38. Pertengkaran
.
.
.
Terlalu banyak pertanyaan yang berjalan kian kemari di kepala Ardian, menuntut untuk dipuaskan oleh penjelasan. Seandainya ia tidak meninggikan ego dan gengsi, mungkin saja laki-laki berahang tegas itu telah mendapatkan semuanya dari Ghea sedari dulu. Omong kosong jika ia mengatakan bahwa pikiran-pikiran itu tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Membelah jalanan yang ramai oleh kendaraan di sore hari dan harus mengendarai mobil kembali ke rumah seorang diri --mengingat Rafli sedang istirahat karena sakit, Ardian terlihat keletihan dengan kantung mata yang mulai menggelap dan membesar.
Sebenarnya, suasana hati laki-laki itu tidak mendukung untuk bekerja. Akan tetapi, ia tetap memaksakan masuk pada pagi hari dan pulang sekitar jam tiga sore. Dalam perjalanan ke rumah, ia mendengar ponselnya berbunyi di kantung celana. Dengan pandangan yang masih terfokus pada jalan, Ardian berusaha meraba dan meraihnya.
Ardian tidak melihat nama yang tertera pada layar dan langsung mengangkat telpon begitu saja. "Iya, halo?"
"Lo lagi di mana?"
Ah, ternyata itu Reza.
"Lagi di jalan mau balik ke rumah. Kenapa, Za?"
Hanya ada senyap untuk beberapa detik membuat Ardian sontak mengerutkan kening dengan sesekali melirik keluar jendela.
"Ar, dua gudang aspal di Sulawesi kebakaran," lontar Reza pada akhirnya.
Sontak saja tenggorokan Ardian terasa tercekik, jantung seakan-akan berhenti berdetak dan pupil mata melebar sempurna ketika kata-kata itu keluar dari mulut Reza. Segera ia menepikan mobil dengan cepat, lalu memejam sebentar untuk memproses informasi yang baru ia terima.
Ini dirasa terlalu mendadak untuknya.
Pabrik sekaligus gudang aspal tersebut merupakan salah satu lokasi produksi terbesar yang dimiliki oleh PT Bratadikara Industri. Tak tanggung-tanggung, produk yang dihasilkan dalam setahun pun mencapai jutaan ton. Maka tak heran jika Ardian tampak geram dengan musibah yang terjadi pada pabrik tersebut.
"Ar, lo nggak papa?"
"Kok ... kok bisa?" tanya Ardian seraya mencengkeram stir dan meletakkan kening di sana.
"Dugaan sementara karena korsleting. Tapi, polisi masih selidiki lebih jauh. Lo mau berangkat ke sana?"
"Pastilah ...."
"Mau berangkat besok pagi atau sore?"
"Kenapa harus besok kalo bisa hari ini?" tegas Ardian sembari mengangkat kepala.
Terdengar hembusan napas Reza di ujung sana seolah ia tak menyetujui perkataan pemimpinnya tersebut. "Ar, lo harus istirahat!"
"Gimana gue bisa istirahat kalo situasinya kayak gini, Za? Kita harus berangkat malam ini. Kasih tau Jenar untuk nyiapin semuanya."
Tanpa menunggu lama, jemari Ardian bergerak untuk memutus sambungan telepon dan kembali menjalankan mobil menuju rumah dengan perasaan kalut yang luar biasa.
.
.
.
.
.
.
Setelah mengendarai mobil selama kurang lebih lima belas menit, Ardian akhirnya tiba di rumah. Perjalanan dirasa sangat lama membuatnya sempat tak mampu menahan luapan perasaan hingga harus memukul-mukul stir sambil melontarkan kata-kata kasar. Tanpa memarkirkan mobil di garasi seperti biasanya, ia dengan cepat keluar dari kendaraan dan berjalan menuju pintu utama.
Dibantingnya pintu dengan keras membuat beberapa asisten rumah tangga tersentak, termasuk Bi Sum bersama Ghea yang saat ini sedang menemani Tata bermain di ruang tamu. Entah mengapa putri kecil tersebut memutuskan untuk bermain di sana. Hadirnya Ardian membuat Tata segera bangkit dari duduknya di karpet dan bergerak menuju sang ayah yang berjalan lurus, tampak tidak memedulikannya.
"Papa, Papa, ayo main!" ajaknya antusias sembari mengikuti langkah tangkas Ardian. Jangankan berhenti sejenak untuk mengamati Tata, melirik sekilas pun tak Ardian lakukan.
"Papa, ayooo ...."
Tubuh kecil itu akhirnya merengkuh kaki sang ayah tepat setelah Ardian menginjak anak tangga kedua. Ini membuat derap mereka seketika terhenti.
Ardian menoleh ke arah tungkai dengan kening terlipat dan tatapan tajam menusuk. Tata yang mendongak sontak saja tertegun, sedikit tak nyaman melihat ekspresi yang mungkin baru saja ia lihat dari sosok ayahnya.
"Adek bisa diem? Papa nggak bisa nemenin Adek karena Papa buru-buru!" balas Ardian dengan tegas.
"Sebentar aja, Papaaa." Anak kecil itu masih berusaha membujuk dengan sesekali menggoyang-goyangkan pegangannya pada celana hitam Ardian.
"Adek dengerin Papa, nggak?" bentak sang adam yang membuat Tata tersentak.
Netra gelap kecoklatan milik si kecil mulai berbinar menahan air. "Adek cuma pengen main sama Papa bentar aja," ucap Tata dengan nada lirih.
Ardian membuang napas, lalu kembali meluruskan pandangan. Meskipun begitu, Tata masih kukuh memegang bahkan memeluk kaki Ardian. Merasakan respons Tata itu, Ardian seketika menggerakkan kaki dan mendorong buah hatinya sedikit ke belakang agar jeratan si kecil terlepas. Laki-laki itu kembali melanjutkan derap tanpa menoleh sedikit pun ke arah Tata yang sudah menangis kuat memecah keheningan dalam rumah.
Suara Tata sukses menarik perhatian banyak orang. Melihat putri kecilnya terduduk di depan tangga, Ghea dengan cepat menggendongnya dan memberikan pada Bi Sum, sementara ia bergerak mengikuti Ardian hingga ke dalam kamar.
BAM...
Pintu kamar dibanting oleh Ghea seakan-akan ia membalas perlakuan Ardian sebelumnya.
Tangan si puan kemudian menarik lengan Ardian membuat langkah pria itu terhenti dan menghempas genggaman sang istri dengan kasar. Mata mereka akhirnya berjumpa, namun tidak dalam suasana yang menyenangkan seperti biasanya.
"Papa apa-apaan, sih? Kalo Papa nggak mau nemenin adek, Papa nggak perlu sekasar itu sama dia!" seru Ghea.
"Ya abisnya dia nggak mau denger. Udah Papa bilang kalo Papa buru-buru."
Ardian pun memutar tubuh dan berlalu meninggalkan Ghea. Meskipun begitu, perempuan tersebut tetap mengikuti sang suami menuju walk in closet. Sembari mengamati tangan Ardian membuka lemari dan mengambil beberapa kaus lengan panjang berwarna gelap, celana, dan pakaian dalam, Ghea yang berdiri di ambang pintu pun bertanya, "Papa mau ke mana? Papa beneran nggak bisa apa nemenin adek?"
"Biasanya juga nggak Papa temenin, adek baik-baik aja, tuh. Lagian kenapa nggak Mama aja, sih?"
"Mama udah main sama dia dari tadi," acap Ghea. "Emang sepenting itu kerjaan Papa sampe harus terburu-buru? Sibuk banget? Mama juga kerja, tapi bisa luangin waktu buat keluarga--"
Brak...
Pintu lemari ditutup dengan keras oleh Ardian membuat Ghea mengernyit dan mengatupkan mulut. Laki-laki itu kemudian berjalan ke arah istrinya dengan ekspresi menusuk. Dusta jika Ghea tidak gentar sekarang, sebab untuk pertama kalinya wanita tersebut melihat kilatan amarah seorang Ardian Bratadikara yang menciptakan rasa bergidik ngeri.
"Karena kerjaan kita memang beda, Ma. Nggak usah dibandingin gitu!"
Ardian melangkah hingga jarak tubuh sepasang suami istri itu tersisa dua jengkal, lalu pria itu berdesis, "Papa percaya, kok, kalo Mama bisa luangin waktu buat keluarga. Percaya banget. Karena terlalu percayanya, Papa juga seyakin itu kalo Mama bisa luangin waktu buat laki-laki lain di luar sana."
"Pa--"
"Perkataan Papa bener, 'kan?"
Mulut Ghea seketika terbuka seiras dengan iris yang melebar, tak percaya dengan untaian yang mengalun dari mulut suaminya. "Mama nggak punya niatan untuk ngelakuin hal kayak gitu."
Ardian sontak mendecih muak. Berkali-kali ia menggeleng setelah melihat air muka Ghea yang memucat bak penjahat tertangkap basah dengan bukti di tangan.
Ah, Ardian benar-benar tidak dapat menahannya kali ini. Mata pria itu bagai terselimuti kabut gelap dan organ pendengaran dirasa tak mampu menjangkau suara di sekeliling untuk menyadarkannya.
"Oke, Papa nggak ada waktu buat basa-basi lagi. Sekarang jawab Papa, ada hubungan apa Mama sama Valdy?"
Ghea melongo sebentar, lalu menggeleng cepat. "Nggak ada, Papa," tuturnya lemah.
"Mama masih nggak mau ngaku?"
"Karena memang nggak ada!" pekik Ghea dengan suara yang bergetar. Obsidian gelap miliknya mulai perih menahan air mata yang siap tumpah kapan saja mendengar pertanyaan yang menusuk nurani itu. Ya, Ghea mengakui bahwa perasaannya tersentil.
"Berhenti bohong, Mama!" balas teriak Ardian tepat di wajah Ghea. "Papa tau apa yang Mama lakuin di luar sana."
Sang hawa menjatuhkan tatapan begitu saja. Tenggorokannya sangat kering dan sakit hingga sepatah dua patah kata tak mampu terlontar lancar. Dada perempuan itu terengah-engah dan sesak seakan benda berat menghantamnya dalam satu waktu.
"Mama ingat pertama kali Mama pingsan di tepi jalan? Sepanjang Mama tertidur, Mama cuma meracau dengan nyebutin nama satu orang. Valdy, Valdy, dan Valdy!" jerit Ardian dengan mata yang memerah nyalang. "Bisa-bisanya Mama sebut nama laki-laki lain."
Ghea mengatupkan rahang, lantas tangannya bergerak perlahan untuk meraih tangan Ardian. Sayang, laki-laki itu kembali menghempas dengan keras membuat Ghea seketika berderai air mata.
"Mama juga bela-belain pergi ke Femelle, padahal Papa tau Mama lagi nggak enak badan. Tapi sampai di sana, Mama justru berduaan sama laki-laki itu, ngebiarin dia nyentuh bibir Mama seenaknya. Mama bahkan bohong ke Papa dengan bilang kalo Mama lagi bareng Amora. Papa liat semuanya, Ma. Papa punya mata!" murka Ardian dengan lantang, nampak sudah tak peduli dengan perasaan perempuan di depannya yang tertunduk lesu dan menangis terisak.
"Trus, apa yang kalian lakuin di Primrose waktu itu? Kalian sudah sejauh mana?"
Dengan sisa keberanian, Ghea mengangkat wajah penuh pilu dan menggigit bibir bawah dengan kuat-kuat. Mata sembap itu menatap ekspresi sang suami yang sarat akan kehancuran dan keputusasaan membuat Ghea juga seketika merasa hal yang sama.
"Mama nanya apa ke Risa, Bi Sum, sama Reza kemarin-kemarin?"
Ghea sekali lagi menggeleng lambat, lalu maju selangkah pada Ardian hingga tak ada jarak di antara mereka. Kedua tangannya bergerak menangkup wajah sang suami, meskipun Ardian berulang kali membuang wajah sebagai isyarat bahwa dirinya tak ingin disentuh. Seakan tersadar, laki-laki itu menahan diri untuk tak melakukan hal yang kasar, karena ia tahu bahwa ia telah banyak berbuat demikian hari ini. Kedua mata Ardian menatap lurus pada Ghea dengan lamat penuh kesenduan.
Setetes air pun jatuh menjejak di pipi sang adam membuat puncak air mata Ghea akhirnya pecah untuk kesekian. Mereka seketika tertunduk lama, hingga tanpa sadar kening keduanya saling bertemu membuat Ghea memejam seraya menetralkan perasaan.
Satu pertanyaan dari sang suami membuat Ghea refleks mendongak. "Mama mau pisah dari Papa?"
Kepala puan itu menggeleng kecil, lalu menjatuhkan kedua tangan dari wajah Ardian. "Nggak, Papa. Mama nggak mau pisah dari Papa. Dengerin Mama dulu ya," ucap Ghea memelas.
Ardian kemudian membalikkan tubuh, tampak tak ingin mendengarkan sang istri dan Ghea sangat paham akan hal ini. Pria itu berjalan menuju kursi malas yang berada di depan lemari. Lantas, ia bergerak mengambil pakaian yang sempat ia letakkan di sana dan sebuah ransel yang tak jauh dari kursi tersebut. Dimasukkannya seluruh pakaian secara acak membuat Ghea mengerutkan kening.
Perempuan tersebut kemudian menghapus air mata dengan lengan, lalu mendekat dan mengambil pakaian-pakaian itu dari tangan Ardian dengan sedikit kasar. Tanpa ada perkataan apapun, sang adam membiarkan Ghea untuk melipat dan membereskan seluruh keperluannya.
Keheningan itu terpecah ketika tiba-tiba saja ponsel Ardian berdering.
"Ya, Jenar?" tanya Ardian.
"Selamat sore, Pak. Untuk keberangkatan hari ini, tiketnya sudah ada di saya, Pak," jawab Jenar yang langsung didengar oleh Ghea sebab Ardian menekan pengeras suara.
"Ya sudah, saya langsung ke bandara."
"Baik, Pak. Untuk informasi lanjutannya, saya kirim lewat pesan teks, Pak."
"Ok ...."
Ardian memutus sambungan telepon secara sepihak, lalu ia bangkit dan berjalan menuju toilet untuk mengganti pakaian.
Ardian tak ingin membuka pembicaraan, begitu pun Ghea. Kedua terdiam seraya sibuk dengan urusan masing-masing. Setelah semuanya siap, Ardian langsung meraih ransel di tangan Ghea dan membuka pintu kamar. Melihat gerakan cepat sang suami, Ghea pun berlari kecil melewati Ardian seraya memanggil-manggil Andi --sang asisten rumah tangga yang berjaga.
"Saya, Bu?" ujar Andi ketika derap Ghea tiba di depan pintu utama.
"Kamu anterin bapak ke bandara ya."
"Kalo gitu saya ganti baju dulu, Bu."
Ghea melambaikan tangan. "Eh, nggak usah. Kamu nggak turun dari mobil ini."
"Iya juga ya, Bu. Kalo gitu saya permisi, Bu."
Andi pun melangkah meninggalkan Ghea setelah satu anggukan diberikan oleh sang hawa menuju mobil yang diparkir asal di depan sana.
Saat Ghea memutar tubuh, ia sudah mendapati Ardian berjalan ke arahnya. Sedetik kemudian kaki Ardian tiba di depan tubuh Ghea membuat perempuan tersebut melenggak melihat wajah sayu sang suami.
"Papa nggak boleh ngendarain mobil dalam emosi tinggi kayak gini. Jadi, Papa diantar sama Andi ya," jelas Ghea lembut yang membuat Ardian memejam dan mengembuskan napas lewat mulut.
Secara spontan Ghea merengkuh sang suami dalam pelukannya. Sayang, Ardian tidak melakukan hal yang sama. Justru pria itu melepas pelukan Ghea dan berucap pelan, "Papa pergi dulu."
Ghea mengangguk, lalu pandangannya terarah pada punggung yang semakin lama semakin menjauh dan hilang di dalam mobil. Melihat Ardian yang bahkan tak berbalik untuk memandangnya walau sejenak, Ghea meremas dadanya yang sesak setengah mati.
Ardian melihat jelas Ghea dari dalam mobil. Bohong jika ia tidak merasa asak yang sama. Ingin sekali ia berteriak, memukul, atau membanting apapun yang ada di sekitarnya ketika berada di samping Ghea beberapa menit yang lalu. Akan tetapi, ia tidak bisa. Sudah cukup ia melihat ketakutan dari sang istri saat mengamati raut wajah tegas miliknya.
Beberapa tetes air refleks terjatuh melewati pipi, namun laki-laki itu berusaha untuk tidak menampakkan pada sang sisten yang kini sedang memperbaiki posisi jok di depannya.
"Kita langsung ke bandara, Pak?"
Pertanyaan Andi itu membuat Ardian mengusap wajah dengan kasar untuk menghilangkan bekas air mata.
"Iya."
Mobil hitam baru saja meninggalkan kediaman besar itu, lantas tangan Ardian sudah meraih ponsel dan mengetikkan pesan untuk sang istri. Meskipun masih diselimuti oleh emosi, ia tetap berusaha membuat Ghea sedikit tenang di tengah ketidakhadirannya.
Jauh di relung hati, Ardian tidak bermaksud untuk menanyakan perpisahan tersebut pada Ghea. Hal itu tiba-tiba saja terlontar yang justru membuat ia kini amat menyesalinya. Tentu Ardian merasa amat bersalah sekarang, sebab tak dapat dipungkiri bahwa ia sangat mencintai sosok yang sudah menemaninya selama hampir delapan tahun dan telah memberikannya buah hati tersebut. Tak ada niat sedikitpun untuk berpisah dari Ghea seperti ucapannya tempo hari pada Reza.
'Lupa bilang tadi kalo papa keluar kota sekitar dua atau tiga hari. Nanti kita bicara lagi ya Ma.'
Dan Ardian ... benci dengan rasa kepeduliannya ini.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top