37. Luapan Perasaan

.
.
.

Langkah sang hawa begitu cepat melintasi lorong sempit dan jalan-jalan kecil di pagi hari menuju sebuah tempat sederhana yang menyediakan kopi hangat. Lokasinya berada di antara gedung-gedung tinggi dan tak jauh dari Primrose. Tidak seperti hari-hari sebelumnya di mana ia memesan dari sebuah kedai kopi kenamaan, kali ini ia rindu untuk kembali menikmati secangkir kopi hitam hangat khas kaki lima andalan Kiana dan pasangannya dulu.

Tempat berjualan tersebut hanya beratapkan tenda biru dengan setiap ujung diberi tali rafia, ditarik dan dililit kuat pada tiang-tiang yang berada di kanan-kiri bangunan. Terlihat pula tempat duduk dan meja panjang terbuat dari kayu yang diposisikan menghadap dinding berlumut. Sedangkan kursi-kursi plastik merah tanpa sandaran diletakkan melingkari meja kayu berbentuk lingkaran, sesuai bagi pelanggan yang datang bersama teman, keluarga, atau kenalan lainnya. Tampak juga seorang pria paruh baya dan anak laki-lakinya yang begitu cekatan menyediakan kopi di gerobak bercat senada warna tenda. Jika sang puan tak salah ingat, sudah lebih dari lima tahun mereka berjualan di sini.

"Pak, kopinya satu ya," ucap Ghea sambil menaikkan jari telunjuk menuju Muhtar, nama pria paruh baya tersebut. Ah, ternyata ia masih mengingat namanya dengan baik.

"Oh iya, Bu." Muhtar membalas dengan ramah.

Ghea kemudian mengambil posisi di tempat duduk panjang, sebab tak begitu banyak orang di sana. Dari sudut mata, puan tersebut hanya melihat sepasang kekasih yang sedang bercengkrama seru diselingi sesekali cekikikan dari sang wanita berjarak satu setengah meter darinya.

Entah mengapa lamunan sang hawa terbang pada beberapa tahun ke belakang. Di tempat dan suasana yang sama, ia berbagi cerita dengan laki-laki yang berstatus sebagai kekasihnya. Persis seperti sepasang anak manusia itu.

Ia ingat pernah bertanya, "Mas, siapa yang cocok meranin Angel di film Overheat, aku atau Mbak Vinara?"

Overheat adalah film bergenre aksi yang masuk dalam deretan film box office tiga tahun lalu, berhasil meraih banyak penghargaan dan pendapatan fantastis di negara ini. Sang hawa terkenang proses casting untuk memerankan tokoh bernama Angel, seorang protagonis perempuan yang memiliki kemampuan bela diri memadai dan ahli memegang senjata. Waktu itu, Kiana berusaha mati-matian berlatih bela diri untuk mendapatkan peran tersebut hingga akhirnya keluarlah dua nama yang menjadi kandidat, dirinya dan Vinara.

Terpaut usia dunia tahun, kepopuleran dan pengalaman Vinara di industri perfilman sempat membuat nyali Kiana ciut. Ia bahkan terang-terangan mengatakan pada diri sendiri bahwa ia tak mungkin mendapatkan peran tersebut.

Namun, beberapa hari setelah casting diadakan, Vinara memutuskan mengundurkan diri karena masalah keluarga yang harus ia selesaikan. Tentu saja Kiana tidak dapat melewatkan kesempatan tersebut dan membuat namanya kembali menjadi perbincangan di segala sisi, termasuk dunia maya.

Mendengar pertanyaan itu, sang adam mengangkat satu tangan untuk membelai puncak kepala kekasihnya dengan lembut. "Ya tentunya kamu, dong, Sayang."

"Seandainya Mbak Vinara nggak undurin diri ya, Mas, mungkin aku nggak punya kesempatan."

"Itu berarti memang sudah jadi rejeki kamu. Pokoknya pasti ada aja, deh, jalannya kalo memang itu udah jadi rejeki kita. Nggak akan ke mana."

"Iya juga ya, Mas," acap Kiana. "Tapi, aku pengen Mas bayangin. Seandainya posisi kita cuma temenan nih ya dan kamu nggak ada perasaan sama aku seperti sekarang, kalo aku nanya kayak tadi pasti kamu bakalan jawab Mbak Vinara. Iya, 'kan?"

Valdy memperlihatkan cengiran, lalu menggeleng, "Nggaklah ...."

"Nggak salah lagi. Ya kan, Mas?" goda Kiana dengan menaikkan alisnya berulang kali membuat Valdy mesem.

Wanita itu jelas tahu bahwa Vinara adalah salah satu artis kesukaan Valdy, meskipun begitu Valdy tak ada niatan untuk berkenalan dengan Vinara. Padahal Kiana berkali-kali mencoba mengenalkan Vinara pada kekasihnya itu.

"Udah, ah. Itu kopinya diminum, entar keburu dingin!" acap sang adam yang sudah salah tingkah.

Kiana hanya tersenyum, lalu menyeruput kopi tersebut perlahan.

Hah, kenangan itu....

"Bu, ini kopinya." Fikri, anak laki-laki Muhtar bersuara seketika membuyarkan lamunan sang hawa.

"Oh i-iya, makasih," ujar Ghea ketika melihat segelas minuman berwarna hitam pekat telah tersaji di depan mata. Aromanya pun sungguh menggugah selera.

Sebenarnya, Ghea ingin sekali mengajak Ardian ke sini dan mencoba minuman yang menjadi kegemarannya. Akan tetapi, terkadang niat tersebut tak pernah terlaksana ketika mengingat bagaimana laki-laki itu lebih banyak menghabiskan waktu di kafe elit bersama rekan-rekannya. Belum tentu juga Ardian setuju dengan ajakan Ghea ke sini, bukan?

Seseorang tiba-tiba saja duduk di sebelah Ghea saat perempuan itu sibuk menatap dan mengaduk kopi. Ia terdiam sejenak. Namun, wewangian woody floral musk dengan paduan lavender dan jeruk mandarin yang sangat ia kenal menguar dari tubuh sang adam, berhasil membuat Ghea mengangkat wajah.

Puan itu memperhatikan muka laki-laki yang saat ini sedang mengangkat jari telunjuk pada Muhtar dengan mengatakan, "Pak, satu ya. Yang biasa."

"Siap, Pak."

Valdy, laki-laki itu menyunggingkan senyum manis pada Ghea.

"Mas?" Pandangan Ghea terpaku pada laki-laki berambut hitam legam tersebut, tak mampu berpaling seolah ia terhipnotis pada sosoknya yang menawan dengan setelan jas hitam. Rambutnya ditata rapi hingga memperlihatkan kening.

Valdy semakin melebarkan senyum dan mengangguk perlahan. "Iya, Kiana?" ucapnya penuh kelembutan.

Bohong jika Ghea tidak terkejut berkali-kali. Pertama, Valdy mendadak muncul dan duduk di sebelahnya --seharusnya ini tidak mengherankan, sebab tempat ini juga menjadi kesukaan Valdy. Kedua, pria tersebut memanggilnya dengan nama Kiana. Selama perempuan itu terbangun di tubuh ini, tak ada satu orang pun yang memanggilnya Kiana. Ah, kecualikan Hazel, sebab ia memang bukan manusia pada umumnya.

"Ta-tapi ... gue Ghea."

Valdy tertawa tanpa suara hingga terlihat guncangan di kedua bahu. "Ya abisnya lo manggil gue Mas. Yang manggil gue kayak gitu, kan, cuma Kiana."

"Benar juga ...."

Ghea merapatkan mulut, begitu pun Valdy. Keduanya memang duduk berdekatan. Akan tetapi, hati mereka sangat jauh. Atau mungkin bukan, hati Valdy mendekat ke arah Ghea sementara puan itu memilih untuk memalingkannya ke arah lain hingga Valdy tak mampu mengejarnya.

"Gue nggak mau berantem setiap kali kita ketemu. Gue mau kita balik ke awal, nyaman satu sama lain kayak pertama kali saling kenal di apartemen Kiana waktu itu," lontar Valdy tanpa menoleh pada Ghea sedikit pun.

"Lupain aja. Toh, sampe kapanpun kita nggak bakalan bisa kayak gitu lagi."

"Bahkan satu kali, Ghea?"

"Iya."

Terdengar hembusan napas kuat Valdy setelah mendengar tiga huruf dari Ghea. Lantas, pria itu menoleh dan mengucapkan terima kasih pada Fikri yang membawakannya minuman, sedikit menjadi penengah di tengah suasana yang serba tak enak ini.

"Gue cuma mau deket sama lo. Apa itu salah?"

Ghea berdecak. "It is, yeah ... kenapa lo masih nanya? Val, gue udah married dan punya dua anak. Lo tau itu, tapi masih berusaha untuk deket sama gue? Udah gila!"

"Lo bisa anggap gue gila atau terserah apapun itu. Tapi, perasaan gue ke lo itu emang benar adanya. I'm falling in love with you, Ghea." Valdy masih berkeras.

Wanita itu berdecih. Satu sudut bibir ia bawa ke atas seraya memutar mata. Lantas, tatapan Ghea kini memusat pada wajah putih dengan hidung tinggi dan rahang tegas tersebut.

"Kasih gue satu kesempatan untuk lebih dekat sama lo. And I promise, gue bisa kasih lebih dari yang Ardian kasih ke lo selama ini."

Ghea mendengkus ringan sambil tersenyum remeh. Berkali-kali ia menggelengkan kepala. "Ini bukan tentang pemberian, Val. Tapi, tentang kesetiaan. Gue sayang sama suami, anak-anak, keluarga ... dan karena rasa sayang dan ikrar sakral yang gue ucapin dulu, gue masih setia di samping mereka. Gue yakin kalo perasaan lo ke gue itu cuma sementara," ujar Ghea.

Valdy nampak kehabisan kata-kata dan menatap puan itu lamat-lamat. "Lo ... nolak gue?"

"Nggak ada yang berubah, Val. Gue tetap dengan pendirian gue sebelumnya kalo gue nggak ada perasaan ke lo."

"Sama sekali, Ghea?"

"Sama sekali!"

Ghea dan Valdy kembali mengatupkan rahang. Sang puan menyesap kopi, sementara Valdy hanya memainkan tepian gelas dengan jari telunjuknya. Minuman itu bahkan belum disentuh oleh Valdy sama sekali.

Suasana tempat menjadi sepi ketika satu per satu pelanggan meninggalkan posisi mereka, kembali ke rutinitas seperti biasanya. Duduk di samping Valdy dalam keadaan seperti ini seketika membuat Ghea juga ingin beranjak dengan cepat.

"Ghea, asal lo tau gue udah lepasin Kiana buat lo. Gue kembaliin cincin pertunangan itu. Dan sekarang gue datang cuma buat lo. Tapi, kenapa lo nggak ngeliat gue bahkan cuma sekali? Gue nggak minta macam-macam, cuma pengen lo selalu ada di samping gue. Udah, itu aja!" sungut Valdy tertahan.

Sang puan menggaruk-garuk kening dengan ekspresi datar. Setelah itu, ia menoleh pada Valdy yang wajahnya telah memerah menahan amarah. Andai kata mereka sekarang hanya berdua dalam ruangan, niscaya Valdy akan kembali bersikap ofensif seperti sebelumnya.

"Lo minta gue untuk ada di samping lo setiap waktu. Kenapa? Lo sekarang nyesel karena udah sering ninggalin Kiana dulu? Lo menyayangkan sikap lo yang nggak punya banyak waktu untuk dia? Kenapa harus sekarang, Val?"

Valdy hanya bergeming membuat Ghea menatapnya nyalang.

"Lo di mana di saat dia struggle dengan pemberitaan miring di luar sana? Lo di mana saat Kiana mencoba mengakhiri hidupnya berkali-kali?"

Ghea menggeleng seraya menggertakkan gigi. Kilau netranya seolah menyiratkan luka menganga yang dialami oleh sang hawa. Pancaran goresan kepedihan itu tercetak jelas yang mungkin membuat siapa saja yang melihatnya akan melirik iba.

Dia, Kiana. Sosok yang kerap kali wara-wiri di layar kaca dengan senyuman indah dan tutur kata menyenangkan. Punggungnya begitu kokoh berdiri sepanjang sorotan kamera dan gaungan cemoohan kala itu. Di depan kamera, ia adalah wanita sempurna. Namun, tak ada yang mengetahui jika ia memiliki banyak luka di sepanjang tubuh di belakang layar. Luka satu akan dia tutup dengan luka lainnya dan terus berulang.

Memang benar bahwa mimpi sang puan adalah menjadi seorang aktris terkenal. Akan tetapi, ia ingin dikenal dengan prestasi, bukan fitnahan. Sayangnya, belum sempat ia membuktikan segala hal, kecelakaan merenggut kesempatan itu. Nampaknya memang dia diberi waktu untuk beristirahat sejenak dari hiruk pikuk.

Semakin lama perempuan itu menyadari bahwa ia terlena dengan wujud yang bahkan seberkas cahaya pun tak mampu menangkapnya. Ya, ia sudah terlalu nyaman sekarang.

"Nggak, lo nggak ada di sana. Jangankan untuk menemani Kiana yang sedang terguncang, telpon dia aja lo nggak pernah angkat. Padahal dia butuh lo, sangat sangat butuh lo di sampingnya. Tapi, apa yang dia dapetin, Val? Nggak ada, selain rasa sakit yang dipendam sendiri."

Ghea menggeleng sambil mengembuskan napas, lalu kembali bertutur, "Dan sekarang lo minta gue untuk selalu di samping lo?" Wanita itu terkekeh merendahkan, terlihat cukup puas setelah mengungkapkan seluruh isi hati Kiana.

"Mari berbicara dengan kepala dingin sekarang seperti yang lo bilang di awal. Kata orang, 'Sia-sia saja memberitahu mereka yang sedang jatuh cinta, karena pada hakikatnya mata dan telinga mereka telah tertutup'. Tapi, nggak tau kenapa gue tetap pengen bilang ini ke lo.

"Seandainya gue menerima lo dan kita menjalin hubungan yang lebih jauh, sudah pasti gue harus meninggalkan semuanya, Val. Anak-anak, suami, keluarga, dan mungkin juga teman-teman terdekat. Gue diibaratkan sebagai ratu, secara sadar sudah menghancurkan kerajaan gue sendiri demi kerajaan lain yang belum tentu sebaik kerajaan sebelumnya. Sedangkan lo, pangeran yang sebentar lagi akan naik tahta memimpin kerajaan, justru memilih ratu dari kerajaan runtuh itu untuk menjadi pendamping.

"Lo mau menikah dengan ratu yang bahkan telah menghancurkan kerajaannya sendiri? Bilang sama gue, pangeran bodoh mana yang ngelakuin itu semua? Bukan tidak mungkin ratu itu akan melakukan hal yang sama ke kerajaan kedua. Iya, 'kan? Ratu di seluruh dunia mati-matian menjaga tahta, kerajaan, dan warganya ... dan itu yang gue lakuin sekarang di tengah semua keterbatasan gue, Val."

Mata Valdy nampak berbinar dan bergerak cepat untuk menahan airnya agar tak tumpah ruah, agar tembok tingginya tidak runtuh menghantam permukaan tanah. Sesekali ia membuang muka dan napas kuat-kuat hingga rungu Ghea dapat menjangkaunya dengan sempurna.

"Lo bisa bebas berkelana kemanapun dan mencari calon ratu yang lebih pantas. Tapi, itu bukan gue ...."

Ghea merasa bahwa penjelasan tanpa emosi mungkin telah menjangkau sisi terdalam Valdy. Perempuan itu ingat ketika dirinya berada di tubuh Kiana dan ia sedang bersitegang penuh emosi dengan Valdy, maka semuanya berakhir dengan kekacauan belaka. Tepat seperti yang terjadi di Primrose beberapa hari lalu. Akan tetapi, itu akan berakhir lebih baik ketika ia menetralkan perasaan dan mulai mengambil langkah yang lebih tenang.

Namun tetap saja, Ghea maupun Kiana hanyalah manusia biasa yang sewaktu-waktu tidak dapat membendung amarah dan meledak kuat tanpa memedulikan keadaan sekitar.

"Semoga lo ngerti," harap Ghea pada akhirnya.

Keputusan Ghea tiba pada ujungnya yang membuat Valdy menganggut perlahan. Laki-laki itu kemudian dengan sigap meminum kopi yang telah mendingin hingga tandas tak bersisa dalam sekali gerakan. Tangan bebas pria tersebut lantas terulur untuk menepuk-nepuk bahu sang puan yang masih tertunduk seraya memainkan sendok dalam kopi.

"Gue paham," ujar Valdy yang membuat Ghea mengangkat wajah padanya, "tapi, gue nggak yakin kalo perasaan gue ke lo bakalan hilang dengan cepat."

"Selama lo bisa ngontrol dengan baik dan nggak buat keributan, it won't be a big problem--"

Valdy nampak setuju dengan perkataan itu hingga kepalanya bergerak naik-turun secara teratur. "Ghea, sorry for what I've done to you a couple days ago. Gue tau gue udah buat kesalahan yang fatal banget."

"It's okey ...."

"Kalo gitu gue balik dulu. Thanks buat waktu dan penjelasan panjang lo."

Ghea tersenyum samar pada Valdy, lalu kaki laki-laki itu pun beranjak dari tempatnya. Namun, sebelum Valdy menjauh, Ghea ingin menguji pria tersebut sekali lagi dengan sebuah pertanyaan.

"Mas," panggil Ghea tanpa menoleh ke belakang. Sontak saja suara itu berhasil menghentikan derap Valdy dan membuat pria jangkung tersebut bergegas memutar tubuh.

"Siapa yang cocok meranin Angel di film Overheat, aku ... atau Mbak Vinara?"

Tak ada jawaban cepat dari Valdy di belakang sana membuat jantung Ghea berdegup kencang. Ia memainkan jemari di atas meja dengan gugup tak karuan. Perempuan itu tahu bahwa Valdy belum benar-benar beranjak meninggalkan tempat, terhirup dari aroma tubuh yang masih setia menyapa indra.

"Maybe ... Vinara?"

Lantas, Ghea pun tersenyum lebar mendengar perkataan Valdy. Sebab, perempuan itu tahu bahwa sang pria benar-benar telah mendengarkan perkataannya. Setidaknya ia tidak khawatir berlebihan sekarang.

Tidak, mata dan telinga Valdy tidak sepenuhnya tertutup. Dan kenangan itu ... ia pun tak melupakannya.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top