4. Keputusan Berat
.
.
.
"Jadi, keputusan lo gimana?" tanya Rara setelah mendengarkan penjelasan Kiana tentang permintaan Ghea semalam.
Kiana yang duduk di tempat tidur seraya menatap kosong ke arah jendela pun berujar, "Gue udah mikirin semalaman, tapi tetap aja bingung. Menurut lo gimana?"
"Lah, dia malah nanya balik."
"Ya abisnya...."
Laras yang saat itu sedang duduk di lampu kristal yang terpasang di langit-langit tengah ruangan pun menoleh pada Kiana. "Menurut gue, lo terima aja."
Rara berdeham. "Alasannya?"
Wanita bergaun putih panjang itu kemudian turun hingga mencapai lantai. Setelah itu, ia duduk di samping Rara di sofa. Entah ada angin apa Laras datang pagi-pagi ke kamar Kiana, tak seperti biasanya yang berkunjung pada siang atau malam hari.
"Ya lo bisa pake badannya Mbak Ghea buat balas dendam sama orang-orang yang jahatin lo, lha. Btw, lo yakin serahin semuanya termasuk keuangan ke manager lo itu? Gue sendiri yang liat wawancara dia kemarin, jadi gak percaya sama dia. Gedeg juga denger manager lo. Mana sekarang dia wara-wiri ye kan ne' di tivi-tivi? Duh, ngebet banget pengen terkenal nyaingin nyonya besar," acap Laras seraya mengamati kuku-kuku panjangnya yang tajam bak mata pisau.
Laras sekarang lebih terdengar sebagai penggosip ulung dibandingkan beberapa hari yang lalu. Cara Laras menjabarkan pendapatnya lebih membuat penasaran dari pembawa acara program gosip kemarin.
Seketika, Rara dan Kiana menoleh cepat pada Laras dengan tatapan memincing dan penuh tanda tanya. Mungkin mereka mengerti, akan tetapi menurut Kiana ini perlu diperjelas lagi agar tak terjadi kesalahpahaman.
Mendapat tatapan menusuk dari kedua jiwa temannya tersebut, Laras seketika menoleh bergantian pada Kiana dan Rara. "Lahhh, jangan bilang kalian nggak merhatiin?"
"Nggak," jawab keduanya kompak.
Laras menghela napas dan membulatkan mata, lalu mengangguk pelan. "Ini cuma pendapat gue ya, Sist. Kalo lo nggak percaya juga nggak papa, sih."
Netra perempuan berambut panjang kurang tertata rapi itu kembali menatap Kiana lekat.
"Gue pernah liat salah satu cuplikan wawancara lo di infotainment yang bahas mobil hitam kesayangan lo. Di situ lo bilang kalo lo seneng banget dengan mobilnya dan nggak ngizinin siapapun buat ngendarainnya, termasuk tunangan lo sendiri, Abang Valdy Tersayang. Eh, iya nggak, sih? Ya, pokoknya gitu lah ya. Trus tau nggak?" Laras menggoyakan tangan seolah mengajak Kiana dan Rara untuk lebih fokus padanya, "Si April itu pake mobil lo ke acara-acara tv yang dia datengin tepat setelah lo kecelakaan. Wahhh, parah banget gak, sih? Duh, kalo gue jadi lo mah ya, gue puter juga kepalanya sampe bunyi krak krak...."
Butuh beberapa detik untuk akhirnya Kiana menyadari perkataan Laras tersebut. Marah? Tentu saja. Akan tetapi, Kiana meragukan apa yang ia dengarkan dari bibir tipis makhluk tak kasat mata itu.
"Nggak papa, sih, kalo lo nggak percaya," cibir Laras yang memang mampu membaca pikiran setiap makhluk. Terkadang, ini membuat Kiana terkejut bukan kepalang dan bulu kuduk meremang, meskipun Laras telah menampakkan kekuatannya itu berulang kali.
"Buktinya apa?" tantang Rara pada Laras.
Laras menaikkan jari telunjuknya, menyuruh Kiana dan Rara untuk menatap layar televisi yang terpasang di dinding depan tubuh Kiana terbaring. Televisi yang semula menampilkan siaran olahraga tenis lapangan itu seketika berganti menjadi tayangan infotainment. Akan tetapi, tayangan tersebut berupa cuplikan-cuplikan yang durasinya dipercepat. Dan jika boleh jujur, Kiana dapat menangkap pernyataan Laras dan membenarkannya.
Awalnya Kiana mungkin ragu. Sebab, ia sangat mengetahui bahwa April adalah manager terbaik di samping David dan Leo. April diketahui memang yang mengurus pengeluaran dan pemasukan Kiana, perhitungannya selalu akurat sehingga Kiana merasa terbantu dengan adanya April. Karena hal inilah, Kiana dan April menjadi sangat dekat.
David sendiri adalah manager yang mengurus busana yang akan dikenakan oleh Kiana, pun lebih mengatur agenda iklan dan pemotretan majalah yang akan dilakoni oleh sang bintang. Selain David, ada pula Leo yang mengatur seluruh jadwal syuting sinetron, film, atau variety show.
"Ini asli, 'kan? Lo nggak ngedit?" tanya Kiana dengan kening berkerut.
Laras sontak memutar matanya malas. "Ya menurut lo? Yakali gue belajar aplikasi edit," bantahnya. "Kayak nggak ada kerjaan aja gue."
"Lah, emang iya. Lo, kan, kerjanya cuma gangguin orang sama tebar pesona ke cowok-cowok," hardik Rara yang membuat Laras mendengkus ringan.
Sementara Laras dan Rara sibuk beradu pendapat di depan televisi, Kiana lebih memilih untuk mundur selangkah dari kedua temannya itu dan mendudukkan dirinya tepat di ujung tempat tidur sambil menundukkan kepala. Perempuan berambut lurus panjang hingga ke pinggang tersebut memainkan jemarinya dengan ekspresi kosong, sedikit tak percaya.
Rasanya telinga Kiana tertutup, hingga ia tak mendengar suara gaduh di depan sana. Nampaknya suhu ruangan menjadi turun, sebab ia merasa hawa dingin mulai menerjang dan menusuk-nusuk lapisan teratas kulit. Mungkin sekarang Kiana merasakan sakit pada tenggorokannya, sampai-sampai untuk mengeluarkan kata demi kata pun dirasa sulit.
"Na, lo nggak papa?" Pertanyaan singkat Rara lantas membuat Kiana mengangkat kepala, tetap dengan ekspresi datarnya.
"Ini bukan cuma satu, lho, Na. Ada beberapa kasus lagi yang lo harus tau karena berhubungan dengan lo. Biang keroknya bukan cuma dia--"
"Emang ada orang lain lagi?" sela Kiana cepat.
Laras mengangguk mantap. "Iya, dan semuanya terkait dengan orang-orang terdekat lo. Gue tau segalanya, karena gue nonton berita dan baca koran juga. Selain itu, beberapa gue denger dari mulut mereka sendiri waktu ngunjungin lo di sini. Tapi gue pengen lo tau dan ngeliat semuanya sendiri."
Rara dan Laras kemudian duduk di samping kanan-kiri Kiana, mencoba menenangkan perempuan yang tampak terkejut itu.
"Menurut gue, kalo lo kembali ke tubuh lo ini," Laras menunjuk tubuh Kiana, "mereka pasti bakalan nutupin semuanya, ngehancurin apapun yang bisa buat mereka ketahuan. Tapi kalo lo pake tubuh Mbak Ghea, mereka nggak bakalan curiga dan lo bisa cari tau sampe ke akar-akarnya. Dan ... lo juga bakalan bisa ngerasain punya keluarga lengkap. Bukan itu yang lo pengenin dari dulu?"
Pertanyaan terakhir Laras membuat Kiana menoleh pada wanita yang telah menyunggingkan senyum tipis itu. Sembari mengelus bahu Kiana, mata Laras tampak berkaca-kaca, seolah ia dapat merasakan apa yang Kiana inginkan.
"Gue harap keluarga kecil yang baik itu bakalan jadi keluarga lo suatu saat nanti. Gue nggak mau sebenarnya nggak mau berharap banyak, karena nggak ada satu pun yang tau takdir. Tapi ... semoga saja." Senyum mengembang serta sorot mata yang penuh keyakinan dari Laras membuat Kiana merasa dadanya sedikit lega. Tanpa sadar, Kiana juga menarik kedua sudut bibir ke atas dan mengangguk pelan sambil menatap teman yang telah menemani selama raganya terbaring di rumah sakit ini.
"Makasih ya, Ras. Gue bakalan coba yang terbaik," acap Kiana.
"Yup, harus dong! Seorang Kiana nggak boleh kalah dengan orang-orang jahat itu. Pokoknya nggak boleh!"
Mendengar percakapan antara Laras dan Kiana, Rara yang sedari tadi hanya mendengarkan mereka memperlihatkan netra berbinar menahan air mata. Segera, ia meraih kedua tubuh itu dalam pelukannya.
"Aaaa lo berdua bikin gue pengen nangis. Sebel!"
.
.
.
.
.
.
Siang itu, Kiana dengan ketetapan hati yang kuat pun melangkah menuju kamar Ghea. Ia yang berdiri di depan pintu kamar perempuan tersebut sempat menghentikan derap ketika mendengar sayup-sayup suara ramai dari dalam kamar. Kiana menduga bahwa kamar Ghea sedang dikunjungi oleh banyak orang.
"Eh, kok, di luar aja?" tanya Ghea yang tiba-tiba saja membuka pintu, terperanjat ketika mendapati Kiana telah berdiri di hadapannya.
"Ehm ... baru aku mau ketok, Mbak Ghea-nya udah keluar. Kebetulan banget," ucap Kiana dengan senyum canggung.
"Oh, yaudah yuk masuk. Di dalam udah ada keluarga aku, jadi bisa aku kenalin ke kamu. Ayo, ayo!" Ghea nampak menarik tangan Kiana hingga akhirnya kedua jiwa mereka tiba di dalam kamar yang luasnya dua kali lipat dari kamar Kiana. Ini kontan membuat mata Kiana membulat sempurna.
Tatapan perempuan itu kemudian jatuh pada orang-orang yang berada di dalam ruangan. Untuk sesaat, Kiana hanya mematung di depan pintu sambil mengamati kedua anak kecil yang sedang bersenda gurau dengan seorang gadis muda. Sedangkan empat pria lainnya tengah duduk di sofa seraya mengobrol serius satu sama lain. Pria-pria itu terlihat menawan dengan mengenakan pakaian kasual, kaus dan celana jeans.
"Na, kok kamu berdiri di sana? Ayo, sini duduk di samping aku," ajak Ghea sambil menepuk-nepuk tepi ranjang tempat tubuhnya dibaringkan.
Mendengar namanya disebut, Kiana pun dengan cepat memosisikan diri di samping Ghea, membelakangi tubuh wanita bertubuh putih itu. Pandangan mereka berdua lurus menuju insan penuh kesadaran yang sibuk dengan obrolan dari topik serius hingga mengundang gelak tawa.
"Oh iya, aku kenalin dulu keluarga aku ya," telunjuk Ghea bergerak pada dua anak kecil yang bergantian memainkan bola-bola kecil, "yang perempuan namanya Agatha Bratadikara, biasanya aku manggil Adek atau Adek Tata. Nah, yang cowok namanya Gabriel Bratadikara, biasa dipanggil Kakak atau Kakak El."
Ghea kemudian menjelaskan bahwa gadis yang sedang bermain dengan kedua anaknya adalah Aini, adik perempuan suaminya. Sebenarnya sang suami memiliki dua adik perempuan. Selain Aini, satu orang lainnya adalah Risa, si anak tengah yang sedikit lebih tenang dari Aini.
Jemari Ghea bergerak menuju Reza, Angga, dan Abi. Reza dan Angga adalah teman dari Ardian, sedangkan Abi merupakan kekasih Aini.
"Yang pake kaos hitam celana jeans itu suami aku, Mas Ardian," jelas Ghea dengan tatapan menuju sang suami. Senyum teduh nan cantik yang ditampilkan oleh sang hawa pada sosok pria di depan sana berhasil tertangkap oleh indra penglihatan Kiana, sehingga Kiana mulai menerka-nerka.
Ghea kemudian berpaling ke Kiana. "Dia suami yang penyabar dan menyenangkan. Nggak pernah marah pokoknya, apalagi maen tangan. Tapi, kalo sekali marah, mukanya bakalan nyeremin dan di satu waktu bisa gemesin juga," ujar Ghea sambil sesekali terkekeh pelan yang membuat Kiana tersenyum tipis.
"Oh iya, Na. Maaf ya, aku kok jadi heboh sendiri, sih," lanjut Ghea.
Sontak, Kiana menggeleng cepat. "Ih, nggak papa, Mbak. Aku malah seneng banget dengernya. Apalagi ngeliat semuanya dalam keadaan sehat."
"Iya bener, Na. Itu juga yang aku syukuri setiap hari. Mereka semua dalam keadaan sehat dan nggak kekurangan apapun," ucap Ghea dengan tatapan yang masih terpaku pada Ardian.
Kiana membiarkan Ghea untuk menatap lamat sang suami, sementara dirinya mengedarkan pandangan di dalam ruangan yang besar itu. Di samping tempat tidur pasien, terdapat nakas yang di bagian atasnya ditata dengan beragam foto keluarga kecil mereka. Sofa panjang tiga buah, dua sofa single di dekat jendela, sebuah lemari berukuran besar, tempat tidur lipat yang berada tepat di samping ranjang pasien, dan berbagai barang lainnya.
Wanita berambut hitam tersebut kemudian melihat kembali dua anak-anak di ujung ruangan yang sedang tertawa lebar, tawa yang nampaknya menular pada seluruh orang di dalam kamar. Senyum mereka yang polos membuat hati Kiana seketika menghangat. Ingin rasanya ia bergabung di sana, bermain dan berbagi kebahagiaan bersama mereka.
Mata kedua perempuan itu bergerak menuju Tata yang berlari ke arah Ghea dengan kedua tangan yang terangkat sambil berujar, "Mama...."
Ucapan Tata itu sontak menarik perhatian seluruh manusia yang berada dalam ruangan. Tak sedikit dari mereka yang membelalak dan mengernyit. Lantas, ekspresi mereka kembali ke semula ketika Tata hanya menepuk tangan Ghea yang masih terbaring, lalu kembali menuju El dengan berlari kecil.
Huft....
Selepas reaksi Tata itu, Ghea kembali menoleh pada Kiana yang masih terkejut dengan perlakuan mendadak beberapa detik yang lalu.
"Oh iya, tumbenan kamu ke sini, kenapa?" tanya Ghea ramah sambil menepuk pelan paha Kiana.
Sontak, Kiana pun menghilangkan fokus pada ruangan dan anak-anak, beralih memutar kepala perlahan pada Ghea yang telah tersenyum. "Aku ... aku udah mikir, Mbak. Dan aku nerima permintaan Mbak itu. Tapi dengan syarat--"
"Wah, seneng banget," mata Ghea seketika membelalak sempurna dengan pancaran kehangatan tak terkira, "apa itu? Apa syaratnya?"
"Aku nggak boleh keluar dari tubuh Mbak sampe nama Kiana bener-bener bersih. Entah itu dipaksa atau nggak, aku nggak boleh keluar."
"Oke!"
"Trus, aku bebas pake semua fasilitas yang Mbak punya. Pokoknya semuanya...."
Sekali lagi Ghea mengangguk. "Tidak ada masalah sama sekali!"
"Dan terakhir--" Kiana nampak menatap Ghea dalam, kedua sudut bibirnya menekuk ke bawah yang membuat Ghea melakukan hal yang sama, "yang terakhir ... hm ... Mbak yakin mau lepasin keluarga Mbak?"
"Iya." Singkat Ghea.
Kiana mengambil kedua tangan lawan bicaranya dan menggenggamnya erat. Perempuan itu sekali lagi menatap langsung ke bola mata Ghea penuh kesungguhan, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ia masih memiliki keraguan akan masa depan. Akan tetapi, Kiana akan sedikit lebih lega jika semua izin Ghea berada di tangannya saat ini. Sehingga apapun langkah yang ia ambil kedepannya, ia tak akan merasa terbebani.
"Kalo aku nyaman, mereka boleh untuk aku ya, Mbak? Atau setidaknya kalo suatu saat nanti aku nggak bareng Mas Ardian dan Mbak akhirnya kembali ke tubuh sendiri, bangun dari tidur panjang ini, aku masih bisa ketemu dan maen sama anak-anak Mbak. Dan kita, tetap bisa temenan."
Ghea menggerakkan kepala ke atas-bawah dengan teratur. Sudut bibir yang semula menekuk, kini di atas membuat lengkungan indah. "Apapun itu, aku serahin ke kamu. Tapi yang harus kamu tahu, ada atau tidaknya aku nanti, anak-anak aku tetap punya kamu sekarang."
"Makasih ya, Mbak--"
"No, aku yang berterima kasih sama kamu. Terima kasih banyak karena sudah menerima permintaan aku. Aku tahu kamu yang terbaik!"
Ghea kemudian menarik Kiana dalam pelukan seraya mengelus punggung sang puan. Tak lupa pula ucapan terima kasih mengalun kembali berulang kali.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top