. Supaya ada yang jagain Ghea.' Dan Papa ngangguk waktu itu karena menganggap bahwa itu hanyalah perkataan seorang adek. Ketika akhirnya gadis kecil tersebut berubah menjadi wanita dewasa, dan mewujudkan pernyataannya kala itu, Papa seolah lupa. Papa berulang kali nyakitin dia—"
"Papa ...," tukas Ghea seraya memutar tubuh menuju Ardian dan memeluk sang suami kuat-kuat. Ia meletakkan kepala di dada bidang dan mendengarkan degup jantung yang sekarang berlomba. "Udah cukup!"
"Kalo gitu Mama hadap ke depan lagi, dong. Konsernya belom kelar, lho," cakap Ardian sembari membantu Ghea memperbaiki posisi duduk kembali semula.
"Nggak usah dibahas lagi ya, Pa."
Ardian mengangguk cepat. "Iya, Sayang. Maaf ya."
"Oh iya, kita belum rayain ulang tahun kedelapan ya?" lanjut sang adam membuat Ghea mengernyit sempurna.
"Eh, iya juga. Tapi tunggu bentar, deh." Ghea merogoh saku tas hitam paling terdalam. Lantas ketika ia mendapatkan apa yang ia cari, perempuan itu menaikkan tangan dengan satu bungkus kecil kue pai dan sebuah lilin berwarna merah muda.
Ghea melanjutkan, "Ini lilin bekas ulang tahun adek. Nggak tau kenapa tiba-tiba ada di tas Mama."
"Yaudah nggak papa, daripada nggak ada sama sekali."
"Maaf ya, Papa. Mama cuma punya ini—"
"Masih mending Mama nyiapin ini, Papa malah nggak ada apapun yang bisa dipake buat rayain."
"Tapi, sebenarnya Mama nggak nyiapin, kok. Cuma kebetulan kue dan lilinnya ada di tas Mama aja."
Ghea memajukan tubuh ketika Ardian meminta izin untuk bangkit dan meminjam korek api dari pengunjung lainnya. Ya, Ardian bukanlah laki-laki perokok.
Awalnya Ghea juga terkejut mengetahui fakta ini mengingat teman-teman kantor atau para pemimpin perusahaan yang pernah bertemu dengannya rata-rata adalah perokok berat. Namun, Ardian malah tidak menyentuhnya sama sekali.
"Nah, sekarang buat permohonan. Mama dulu, deh." Ardian meraih kue tersebut dengan lilin yang berada di tengahnya dari tangan Ghea.
Setelah menempelkan kedua tangan di depan wajah dan memejam sejenak untuk memanjatkan harapan, Ghea pun tersenyum manis. Ia mengambil kue dari Ardian dan membiarkan laki-laki tersebut melakukan hal sepertinya.
Fuh....
Mereka kompak meniup lilin tersebut. Segera, Ardian mengambil lilin dan kue dari tangan Ghea. Bergegas Ghea memberitahu bahwa kuenya mungkin saja sudah kadaluarsa mengingat ulang tahun Tata telah dilakukan beberapa bulan lalu.
"Yah, padahal Papa udah lapar."
"Mama juga ...."
"Makan yuk, Ma!"
"Ayuk!"
Melihat malam yang semakin larut dan nampaknya konser juga akan segera berakhir, Ardian bergegas membereskan semua perlengkapan mereka dan keduanya keluar dari venue sebelum penonton lainnya melakukan hal yang sama. Sudah pasti kemacetan parah akan tercipta dan mobil Ardian tidak mungkin membelahnya begitu saja jika mereka tak keluar terlebih dahulu.
.
.
.
.
.
.
Ghea mengira bahwa Ardian akan membawanya kembali ke rumah dan menyantap makan malam bersama. Namun, ternyata tidak demikian tatkala mobil yang seharusnya memilih jalur sebelah kanan, justru menuju sisi sebaliknya.
Perempuan itu tak mengatakan apapun karena ia masih sibuk mengagumi gedung-gedung pencakar langit di luar sana. Semakin lama, Ghea menyadari bahwa Ardian melajukan mobil meninggalkan tengah kota melewati jalan tol yang lenggang. Sekali lagi, Ghea tak ingin bertanya dan memercayakan semua pada sang suami.
"Ma!"
"Iya, Pa?"
"Papa boleh nanya tentang permohonan Mama yang tadi, nggak?"
"Hmmm ...."
Ghea benar-benar mengamati jalan raya dengan pemikiran dalam. Lama, hingga Ardian hanya mengetuk-ngetukkan jemari pada stir mobil. Mungkin sebagai pengingat dentingan detik yang berlalu. Entah mengapa laki-laki itu merasa gugup setengah mati menunggu jawaban Ghea.
Sang istri menoleh pada Ardian. "Kalo Papa?"
"Kan Papa yang nanya duluan, Sayanggg. Ya Mama wajib jawab dulu, dong."
Ghea bergeming sembari menatap lurus ke depan.
Bohong jika sekarang jantung kedua insan tersebut berdegup seperti biasanya. Ada rasa takut dan khawatir atas kesenyapan yang menyelimuti serta pikiran-pikiran tak terduga. Namun di satu sisi, mereka berdua juga mengharapkan adanya ungkapan yang membuat hati lapang, meskipun itu akan menyakitkan di awal.
Sulit, bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata pun bagai melempar sebuah lafal perpisahan di tengah keharmonisan yang terjalin. Akan tetapi, pertanyaan tetaplah pertanyaan. Jika ia memiliki jawaban, tentu saja Ghea akan menyebutkan dengan jelas. Terlebih, perempuan itu telah merasakan hari-hari menunggu jawaban yang tak pasti sejak terbangun di tubuh Ghea.
Dan rasa akan menunggu itu ... tak menyenangkan!
Puan berambut hitam legam menguatkan diri seraya memandangi Ardian dengan kedua sudut bibir yang ditarik ke atas penuh ketulusan. Ardian pun membalasnya dengan perlakuan yang sama persis.
Kali ini, perempuan tersebut sepenuhnya yakin bahwa ia akan berbicara sebagai Kiana, bukan Ghea. Seseorang yang harusnya tidak pernah ada di kehidupan Ardian, Gabriel, dan Agatha.
"Mama ... Mama cuma pengen—" bibir sang hawa bergetar dan netranya seketika berkilauan, "Papa dan anak-anak bisa ikhlasin Mama."
Kiana, sosok itu mengakui bahwa jauh dilubuk hati ia tak ingin berpisah dari suami dan anak-anak. Akan tetapi, ia bukan orang bodoh dan masih memiliki hati yang luas.
Perkataannya dahulu tentang mengambil Ardian dan anak-anak dari Ghea nyatanya tak mampu dilakukan. Sudah cukup dirinya membuat keributan dengan dituduh sebagai orang ketiga dalam sebuah keluarga. Kini, ia tak ingin usaha Hazel yang mengembalikan semuanya jadi sia-sia belaka.
Kiana harus merelakan segala hal kembali pada sang pemilik, Ghea Aurellia. Biarkan ini tetap menjadi pengalaman, dan dia akan melanjutkan roda kehidupan sebagaimana mestinya.
Pada kenyataannya, Kiana memang hanya ingin membantu Ghea. Bukan merebut....
"Mama udah jawab. Kalo Papa?"
Sang hawa dapat melihat rahang mengeras, mata merah memanas, bibir bergetar, dan urat-urat nampak menonjol pada tangan yang memegang stir dengan kuat itu. Jika Ghea dapat menyebutkan, maka Ardian terlihat sangat rapuh sekarang. Benarkah demikian?
Ardian menelan saliva dengan sulit lalu berucap pelan, "Papa cuma meminta supaya Papa dan anak-anak dikuatkan!"
Ghea menganggut setuju. Diliriknya kembali sang suami seraya berujar penuh kelembutan, "Mama yakin Papa dan anak-anak akan kuat. Kalian punya punggung yang kokoh. Ketika satu mulai goyah karena dihantam badai, kalian masih punya lainnya untuk saling menopang dan menguatkan—"
"Sayangnya, ketiga punggung itu akan diterpa badai secara bersamaan. Nggak tau siapa yang akan rebah duluan. Papa mungkin bisa menapak dan berdiri tegap dengan satu kaki karena anak-anak. Tapi, jika diperhatikan dari sudut mana pun, Papa tetaplah pincang tanpa Mama."
Mendengar itu Ghea seketika tertegun. Matanya mengerjap beberapa kali, mencoba memahami perasaan sang suami. Ia lantas bergerak untuk memeluk lengan Ardian membuat satu tetes air mata akhirnya jatuh menjejak di pipi sang adam.
"Mama yakin semuanya akan kembali seperti semula. Papa nggak perlu khawatir ya!"
Ardian mengangguk sambil membuang napas dari mulut berulang kali untuk menetralkan perasaannya.
Mungkin arah pikiran Ardian dan Ghea saat ini tidaklah berada dalam satu pias yang sama. Bukan tanpa alasan bahwa Ardian mungkin menafsirkan lain seluruh pembahasan tersebut. Sebab, Ghea kembali mengingat percakapan para dokter dan sang suami yang tak sengaja ia dengar beberapa hari yang lalu.
"Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, Pak Ardian. Terkait kondisi Ibu Ghea, kami angkat tangan dan hanya dapat menunggu keajaiban."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top