43. Pikiran Ardian

.
.
.

"Val, gue pengen tanya tentang perusahaan."

Valdy tidak memberi respons membuat Ardian hanya terdiam selama beberapa sekon sembari memandang langit-langit arena. Kepalanya dilanda rasa pening, tetapi ia tetap ingin memastikan.

"Lo yang bakar dua pabrik perusahaan gue, 'kan?"

Huft....

Apa yang Ardian tanyakan adalah sebuah hasil yang ia terima dari penyelidikan diam-diam atas prakarsa Angga, Reza, dan tim tanpa sepengetahuan polisi. Hal ini mereka lakukan setelah masih banyak tanda tanya dan jawaban pihak keamanan tidak membuat mereka puas sama sekali. Mereka mengumpulkan dan memeriksanya hingga saat ini.

Ini menjadi alasan sebenarnya Ardian tidak pulang ke rumah selama satu minggu. Sebab, ia juga ikut membantu dan menelaah bukti yang ada. Selain itu, ia juga mengerjakan banyak pekerjaan kantor dan tak ingin membawanya ke rumah karena perseteruannya dengan Ghea justru membuatnya tidak bisa konsentrasi sama sekali. Namun, bukan berarti Ardian juga tidak memikirkan anak dan istri. Bohong jika ia mengerjakan semuanya dengan perasaan lega.

"Lo juga ngasih pelicin untuk menangin tender?"

"Kenapa ... lo nanya?" acap Valdy.

"Gue cuma pengen mastiin, ngedenger jawaban jujur dari mulut lo seperti dulu."

Sekali lagi Valdy tidak memberikan reaksi apapun selain pandangan yang lurus ke atas dan satu tangan dilipat ke perut, sehingga Ardian hanya mampu mendengkus.

Nampaknya percuma saja bertanya dan seharusnya laki-laki itu tak perlu berkata demikian. Sebab, ia sudah tahu jawabannya dan Valdy pasti tak akan memberikan tanggapan. Terkadang Ardian bertanya-tanya, ke mana adik kecilnya itu pergi sekarang? Apakah hidup Valdy di masa lalu membentuknya menjadi pria yang memiliki perangai tak terpuji seperti saat ini?

Akan tetapi, apa yang terjadi saat ini hanya satu dari sekian banyak perjalanan hidup, termasuk kini meyakinkan diri bahwa ia memutuskan seluruh hubungan dengan Valdy dengan alasan yang jauh lebih masuk akal dibandingkan penjelasan orang tuanya dahulu. Alasan yang dapat diterima oleh semua orang.

Ardian secara perlahan bangkit dari baring, berjalan tertatih keluar dari ring seraya memegang wajah yang terkena pukulan Valdy. Untuk sekarang, Valdy berhasil membuat sudut bibir dan mata kiri Ardian mengeluarkan darah segar. Mungkin esok hari semua luka dan sakit tubuh akan terasa lebih kuat lagi.

"Ar!" panggil Valdy dengan napas masih terengah-engah yang sontak menghentikan langkah laki-laki itu. "Kiana ... sakit. Lo nggak mau ... jenguk dia?"

Sang adam bergeming untuk sejenak lalu memutar tubuh sekali lagi ke arah Valdy yang telah berdiri susah payah di atas ring sambil memegang perut. Sorot mata yang begitu lemah nyatanya tak membuat Ardian lantas bersikap kasihan, terlihat dari tatapan memincing yang siap mencincang apapun yang berada di hadapannya.

"Gue mau jenguk Kiana atau nggak, itu bukan urusan lo!"

Ardian kali ini benar-benar pergi meninggalkan Valdy sendirian dalam kesunyian tanpa menengok untuk terakhir kalinya.

Sementara Hazel membuntuti dari belakang dengan cepat, ia tampak sibuk membawa barang-barang yang sang pemimpin letakkan di atas lantai beberapa saat yang lalu seperti jam tangan dan jas hitam.

Hazel bertanya ketika mereka hampir tiba di pintu utama pusat pelatihan tersebut, "Ini kita langsung pulang, Pak?"

"Iya ...."

"Lah, Pak—"

Ardian menghentikan derap dan menoleh ke belakang saat terdengar nada kecewa dari Hazel. "Kenapa?" tanyanya datar.

"Dianya belum mati, masa udah mau pulang aja! Lanjutin dong, Pak. Nanggung ini, udah bonyok juga dianya."

Ardian berdecak sedikit kesal pada Hazel yang sekarang sedang memperlihatkan cengiran lebar sambil sesekali menaik-turunkan alis. "Kamu sendiri aja sana yang mukul dia sampe mati!"

Hazel lantas mencebik. "Yaelah, Pak ...."

.
.
.

.
.
.

Setelah memarkirkan mobil di carport, Ardian lantas bergerak cepat menuju dalam rumah dan meninggalkan seluruh dokumen di mobil. Ia nampak tak peduli dengan seluruh barang-barang itu hingga ia dapat memastikan kondisi sang istri sekarang.

Kedua netra gelap tersebut tidak menemukan satu pun orang di ruang tamu, namun Ardian yakin jika Dion —teman yang berprofesi sebagai dokter— telah berada di dalam rumah, mengingat laki-laki itu sempat mengamati sebuah sedan berwarna putih yang terparkir di luar.

Dari jauh, Ardian dapat melihat kamar di lantai satu terbuka lebar, menampilkan Bi Sum yang berdiri di pintu memegang nampan berisi segelas air mineral seraya mengobrol penuh keseriusan dengan Dion.

"Papaaa," panggil Tata dan El kompak, turun dari sofa ruang keluarga lantas berlari menuju Ardian.

Melihat kedua buah hati yang begitu antusias atas kehadirannya, Ardian sontak berjongkok sedikit dan membuka kedua tangan untuk menerima Tata dan El. Setelah memberikan beberapa kali kecupan di puncak kepala anak-anaknya, Ardian lantas menggendong Tata dan satu tangan lainnya meraih El.

"Papa, kok, mata sama bibirnya luka? Ini ada darahnya dikit," acap Tata sambil jari telunjuknya menyentuh daerah dengan darah yang telah mengering membuat Ardian meringis sedikit.

"Tangan Papa juga luka-luka." El menambahkan seraya mendongak untuk melihat wajah Ardian.

"Ohhh, ini Papa tadi jatoh di parkiran kantor, Nak."

Jawaban ini tentu saja membuat kedua anaknya mengerutkan kening secara bersamaan. Di satu sisi mereka terlihat curiga dan ingin bertanya-tanya, tetapi di sisi lain mereka hanya mampu mengangguk-ngangguk.

Ketiganya lantas berjalan menuju kamar dan ketika akhirnya mereka tiba di ambang pintu, Ardian dapat melihat sang istri yang tengah duduk di tempat tidur sembari menyandarkan kepala pada headboard. Perempuan tersebut menoleh ke arah jendela, arah yang berlawanan dengan tempatnya berdiri saat ini hingga Ardian tak dapat melihat ekspresinya.

Tak butuh waktu lama, Bi Sum meminta izin untuk pamit ke dapur membuat Ardian mengangguk perlahan. Lantas laki-laki itu menyuruh kedua buah hatinya kembali ke kamar masing-masing, meminta waktu agar Ghea dapat beristirahat dengan tenang tanpa gangguan dari anak-anaknya.

"Adek sama Kakak hanya boleh ke kamar ini kalo Papa panggil aja ya. Kalo sekarang, biarin Mama istirahat dulu," acap Ardian lembut.

"Iya, Papa," ujar kedua buah hatinya kompak lalu menoleh ke arah Dion, "permisi Om Dokter,"

Mereka akhirnya berjalan menaiki tangga menuju kamar setelah Dion dan Ardian memberikan anggukan kecil disertai senyum lebar. El terlihat memegang tangan dan menuntun Tata dengan penuh kehati-hatian memunculkan rasa gemas bagi kedua laki-laki dewasa tersebut.

Setelah kedua sosok tubuh kecil itu menghilang dari pandangan, Dion berujar, "Kita bisa ngobrol bentar, nggak?"

Tangan Ardian kemudian menengadah, mempersilakan Dion untuk duduk di sofa yang berada di depan kamar. Tak lupa sebelum mereka berdua beranjak, Ardian berinisiatif untuk menutup pintu kamar Ghea agar sang istri tak mendengar percakapan keduanya.

"Jadi gimana, Yon?" tanya Ardian setelah ia berhasil mendaratkan bokong di sofa kulit di depan dokter berambut gelap dan tinggi semampai tersebut.

"Gue tadi udah cek semua dan hasilnya nggak ada yang serius, hanya kecapean. Cuma—"

"Cuma?"

Dion tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya ia bertutur, "Ehm ... tadi, kan, gue cerita-cerita sama Bi Sum dan dia bilang kalo Ghea ternyata sering kayak gini. Emang iya?"

Untuk sesaat Ardian mengamati obsidian hitam kecoklatan Dion lamat-lamat. Lantas ia mendengkus tipis lalu menganggut cepat sambil sesekali mengulum bibir ke dalam. Sang adam kemudian bergerak meletakkan kedua siku pada lutut dan membuang tatapan ke lantai yang tertutup oleh karpet tebal dengan ornamen yang rumit. Nampaknya ia berpikir sangat dalam setelah mendengar pertanyaan Dion.

"Lo bisa ceritain, nggak?" tanya Dion sekali lagi.

"Kadang-kadang sakit kepalanya kambuh bahkan sampe mimisan. Kalo udah kayak gitu biasanya badannya langsung drop. Trus dia juga beberapa kali pingsan."

"Sejak kapan kayak gini?"

"Setelah bangun dari koma."

"Sebelum gue, ada dokter lain yang tanganin Ghea, nggak?"

Ardian kembali menggerakkan kepala naik-turun dengan cepat. "Ada, namanya Dokter Rena."

"Trus, dia bilang apa?"

Sang adam penepuk kedua paha dengan tangan kemudian mengelusnya perlahan. "Sama aja dengan yang lo bilang, kecapean."

Dion merupakan salah satu teman kuliah Ardian. Saling mengenal ketika mereka tergabung dalam suatu kepanitiaan kampus hingga akhirnya menjadi akrab saat intensitas bertemu semakin tinggi untuk membahas tugas-tugas acara. Terlebih, mereka berada dalam satu divisi yang sama. Pertemanan mereka begitu awet hingga saat ini. Namun, kesibukan dalam bidang yang berbeda tak pelak lagi membuat keduanya jarang untuk bertemu di saat mereka telah menginjak kepala tiga.

"Menurut gue ya, Ar, Ghea harus dibawa ke rumah sakit secepatnya. Harus lakuin pemeriksaan tubuh secara menyeluruh, khususnya di bagian kepala supaya kita tau tentang kondisinya lebih dalam lagi. Gue takutnya gini ..." Dion memperbaiki posisi duduk dengan menarik jas putihnya sedikit ke depan, "ada sesuatu yang timbul pasca trauma kepala. Kan kita tau kecelakaan Ghea parah banget. Takutnya memang ada yang salah, lo jadinya terlambat tau dan terlambat penanganannya. Akibatnya bisa fatal, Ar."

Ardian memautkan kedua tangan sambil mengelus buku jari perlahan. "Gue udah sering ngajak dia ke rumah sakit, tapi dia selalu nolak—"

"Alasannya apa?"

"Karena dia percaya kalo dia cuma kecapean aja, Yon."

Dion membuang napas dengan netra masih memaku pada Ardian. "Lo harus cari cara buat bujuk dia, sih."

"Gue usahain."

"Secepatnya, Ar."

Ardian tak memberikan respons berarti, selain hanya anggukan ringan.

"Sekalian, tuh, luka lo diobatin," Dion menunjuk dagu pada sudut mata Ardian, "buset dah, mau jadi jagoan jalanan lo? Udah bagus juga megang posisi direktur, malah sok sok mau jadi preman."

Sang adam sontak menukikkan kedua alis. "Kok lo tau gue abis berantem?"

Dion mencebik lalu memandang sang lawan bicara dengan sorot yang meremehkan. "Yaelah, lo pikir gue nggak pernah adu jotos? Masih ingat, nggak, lo waktu gue mukulin bocah Teknik Mesin jaman kita masih perjaka ting-ting?"

Mendengar itu, Ardian terdiam sebentar lalu tergelak kecil, meskipun akhirnya ia meringis karena lebam di sudut bibirnya yang terasa berdenyut-denyut.

"Udah lama gue nggak dengar kata-kata itu, perjaka ting-ting," Ardian menggeleng pelan seraya tersenyum kecil, "untungnya lo nggak di DO ya waktu itu."

"Gimana gue mau di DO, yang punya kampus bokap gue—"

"Sombong banget."

"Lo nggak ingat motto hidup gue? 'Pertahankanlah kesombonganmu!'"

Ardian ingin sekali tertawa lebar, tetapi ia harus menahannya sebisa mungkin akibat perih yang terkadang datang tiba-tiba. Ah, bahkan sudah bertahun-tahun pertemanan mereka, tetapi celetukan Dion selalu berhasil membuat Ardian tergelak.

"Ya udah, gue balik dulu," acap Dion seraya bangkit dari duduknya membuat Ardian melakukan hal yang sama.

Kedua pria tersebut berjalan berdampingan menuju pintu utama dengan santai, mengantarkan Dion menuju mobil. Selama perjalanan menuju pintu, Ardian bertanya tentang tempat tujuan Dion setelah dari rumahnya.

Laki-laki berambut pendek, bermata sipit, dan memiliki kulit putih bersih itu menjawab bahwa ia tak langsung pulang ke rumah malam ini, melainkan kembali ke rumah sakit karena ia akan melakukan tindakan pembedahan. Hal ini membuat Ardian kembali mengangguk paham.

Setibanya mereka di ambang pintu, sang dokter pun berpesan, "Gue udah siapin suplemen untuk Ghea, itu harus rajin diminum. Kalo misalnya Ghea mau masuk RS malam ini, langsung telepon gue aja ya. Nanti gue nyuruh pegawai nyiapin kamarnya, pokoknya udah lengkap semuanya. Trus kalo bisa besok lo udah sediain kursi roda, soalnya tadi kakinya udah melemah gitu. Takutnya nanti dia kenapa-napa."

"Emang lo, tuh, bro gue paling baik," puji Ardian seraya menepuk-nepuk bahu Dion.

"Sorry ya, Pak Ardian. Ini gue sebenarnya lagi mencoba menggaet pelanggan."

Ardian langsung memasang wajah datar melihat cengiran lebar laki-laki di hadapannya. "Sialan!"

"Bujuk istri lo pake cara apapun. Kasih permen kek, cokelat kek, gulali kek—"

"Lo pikir istri gue bocah!" celetuk Ardian yang membuat lawan bicaranya tertawa lepas hingga memperlihatkan kerutan-kerutan di sudut mata.

Dion kemudian mengulurkan tangan. "Kalo begitu kasih aja berlian atau tas mahal. Atau kalo perlu kasih saham aja supaya cepet dah, tuh. Udah ya ...."

Ardian meraih uluran tangan Dion dan berujar, "Oke, makasih, Yon."

Sesaat setelah mobil putih itu menghilang dari netra gelap miliknya, Ardian kemudian berjalan pelan menuju taman depan.

Taman yang luas itu memiliki air mancur, lampu-lampu di beberapa titik setinggi dada orang dewasa, tempat duduk panjang dari besi yang diukir sedemikian rupa, dan tanaman bunga berbagai jenis yang amat memanjakan mata.

Laki-laki itu termenung beberapa detik dengan kedua tangan berpangku pada lutut. Tatapannya pada rerumputan di bawah sana tampak sayu dan tak bersemangat. Jika boleh dikatakan, saat ini banyak hal yang berputar di dalam benaknya. Ia mulai memikirkan kesehatan Ghea yang ternyata sudah seburuk itu, anak-anak, dan kelanjutan perusahaan di mana dalam waktu dekat akan diadakan RUPS -tentu saja akan membahas posisinya dan kerugian-kerugian yang ada.

Akan tetapi, dari sekian banyak pemikiran yang bergelayut, Valdy masih menjadi bayang-bayang gelap yang menghantuinya hingga sekarang. Walaupun Ardian telah mendapatkan penjelasan dan mengeluarkan seluruh amarah hingga tubuh Valdy dalam kesakitan yang luar biasa, laki-laki itu masih merasa belum puas sama sekali.

Sontak saja ia merogoh saku celana untuk meraih ponsel. Setelah mendapatkannya, sang adam nampak memutar-mutar terlebih dahulu hingga layar dengan gambar keluarga kecilnya pun terlihat. Begitu keraguan menghilang, Ardian kemudian mencari nomor Reza dan menghubungi sahabatnya tersebut.

"Za, lo di mana?" tanya Ardian sesaat setelah Reza mengangkat sambungan telepon.

"Di rumah. Kenapa, Ar?"

"Gue udah mikirin perkataan lo dan Angga. Kayaknya gue setuju ...."

"Hah? Perkataan yang mana?"

Ardian mengatupkan rahang membuat Reza juga ikut terdiam beberapa sekon. Keheningan yang ada membuat Reza nampaknya tak nyaman dan mulai bersuara dengan menebak-nebak. "Kasus Valdy ya?"

"Iya," jawab Ardian singkat.

"Lo beneran serius bawa kasus Valdy ke meja hukum? Ini beneran, kan?!" Suara Reza terdengar berapi-api membuat Ardian membuang napas kuat-kuat seraya mengangguk seolah Reza sedang melihatnya sekarang.

"Iya, gue serius."

"Kalo begitu besok gue sama Angga buat laporan ke polisi—"

Ardian langsung menyela, "Lo bisa, kan, Za? Lo bisa urus semuanya, kan?"

"Apa, sih, yang gue nggak bisa? Udah, sekarang lo hanya harus istirahat dan tenangin diri. Lo bisa percaya sama gue dan Angga seperti sebelum-sebelumnya. Tenang aja, gue dan yang lainnya ada di pihak lo, Ar."

Mendengar perkataan Reza, perasaan Ardian yang sebelumnya sesak mendadak sedikit ringan. Pria berlesung pipi dan bermata sipit itu tanpa ragu berujar, "Terima kasih, Za."

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top