33. Ke(tidak)nyamanan

.
.
.


Ghea kembali menjalani hari setelah pagi tadi berhasil membuat April kelabakan, bahkan hingga dikungkung cemas. Ia yang duduk di depan Resti dalam sebuah ruang rapat yang sudah sepi --karena baru saja menyelesaikan rapat bersama beberapa pegawai Primrose pun mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Perempuan tersebut berulang kali membaca surel Primrose yang dikirimkan kepada A. Hana Vikki melalui tab.

Benar-benar penasaran.

"A. Hana Vikki ... kamu tau perempuan itu siapa?" tanya Ghea tiba-tiba tanpa memandang Resti yang sekarang sedang menoleh padanya.

"Nggak, Bu."

"Saya dulu nggak pernah ketemu sama dia, gitu? Atau dia pernah ke sini mungkin?"

Resti menggeleng. "Nggak, Bu."

Ghea kemudian mendengkus, lalu mengangkat pandangan menuju Resti yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Huruf A di nama dia, tuh, apa?"

"Ohhh kalo itu saya tau, Bu. A, Adiana. Ibu dulu pernah nyebutin satu kali sama saya tentang dia, makanya saya tau nama lengkapnya."

Puan beriris gelap tersebut menatap lamat Resti. "Saya ngomong apa aja?"

Resti berpikir sejenak seraya menatap ke arah atas berulang kali. "Hm ... Ibu cuma bilang tentang nama lengkap perempuan itu--"

"Kalo tentang isi email-nya?"

"Nggak, Bu. Ibu sama sekali nggak pernah bicarain tentang isi email-nya. Dan saya memang cuma ingat tentang namanya saja."

Ghea mengganggut-nganggut mendengar perkataan Resti. Jauh di dalam hati ia mengira akan menemukan jawaban. Tapi, untuk kesekian kali ia hanya mampu menelan pil pahit kenyataan yang tak pernah terungkap. Atau, mungkin memang tidak. Ghea hanya perlu sedikit waktu agar semuanya terkuak.

"Kalo begitu saya permisi, Bu." Resti meminta izin.

"Oh, iya. Silakan ...."

Pemimpin Primrose itu mengerjap seraya merenggangkan jemari di kedua tangan hingga beberapa kali terdengar bunyi saat Resti telah lenyap dari pandangan. Lantas, ia merapikan tab dan dokumen yang harus dia review kembali di ruangan pribadi, lalu bangkit dan meninggalkan tempat rapat tersebut.

Kaki Ghea berayun ringan dari lantai dasar menuju lantai empat menggunakan lift. Sesekali terdengar sapaan ramah dari para pegawai yang membuat Ghea semakin bersemangat. Sayang, waktu telah menunjukkan pukul 11.23 yang berarti sebentar lagi waktu makan siang akan tiba dan sang suami akan menjemputnya.

Saat tungkai itu akhirnya menapak di depan pintu, ia mengernyit ketika mendapati Adam --petugas keamanan sedang membelakangi pintu dengan dua tangan diletakkan di depan.

"Ada apa, ya, Pak?"

Sontak, Adam pun mengangkat kepala dan tersenyum kikuk. "Sebelumnya saya mohon maaf, Bu. Saya sudah coba cegah orang itu supaya menunggu di ruang tunggu sebagaimana mestinya. Tapi, dia nolak, Bu, dan langsung masuk ke ruangan Ibu."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki, Bu."

Ah, Ghea menebak bahwa dia pasti Hazel, sebab petugas keamanan itu tak mungkin berjaga di depan pintu dan mencegah laki-laki tersebut masuk jika ia adalah Ardian.

"Oh ya udah. Itu pasti temen saya, kok. Kamu bisa kembali kerja sekarang," balas Ghea.

"Baik, Bu."

Tanpa berpikir panjang, Ghea kemudian membuka pintu seraya berujar antusias, "Hazel--"

Laki-laki tersebut mengenakan setelan jas berwarna navy tanpa dasi sembari berdiri tegap di depan jendela dan membelakangi Ghea. Kedua tangan ia masukkan dalam kantung celana. Dari perawakannya, Ghea tahu bahwa itu bukanlah Hazel, melainkan....

"Siang, Ghea," sapa Valdy dengan senyum khasnya yang manis.

Melihat Valdy, kegalauan hati yang ia rasakan beberapa waktu lalu seketika timbul kembali. Otaknya seolah berhenti bekerja dan napas perlahan memburu. Ghea menundukkan pandangan seraya memejam setidaknya sampai ia merasa sedikit tenang.

Beberapa detik kemudian, Ghea mengangkat wajah. Dengan perlahan ia masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu.

"Mau apa lo datang ke sini?" tanya Ghea datar, berjalan menuju meja dan meletakkan seluruh perlengkapannya di sana.

"Sorry?"

"Iya, buat apa lo datang ke sini? Pertanyaan gue kurang jelas?" Ghea menyandarkan tubuh di depan meja dan melipat kedua tangan di perut.

"Gue nggak tau kalo lo bisa berubah sedingin ini hanya karena kita nggak ketemu beberapa hari. Atau, mungkin beberapa minggu?"

"Ini bukan karena kita nggak pernah ketemu--"

"Trus, kenapa lo berubah?" sela Valdy dengan cepat.

Ghea menatap Valdy lamat. Netra mereka berserobok dalam suasana dingin tak bersahabat. Ghea menggerat. Rasanya ia ingin secepatnya menghilangkan Valdy dari pandangan saat itu juga. Muak? Tentu saja. Setelah semua perkataan para ibu-ibu tentang Valdy, Ghea merasa bahwa ia tak ingin berhubungan dengan laki-laki itu lagi.

Mungkin?

"Gue udah nggak mau ketemu sama lo."

"But ... why? Gue buat salah sama lo?" Valdy menengadahkan kedua tangan tak percaya.

"Apa yang lo lakuin ke Kiana itu salah besar!" hardik Ghea dengan menaikkan satu nada yang membuat Valdy terperangah untuk sepersekian detik.

"Gue nggak merasa ngelakuin kesalahan apapun ke dia--"

Ghea terkekeh mengejek. "Maksud lo selingkuh dengan April itu bukan kesalahan?"

Mulut Valdy sontak terbuka lebar. "Selingkuh? April? Lo nggak punya tuduhan lain yang sedikit masuk akal?"

"Tuduhan gue masuk akal, kok. Gue ingat bagaimana lo ngambil cincin pertunangan Kiana yang jatuh nyentuh kaki gue waktu pertemuan di apartemen. Gue pikir lo bakalan nyimpen cincinnya. Tapi ternyata, lo malah ngasih itu ke April, 'kan?"

"I don't get it." Valdy menggeleng.

Ghea dengan gerak cepat membalikkan tubuh untuk membuka tas, lalu merogoh saku di bagian depan. Ketika ia mendapati benda berbentuk lingkaran yang tersemat nama pasangan itu dengan indah, Ghea kemudian kembali memandang Valdy yang sudah berdiri dengan kedua alis menukik tajam.

Perempuan itu menaikkan cincin di depan wajah, sambil berucap tegas, "Tau gue dapat ini dari mana? Dari April!"

Tangan Ghea berayun melempar cincin tersebut ke tubuh Valdy membuat sang adam bergeming, sementara wanita itu telah menarik kedua bibir ke atas, tersenyum hambar.

"I met her this morning--"

"You ... what?"

Ghea mengangguk perlahan, "I know everything, Val. I just need ... a good moment."

Iris yang semula memperlihatkan keteguhan, kini berbinar menahan air mata dan tertunduk lesu. Kedua lengan Ghea ditarik ke belakang, menjadi tumpuan tubuh pada meja berlapis kaca hitam. Perempuan itu kemudian mendengkus kuat-kuat hingga rungu Valdy yang berdiri lima langkah di depannya pun dapat mendengar jelas.

Tak ada suara beberapa detik membuat suasana terasa penuh kekakuan. Valdy sibuk dengan pikiran yang membuat laki-laki itu membuang tatapan ke arah jendela, sedangkan Ghea hanya mengamati lantai marmer dingin tanpa ekspresi.

Lantas, Ghea kembali mengangkat wajah yang membuat Valdy langsung menoleh padanya dan pandangan mereka berada dalam satu garis lurus. Dan ekspresi Valdy itu, Ghea tak dapat menjelaskannya dengan baik.

"Jauhin Kiana!" putus Ghea pada akhirnya.

Valdy terdiam untuk beberapa sekon sembari memaku pupil di netra perempuan itu. Tampak menusuk hingga ke dalam sanubari sang hawa.

Puan itu tak dapat berpaling ataupun berjalan mundur, sebab ia memang sudah tak ingin berurusan dengan Valdy, baik ia yang berdiri sebagai Ghea maupun Kiana. Rasanya sulit menerima laki-laki itu kembali, meskipun Ghea memang tak melihat kedekatan Valdy dan April secara langsung. Akan tetapi, beberapa informasi dan bukti kecil yang ia terima membuat Ghea semakin mantap untuk melupakannya.

"Oke, gue bakalan jauhin Kiana seperti yang lo minta," lontar Valdy seraya melangkah menuju Ghea hingga jarak mereka terkikis sedikit demi sedikit. "Tapi, gue juga punya permintaan."

"A-apa itu?" Ghea tergugu ketika melihat Valdy telah berada sepuluh sentimeter di depannya.

"Gue pengen tetap di samping lo. Gue mau ketemu sama lo setiap hari, nggak seperti sekara--"

"Lo gila apa?" bentak Ghea, menyela Valdy dengan cepat. Puan itu kemudian mengangkat punggung tangan tepat di depan mata Valdy dan memamerkan benda yang melingkar di jari manis. "Lo liat cincin ini, 'kan? Gue udah nikah!"

Alih-alih membuang muka, Valdy memamerkan senyum tipis sembari menggeleng pelan. "Oh c'mon ... lo nggak cinta sama suami lo, Ghea. Tuh, cincin cuma sekadar aksesoris buat lo."

"Cih!" Ghea menyeringai hingga memperlihatkan deretan gigi depan yang rapi. "Lo nggak bisa asal nyimpulin."

Senyuman Valdy lantas sirna dan tergantikan oleh tatapan tajam. Pria itu berucap dalam nan tegas. "Kenapa lo bohong sama Bapak Ardian Bratadikara waktu kita ada di kafe? Lo nggak mungkin bohong kalo lo emang cinta sama dia dan terima tawaran gue gitu aja.

"Lo juga nyeritain segala hal ke gue selama berjam-jam di apartemen Kiana, tanpa sadar kita menghabiskan waktu bersama. Akhirnya gue tau kalo kita punya banyak persamaan dan gue jadi nyaman sama lo sejak saat itu. Terakhir, gue tau lo curi-curi pandang ke gue selama acara di Hotel Val. Padahal, lo bareng suami lo.

"And I wanna remind you that you were the first person to open-the-damn-door and let me inside into your life. Don't blame me if I'm feeling all right with all of this. Yeah, thanks to you, Ghea Aurellia."

Ghea memincingkan mata seolah menantang Valdy yang semakin dekat padanya. "It doesn't mean anything to me. Lo cuma terbawa perasaan aja, Val. Please, lo tau gue ngikut lo ke kafe waktu itu karena lo pengen bahas tentang April. That's it."

"Trus, bagaimana dengan poin lainnya?"

Mulut sang hawa seketika terkatup sempurna. Tenggorokannya terasa kering dan sulit untuk menelan, layaknya berisi banyak bebatuan yang besar nan menyakitkan. Nyali Ghea menyusut saat itu juga. Beberapa kali ia membuang pandangan agar tak melihat ekspresi mendamba dari laki-laki berambut gelap tersebut.

"Lo nggak bisa jawab, 'kan? Karena semua yang gue bilang itu benar adanya," tukas sang adam seraya mengangkat satu tangan untuk meraih dagu Ghea dan membawa mata indah puan ke arahnya.

Puan itu sontak memelas, mencoba untuk melepaskan tangan Valdy dari wajahnya tanpa harus menyentuh dengan menggeleng kecil berulang kali. "Please, Valdy--"

"Biar gue perjelas sekarang. Pertama, cincin itu ada di April karena dia yang minta langsung ke gue. Sebagaimana lo tau kalo dia yang pegang seluruh harta Kiana dan cincin itu salah satu bagian dari hartanya. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama April.

"Kedua, gue akan lepasin Kiana seperti yang lo mau, asal gue bisa terus sama lo. Sederhananya, gue nggak peduli kalo lo udah punya suami!"

Mata Ghea membelalak dan mulutnya baru saja terbuka sedikit, akan melontarkan protes atas pernyataan Valdy. Akan tetapi, laki-laki itu dengan cepat dan tanpa persetujuan merengkuh leher belakang Ghea. Ia memejam, lalu memberikan kecupan agresif.

Valdy masuk di saat yang tepat, detik di mana liang itu terbuka sececah sehingga kini ia lebih leluasa menjamah seluruh bagian tanpa bersisa. Laki-laki itu tak memberikan jeda sama sekali bahkan ketika kedua tangan Ghea terkepal dan memukul-mukul dada bidang tersebut, meminta untuk dilepaskan dari jerat yang menyiksanya.

Tidak, Valdy tak bodoh untuk menyelesaikannya begitu saja. Kedua tangan kekar itu lantas bergerak sensual menjelajah punggung, lalu mengangkat bokong Ghea dan mendudukkan di atas meja hingga beberapa peralatan tulis dan kertas dokumen terjatuh di lantai. Ciuman penuh gairah yang semula berada di bibir pun beranjak menuju leher jenjang. Kedua napas panas itu beradu dalam kenikmatan yang tiada tara. Valdy menggila dan Ghea tak berdaya atas sentuhan sang adam.

Ghea bukanlah Ghea sekarang. Ia merasa bahwa Valdy melakukan ini bersama dan untuk Kiana. Sentuhan demi sentuhan lelaki itu adalah hal yang pernah Kiana rindukan sebelumnya --tetapi, telah sirna saat ini.

Ketika tangan puan yang semula berada di belakang kepala Valdy pun diletakkan di puncak, Ghea membuka mata dan tiba-tiba saja pandangannya memaku pada cincin pernikahannya dengan Ardian. Seketika ia langsung merutuki diri sendiri melakukan perbuatan tercela seperti ini.

"No!" tukas Ghea, lalu mendorong kuat tubuh Valdy hingga pria itu terhuyung ke belakang. Ghea dengan gerak cepat turun dari meja dan mengayunkan tangan ke arah Valdy.

Plak...

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi yang membuat Valdy mengusapnya dengan satu tangan.

"Lo benar-benar kurang ajar! Keluar dari sini, sekarang!" murka Ghea dengan mata yang mulai basah oleh air yang sedari tadi ia tahan.

Valdy kembali mengangkat kepala dan tersenyum licik. "Kalo lo mau main belakang, jangan tanggung-tanggung, Sayang," ujarnya ringan, lalu beranjak meninggalkan Ghea dalam kebisuan dan kebingungan luar biasa.

Perempuan itu mengatur napas sambil memperbaiki rambut dan pakaian yang ia kenakan. Perasaan Ghea benar-benar hancur, rasanya ia begitu kotor sekarang. Bahkan ketika ia mengangkat wajah dan melihat pantulan diri di cermin di atas mejanya, air mata kembali luruh tak tertahan.

Ghea meletakkan kedua tangan di atas meja, seolah menopang tubuh yang tengah merunduk dalam itu.

"Valdy sialan!"

.
.
.

.
.
.


"Dompet, hp? Udah," acap Ardian seraya mengusap seluruh tubuh untuk memastikan keberadaan barang-barang yang ia sebutkan.

Setelah yakin tak ada yang tertinggal, pria itu pun keluar dari mobil dan melangkahkan kaki menuju pintu utama Primrose. Dari kejauhan, ia melihat Valdy keluar tergesa-gesa yang membuat Ardian berhenti sejenak. Kendati demikian, Valdy tak melihat sosok Ardian sama sekali. Entah karena sekarang ia dikejar waktu atau ada hal lain yang mendesak, Ardian tak peduli sama sekali.

Derap ringan berayun membelah lantai dasar dengan sesekali Ardian memberikan anggukan pelan tanpa ekspresi sebagai balasan pada para karyawan yang menyapanya ramah.

Ketika dua tungkai itu akhirnya tiba di lantai paling atas, Ardian mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tidak mendapatkan jawaban, ia pun membukanya dengan perlahan.

Laki-laki itu terdiam ketika mendapati Ghea sedang berdiri sambil membungkuk dan kedua tangan menopang tubuh di atas meja. Netra gelap milik Ghea menutup sempurna. Ia dapat melihat kedua bahu dan dada perempuan tersebut bergerak cepat.

Jangan tanyakan bagaimana berantakannya sekeliling Ghea, terlihat dari alat-alat tulis dan kertas yang berhamburan.

Ghea menaikkan satu tangan ke arah pintu tanpa mengangkat wajahnya sama sekali. "Berhenti di situ, Resti!"

Eh?

Ya, Ghea mengira bahwa sosok yang sekarang berdiri membelakangi pintu adalah sang manager. Sayangnya, perempuan itu salah menduga.

Ardian kembali berpikir tentang perjalanannya ke Primrose, di mana ia melihat Valdy meninggalkan butik tersebut dalam keadaan kacau. Apakah sekarang Ghea juga merasa hal yang sama? Apa mereka sempat beradu argumen hingga semua barang menjadi korbannya?

"Ma," panggil halus Ardian.

Sontak, Ghea pun mengangkat kepala dan menatap Ardian dengan cepat. Melihat keadaan sang istri yang sekarang terpaku padanya, sedetik kemudian Ghea salah tingkah dan mulai membersihkan barang-barang yang berserakan membuat Ardian melangkah maju menuju Ghea. Ia ingin menanyakan keadaan istrinya itu. Namun, ketika Ghea mengangkat wajah sekali lagi, Ardian akhirnya paham.

Laki-laki itu mendadak berhenti tepat tiga langkah, lalu tersenyum tipis --bahkan hampir tak terlihat jelas-- dan mengangguk pelan. Rasanya dada Ardian sesak luar biasa, seakan berbagai benda berat menetap di sana untuk beberapa waktu dan menekannya kuat-kuat. Tatapan yang awalnya menyiratkan kebingungan tentang segala hal yang terpampang di depan mata, akhirnya menemukan jawaban --meskipun Ardian sendiri tak yakin.

"Kita ... jadi pergi, 'kan? Jemput ... Kakak El." Ardian berujar dengan terbata-bata.

Mendengar itu, Ghea langsung berdiri dan meletakkan barang-barang yang berada dalam genggamannya ke atas meja. Tubuh perempuan itu menghadap Ardian, lalu terdiam sejenak. Ardian terlihat mencari-cari bola mata penuh kekalutan sang istri. Lantas, ketika ia berhasil mendapatkannya, Ghea memberi anggukan ringan dan senyum canggung.

"I-iya ... Pa."

"Kalo begitu, Papa tunggu di bawah aja ya, Ma."

"Iya ... Papa," lirih Ghea sembari menundukkan wajah.

Ardian langsung membalikkan tubuh. Namun, ia tiba-tiba berhenti setelah baru berjalan dua langkah dan kembali menoleh ke arah belakang, tepatnya ke arah Ghea yang masih mematung dengan kedua tangan ditumpu di depan tubuh.

Laki-laki itu menyunggingkan senyum teduh nan menyedihkan yang membuat Ghea memandangnya getir. Kelopak mata puan bahkan mulai memerah dan berair lagi untuk kesekian kali. Ia menggigit bibir bawah sekuat tenaga untuk menguatkan pertahanan dan tidak lepas kendali di depan suami. Mungkin seperti itu, pikir Ardian.

"Ma," panggil Ardian lembut, "lipstick Mama berantakan, tuh."

Deg...

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top