32. Mendesak April

.
.
.


Sepulangnya dari rumah Wijaya pagi itu, Ghea tidak melanjutkan tidur seperti sang suami, tetapi mempersiapkan segala keperluan sekolah El seraya menggendong Tata yang kembali rewel. Setelah anak sulungnya berangkat ke sekolah, perempuan itu meletakkan Tata di kamar Ghea, agar si bungsu dapat berbaring dengan Ardian. Ini juga sebagai salah satu cara Ghea agar Ardian terbangun akibat terinterupsi oleh gerakan si kecil. Sayangnya, keduanya kembali lanjut terlelap dengan Tata yang berada di atas perut.

Ghea berjalan ke walk in closet sebelum berangkat menuju Primrose. Saat sedang memilih pakaian yang akan ia kenakan, netranya refleks menunduk dan mengamati laci kecil tempat dokumen-dokumen penting diletakkan. Ia terdiam sebentar, menatap lamat dan sedikit ragu-ragu. Lantas, ia berpikir bahwa tak ada yang harus dia khawatirkan, sehingga tangan bergerak untuk membuka laci tersebut.

Di antara tumpukan dokumen, map warna hijau terlihat berada di urutan paling atas. Sontak saja, perempuan tersebut mengingat bahwa itu adalah map yang diberikan oleh jiwa Ghea ketika ia mengunjungi rumah sakit. Ia sama sekali belum mengetahui isi dari map tersebut, hingga akhirnya ia membuka dengan cepat.

Untuk sejenak, Ghea memperhatikan kertas-kertas dan meletakkan atensi penuh pada deretan kalimat yang tertera di sana. Sempat memproses apa yang terjadi selama beberapa sekon, Ghea kemudian berjalan cepat keluar untuk mengambil ponsel.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika jiwa-jiwa bebas di rumah sakit itu telah memikirkan semua ini, membuat Ghea tak percaya. Sungguh, ia merasa bahwa Dewi Keberuntungan tengah berpihak padanya. Entah bagaimana menjelaskan perasaan bahagia ini, karena ia sudah memiliki perasaan optimis bahwa dirinya akan menang dengan surat-surat tersebut. Ah, ada perasaan menyesal bahwa ia tak membuka dokumen itu sejak pertama kali diberikan.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Bukankah seperti itu?

Wanita itu langsung meminta bertemu seseorang di suatu kafe hari ini melalui pesan singkat. Tidak lama kemudian, orang itu pun membalas bahwa dia menyetujui pertemuan yang Ghea minta.

Bergegas Ghea memilih pakaian dan mulai membasuh tubuh. Persiapan dirinya tak terlalu lama, mengingat Ghea sangat bersemangat hari ini. Sebelum ia pergi, puan itu menyempatkan diri untuk meminta izin pada Ardian yang masih setengah tersadar.

Ghea merunduk sambil menyugar puncak kepala sang suami. "Sayang," panggilnya.

"Hm?"

"Mama pergi dulu ya."

"Udah mau berangkat ke Primrose?" Ardian bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Posisinya yang masih berbaring dengan Tata di atas perut membuat laki-laki itu harus sedikit berhati-hati agar tak membangunkan buah hatinya.

"Iya, Sayang."

"Nanti siang mau Papa jemput?" tawar laki-laki itu dengan masih memejam.

"Boleh, deh. Sekalian jemput Kakak El."

"Oke, deh."

Cup...

Ghea memberikan kecupan singkat di bibir Ardian membuat laki-laki itu tersenyum tipis. "Love you, Mama. Hati-hati ya."

"Love you, Papa. Bye ...."

.
.
.

.
.
.

Sebelum Ghea bergerak menuju Primrose, dia telah lebih dulu menuju kafe untuk bertemu seseorang. Kafe yang terbuka pagi itu memang telah ramai oleh beberapa pegawai kantoran. Tak sedikit dari mereka berbincang serius atau bahkan bersenda gurau sebelum akhirnya kembali bekerja. Dengan nuansa alam yang melekat sempurna --dilihat dari banyaknya tanaman dalam pot dan pernak-pernik dari kayu, membuat Ghea begitu senang menginjakkan kaki di sini.

Dari kejauhan, netra gelap telah menangkap sosok yang selalu ia hindari sedang duduk membelakanginya. Sayangnya, demi melindungi Kiana, ia harus bertatap muka kembali dengan perempuan tersebut.

"Sudah lama menunggu?" tanya Ghea ramah.

April, sosok yang bertemu janji dengan Ghea hanya menatap nyalang perempuan tersebut. Tak suka, tentu saja demikian. Sikap konfrontasi yang ditunjukkan oleh keduanya selama ini mungkin saja tidak akan pernah menemui kata damai. Dan Ghea tidak masalah dengan hal tersebut.

"Lo mau ngomong apa?" ujar April seraya melipat kedua tangan di perut bagian atas. "Kalo nggak penting, gue cabut aja."

Ghea berujar dramatis. "Ohhh, siapa bilang ini nggak penting? Ya pasti ini pentinglah ...."

Nyonya Bratadikara itu kemudian membuka tas, lalu mengeluarkan map berwarna hijau. Dengan perlahan, ia meletakkannya di atas meja dan mendorong perlahan ke arah April. Sontak, lawan bicaranya itu mengernyit.

April menyeringai dengan menarik satu sudut bibir. Tatapannya pun terlihat meremehkan. "Apa itu?"

"Buka aja!"

April sempat terlihat ragu-ragu. Namun, sedetik kemudian tangannya bergerak untuk membuka dan membaca isi map tersebut. Sepanjang April menelitinya, Ghea tak henti memberikan pandangan tajam nan menusuk. Berharap jika sekarang nyali April benar-benar ciut.

Prak...

April meletakkan map itu di meja dengan keras hingga mendapatkan atensi para pengunjung lain untuk sesaat. Melihat wajah April yang merah padam dan napas yang memburu, Ghea hanya menyungging senyum manis. Netra keduanya berserobok dalam ketegangan yang intens.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Ghea halus, mencoba untuk tidak terprovokasi pada perlakuan April.

"Dasar iblis! Lo mau pake cara rendahan kayak gini? Iya?" ujar April penuh penekanan.

Ghea menggeleng pelan. "Lho, emang salah?"

"Ya jelas salahlah. Gila aja lo pake surat-surat palsu kayak gini. Ini nggak mempan sama gue!"

"Lo pikir surat ini palsu? Oke, kita bawa ini ke notarisnya langsung, seperti nama yang tertera di kertas itu dan kita buktiin di sana. Gimana? Kalo ternyata ini asli dan lo masih bersikeras atas harta Kiana, gue nggak perlu mikir panjang buat laporin lo ke polisi."

Ya, dokumen yang membuat April meradang adalah pernyataan Kiana yang mempercayakan seluruh hartanya pada Ghea untuk sementara waktu dan dipergunakan sebaik mungkin jika ada kejadian tak terduga, seperti yang terjadi pada tubuh Kiana sekarang. Dengan berbagai hal yang telah memenuhi syarat, dokumen tersebut sah di mata hukum. Hanya saja, April kukuh jika itu adalah dokumen palsu yang membuat Ghea tak habis pikir.

"Lo ngancam gue?"

Ghea mengedikkan kedua bahu. "Lebih bagus kalo lo memang berpikiran seperti itu."

April tertawa mengejek, lalu memajukan tubuh dengan kedua tangan ia letakkan di atas meja. "Lo pikir gue takut sama lo? Kayaknya lo salah besar kalo lo nganggap kayak gitu. Yang ada gue kasian sama lo, karena akhirnya orang yang terhormat seperti lo ini masih tetap tutup mata dan pake cara-cara nggak mutu buat ngancam dan nguasain harta orang lain. Se-desperate itukah Nyonya Bratadikara?"

Tampaknya Ghea masih dapat bersikap tenang, meskipun April kini menantangnya dengan memperlihatkan sorot mata tajam nan menusuk. Hah, apalah arti tatapan itu jika tak mampu membuat Ghea bergetar barang sedikit.

Tidak, Ghea merasa masih berada di atas angin sekarang!

"Anda terlalu serakah, Nyonya ...."

Ghea menarik ujung bibir dan bersedekap seraya berujar pelan, "Nggak salah? Gue yang serakah?"

"Emang gitu, kan, kenyataannya? Buktinya lo buat surat kuasa palsu ini untuk ngambil semua harta Kiana, sementara lo sendiri sudah bergelimang harta. Nggak salah, dong, gue?"

Puan bermanik gelap itu kembali memajukan tubuh hingga April mampu menghirup wewangian yang digunakan oleh sang lawan bicara. Dari jarak terlampau dekat, Ghea menyeringai tipis yang membuat April mengernyit untuk kesekian kali.

"Kalo gue serakah, lo apa? Lo nggak bisa, dong, miliki dua laki-laki tajir untuk lo kuasain hartanya secara bersamaan," acap Ghea dengan tenang.

Alis April menyatu sempurna. Ia membelalak sambil menggeleng cepat, memperjelas kerutan di kening. "Gue nggak paham."

"Apa perlu gue jelasin pake bahasa anak kecil?"

Lawan Ghea semakin merekatkan mulut. Sesekali ia terlihat melipat bibir ke dalam yang membuat Ghea mengangkat satu alis, mulai mencurigai bahwa semua yang terjadi benar adanya.

"Antara Pak Valdy--" Ghea menengadahkan kedua tangan di samping bahu, "atau Pak Amran?"

"Gue nggak ada hubungan sama Pak Valdy!" tegas April.

"Really? Bagaimana dengan Pak Ervan, Pak Samuel, Pak Dirga, atau Pak Surya? Semuanya laki-laki beristri yang pernah lo goda, 'kan?"

"Jangan kurang ajar! Gue bisa aja bawa lo ke kantor polisi sekarang," ancam April seraya melayangkan jari telunjuk tepat di depan wajah Ghea.

"Lo bisa berbalik ngancam gue, begitu pun sebaliknya. Lo nggak takut sama gue, gue juga kayak gitu. So, kita satu sama, April."

Ghea terkekeh seraya menutup mulut dengan tangan. Ini sukses membuat April terkesiap dan matanya bergerak gusar ke kanan-kiri teratur. Napas sang hawa berlomba membuat kedua bahunya bergerak naik turun dengan cepat. Nampak April mulai tidak nyaman dengan situasi yang sekarang menjadi terbalik dan tidak terbayangkan tersebut.

"Lo nggak punya bukti kalo gue godain semua laki-laki itu."

Mata Ghea terbelalak, tak percaya jika April bisa membalasnya. Harus diakui bahwa April patut diacungkan jempol untuk setiap kalimat tak terduga yang ia lontarkan.

"Gue nggak punya bukti? Yakin lo? Gue bisa aja, tuh, ngumpulin chat lo dari suami ibu-ibu kemarin. Dari ibu-ibu yang suaminya lo goda!"

Brak....

April menggebrak meja yang sekali lagi memantik rasa penasaran para pelanggan hingga beberapa dari mereka menoleh ke arah Ghea dan April. Sayangnya, itu hanya bersifat sementara sehingga untuk selanjutnya mereka memilih untuk acuh tak acuh dengan penghuni meja bernomor sembilan belas tersebut.

"Kenapa? Gue ngomong nggak penting ya? Atau gue terlalu banyak ungkapin fakta sebenarnya yang buat lo sekarang jadi kepanasan?"

Ah, Ghea sudah dapat memprediksi raut wajah gugup dan menyedihkan seorang April sedari ia berada di rumah. Terbukti, memang seperti itulah yang terlihat di depan matanya sekarang. Akan tetapi, Ghea tak pernah menyangka bahwa membuat April mati kutu akan terlampau menyenangkan seperti ini.

"Listen to me, April! I have power, money, and position. And I'm just waiting for a good time to use that," geram Ghea tertahan seraya mengertakkan rahang.

"Awalnya gue memang kebingungan dengan semua ini. Tapi, setelah gue sadar dengan seluruh privilege yang gue punya, jangankan untuk ngancam, mengoyak-ngoyak lo di titik ini jadi sesuatu yang terlalu mudah buat gue. Dan gue bukannya nggak bisa ngancurin lo. Tapi, gue cuma belum ngancurin lo.

"Asal lo tau, gue bisa siapin bukti apapun untuk ngelawan. Dan gue pastiin bahwa semuanya akan siap kurang dari 24 jam."

Ghea menaikkan telunjuk sejajar wajah, seolah menunjuk ke atas untuk memperingatkan April. "Gue ngelakuin ini supaya lo bisa berpikir dan sadar kalo apa yang lo lakuin sekarang adalah kesalahan. Anggap aja, gue berbaik hati ngasih lo kesempatan kedua."

Bibir April mulai bergetar. Berulang kali Ghea menangkap leher sang lawan yang bergerak untuk menelan saliva dan kedua tangan yang semula menantang, kini hanya terikat sopan di bawah meja. Tatapan April jatuh pada piring kosong di depannya.

"Se-sekarang ... apa mau lo?" tanya April, gusar.

Ghea kemudian mengepalkan tangan dan mengetuk-ngetukkannya ke meja hingga suara nyaring itu terdengar oleh para pegawai kafe. "Gue tunggu satu minggu buat lo balikin semua harta Kiana yang lo ambil. Sa-tu ming-gu!"

Dari kejauhan, Ghea dapat melihat seorang pegawai pria menghampiri mereka dengan senyum ramah dan sebuah catatan kecil di tangan. Perempuan itu sangat mengerti bahwa pegawai tersebut datang setelah mendengarkan ketukan Ghea di meja. Tentu saja Ghea tahu tata cara memesan di kafe ini, sebab ini adalah kafe favorit Kiana dan sudah tak terhitung lagi berapa kali artis itu mengunjunginya.

"Permisi. Mau pesan apa, Bu?"

"Saya pesan teh chamomile dingin dua ya. Kalo bisa diantarkan dengan cepat, Mas. Soalnya--" Ghea melirik April dari sudut mata sembari tersenyum lebar, "temen saya udah haus banget kayaknya."

"Baik, Bu. Ada lagi?"

"Tiramisu sama red velvetnya masing-masing satu."

April menyela, "Ah, gue nggak terlalu suka kue itu--"

"Sorry, gue emang nggak mesenin buat lo," ujar Ghea tenang yang membuat April keki. Pegawai laki-laki itu bahkan hanya tersenyum canggung sambil mengamati Ghea dan April bergantian.

"A-ada lagi, Bu?"

"Udah, Mas."

"Kalo begitu ditunggu pesanannya ya, Bu."

"Iya, Mas. Terima kasih."

Ghea langsung menyandarkan tubuh pada kursi kayu, kembali melipat tangan di dada, dan menatap remeh April yang masih menunduk dihadapannya.

"Udah nggak ada lagi yang mau lo omongin, 'kan? Kalo gitu gue pergi."

April baru bangkit dari duduk dan hendak membalikkan tubuh. Namun, langkahnya terhenti ketika Ghea berujar, "Balikin cincin Kiana yang lo pake sekarang!"

"Ini cincin gue!" April masih bersikeras rupanya.

Ghea kembali menunjuk-nunjuk meja. "Gue tau itu cincin tunangan Kiana. Kembaliin!"

"Nggak usah sok tau!"

"Yakin gue sok tau? Oh, Mending sok tau daripada serakah!"

Ghea kembali tersenyum penuh kemenangan dengan membalikkan perkataan April beberapa waktu lalu. Bagai pertandingan sepak bola yang memacu adrenalin, bisakah Ghea mengatakan bahwa posisinya sekarang 2-1 dengan Ghea yang memimpin? Atau memang satu poin pun tak berhak sama sekali diberikan untuk April yang kini masih setia memutar-mutar cincin di jemarinya.

Dengan gerakan cepat, April melepaskan cincin tersebut dan meletakkannya kuat-kuat di atas meja. Lantas, ia pun membelakangi Ghea dan berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun.

Sang puan meraih cincin tersebut dan mengamati bagian dalamnya yang terukir kata 'Kiana & Valdy'.

"Sok tau? Orang udah jelas banget kalo ini punya gue, kok. Dasar perempuan jalang!" monolog Ghea sambil menyembunyikan cincin dalam kepalannya yang kuat.

Kini, Ghea hanya akan menunggu April mengembalikan semuanya. Atau, ini akan semakin panjang jika April tidak melaksanakan apa yang Ghea perintahkan dan membawanya ke jalur hukum.

Let see!

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top