39. Puncak Emosi

.
.
.

Dua atau tiga hari seperti isi pesan teks Ardian sebelumnya nyatanya tidak pernah ada. Ardian tidak kembali bahkan setelah lima hari kepergiannya. Tidak memberikan kabar pun menghubungi orang rumah membuat Ghea dirundung pilu tak terhingga.

Tak hanya itu, si kecil Tata bahkan menunggu setiap sore di depan rumah, berharap melihat wajah ayahnya barang sejenak. Putri bungsu tersebut berulang kali bertanya pada Ghea. "Papa marah sama Adek ya Mama makanya nggak pulang-pulang?"

Pertanyaan itu mengalun setiap malam sebelum Tata memasuki alam mimpi atau saat sarapan. Tak berbeda jauh dari Tata, meskipun intensitasnya tidak terlalu sering, namun El juga menanyakan keberadaan sang ayah yang entah di mana sekarang. Pertanyaan itu tidak mampu dijawab oleh Ghea, sehingga ia hanya terdiam atau mengalihkan perhatian anaknya pada hal lain.

Ghea sudah berusaha menghubungi Ardian via apapun yang ia ketahui, kecuali membicarakannya dengan keluarga besar. Mungkin saja Ardian secara intens memberikan kabar pada Intan, Arya, Risa, dan Aini, sehingga mereka semua tidak mencari sosok laki-laki tersebut. Akan tetapi, itu tidak berlaku pada Ghea dan kedua anaknya.

Setiap sore, Ghea akan mengirimkan gambar-gambar sang anak dengan beragam aktivitas. Ya, Ardian nampaknya membuka gambar kiriman Ghea tersebut karena tanda 'terbaca' sudah terlihat. Sayangnya, laki-laki itu tidak memberikan respons apapun. Hal ini membuat Ghea bingung. Perempuan itu yakin bahwa Ardian sungguh-sungguh tidak membaca dan melihat isi pesan. Pria itu mungkin hanya membuka, lalu sedetik kemudian menutupnya lagi.

Mungkin saja....

Sekali lagi, puan itu tak pernah memberitahu keluarga tentang sang suami yang tidak memberi kabar kepadanya. Ah, ini sebenarnya dirasa sangat tidak benar. Akan tetapi, rasa bersalah juga jauh lebih besar di hati Ghea. Lebih tepatnya, Ghea tak ingin diinterogasi oleh anggota keluarga jika mereka tahu bahwa Ardian tak pernah kembali.

Jam telah menunjukkan pukul 16.45, Ghea yang masih berkutat di ruang kerja Ardian pun tertegun sejenak. Entah sejak kapan puan tersebut betah menghabiskan waktu di ruang suaminya ini. Mungkin saja rasa rindu itu yang menghantarkannya kemari.

Ghea akhirnya beranjak menuju walk in closet yang berada, mulai mencari-cari gaun yang akan ia kenakan nanti malam. Ketika wanita itu menemukannya, Ghea tersenyum samar kemudian bergerak cepat untuk menyiapkan segalanya.

Sebelum ia memasuki kamar mandi dan membasuh tubuh, Ghea terlebih dahulu mengirim pesan pada sang suami.

'Malam ini jangan lupa dateng ya papa. Mama tunggu'

.
.
.

.
.
.

Menginjakkan kaki di W&S Lounge, Ghea tampil dalam balutan gaun selutut berwarna hitam berpotongan dada rendah, clutch putih, dan sepatu hak berwarna senada gaun. Ia juga menggunakan kalung dan anting yang sebenarnya jarang dipakai, kecuali jika menghadiri acara-acara formal bersama sang suami. Namun, mengingat ini adalah hari istimewanya, ia ingin tampil memukau.

Melewati beberapa pengunjung dan karyawan, Ghea diantar menuju suatu ruangan di lantai tiga oleh Tati, petugas yang bertanggung jawab atas reservasi Ghea. Dengan begitu cekatan, Tati membuka pintu dan mempersilakan Ghea untuk masuk.

Ruangan dengan dominasi warna cokelat kayu ini terbilang luas, mungkin cukup untuk sekitar dua puluh orang. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dan dua buah kursi yang saling berhadapan. Satu sisi dindingnya adalah kaca yang menghadap langsung pada bangunan-bangunan tinggi kota. Di sisi kanan ruangan terdapat piano dan biola yang akan dimainkan oleh staf yang bertugas ketika Ghea menekan bel kecil di atas meja. Nampaknya, musik akan dimainkan bersama dengan datangnya makanan. Ah, Ghea juga tak terlalu paham mengingat ini kali pertamanya menginjak kaki di sini. Perempuan itu hanya diberitahu oleh Tati terkait bel dengan informasi yang minim. Ia juga tak memiliki inisiatif untuk bertanya lebih lanjut.

Ketika Ghea duduk di salah satu kursi, ia mendongak kecil untuk melihat lampu kristal yang menggantung di atas meja makan dengan warna cahaya kuning keemasan. Nyatanya, sinar ruangan tidak hanya berasal dari lampu kristal tersebut, tetapi beberapa titik juga diberi lampu dengan warna yang sama membuat ruangan nampak begitu romantis.

Jangan lupakan bagaimana para karyawan mendekorasi meja panjang yang berada di sisi ruangan dengan kain merah dan berbagai vas bunga, menampilkan nilai estetik yang memanjakan mata.

Kini tatapan Ghea jatuh pada meja di hadapannya. Dua piring putih dengan kain kecil di atas, beberapa sendok, dan sebuah vas bunga kecil telah tersaji dengan apik. Semuanya memang sesuai dengan permintaan Ghea, dan ia merasa tak ada yang meleset sama sekali membuat perasaannya senang.

Detik berganti menit lalu menjadi jam. Ghea masih tampak sabar untuk menantikan laki-laki bertubuh tinggi itu melewati pintu besar. Beberapa kali perempuan berambut gelap tersebut menoleh lalu kembali membuangnya ke segala arah ketika tak menemukan Ardian di sana. Sesekali ia memainkan ponsel dengan menekan nomor secara acak, mendengar kembali rekaman suara Tata yang bersenandung ria, atau mengamati berbagai gambar keluarga. Tak ada satu pun yang luput dari pandangannya.

Jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh malam, nampaknya Ardian benar-benar tak akan menemuinya. Akan tetapi, Ghea masih tetap menahan perasaan, meskipun jantung telah berdetak cepat dan hatinya diselimuti rasa was-was.

Ghea menggigit bibir bawah lalu kembali mengetikkan sesuatu kepada Ardian.

'Papa dimana? Papa nggak lupa kan?'

Sedetik kemudian tanda centang dua berwarna biru pun terlihat. Ini sama seperti yang lalu-lalu membuat Ghea mendengkus berat. Kembali, Ghea mengetik pesan.

'Mama nunggu papa dari tadi di sini'

Ya, Ghea kembali mendapatkan tanda centang dua seperti sebelumnya.

Tangan Ghea lantas bergerak untuk menekan nomor Ardian. Sayang, laki-laki itu tak mengangkatnya. Berapa kali pun Ghea menghubungi Ardian, begitu pula telepon tak tersambung. Ghea benar-benar putus asa untuk berbicara dengan sang suami sekarang.

Pukul 23.50, pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka membuat Ghea tersentak mendengar suara gesekan tersebut. Ghea pun bangkit dari duduk dan tersenyum lebar.

Deg...

Ya, Ghea dapat melihat seorang laki-laki yang tampak rapi dengan blazer berwarna hitam dan bagian putih di sisi luar. Rambut hitamnya ditata baik sehingga memperlihatkan kening yang indah. Aroma yang menguar dari tubuhnya amat sangat Ghea kenal, menggoda wanita itu agar lebih mendekat.

Akan tetapi, tarikan dua sudut bibir ke atas dengan lebar itu tak bertahan lama. Lantas tergantikan oleh senyum hambar nan hampa. Tidak, itu bukanlah sosok yang seperti Ghea harapkan.

Laki-laki itu mendekat ke arah Ghea, lalu memosisikan diri tepat di depan sang hawa membuat Ghea kembali duduk dengan tenang.

"Nggak mau mencet belnya?" tanya pria tersebut.

Ghea hanya melirik sebentar lalu kembali membuang napas, menundukkan pandangan, dan menggeleng perlahan.

Pria tersebut mengangguk lantas tangannya terulur untuk menekan bel. Sontak saja keempat pegawai pun keluar dari sebuah pintu yang berada di sisi lain dinding —tidak melalui pintu besar.

Dua pegawai pria mengenakan setelan jas masing-masing memainkan alat musik, satu pegawai wanita membawakan kue dua tingkat, dan satu orang lainnya mengantarkan makanan dalam troli.

Setelah seluruh makanan diletakkan di atas meja, Ghea tersenyum melihat kue dua tingkat berwarna putih dengan beberapa bunga mawar monokrom hitam dan putih yang ditata di pinggiran. Tepat di tengah kue terdapat lilin berangka delapan yang telah dinyalakan dan beberapa lilin kecil di sekelilingnya.

"Selamat ulang tahun pernikahan yang kedelapan, Ghea Aurellia," acap laki-laki tersebut ceria. "Sekarang buat permohonan dan tiup lilinnya!"

Ghea mengikuti titah tersebut, lantas memejam erat untuk beberapa detik. Setelah ia kembali membuka mata, Ghea tanpa ragu meniup lilin-lilin tersebut. Sang adam pun bertepuk tangan ringan sebagai responsnya membuat Ghea kembali menyunggingkan senyum lemah.

Pria tersebut kemudian secara perlahan mengubah warna tubuh dimulai dari tangan seraya berujar, "Kalo begitu—"

"Nggak, Zel!" acap Ghea memotong ucapan laki-laki yang tak lain adalah Hazel. Sontak saja, perubahan di diri Hazel seketika terhenti. "Tetap begini. Tetap dalam wujud seperti ini sebentarrr aja."

Mata Ghea berbinar ketika ia memohon dan tangannya dengan cepat meraih lengan Hazel, mencegah laki-laki itu untuk mengubah wujudnya menjadi semula. Jantung Ghea rasanya berdebar lebih buru-buru dari biasanya. Sesekali perempuan itu menggulung bibir ke dalam.

Ya, puan itu tahu bahwa saat ini yang berada di hadapannya bukanlah sang suami, melainkan Hazel berkasat mata dalam bentuk Ardian. Hal ini terlihat dari kedua tangan pria itu yang mengeluarkan asap hitam.

"Sorry, Ghea," tutur Hazel pelan. Ia terlihat menundukkan tatapan.

"No ... no, Hazel. Nggak usah minta maaf."

"Gue cuma pengen lo nggak sedih lagi."

Mendengar itu, Ghea meraih kedua tangan Hazel di atas meja dan menggenggamnya erat. Sang hawa tersenyum sendu seraya mencari-cari manik gelap Hazel. "I know ... I know. Makasih banyak ya, Zel. Makasih udah mau nemenin gue ngerayain ulang tahun pernikahan."

Tatapan Hazel terangkat yang akhirnya berserobok dalam satu tali tegak pada netra keputusasaan perempuan di depan sana. Sepertinya Hazel tahu bahwa Ghea mencoba menguatkan dirinya berkali-kali membuat puan itu hanya kembali menarik kedua sudut bibir ke atas dan mata berkaca-kaca.

Hazel membuang napas berat. "Sebenarnya kita berdua hanya merayakan ulang tahun pernikahan orang lain, Ghea. Oh, nggak ... maksud gue Kiana. Sorry, sekarang gue mulai emosi ngeliat lo kehilangan harapan seperti ini."

Mendengar itu, Ghea menggeleng perlahan dan berujar tenang, "Sayangnya, cuma ini, Zel ... cuma ini satu-satunya cara supaya Mbak Ghea bisa kembali ke tubuhnya."

"Masih banyak cara!" imbuh Hazel tak sabaran. Rasanya laki-laki itu gemas sekali dengan Ghea.

"Setelah lo ngeliat dan ngamatin gue dari kejauhan, lo pikir ada cara lain supaya gue bisa nepatin janji yang Mbak Ghea bikin untuk Mas Ardian? Nggak ada, Zel. Cuma ini yang gue bisa."

Tak sekokoh dan sekuat dinding tinggi, air mata yang sedari tadi Ghea tahan akhirnya tumpah tanpa suara memenuhi pipi. Hal ini seiras dengan pandangan Hazel yang dilempar keluar jendela, tak ingin menatap mata Ghea yang begitu menyayat hati.

Keheningan menyelimuti kedua insan tersebut di tengah-tengah nada yang mengalun dari alat musik di sisi kanan ruangan. Dengan perlahan, Ghea menarik tangan dari genggaman Hazel yang mulai menguat. Ini seketika membuat laki-laki itu mengerutkan kening dan memperhatikan wajah Ghea yang berada dihadapannya.

Kedua siku Hazel diletakkan di atas meja lalu tangannya bertautan di depan wajah.

"Lo harus liat sesuatu!" acap Hazel yang sontak menarik atensi sang hawa. "Liat ke arah jendela kaca itu, deh!"

Ghea kemudian menoleh ke arah jendela besar, mengikuti tunjukan dagu Hazel. Dengan sekali gerakan tangan di udara oleh sang adam, tiba-tiba saja sebuah citra terbentuk membuat Ghea mengernyit. Tidak, tidak ada orang yang mampu melihat layaknya layar televisi tersebut, kecuali mereka berdua. Orang-orang yang melihat Ghea dan Hazel sekarang ini mungkin menganggap bahwa keduanya sedang mengamati bangunan-bangunan pencakar langit di luar sana.

Dalam citra tersebut, Ghea dapat melihat Ardian sedang duduk di dalam mobil hitam. Perempuan itu menduga bahwa Ardian memang berkendara seorang diri dan entah sekarang berada di mana. Namun, laki-laki itu tertunduk menatap ponsel yang ada digenggamannya.

Seolah tahu pikiran Ghea yang kini terlihat memiringkan kepala dan memincingkan mata pada ponsel tersebut, Hazel menggerakkan sedikit jari untuk memperbesar gambar. Betapa terkejutnya Ghea mengetahui bahwa Ardian sedang membaca pesan yang ia kirim beberapa menit yang lalu.

Pecah. Air matanya kembali luruh tak tertahankan.

Ghea menoleh kembali pada Hazel dengan kening yang berkerut, pandangan penuh tanda tanya. "Ini ... beneran?"

Hazel mengangguk yakin tanpa memandang Ghea sama sekali. "Iya, ini posisi dia sekarang."

Perempuan itu terkekeh pelan di sela-sela tangis. "Sialan! Bangsat!" ringis Ghea seraya menggertakkan gigi. "Dia baca pesan gue, tapi satu pun nggak ada yang dia bales dari beberapa hari yang lalu. Sialan! Gue pikir selama ini dia cuma buka pesannya tanpa dibaca. Ternyata beneran dibaca ya? Wah ...."

Hazel mendengkus pasrah sembari menunduk. Tangannya bergerak untuk menyugar rambut sehingga beberapa helainya terlihat berantakan.

"Berarti dia tau kalo selama ini anaknya nyariin? Trus dia nggak ada respons gitu?" acap Ghea dengan sesekali mengusap mata.

Hazel kembali menatap Ghea lamat-lamat. "Dan lo harus tau ... suami lo ada di parkiran di bawah."

"Maksud lo?" Mata Ghea terbelalak sempurna.

"Dia ada di sini!"

"What?!"

Brak...

Ghea memukul meja dengan keras hingga beberapa benda-benda di atasnya bergetar. Jangan tanyakan bagaimana dua gelas minuman akhirnya tumpah. Untungnya, cairan berperisa jeruk dan anggur itu tidak terjejak di pakaian Ghea maupun Hazel.

Tanpa perlu berpikir panjang, Ghea bangkit dari duduknya meninggalkan Hazel menuju parkiran di depan bangunan tersebut. Bohong jika sekarang amarahnya tidak tiba di ubun-ubun. Jika Ghea bisa mendeskripsikan dengan baik, kepalanya terasa panas dan pusing. Napasnya bergemuruh hebat. Hilang akal? Mungkin dapat dikatakan demikian.

Setibanya ia di lantai dasar, Ghea melepaskan sepatu hak dengan susah payah dan meninggalkannya di pintu utama, tak peduli jika dirinya bertelanjang kaki. Setelah itu, ia mengamati semak-semak dan beberapa rerumputan di samping rumah makan yang sekarang sudah sepi. Ketika menemukan apa yang ia cari, Ghea melangkah menuju parkiran dengan cepat dan pikiran yang berkecamuk.

Ya, Hazel benar. Dari jarak beberapa meter, Ghea sudah dapat melihat belakang mobil Ardian. Dengan penerangan seadanya dari lampu-lampu taman dan cahaya bulan, Ghea sekuat tenaga melemparkan dua batu yang berada di tangannya.

Prang...

Dua batu berukuran sekepalan tangan itu berhasil memecah kaca belakang mobil dan menciptakan keributan yang tak terkira. Sayang, tidak ada satu pun orang yang menegur atau bahkan menghampiri Ghea kala itu. Sebab, ini sudah terlalu malam untuk orang-orang menyaksikan aksi brutal puan pada kendaraan roda empat suaminya. Atau, memang tidak ada orang yang peduli akan hal tersebut bahkan petugas keamanan sekali pun.

Bergegas, suara pintu mobil terbuka membuat Ghea mati langkah dan mematung layaknya manekin dari jarak yang cukup jauh. Ditatapnya laki-laki dengan mimik yang sulit untuk dijelaskan itu lekat.

"Mama—"

Ghea menggeleng cepat. "Jadi selama ini kamu tau, Mas?" geram Ghea seraya menanggalkan panggilan 'Papa' pada Ardian yang setiap hari ia gaungkan.

"Aku ingetin lagi kalo kamu lupa, Mas. Kepala Tata bengkak waktu kamu dorong dia dari tangga. Dan kamu ... kamu tau itu, tapi kamu nggak pulang atau bahkan sekadar nengokin dia barang sebentar?" marah Ghea dengan penuh penekanan dan bibir yang bergetar membuat Ardian menatapnya perempuan itu sendu. "Sampe sekarang setiap sore dia berdiri di depan pintu, nungguin kamu pulang tau nggak!

"Dua hari yang lalu El demam tinggi dan dia rewel, dia nyariin kamu. Tapi, kamu mana? Kamu di mana saat anak-anak butuh kamu, Mas?!"

Ya, semua yang Ghea ucapkan benar adanya, tanpa dibuat-buat untuk memancing Ardian pulang. Perempuan itu ingat setelah mengantar kepergian Ardian, Bi Sum buru-buru menghampirinya dengan wajah panik dan membawa Tata yang sudah menangis kencang. Melihat Tata, Ghea tentu saja khawatir setengah mati. Dibawanya putri kecil itu ke rumah sakit untuk diobservasi selama enam jam. Hingga dokter memutuskan tak ada indikasi kesehatan apapun, Ghea pun membawa Tata kembali ke rumah.

Hal berbeda terjadi pada El selang beberapa hari kemudian. Suhu tubuh anak sulung itu tiba-tiba meninggi di malam hari. Tak pelak lagi, Ghea harus begadang semalaman karena El yang ternyata rewel jika sakit. Anak itu meminta punggungnya dielus, dipeluk, dan lain sebagainya. Ghea sebenarnya tidak tega melihat El. Akan tetapi, ia tak bisa melakukan banyak hal, selain tetap bersama putranya sampai-sampai tidak bekerja di Primrose hari itu.

Satu tangan Ardian dinaikkan di atas dada, mencoba untuk menghentikan Ghea yang saat ini telah gelap mata.

"Papa cu—"

Ghea berdecak membuat Ardian seketika menggantungkan kalimatnya.

"Kamu benci sama aku, nggak papa. Kamu nggak mau liat muka aku, fine. Tapi tolong, jangan korbanin anak-anak. Apa kamu mau aku keluar dari rumah supaya kamu bisa ketemu anak-anak dengan leluasa? Aku lakuin, Mas. Aku akan lakuin semuanya demi anak-anak dan kamu nggak perlu menghilang lagi," sergah Ghea dengan wajah dan mata yang memerah. Kata demi kata yang mengalun sungguh penuh emosi.

Sementara Ghea dirundung kesedihan dan amarah yang memuncak, Ardian masih setia mengatupkan rahang dan tatapan terluka ia tujukan ke sang istri. Laki-laki itu tampak kehabisan kata-kata. Atau mungkin, dia memang tidak tahu harus menyanggah pernyataan Ghea seperti apa.

Ya, keduanya terlihat hancur.

Ghea menaikkan jari telunjuk pada Ardian, benar-benar meninggalkan sopan santun pada sang suami. "Ternyata bener ya, Mas, sulit untuk mengubah seseorang jika orang tersebut tidak mau mengubah dirinya sendiri. Tapi setidaknya, aku sudah mencoba untuk kamu, Mas."

Puan itu terdiam sejenak seraya membuang napas dari mulut berulang kali.

"Aku tau aku salah dan udah buat kamu kecewa. Aku sebenarnya malu untuk ketemu dan marah-marah kayak gini, ngirim pesan ngemis-ngemis, atau bicara sama kamu, tapi aku memaksa diri sendiri. Aku pengen jelasin semuanya, tapi kamu bahkan nggak mau repot-repot dengerin penjelasan aku tentang laki-laki itu, it's totally fine. Sekarang ... kamu bebas ngelakuin apa aja," tutur Ghea melemah seiring semakin sunyinya malam.

Tangan perempuan itu menggenggam gaun dengan erat seraya menunduk. Ghea memejam sebentar dan membuang napas dari mulut beberapa kali untuk menetralkan perasaannya yang telah berantakan. Namun, jauh di lubuh hati ia sedikit lega karena telah mengungkapkan segala hal yang menumpuk di dalam dada.

Tak lama kemudian, puan itu kembali mengangkat wajah dan berujar pelan, "Aku pernah bilang kalo aku nggak mau pisah dari kamu. Yeah ... 'cause I'm actually so madly in love with you.

"Tapi, kayaknya aku harus berpikir ulang untuk itu. Aku benar-benar menyesal dan minta maaf, Mas. Maaf karena aku udah ngecewain kamu. Aku nggak bisa jadi perempuan, istri, teman, sahabat, dan ibu yang baik buat anak-anak kamu. Maaf ...."

Tak lama kemudian, Ghea berbalik badan dan tak menghiraukan panggilan Ardian di belakang sana, seakan-akan telinganya tertutup sempurna. Ia hanya terus melangkah menjauh seraya menumpahkan kembali air mata dalam diam. Jika ia bisa berteriak, ia ingin sekali melakukannya. Akan tetapi, Ghea tahu bahwa meratap di malam hari hingga riasan di wajah menjadi berantakan dan melangkah di tepi jalan tanpa mengenakan alas kaki, sudah cukup membuatnya menjadi wanita paling menyedihkan.

Di keheningan malam, puan itu hanya mampu memeluk tubuh yang bahkan mulai goyah. Ia biarkan angin membawa derapnya menjauh tanpa tahu tujuan. Ya, Ghea ingin menumpahkan seluruh air mata seorang diri seperti yang biasa Kiana lakukan dulu.

Bahkan di tubuh yang berbeda sekalipun, semuanya sama saja....

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top