41. Yang Disembunyikan
.
.
.
Berada di tubuh yang berbeda memang tak membuat perubahan signifikan terhadap kepribadian mengikuti sosok tubuh asli. Akan tetapi, perempuan itu tak menampik jika kesan 'classy and fabulous' yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya —meskipun ia sebenarnya adalah superstar layar kaca, mulai tanpa sadar menyelinap sedikit demi sedikit dalam diri. Paras rupawan, bergelimang arta, memiliki keluarga harmonis, dan teman-teman yang suportif rasanya hanya berada dalam sebuah angan-angan dan karangan para penulis. Ya, tentu tak banyak orang memilikinya. Namun, semua faktor yang diidam-idamkan itu ada pada Ghea Aurellia.
Sempurna. Satu kata yang dapat dara itu gambarkan pada sosok Ghea. Iri? Tidak juga. Tetapi, ia tak pernah berniat untuk menguasai semua yang Ghea miliki, mengingat ia juga punya kehidupan pribadi yang tak sedikit pula menginginkannya.
Awalnya perempuan itu tak pernah tahu jika nama Ghea Aurellia populer di kalangan jet set. Mungkin puan itu pernah mendengar namanya sekali dua kali —bohong jika tidak. Akan tetapi, ia tidak pernah menaruh atensi yang terlampau tinggi pada orang-orang yang tidak memiliki dampak dalam hidupnya, termasuk Ghea.
Berbeda dengan sekarang, ia benar-benar dituntut untuk tahu segala hal tentang Ghea. Bukan, ini bukan bagaimana ia harus bersikap di depan orang sebagai Ghea, sang pemilik tubuh asli. Lebih daripada itu, ia hanya ingin membantu dan menuntaskan seluruh misi perempuan tersebut.
Puan mengamati lemari besar yang berisikan beragam pakaian berharga dari puluhan hingga ribuan dollar tertata rapi di hadapannya. Lantas pandangannya sejenak berlabuh ke arah kanan, tempat di mana sebuah foto keluarga ukuran kecil terpajang. Sorot mengamati penampilan sang nyonya pemilik rumah beberapa sekon sebelum akhirnya tangan itu meraih pakaian, aksesoris, dan tas.
Ghea memiliki satu lemari yang tak pernah dara itu sentuh karena memang terlalu banyak pakaian yang dirasa terlalu formal di sana. Sebenarnya sejak Ghea terbangun dari koma, ia lebih senang menggunakan gaun atau rok di bawah lutut untuk beraktivitas di luar rumah. Namun, hari ini ia akan memakai double button crop blazer abu-abu terang dengan celana berwarna senada. High heels dan tas hitam, serta kacamata gelap untuk menutupi matanya yang bengkak.
Entah apa yang terjadi ke depannya. Akan tetapi, ia merasa mulai tak enak. Degup jantungnya bak sedang balapan dan kedua tangan mulai mendingin.
Matahari yang kini tengah berada di sisi paling atas langit pun menandakan bahwa waktunya Ghea untuk bergegas dan meninggalkan rumah siang itu menuju apartemen.
Sang puan tak meminta bantuan pada Pak Rafli atau pun diantar oleh sang suami, mengingat para pria itu telah berada di kantor dari beberapa jam yang lalu. Meskipun begitu, Ardian tampak sedikit khawatir dengan Ghea karena notifikasi panggilan tak terjawab berjumlah lebih dari dua puluh kali terlihat di layar. Tak peduli dengan pengingat tersebut, Ghea kemudian melangkahkan kakinya.
.
.
.
.
.
.
Senyuman tak pernah pudar sejak pertama kali Ghea menginjakkan kaki di lobi apartemen. Sebab, sudah tak ada lagi para pencari berita yang berkeliaran seperti yang lalu-lalu. Mungkin saja mereka telah letih. Toh, untuk apa juga mereka menunggu seperti orang bodoh di sini. Tak sedikit juga penghuni yang saling menyapa ramah ketika ia akan memasuki lift membuat perasaannya menghangat walau hanya sejenak.
Akhirnya kedua tungkai itu berhenti tepat di depan pintu. Puan membuang napas berulang kali lantas menekan nomor keamanan dan membuka pintu dengan perlahan. Selama kakinya menjejak menuju kamar, pandangan Ghea jatuh bebas pada lantai yang kini berantakan.
Bukan, itu bukanlah pecahan beling atau barang-barang di apartemen yang berantakan. Akan tetapi, dari pintu masuk hingga ke pintu depan kamar Kiana terlihat outer hitam, kemeja putih gading, sepatu, tas, jam tangan, celana panjang pria, jas ... dan pakaian dalam?
Seketika rasa jijik mulai menyelimutinya, tentunya ini dibersamai oleh kebingungan dan keterkejutan luar biasa. Ia tak menyangka jika ada sepasang manusia bisa berhubungan di apartemen miliknya.
Bukankah ini gila?
Saat derap demi derap lambat itu terhenti di depan pintu kamar yang memberi sedikit celah, Ghea mengintip ke kamar remang-remang akibat jendela yang belum dibuka sama sekali. Kedua netranya bagai mesin pemindai yang begitu cepat, seiras dengan napas yang melaju kencang ketika puan itu akhirnya menyadari identitas dua orang di dalam sana yang masih terlelap tanpa busana.
Sontak saja Ghea mundur beberapa langkah dengan satu tangan menutup mulut dan tangan lainnya memegang dada kuat-kuat. Obsidian gelap miliknya terbuka lebar dan napas wanita itu terasa tercekat. Ruangan di apartemen ini seolah menyempit membuat oksigen di sekelilingnya perlahan menghilang, amat menyesakkan dan menyakitkan.
Ghea kemudian memutar tubuh, mengambil ancang-ancang untuk segera pergi dari tempat itu. Namun sayang, ia terlonjak sekali lagi dan kakinya berhenti ketika tiba-tiba saja sosok Hazel muncul berjarak sekitar sepuluh langkah darinya dengan sorot mata memincing dan kedua tangan dilipat di depan dada.
"Lo mau ke mana?" tanya Hazel dengan suara yang pelan. Akan tetapi, Ghea masih mampu mendengarnya dengan baik.
"Gu-gue ... gue mau pulang!" balas Ghea tak kalah kecilnya, bahkan mungkin hampir tak terdengar sama sekali.
Perempuan itu menunduk dalam seraya menggeleng berulang kali. Di sela-sela itu, ia menyempatkan diri untuk memejam, mencoba mencerna semua apa yang terjadi.
"Lanjutin!" tegas Hazel.
Mendengar itu, Ghea spontan mengangkat wajah dan menatap lamat bola mata Hazel dengan netranya yang tertutupi oleh kacamata.
"Nggak ... gue nggak mau!"
"Kalo lo nggak mau, ini nggak akan berakhir, Ghea. Lo nggak akan tau kenyataannya, dan lo nggak akan lega."
Jika boleh jujur, kaki Ghea lemas sekali sekarang. Melihat pasangan itu terlelap saja sudah membuatnya tak berkutik. Bagaimana mungkin dia akan melanjutkan ini semua dengan pikiran berantakan, perasaan tak menentu, dan kekuatan tubuh yang semakin melemah? Ya, Hazel nampaknya tak memedulikan perasaan Ghea. Akan tetapi, apa yang laki-laki itu katakan memang ada benarnya. Jika dia tidak melakukan apa yang sudah menjadi seharusnya, ini akan semakin lama.
Ghea tak ingin itu terjadi!
Mau tak mau, Ghea kembali membalikkan tubuhnya seperti di awal. Ia mengaktifkan fitur kamera pada ponsel yang ada digenggaman dengan tangan bergetar lantas membuang napas berulang kali lewat mulut sembari memejam.
Lo sekarang adalah Ghea. Lo adalah Ghea. Pokoknya lo pasti bisa!
Dalam hitungan ketiga—
Brak...
Ghea menendang pintu hingga terdengar suara keras yang memenuhi seluruh sudut ruangan. Tak pelak, dua insan yang terbaring dengan saling berpelukan itu kemudian terperanjat dan langsung menarik selimut untuk menutupi kedua tubuh tanpa sehelai benang tersebut. Keduanya benar-benar tertangkap basah sekarang.
Puan itu berjalan masuk ke kamar, membuka tirai dengan penuh nafsu amarah hingga cahayanya membuat kedua orang yang sedang berbagi kasih seketika menyipitkan mata, menghalau sinar sang fajar yang sedang mengekspos mereka dengan lancangnya.
Ghea menarik kedua sudut bibir ke atas tanpa memperlihatkan gigi lantas menaikkan kedua tangan sejajar mata untuk memotret momen-momen pengkhianatan di depan sana. Suara kamera ponsel yang bergaung tampaknya berhasil membuat sepasang manusia tersebut tak nyaman, hingga sang adam memohon berulang kali agar Ghea menghentikan aksinya.
Dengan gerakan cepat, Ghea pun memasukkan ponsel dalam tas lalu tatapannya kembali pada kedua insan tersebut. Ia yang menyandarkan tubuh di depan jendela yang sudah terbuka sampai-sampai udara memasuki kamar dengan kedua tangan bersedekap pun tergelak kecil. Sesekali hawa itu menggeleng lambat sembari memperhatikan ekspresi pelaku yang sudah seenaknya berlaku buruk di kamar milik Kiana.
"Gimana goyangan cowok brengsek ini? Lo suka, nggak?" tanya Ghea pada sang puan yang sudah pucat pasi. Terlihat bulir keringat sebesar biji kedelai saling bertumpukan dan keluar dari kening. Kedua tangan perempuan itu juga berada di depan dada dengan menggenggam erat selimut menutupi tubuhnya.
"Kenapa? Pertanyaannya susah ya? Apa karena lo udah dapat enak, otak lo jadi merosot ke tumit dan lo nggak ngerti apa yang gue ucapin?"
"Ghea, stop!" tegur pria berambut gelap itu. Wajahnya juga tak kalah mengerikan, mungkin malu karena tertangkap basah telah tidur dengan perempuan berusia satu tahun lebih tua dari Kiana tersebut.
Ghea tergelak kencang sambil sesekali membuang muka menuju luar jendela.
"Lo—"
"Ini nggak seperti yang lo pikirin!" Laki-laki itu memotong perkataan Ghea yang sontak kembali membuat perempuan itu tertawa lebar tanpa jeda. Benar-benar tertawa geli hingga ia sendiri tak mampu untuk menahannya.
Pria itu, Valdy Abrisham Putra keluar dari selimut dan bangkit untuk meraih sebuah kain yang berada di nakas. Kain tipis itu —kain yang biasa Kiana gunakan ketika ia tak ingin mengenakan piyama saat tidur pun kini telah melingkari pinggul Valdy. Ya, kain bermotif bali beragam warna tersebut merupakan kain kesayangannya. Tentu saja itu adalah pemberian dari sang kekasih yang sudah berkhianat berulang kali, berdiri di depannya bak manekin.
Melihat Valdy yang gelagapan dengan tubuh hanya terlilit kain, Ghea sontak bingung. Ia tak tahu harus marah atau kembali tergelak karena situasi yang serba canggung seperti saat ini. Untuk sesaat, Ghea memang mengakui bahwa semuanya terasa seperti lawakan di atas pentas.
"Nggak seperti yang gue pikirin? Trus, menurut lo gue harus mikir apa? Gue harus mikir kalo cowok sama cewek di atas tempat tidur dengan bertelanjang, itu berarti mereka lagi maen karambol?"
"I-ibu Ghea—"
"Ohhh jangan sebut nama gue dengan mulut bau lo itu!" Ghea menyela perkataan sang wanita yang tak lain adalah April dengan tatapan menjijikkan. "Dasar perempuan jalang!"
"Ghea cukup!" bentak Valdy lebih keras dari sebelumnya.
"Wah pangerannya marah, nih, selirnya gue sebut jalang! Tapi, gimana ya? Emang kenyataannya yang kelihatan sekarang kayak gitu, kok."
Ghea melangkah perlahan menuju sisi tempat tidur, sisi di mana April berbaring di sana. Lantas tatapannya kembali menuju Valdy. "Setelah Kiana dan gue, ternyata selera lo menurun drastis ya, Val. Nggak nyangka gue lo mau dengan perempuan rendah seperti ini. Nggak ada yang lebih berkelas dari Kiana apa? Atau kemampuan lo cuma ini?"
Valdy sedikit ragu-ragu untuk menatap balik Ghea. Ekspresi menyedihkan pria itu tak membuat Ghea iba sama sekali, justru sebaliknya ia ingin mengeluarkan seluruh makanan yang berada dalam perut tepat di wajah Valdy karena terlalu enek melihat laki-laki tersebut.
"Karena cuma April yang selalu ada di samping gue, ngedengerin semua keluh kesah gue—"
"Sejak kapan?" seloroh Ghea memotong ucapan sang adam yang berdiri gamang di sisi lain tempat tidur.
"I don't get it." Valdy menggeleng cepat.
"Sejak kapan lo punya hubungan dengan perempuan jalang ini?!"
Valdy bergeming.
"Oh well, let me guess ... sejak Kiana koma? Atau sejak Kiana masih wara-wari di layar kaca?"
Anak Adam itu mengangkat kepala, memperlihatkan tatapan tajam dan rahang keras. Jangan tanyakan bagaimana napas Valdy yang memburu membuat kedua bahunya naik turun tak beraturan.
"Dari dulu Kiana nggak pernah ada dan ngertiin gue. Setiap gue butuh, dia selalu sibuk dengan dunianya," ungkap Valdy.
"Lho, bukannya kebalik? Lo yang nggak pernah ada buat dia, bajingan!"
"Lo nggak tau apa-apa, Ghea!"
"Bagian mana yang gue nggak tau!" tegas Ghea membuat Valdy dan April sontak terdiam. "Jelasin! Jelasin bagian mana, Val? Gue tau semuanya. Gue udah bilang sama lo kalo gue tau semuanya."
Pandangan tajam Ghea selanjutnya mengedarkan pada April dan Valdy secara bergantian. "Dan itu cuma alasan lo doang, 'kan? Alasan bullshit yang lo buat-buat untuk nyalahin Kiana, buat Kiana jadi yang paling bersalah di sini. Padahal sebenarnya itu lo, lo yang problematik. Dasar bajingan!"
"Ghea—"
"Memang iya, 'kan? Bisa-bisanya lo ngedeketin Kiana, trus lo deketin juga perempuan menjijikkan ini. Lo sama nih cewek ya sama aja, sama-sama murahan! Sama-sama menjijikkan!" murka Ghea tak tertahan lagi. "Dan yang lebih parahnya lagi, lo tidur sama dia di tempat tidur Kiana. Tempat tidur tunangan lo ya bangsat! Lo dan Kiana bahkan pernah tidur bareng di sini!"
Tanpa ingin mendengar penjelasan dan suara apapun, Ghea sontak menjulurkan tangan ke arah kepala April dan merenggut rambut wanita itu hingga April meronta-ronta minta dilepaskan. Tidak, Ghea tidak semudah itu mengabulkan permohonan puan yang kini telah bangkit dari tempat tidur dengan tak berpakaian sedikit pun. Gelap mata, Ghea membawa April menuju pintu apartemen dengan Valdy yang masih mengekor di belakang. Laki-laki itu memohon berulang kali pada nyonya Bratadikara untuk melepaskan perempuan simpanannya.
Seraya menarik April dan tidak menggubris perkataan Valdy, Ghea tak lupa meraih taplak meja berukuran besar yang terpajang di meja tamu membuat asbak rokok dan vas bunga kecil yang terbuat dari kaca akhirnya jatuh bebas ke lantai —beling-beling bertebaran.
Sesampainya ia di pintu, Ghea mendorong tubuh April dan Valdy keluar lantas melemparkan taplak meja pada perempuan yang sudah menangis di depannya. April bahkan sampai bersimpuh di kaki Ghea, tetapi sekali lagi Ghea hanya mampu menendang ringan perempuan itu menjauhi dirinya.
Ghea menunjuk taplak meja yang ia lemparkan. "Pake itu, bego! Lo nggak mau diliat orang dalam keadaan bugil, 'kan?"
Sambil terisak, April bertutur lirih, "Biarin gue sama Mas Valdy masuk—"
"Masih nggak tau diri juga lo?!" bentak Ghea lalu menutup pintu dengan membantingnya begitu keras.
Perempuan itu refleks menyandarkan tubuh pada pintu, terdiam sebentar dengan tatapan kosong ke arah depan. Tak ada lagi suara dari kedua orang itu yang terdengar. Entah memang apartemen kedap suara atau tidak, namun yang pasti keheningan ini berhasil membuat Ghea ikut merapatkan rahangnya.
Rasanya amat menyesakkan membuat Ghea akhirnya tanpa sadar berderai air mata. Begitu deras nan menyedihkan sampai-sampai wanita itu melepaskan kacamata lantas jatuh terduduk seraya menenggelamkan kepala di paha yang sudah ditekuk. Isakan yang mengalun benar-benar pilu tak terhingga.
Puan itu merutuki diri sendiri yang begitu bodoh karena tak mengetahui permainan kotor Valdy dan April di belakangnya selama ini. Ia pikir ketidakhadiran April di saat Kiana menjadi bintang tamu di banyak acara dulu karena urusan keluarga, atau hal lain yang tak bisa ditinggalkan. Ternyata, April justru berbuat serong bersama tunangannya.
Gila ... ini benar-benar gila!
"Nangis aja, nggak papa. Nggak ada yang liat ini, selain gue."
Suara Hazel itu sukses membuat Ghea semakin terisak. Sosok laki-laki tersebut mendekat dan duduk bersila di samping Ghea. Ia membiarkan sang hawa mengeluarkan semua air mata yang dia punya, menunggu Ghea dengan sabar tanpa mengeluarkan perkataan sedikit pun.
Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, Ghea kemudian perlahan meraih ketenangan. Ia pun mengangkat wajah yang sudah berantakan ke arah Hazel, sedangkan orang yang ditatap menaikkan kedua tangan di depan Ghea. Hazel menyodorkan sebuah gelas plastik dengan es krim di dalamnya yang membuat Ghea mengernyit dengan mata bengkak. Ya, puan itu tak tahu jenis es krim yang disodorkan oleh Hazel.
"Ini ... apa?" tanya Ghea setelah menerima gelas plastik dari Hazel.
"Es—"
"Ya gue juga tau. Tapi, gue nggak tau ada es kayak gini."
"Serius lo nggak tau?" Hazel membelalak membuat Ghea mengangguk. "Ini es puter."
"Hah? Perasaan nggak kayak gini."
"Lah, di mana-mana es puter ya emang gitu bentukannya."
"Di tempat gue dulu es puter, tuh, pake mangkok kaca. Bukan pake plastik."
"Yaelah, beda wadah doang, Nyonya. Isinya sama aja itu ...."
Keduanya kemudian terdiam, hanya mulut dan tangan mereka yang bergerak menyuap es krim dengan sesekali tatapan mereka naik menuju lukisan yang berada di dinding depan sana.
Selang beberapa menit kemudian, Hazel berujar memecah suasana senyap, "Ghea emang tegas. Tapi, gue nggak tau kalo lo juga bisa lebih dari dia. Gila, itu anak orang lo suruh keluar dalam keadaan telanjang gitu."
Ghea berdecak. "Biarin, biar semua orang liat badan yang sudah dijamah sama calon suami gue yang brengsek itu. Yang benar itu dia yang gila, bukan gue."
"Gue bilang kalo lo harus lakuin seperti cara Ghea, tapi nggak gini juga, sih. Nggak kasian apa lo sama dia? Sampe mohon-mohon di kaki lo kayak gitu."
Puan seketika menurunkan gelas dan memandang Hazel lekat. Tubuhnya bahkan sedikit menyerong agar ia dapat melihat ekspresi laki-laki itu dengan jelas.
"Sekarang gue tanya. Dia ada nggak rasa kasian sama gue waktu dia berduaan sama laki-laki sialan itu? Ada, nggak? Mereka mikirin perasaan gue, nggak? Gue jamin pasti nggak sama sekali!"
Dan karena perkataan Ghea itu berhasil membuat Hazel bungkam dan tidak dapat dibantah sepenuhnya.
"Trus, foto-foto menjijikkan di hp gue ini mau lo apain, Zel?" Ghea kembali bertanya.
"Mau gue kasih ke Pak Amran."
Ah, gue paham sekarang!
"Tapi, pastinya gue ngasih dalam bentuk flashdisk kayak kemarin. Nggak mungkinlah gue nyuruh lo langsung ngirim ke dia lewat hp lo." Laki-laki itu kembali menjelaskan sambil sibuk menggerakkan mulut setelah satu suapan masuk.
"Dari gue langsung juga nggak papa, kok."
"Nggak, nanti malah jadi tambah belibet karena lo harus jelasin panjang lebar ke bapaknya. Udah, biarin gue urus setelahnya."
"Tumben lo nyuruh gue kayak gini. Biasanya lo kerja sendiri, tuh, ngumpulin bukti."
"Sebenarnya gue juga pengennya gitu. Yaaa kurang lebih kayak gue ungkapin masalah Kiana yang dituduh jadi orang ketiga itulah. Tapi, gue pikir lo juga harus tau dan liat dengan mata kepala lo sendiri tentang pengkhianatan orang-orang terdekat lo itu."
Ghea mengangguk perlahan, kembali memasukkan satu sendok es krim ke dalam mulut lantas menurunkan gelas tersebut ke lantai. Pandangan sang hawa kini tertuju pada laki-laki berambut kecoklatan itu seraya bertanya, "Trus, sekarang gue harus gimana, Zel?"
Pandangan Hazel dan Ghea akhirnya bertemu membuat puan itu menarik kedua sudut bibir ke atas, terlihat terlalu kaku. Ya, Ghea memang tak ingin terlihat menyedihkan di depan Hazel. Akan tetapi, semuanya telah terjadi. Terlebih ini bukanlah kali pertama laki-laki itu melihat Ghea dalam keadaan mengenaskan seperti ini.
"Lo cuma perlu diem dan istirahat. Karena tubuh lo ... udah nggak kuat lagi, Ghea."
"Trus, Mas Ardian?"
"Gue yang urus!" putus Hazel pada akhirnya.
.
.
.
.
.
.
Part selanjutnya kayaknya masih marah-marahan deh. Yaudahlah ya, udah terlanjur pusing ini nulis adegan marah-marah mulu hahahaha.
Jangan lupa untuk komen dan votenya. Terima kasih juga telah membaca author note yang abal-abal ini.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top