44. Memastikan Sesuatu

.
.
.

Tak pernah terlintas dibenak jika waktu akan berlalu dengan cepat. Rasanya siang berganti malam hanya dengan sekali kedipan mata. Meskipun begitu, tidak ada yang dapat menghentikannya walau hanya sejenak.

Ghea ingat malam itu sepulangnya Dion dari rumah, Ardian masuk ke dalam kamar dalam balutan pakaian tidur dan tubuhnya pun menguarkan aroma yang menyegarkan. Laki-laki itu berbaring tepat di samping sang puan di kamar lantai dasar, bukan di kamar mereka seperti biasanya. Ia membelakangi sang istri yang saat itu pura-pura terlelap, mencoba menghindari pembicaraan sebisa mungkin. Benar saja, Ardian yang melihat hawa itu telah memejam pun memutuskan untuk memadamkan lampu kamar, memberikan satu kecupan di kening istrinya, dan menarik selimut untuk menutupi sepasang insan tersebut.

Pagi ini, Ghea mendapati sang suami tengah masuk ke dalam kamar seraya membawa nampan makanan. Ia meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidur lalu ia duduk di tepi ranjang. Tangan kirinya mengusap kening Ghea secara perlahan membuat sang hawa menggeliat seolah-olah ia baru saja terbangun, padahal Ghea telah terjaga sekitar tiga puluh menit yang lalu. Puan itu lantas mendudukkan diri dengan tubuh bagian bawah tertutupi oleh selimut.

"Sarapan dulu ya, Ma?" acap Ardian, "Papa udah buatin bubur."

Saat Ardian bergerak untuk mengambil nampan, Ghea pun mengangkat kepala menuju suaminya. Sontak saja ia tertegun ketika melihat wajah Ardian yang lebam-lebam. Puan itu seketika menghentikan gerak lengan sang adam membuat Ardian menoleh cepat.

"Kenapa, Sayang?" Ardian kembali pada posisi semula, tidak jadi mengambil makanan tersebut.

Ghea lantas bergegas mengamati Ardian dari kepala hingga punggung tangan. Ternyata benar, tak hanya wajahnya saja yang luka, tetapi buku-buku jari pria tersebut juga memiliki goresan kecil dan berwarna biru kehitaman.

"Papa ... Papa kenapa?" tangan Ghea bergerak menyentuh wajah Ardian lembut, "kenapa jadi begini?

Laki-laki yang menggunakan kaus putih polos dan celana pendek itu pun menarik sudut bibir ke atas, nampak teduh nan menenangkan. Akan tetapi, Ghea tidak mampu untuk merasakan hal tersebut mengingat ini pertama kalinya ia melihat Ardian dalam keadaan terluka.

"Papa kemarin abis ketemu Valdy ...."

Mendengar itu, Ghea akhirnya paham mengapa tubuh Ardian menjadi seperti ini dan ke mana arah pembicaraan tersebut. Lantas, ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut karena puan itu tak ingin kepala suaminya menjadi panas ketika harus mengingat pembicaraannya dengan Valdy kemarin.

"Papa minta maaf, Ma. Papa salah karena nggak mau denger semua penjelasan dari Mama ... justru malah denger semuanya dari orang lain dan pergi begitu aja ninggalin Mama, ninggalin anak-anak.

"Papa sadar kesalahan itu dan Papa terus belajar untuk jadi lebih baik. Maaf ya, Ma, untuk semuanya," ungkap Ardian dengan nada penuh penyesalan.

Ghea bergeming sejenak sebelum akhirnya ia mengulas senyum simpul. Kedua tangannya meraih tangan Ardian dan mengelus lembut jemari yang bengkak itu. "Mama maafin Papa asal nggak diulangi lagi. Kalo misalnya kita memang ada masalah, ada baiknya nggak kabur dan dengerin satu sama lain. Jangan dibiarin berlarut-larut. Maafin Mama juga yang udah ngomong kasar ke Papa malam itu. Mama kebawa emosi—"

"Wajar kalo Mama emosi. Siapa, sih, yang pengen digituin?"

"Tuh, Papa juga tau kalo digituin nggak enak."

"Papa minta maaf." Ardian kemudian menunduk dalam.

"Iya, Mama maafin, kok," acap Ghea seraya kembali mengelus tangan sang adam.

Menerima afeksi tersebut, Ardian pelan-pelan menaikkan kepala untuk bertemu dengan obsidian gelap milik Ghea. Lantas ketika ia menemukannya, dipandanginya lamat-lamat seolah itu adalah sesuatu yang baru pertama kali ditemukan dan amat berharga.

"Ya udah, sekarang makan dulu ya. Papa suapin."

Tanpa menunggu respons sang istri, Ardian bergerak kembali untuk mengambil nampan dan meletakkan air minum di meja tersebut. Secara perlahan dan telaten, ia menyuapi Ghea. Terkadang mulutnya mengerucut ketika laki-laki tersebut meniup-niup bubur yang uapnya masih mengepul. Tentu saja itu terlihat menggemaskan di mata Ghea hingga sang puan tak mampu menyembunyikan senyum.

Setelah satu suapan masuk ke mulut Ghea, Ardian kembali bertanya, "Mama nggak serius, kan, soal yang kemarin?"

"Yang mana?"

"Yang Pengadilan Agama itu ...."

"Iya, Mama nggak ke sana," ungkap sang puan membuat Ardian langsung memperlihatkan cengiran lebar. "Oh iya, Pa. Kemarin Mama sama adek sempat ngeliat taman bunga di tv. Cantikkk banget. Kita ke situ yuk Pa sama anak-anak."

"Ohhh yang punyanya Hersyan Group itu ya? Yang luasnya sekitar tiga puluh hektar?" tanya Ardian sembari mengaduk-ngaduk bubur yang masih terasa panas.

Ghea menggeleng. "Mama nggak tau. Tapi boleh ya Pa kita ke sana?"

"Boleh, tapi ada syaratnya."

"Apa itu?"

"Mama mau ya ke rumah sakit? Mama harus medical check up—"

Ghea sontak berdecak tak setuju dan menyela, "Nggak mau, ah. Emangnya dokter Dion bilang apa, sih?"

"Dokter Dion nganjurinnya kayak gitu. Ya nggak papa, dong, supaya kita  tau sakit Mama sebenarnya. Emang kenapa, sih, Mama nggak mau periksa?"

Puan itu mengangkat kedua bahu bersamaan. "Nggak mau aja. Lagian pasti dokter cuma bilang kalo Mama kecapean doang. Percaya, deh, Pa."

"Yaaa kalo Mama nggak mau, kita juga nggak jadi ke taman bunganya."

Benar. Ardian tak punya cara lain agar Ghea tetap mau ke rumah sakit, selain memberikan sang puan pilihan yang membuat kedua sudut bibir perempuan itu menukik tajam.

"Yah Papaaa. Tapi Mama nggak mau lama-lama di rumah sakit ya."

"Tergantung pemeriksaannya, Sayang. Kalo lama, yaaa lama," Ardian kembali mengangkat satu suapan dan Ghea menerimanya dengan cepat, "kalo cepet kelar, ya cepet."

"Kalo gitu Papa bilangin sama dokternya suruh cepet-cepet yaaa."

Ardian sontak tergelak saat mendengar permintaan sang istri yang lebih mirip perkataan anak kecil pada orang tuanya ketika sedang merajuk.

"Iya, Sayang ...."

.
.
.

.
.
.

Semula, Ghea mengira bahwa pemeriksaan hanya dilakukan satu hari. Ternyata dugaan itu salah, sebab dokter Dion menganjurkan untuk menginap selama enam hari. Karena hal ini, Ghea sempat merajuk dan berkali-kali mengerucutkan bibir saat Ardian masuk ke kamarnya. Mau tak mau, Ardian hanya mampu mendengkus.

Meskipun Ghea bertingkah menyebalkan dan merajuk layaknya anak kecil, perempuan itu selalu minta memeluk tangan Ardian ketika akan terlelap di malam hari. Rasa letih dan kesal Ardian seketika terganti dengan senyuman penuh kehangatan yang siap mendekap sang istri kapan pun puan itu butuhkan.

Selama enam hari Ardian sibuk bolak-balik dari rumah sakit, rumah, dan kantor. Laki-laki itu bahkan mengerjakan tugas-tugas kantor ketika Ghea sudah terlelap membuatnya terjaga hingga pukul empat pagi. Sebenarnya ia tak ingin membawa pekerjaan itu ke rumah sakit, namun ia tak punya pilihan lain tatkala Ardian harus berangkat pukul enam dan kembali ke rumah sakit pukul sebelas siang untuk menemani sang istri. Letih? Tentu saja. Namun, pria tersebut tak pernah mengeluh sama sekali.

Sementara itu, kedua anaknya bersikeras tak ingin dititipkan pada Intan sehingga beberapa pekerja memutuskan untuk tidak pulang dan menjaga anak-anak di rumah saja. Alasan El dan Tata menolak tinggal di rumah eyang seperti biasanya karena terlalu banyak mainan yang harus mereka tinggalkan. Mainan di sana sedikit dan terbatas yang membuat mereka jenuh dengan cepat.

Hasil dari seluruh pemeriksaan sesuai dugaan sang hawa, tidak ada indikasi atau penyakit apapun selain keletihan. Di satu sisi Ardian sangat lega, namun ia juga tak memungkiri bahwa masih ada perasaan yang mengganjal. Dalam benaknya, ia berniat membawa Ghea ke luar negeri untuk melakukan pengobatan. Akan tetapi, Ghea sudah pasti menolak keras.

Enam hari berlalu membuat Ardian harus menepati janji. Untung saja ini adalah hari Minggu, sehingga keluarga kecilnya bisa berlibur bersama.

Sesuai anjuran dokter, Ghea harus mengenakan kursi roda agar tidak terlalu lelah, apalagi mereka kini sedang mengitari taman yang luas dengan Tata yang berada di pangkuan Ghea. Alasan gadis kecil itu duduk di paha sang ibu karena ia juga tidak ingin penat berjalan, meskipun sesekali mereka harus berhenti ketika Tata meminta untuk berfoto di depan bunga-bunga yang indah. Tampaknya ia mulai manja lagi.

"Adek turun, dong. Kasian Mama sama Papa. Adek, kan, udah gede. Mana berat lagi. Udah bisa jalan sendiri juga," acap El seraya berjalan di sisi Ardian.

"Kasian Adek juga, Kak. Soalnya Adek juga capek jalannya."

"Tadi Adek lari-larian aja Kakak perhatiin. Apalagi kalo ada bunga-bunga yang cantik, pasti Adek minta berenti trus lompat-lompat mulu. Nggak ada, tuh, capek-capeknya."

Tata mengatupkan rahang untuk beberapa saat, lantas ia mengelus-ngelus kaki kirinya dengan ekspresi datar sambil bertutur lirih, "Aduh aduh, kaki Adek pegel!"

El seketika mendengkus dan memutar matanya malas. "Dih, drama banget ...."

Mendengar interaksi menggemaskan anak-anaknya, Ardian dan Ghea pun tersenyum simpul.

"Nggak papa, Kak," ujar Ghea lembut seraya menepuk-nepuk tangan El yang berada di atas tangan Ardian seolah-olah ia juga ikut mendorong kursi roda bersama sang ayah.

"Gimana kalo kita naik mobil itu aja? Supaya nggak terlalu capek," cetus El seraya melayangkan jari telunjuk pada sebuah kendaraan berwarna merah yang terparkir.

Ardian mengangguk perlahan, begitu pula Ghea. Nampak mereka semua menyetujuinya tanpa harus berpikir panjang.

"Itu bukan mobil, Nak. Namanya trem, sejenis kereta listrik." Ardian memberitahu.

"Namanya trem, Kakakkk," kata Tata menirukan ucapan sang ayah yang membuat El langsung mencebik.

Tak perlu waktu lama hingga akhirnya mereka berempat mengendarai trem tersebut. Trem atau kereta listrik yang sejatinya dapat dimuat oleh sekitar enam belas orang itu kini hanya dihuni oleh keluarga Ardian Bratadikara dan seorang petugas wanita. Ya, Ardian menyewa sebuah trem hanya untuk keluarga kecilnya saja. Sedangkan satu orang wanita yang bekerja sebagai karyawan taman bunga tersebut diikutsertakan untuk membantu Ghea yang masuk dalam kategori pengunjung prioritas.

Selama perjalanan, suara dari sebuah speaker yang terpasang di bagian depan menjelaskan setiap sudut atau bagian-bagian yang dilewati oleh trem. Diketahui bahwa luas taman ini sebesar tiga puluh hektar yang terbagi menjadi beberapa bagian sesuai jenis-jenis tanaman. Ada pula bangunan-bangunan yang digunakan sebagai pusat informasi flora, penjualan berbagai buah tangan dan tanaman hias, tempat ibadah, hingga rumah makan yang teduh dan nyaman.

Setelah tiba di tujuan akhir, keluarga tersebut melanjutkan untuk makan siang bersama. Telah dapat dipastikan bahwa rumah makan di tempat itu sangat ramai. Namun karena Ardian dan Ghea memesan paket VIP, mereka bergegas menuju lantai lima menggunakan lift ditemani oleh dua pegawai.

Tidak seperti lainnya, ruangan ini tampak eksklusif dengan pemandangan terbuka dan menghadap langsung ke kebun bunga. Di samping meja panjang untuk bersantap santai dengan keluarga, terdapat dua sofa panjang dengan meja bundar di antaranya, serta satu kursi kayu yang nyaman. Ada pula televisi yang terpasang di bagian sudut atas.

Sambil menunggu makanan tiba sesuai pesanan Ghea, Ardian kemudian berinisiatif untuk menggendong Ghea menuju sofa agar kaki sang istri bisa diluruskan sejenak. Lantas ia mengambil selimut kecil di bagian ujung sofa untuk menutupi kaki karena Ghea yang diketahui mengenakan gaun di bawah lutut.

Setelah itu, Ardian bergerak untuk menemani El dan Tata yang berdiri di pembatas, melihat pemandangan sekitar yang memanjakan mata dengan bunga beragam jenis.

Sebenarnya, kaki Ghea masih dapat digerakkan. Bahkan ia dapat berdiri tegak dengan kedua tungkainya. Sayang, itu hanya berlangsung lebih dari sepuluh menit dan puan tersebut bisa tiba-tiba saja terjatuh. Hal ini yang membuat Ardian memilih Ghea untuk tetap menggunakan kursi roda. Toh, ia juga berulang kali meyakinkan sang istri bahwa dirinya tidak kerepotan sama sekali.

Saat akhirnya netra Ghea menoleh ke layar kaca untuk menyaksikan sebuah berita yang menampakkan seorang laki-laki duduk membelakangi kamera sebagai pesakitan di ruang sidang, perempuan itu menyipitkan mata sekali lagi. Ghea tampak tidak asing dengan bahu lebar tersebut. Namun, ia tidak ingin menduga-duga.

Dilihat dari topik utama berita tertulis bahwa anak dari pemimpin Putra Group terlibat dalam kasus suap tender yang merugikan negara hingga puluhan milyar rupiah.

Putra Group? Ah, masa sih?

Saat kamera menyorot dari depan yang memperlihatkan pria sedang menatap lurus pada hakim, mata Ghea membelalak sempurna. Tidak, bukankah itu tidak mungkin? Mengapa Valdy berada di persidangan sekarang?

"Pa ... Papa," panggil Ghea membuat Ardian menoleh dengan cepat.

"Kenapa, Sayang?"

"Sini dulu, bentar ...."

Ardian mengelus puncak kepala El dan mengatakan pada anak sulungnya untuk menjaga Tata. Pria tersebut akhirnya berjalan menuju tempat duduk di samping sofa setelah El menyanggupi permintaannya.

"Kenapa, Ma?"

"Papa liat berita, deh. Itu Pak Valdy? Beneran dia tersangka?" Ghea menunjuk televisi dengan sorot mata tak percaya. "Ini ... bukan karena Papa, kan?"

Wajah Ardian yang semula cerah seketika mendatar ketika melihat tayangan tersebut. "Di samping permasalahan kita bertiga, itu murni kesalahan dia, Ma—"

"Nggak ... bukan Papa yang buat dia dipenjara seperti ini, kan? Paham nggak maksud Mama?"

"Yaaa seperti yang Papa bilang, dia jadi tersangka nggak ada hubungannya sama Mama. Semuanya memang kesalahan dia sendiri."

Ghea mengamati obsidian gelap milik sang suami membuat Ardian melakukan hal yang sama hingga tatapan mereka berserobok, seakan-akan mereka mencari sesuatu. Sedetik kemudian tangan Ghea refleks menangkup pipi sang suami lalu berujar lirih, "Mau cerita?"

Ardian mendengkus kuat-kuat lalu menceritakan semuanya mulai dari perusahaan Ardian yang kalah tender sehingga memunculkan berbagai spekulasi, dua pabrik perusahaan tiba-tiba saja terbakar di hari yang sama, dugaan-dugaan hubungan istrinya dengan laki-laki yang menjadi terdakwa itu, dilanjutkan dengan anak-anak yang mendadak sakit, dan akhirnya mendengarkan semua penjelasan Valdy di Rumble Gold.

"Papa cuma—"

Ardian menggantung kalimat setelah Ghea mendadak memutar sedikit badannya dan mendekap erat tubuh sang adam. Ghea tak henti mengecup ringan bahu dan membelai punggung Ardian. Setelah jarak tercipta, puan itu mengambil tangan suaminya sambil menarik kedua sudut bibir ke atas.

"Maafin Mama ya, Pa. Maaf karena Mama egois banget. Mama nggak tau kalo Papa ngalamin itu semua. Harusnya Mama bisa menahan diri sebentar aja, tapi Mama justru emosi. Maaf ya, Papa."

"Nggak, Sayang. Mama nggak salah—"

"Nggak—"

"Kalo gitu kita sama-sama salah. Nah, impas, kan?" sergah Ardian cepat sembari memperlihatkan senyum kecil.

Ghea mengangguk, ikut menyetujui perkataan sang suami. "Trus, Papa kehilangan tender berapa duit?"

"Sekitar delapan puluh ...."

"Juta?"

Ardian menggeleng. "Milyar!"

"Hah?" Mulut Ghea membulat sempurna seiras dengan kedua bola mata yang hampir keluar dari tempatnya. "Itu ... duit semua?"

"Yaiya duit, Mama kira daun singkong? Yaaa tapi nggak langsung dikasih plek delapan puluh M gitu di depan mata. Ada prosedurnya sendiri."

Ghea kemudian mengelus-elus lengan Ardian. "Bukan rejeki. Sabar ya, Pa. Jadinya gimana kelanjutan proyek itu?"

"Nggak dilanjutin, pokoknya dibatalin semua karena ada kasus ini. Padahal ya Papa udah pede banget pasti perusahaan kita jadi pemenang seperti sebelum-sebelumnya."

"Bayangi kalo Papa menang tender, udah pasti Mama bakalan pamer ke ibu-ibu pengusaha itu."

Ardian mendelik. "Bisa-bisanya ya, Mama—"

"Becanda, Sayanggg."

Ardian dan Ghea berbagi senyum dengan tatapan masih terpaku satu sama lain. Terhanyut oleh suasana alam yang sejuk dan kerinduan yang meronta ingin segera terobati, Ardian bergerak meraih wajah Ghea lantas memberikannya ciuman lama. Melihat itu, sang puan membelalak. Ia dapat merasakan gerakan bibir suaminya yang menuntut lebih. Namun, sebelum Ardian melakukannya lebih jauh, Ghea mendorong sedikit bahu sang suami hingga Ardian melepaskan kecupan dan menciptakan jarak di antara mereka.

"Pa, anak-anak," bisik Ghea membuat Ardian ikut melotot.

"Astaga, Papa lupa." Ardian balas berbisik.

Sepasang suami istri itu kompak menoleh pada dua anak yang kini telah menatap orang tuanya. Ghea pun meringis, merasa amat bersalah. Begitu pula Ardian yang menepuk-nepuk paha sambil membuang tatapan ke segala arah.

Tata melambaikan kedua tangan di depan dada seperti sedang tertangkap basah mengambil sesuatu yang bukan miliknya. "Adek nggak liat. Beneran Adek nggak liat, soalnya tadi tangan Kakak nutupin mata Adek waktu Papa cium Mama. Iya, kan, Kak?"

El terlihat langsung salah tingkah. "Kakak juga nggak liat, kok. Eh, liat dikit. Ehhh, nggak .... yaudah makan, yuk! Keburu dingin nih makanannya soalnya udah dateng dari tadi."

El dan Tata kemudian bergerak menuju meja makan. Sementara Ardian dan Ghea sibuk mencubit satu sama lain, serta berbicara dengan berkisik agar anak-anaknya tidak tahu.

"Papa, sih, main nyosor aja."

"Mama yang duluan godain Papa—"

"Dihhh, siapa yang godain. Pede bener, Pak."

"Emang iya, kok. Buktinya Mama pake lipstick rasa stroberi kesukaan Papa."

Tata kemudian memukul ringan sendok ke piring hingga suaranya memecah perdebatan kasak-kisik itu.

"Ayo, makan!" seru putri kecil tersebut yang membuat Ardian dan Ghea lantas bergerak menuju meja makan tanpa suara.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top