36. Rencana
.
.
.
Brak....
Ketiga pria bersetelan lengkap memasuki ruangan pribadi Ardian setelah mengakhiri pertemuan dengan tim inti siang itu. Angga dan Reza langsung menempati sofa panjang. Sementara Ardian memilih duduk di kursi miliknya seraya melepas jas, dasi, jam tangan, ikat pinggang, hingga membuka satu kancing kemeja di bagian atas serta pada ujung lengan. Ia menyandarkan tubuh dengan nyaman, lalu mendongak sembari memejam.
Rasanya seluruh energi telah tersita di rapat pagi hingga siang ini. Terlihat laki-laki itu memijat-mijat pelipis berulang kali sambil membuang tatapan ke arah gedung-gedung tinggi di luar sana, membelakangi Reza dan Angga yang juga terlihat sama pusingnya.
"Jadi, apa langkah lo selanjutnya?" tanya Angga.
Ardian menggeleng. "Gue nggak tau, Ga."
Mendengar itu, Angga sontak menegakkan punggung dan menatap kursi Ardian dengan kening yang berkerut. "Really, Ar? lo stuck di sini?"
Hembusan napas berat mengalun dari mulut Ardian yang membuatnya harus memutar kursi menuju Angga dan Reza, menatap kedua sejawatnya itu dengan sorot mata lelah. Terlihat sedikit enggan untuk melontarkan banyak kalimat.
"Beneran, gue nggak tau--"
"Lo ada masalah apa, sih, sebenarnya? Tadi di rapat lo nggak fokus, padahal itu rapat evaluasi paling penting. Kalo gue perhatiin, lo nggak sekali dua kali kayak gini, Ar," geram Angga dengan tangan yang sudah terkepal menepuk tepi sofa. "Gue ingetin lagi ke lo kalo perusahaan ini baru kehilangan tender 80 miliar. 80 miliar, Bapak Ar-di-an!"
Pemimpin perusahaan itu meletakkan kedua siku di atas meja seraya mengacak-ngacak rambut, frustasi. Memang benar, Ardian sedang kalut marut karena PT Bratadikara Industri untuk pertama kalinya gagal terpilih pada tender pemerintah dibawah kepemimpinannya, sehingga saat ini ia sangat disorot oleh rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar perusahaan.
Telah menjadi perhatian banyak karyawan bahwa Ardian akhir-akhir ini terlihat bersikap aneh. Ia selalu marah untuk sebab yang tak jelas, tidak fokus dalam pertemuan, menginap di kantor, hingga membatalkan beberapa janji penting. Ini sunggu bertentangan dengan sikapnya yang biasa terlihat.
"Lo itu cuma direktur. Dengan kegagalan lo ini, bukan nggak mungkin lo bisa didepak saat RUPS nanti," acap Angga berapi-api yang membuat Reza dan Ardian sekali lagi mengatupkan rahang.
Angga mengangkat kedua tangan di depan dada, lalu berujar dengan tenang setelah melihat Ardian kembali mengusap kening. "Oke, gue akuin kalo ini bukan salah lo sepenuhnya. Tapi, ngeliat lo yang kehilangan konsentrasi di rapat tadi dan berkali-kali ditegur sama bokap lo, udah nunjukkin kalo lo nggak profesional sama sekali. Lo nggak tau Pak Arya setegas apa? Beliau bahkan nggak peduli kalo anaknya sendiri didepak dari posisi penting."
Reza yang sedari tadi hanya menunduk sembari memainkan jemari pun langsung mengangkat wajah pada Ardian dan Angga secara bergantian. Nampaknya ia terkejut dan tak menampis perkataan menusuk dari Angga untuk atasannya tersebut.
"Gue juga nggak habis pikir, kenapa perusahaan yang bahkan belum berdiri tiga tahun itu bisa menang lawan kita?" tambah Angga.
"Yaaa ... mungkin memang memenuhi kualifikasi. Lagian bukan cuma kita yang bergerak di bidang ini," sela Reza enteng.
Pria berambut hitam cepak itu kemudian memperbaiki posisi duduk dengan kedua siku yang menumpu pada lutut. Jari telunjuk Angga bergerak menuju Ardian dan Reza berulang kali seolah menegaskan perkataan yang akan mengalun sebentar lagi.
"Nggak gitu, Za. Emang pasti ada sesuatu aja. Setau kita nih proyek kan nilai pagunya 80, tapi nilai HPS masa bisa capai 79 koma--"
"Ah, yang bener lo!" pekik Reza tertahan. Mata laki-laki itu membuka lebar pada Angga yang sedang duduk santai di depannya sekarang.
"Serius?" Kali ini Ardian angkat suara.
Angga mengedikkan bahu sambil berdecak dengan satu sudut bibir terangkat. "Semua orang juga tau kalo ini proyek pengerjaan jalan, tapi ternyata pemenang tendernya adalah perusahaan industri makanan. Aneh, 'kan?"
Sontak saja Reza dan Ardian membulatkan mulut kompak. Ardian lantas mendengkus kuat-kuat sembari membuang pandangan ke arah meja kerjanya. Pria itu tak habis pikir, nilai penawaran perusahaannya bahkan di bawah perusahaan pemenang. Namun, mengapa yang dipilih justru penawar dengan nilai tertinggi?
"Trus kenapa lo nggak ngomongin ini di rapat tadi?" Pertanyaan Reza membuat Ardian juga melirik Angga sekali dengan sorot tajam seakan-akan meminta penjelasan yang sama.
"Ya abisnya lo motong pembicaraan gue mulu. Lupa, kan, gue jadinya."
Tak bisa disalahkan sepenuhnya!
"Ada kongkalikong nggak, sih?" tanya Reza dengan suara pelan.
Ardian menyela dan menatap Reza lekat, "Kita nggak punya wewenang untuk tau tentang itu."
Perkataan Ardian tersebut sukses membuat mulut Angga terbuka dan memutar mata malas. Satu tangannya menumpu pada tepi sofa, sedangkan tangan lainnya ia julurkan di bagian sandaran. Tubuh yang awalnya duduk dengan posisi sedikit membungkuk itu langsung merosot menyandar pada sofa.
Angga mendesah lemah, lalu ia menunjuk dagu ke arah Reza. "Kasih tau, noh, bos lo!"
"Kita bisa sanggah, Ar, kalo itu memang benar. Belum ketuk palu ini." Reza menekankan.
"Nggak usahlah." Putus Ardian pada akhirnya.
"Astagaaa ... dahlah, gue cabut duluan kalo gitu. Bisa stress gue kalo lama-lama di sini," ujar Angga yang kini telah bangkit dari duduknya. "Gue mau makan siang bareng Tania. Ada yang mau gabung?"
Tawaran menarik, tetapi Reza dan Ardian sekali lagi kompak menggeleng. Ah, tentu saja tidak ada yang mau menjadi 'orang ketiga' di antara Angga dan Tania, pasangan yang dimabuk asmara tersebut. Kemesraan pasangan satu divisi itu sudah menyebar di kantor, sehingga tak jarang kelakuan mereka terdengar pula oleh sang pemimpin.
Ardian terkadang memperingatkan Angga untuk tidak berlebihan dan Angga pun mengiyakannya. Namun, tak jarang juga mereka kelewatan batas yang membuat Reza mau tak mau harus turun tangan untuk mengawasi sahabatnya tersebut. Tentu saja atas perintah Ardian.
Sebelum Angga menghilang dari pandangan, Ardian bertanya cepat, "Emang perusahaan mana yang menang?"
Langkah laki-laki itu seketika terhenti, lalu berbalik badan menghadap Ardian dengan senyum tipis. "Seperti yang disebutin dirapat tadi, Trajaya Marta," jawabnya dengan satu kedipan mata seolah menggoda sang adam yang mulai memperlihatkan air muka kurang menyenangkan.
"Kayaknya nggak asing. Perusahaan punya siapa?"
Angga menyeringai tipis. Tanpa basa-basi, ia membeo, "Siapa lagi anak pemilik Putra Group kalo bukan Valdy, Valdy Abrisam Putra."
O-oh?
.
.
.
.
.
.
Sepeninggal Angga, ruangan pribadi Ardian kembali senyap. Lantas, Reza pun berisiatif untuk mengambil dua kaleng soda dalam kulkas berukuran kecil di sudut ruangan, lalu menyodorkan salah satu diantaranya pada Ardian yang tatapannya masih menajam di pintu. Mungkin Reza berpikir bahwa sebuah minuman soda dingin dapat menyejukkan pikiran yang penuh bara. Ah, katakanlah teorinya benar kali ini, sebab ekspresi Ardian berubah menjadi sedikit tenang ketika menerima kaleng berwarna abu-abu bergaris biru dengan tulisan 'Soda Water' di bagian depan.
Mendengar nama Valdy yang dilontarkan oleh Angga beberapa menit yang lalu, pikiran Ardian semakin carut marut. Ia tidak menyangka bahwa laki-laki itu harus dihadapkan pada orang yang sama di dua kasus berbeda. Tak pernah terlintas dibenaknya jika ia harus berurusan kembali dengan mantan teman kecilnya tersebut.
"Lo ada masalah apa?" tanya Reza datar seraya berdiri menyandarkan punggung pada tepian sofa di depan meja Ardian, kedua tangannya di letakkan di samping tubuh dan dijadikan tumpuan.
"Nggak ada apa-apa, sih--"
"Lo yakin? Muka lo nggak bisa bohong sama sekali."
Ardian membuang pandangan ke segala arah bersama dengan udara kuat yang keluar begiu saja melewati liang mulut. Lidahnya kemudian terlihat bergerak di dalam sehingga satu pipi laki-laki itu mengembang bak memakan kembang gula. Satu tangannya juga tak luput dari perhatian saat bergerak untuk mengusap tengkuk dan belakang kepala teratur.
"Ghea?" tebak Reza yang membuat Ardian seketika menunduk dan mengangguk lambat.
"Gue kenal lo, dan gue tau lo nggak pernah bawa masalah pribadi dalam lingkungan kantor. Begitu pun sebaliknya, lo nggak pernah ngungkit masalah kantor ketika berada di rumah. Gue tau lo juga orang yang profesional. Kalo lo udah sampe kebingungan kayak gini, lo nggak baik-baik aja, Ar."
"That's right!" jawab Ardian sembari mengangkat kepala menuju Reza. "Lo bener kalo semua ini tentang Ghea."
"Sekarang Ghea kenapa lagi?"
Reza kemudian membuka kaleng soda dan mulai menyesap minuman tersebut secara perlahan, dua bola matanya memandang lurus pada obsidian gelap Ardian.
"Gue semalam telponan sama Risa. Bla bla bla bla sampe akhirnya dia bilang ke gue kalo Ghea sempat nanya ke dia, apa gue dan Ghea pernah berantem sampe ngeluarin kata pisah. Jujur, gue kaget. Kenapa Ghea harus nanya kayak gitu ke adek gue?"
Reza langsung mengubah ekspresi yang semula datar menjadi penasaran. Kedua alis bertautan, sementara kepala itu ia miringkan sedikit. "Trus, Ar?"
"Trus gue nanya sama Bi Sum, Aini, Mami, Papi, pokoknya semua anggota keluarga tentang ini. Dan Bi Sum bilang hal yang sama, pertanyaan persis seperti yang Risa bilang. Itu bikin gue pusing, ditambah berita akhir-akhir ini di kantor."
Kedua pria tersebut sempat terdiam sebentar, larut dalam pikiran masing-masing. Namun, perkataan Reza berhasil meraih atensi Ardian kembali. "Sebenarnya itu juga yang Ghea tanyain ke gue."
"Hah?"
Reza mengangguk sembari menggoyang-goyangkan kaleng soda di depan tubuhnya. "Lo ingat waktu pertama kali dia datang ke sini? Yang nungguin lo di lobi bareng Tata? Disitu dia sempat nanya ke gue topik yang sama."
"Trus lo bilang apa?" Ardian memajukan tubuh, terlihat begitu tertarik dengan perkataan sahabatnya tersebut.
"Ya gue jelasin apa yang gue tau kalo kalian berdua memang nggak pernah bertengkar sampe ngomong pisah. Pas gue nanya balik yang kurang lebih kayak, 'Kamu mau pisah dari Ardian?' dianya malah gelagapan."
Reza memutar tubuh dan berjalan menuju sofa, lalu kembali mendaratkan bokongnya di sana dengan cepat sambil sesekali menenggak soda yang mungkin saja tinggal setengah.
"Jadi, lo kepikiran juga dengan kabar angin yang tersebar di kantor akhir-akhir ini?" tanya Reza tanpa memandang Ardian sama sekali.
"Iya," jawabnya singkat.
Sudah tentu Ardian memikirkan kabar miring tersebut. Desas-desus yang menyebar di kantor menyebutkan bahwa rumah tangga sang pemimpin berada di ujung tanduk. Ardian mengetahui bahwa dirinya menjadi objek pembicaraan berawal dari laki-laki itu yang tak sengaja mendengar percakapan beberapa karyawan ketika melintasi koridor dan lobi kantor.
Pada mulanya memang sang adam tak menggubris sama sekali. Namun semakin ia diam dan terlihat kacau, semakin deras pula kabar simpang siur berkembang. Entah dengan cara apa dia dapat melenyapkan informasi tersebut dengan cepat. Atau mungkin, lebih baik memang dibiarkan menguap seiring berjalannya waktu.
Ardian menggeleng pelan, lalu sedetik kemudian menjelaskan kepada Reza segala hal, termasuk kecurigaan pada hubungan Ghea dan Valdy di belakangnya. Seluruh informasi dan pemikiran yang terbentuk di kepala dikeluarkan secara gamblang membuat Reza hanya mampu termangu tak percaya. Jelas dan lugas, setiap kalimat yang Ardian gaungkan bak diselimuti oleh emosi tertahan.
Pria Bratadikara itu memang selalu menceritakan beberapa hal pada Reza, sebab sahabatnya tersebut memang ia kenal sebagai penyimpan rahasia terbaik. Entah sudah berapa banyak unek-unek Ardian sampaikan dan tak ada satu pun yang bocor ke permukaan, pun tidak pernah diungkit ulang olehnya.
Reza langsung meletakkan kaleng soda di atas meja dan mengangkat kedua tangan di dada, menghentikan sejenak perkataan Ardian. "Sorry kalo gue nanya kayak gini. Tapi, kalo misalnya Ghea suatu saat nanti minta pisah--"
"Gue kabulin!" sela Ardian mantap tanpa perlu berpikir panjang.
.
.
.
.
.
.
Tampak jenuh dengan rutinitasnya di Primrose siang itu, Ghea kemudian bergerak cepat menggulir ponsel untuk mencari restoran terbaik di kota. Sesekali ia mengangkat wajah dan berpikir sangat dalam membuat suasana menjadi kaku nan dingin.
Resti tiba-tiba saja masuk setelah mengetuk pintu, lalu menyerahkan laporan yang harus Ghea tandatangani di atas meja. Sementara dirinya menunggu dengan sabar seraya berdiri di samping Ghea, kedua tangannya ditumpuk di depan tubuh penuh kesopanan.
"Harus hari ini?" tanya Ghea.
"Iya, dong, Bu."
Perempuan itu hanya mampu mendengkus sembari membuka map dokumen tersebut satu per satu dan membaca isinya dengan teknik skimming.
"Oh iya, Res. Kamu tau restoran yang nyediain romantic fine dining gitu, nggak?"
"Hmmm ...."
Resti berpikir lama, lantas ia mengambil ponsel dari saku kemeja hitam yang ia kenakan dan menarikan jemari di ponsel. "Saya pernah makan malam sama temen deket yang tempatnya bagus banget, Bu. Cuma saya lupa nama tempatnya. Tunggu sebentar ya, Bu, saya cariin," acap Resti sambil menatap layar.
Setelah menjelajah dunia maya sekitar dua menit, Resti menyerahkan ponselnya pada Ghea dan memperlihatkan sebuah restoran dengan pemandangan kota yang sangat memanjakan mata.
"Ini, Bu. Namanya W&S Lounge. Memang sedikit jauh dari sini, tapi saya jamin nggak bakalan ngecewain Ibu Ghea dan Bapak Ardian."
Ghea mengernyit. "Eh? Kok kamu tau saya bakalan pergi sama bapak?"
"Yaiyalah, Bu. Sama siapa lagi Ibu nge-date romantis kalo bukan sama Pak Ardian?"
Ghea mendelik, lalu memajukan bibir bawah dan menarik kepala sedikit ke belakang. "Iya juga ya."
Resti tertawa lebar hingga memperlihatkan susunan gigi yang rapi setelah mendengar perkataan dan ekspresi atasannya tersebut. Selepas Ghea menandatangani dokumen-dokumen yang tergeletak di depannya, Resti dengan cepat kembali menumpuk dokumen menjadi satu, lalu meminta izin untuk kembali ke ruangannya. Hanya dengan sekali anggukan, Resti pun beranjak dan hilang dari tilikan Ghea.
Sebuah ponsel pun kini telah berada di tangan sang hawa, lalu dengan cekatan menggulir dan mengetikkan laman restoran yang disebutkan oleh Resti. Tak lupa pula Ghea membaca sedikit detail yang tersedia sambil sesekali menatap gambar-gambar yang ditautkan. Seulas senyum tercipta tatkala perempuan itu menemukan kontak untuk reservasi di bagian bawah sebelah kanan. Tak perlu menunggu lama, Ghea pun sudah meletakkan ponsel tersebut di organ pendengaran dan mulai sibuk mengatur segala hal dengan serius.
Ya, ia ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Perempuan itu akan pastikan bahwa ketika agenda dilaksanakan, maka ia dan pasangan tidak akan pernah melupakannya seumur hidup, mungkin.
Selalu ada harapan baik di setiap rencana. Akan tetapi, puan itu juga sadar bahwa ia hanyalah manusia biasa yang dapat membuat rencana, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan Yang Maha Kuasa. Kini wanita itu hanya bisa berdoa sekaligus mengusahakan yang terbaik.
Bukankah memang harus seperti itu?
.
.
.
______________
- RUPS : Singkatan dari Rapat Umum Pemegang Saham.
- Nilai pagu : Batas pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui oleh peserta dan pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
- Nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) : Harga barang atau jasa yang dikalkulasikan secara keahlian dan didasarkan pada data yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai total HPS bersifat terbuka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top