30. Bertemu Keluarga Besar

⚠️ Chapter ini memuat konten dewasa (sensual) yang tidak disarankan untuk pembaca di bawah umur.
Jika teman-teman merasa tidak nyaman, silakan skip chapter ini 😊

.
.
.

.
.
.

Tangan besar itu kembali menjelajah punggung yang tak tertutupi sehelai benang, seiras dengan hembusan napas hangat yang menyapu tengkuk dan bahu. Kecupan demi kecupan yang sang adam berikan sebagai jejak kekuasaan atas raga puan, membuat wanita itu memejam dan menikmati sensasinya sejenak. Kedua lengan agam kemudian bergerak perlahan untuk memeluk dari belakang tubuh beraroma perpaduan pomegranate, mawar kastilia, dan kayu cendana. Begitu memikat nan memabukkan hingga Ardian tak kuasa untuk menghentikannya.

Dari arah perut, tangan kanan laki-laki itu kemudian naik untuk bertualang di dada, leher, dan berakhir pada bibir sang wanita. Untuk beberapa saat, jemarinya mengusap bibir ranum  puan yang belum diberi pewarna. Hingga akhirnya tatkala bibir itu terbuka sedikit, sang adam tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memasuki Ghea lebih dalam. Sementara satu tangan lainnya mulai menjamah perut bagian bawah sampai-sampai wanita berambut hitam itu mulai meracau dan mendesahkan nama sang suami. Satu tangan Ghea naik untuk mengusap belakang kepala Ardian perlahan.

Penerangan yang dinyalakan pada beberapa titik hingga membuat ruangan temaram dan musik dari TheOvertunes 'I Still Love You' mengalun indah dari salah satu program televisi, menjadikan suasana menjadi lebih intim dan bergairah. Rasanya tak ada yang ingin mengakhiri aktivitas penuh sensual ini.

Ghea tiba-tiba saja memutar tubuh agar ia dapat menatap Ardian tepat di manik sang adam tanpa mengeluarkan satu jari itu dari liang zat alir. Benar-benar sukses membuat Ardian menggila saat itu juga.

"Oh, Babe .... You don't have any idea how much I like this. You just looks so damn hot," lirih Ardian tepat di telinga Ghea.

Ardian seketika menarik jemarinya dengan pelan, lalu mengikis jarak dengan meraih tubuh Ghea dan memberikan ciuman suam nan lembut. Napas mereka kembali beradu dengan sesekali Ardian meraih bibir bawah Ghea hingga desahan kembali lolos.

Ghea akhirnya mengembalikan kesadaran, lalu membuka mata saat kening mereka menyatu sama lain. Kedua tangan puan itu menangkup wajah tegas sang suami yang membuat Ardian membuka mata.

"Nanti kita bisa terlambat, Sayang," bisik Ghea sembari memamerkan senyum indah.

Ardian mendesah kecewa. Nampak kedua bahu lebar itu terjun bebas. "Bisa nggak, sih, kita nggak usah datang?"

"Udah pasti papi, mami, sama opa bakalan kecewa berat sama kita. Bukan cuma mereka, sih, tapi semuanya."

Kedua sudut bibir Ardian langsung menukik tajam ke bawah dan tatapannya begitu sayu. "Padahal belum kelar kitanya."

"Mau Mama bantu?"

Awalnya, laki-laki itu tertunduk lesu. Namun, setelah Ghea menawarkan diri, ia langsung memperlihatkan cengiran kuda dan menggeleng pelan yang mengundang kerutan di kening hawa. "Nggak usah, Sayang. Nanti setelah dari acara aja Papa mulai menjalankan misi kemanusiaan."

"Ya ampun, misi kemanusiaan dari mana cobaaa."

Ghea tak mampu menyembunyikan tawa lebar hingga Ardian pun mengikuti sang istri.

Setelah dirasa sudah waktunya untuk memilih gaun, Ghea pun memutar tubuh menuju ruang pakaian. Tak lupa pula Ardian memberikan satu tepukan ringan di bokong Ghea yang membuat mata perempuan itu melotot sempurna.

"Tangannya ya, Pak. Tolong kerjasamanya!" ancam Ghea yang justru membuat Ardian kembali tergelak geli.

Mereka dijadwalkan menghadiri gala dinner keluarga Dikara, keluarga besar Ardian di rumah kakeknya malam itu. Rumah besar tersebut terletak di tengah-tengah kota dan berada di kawasan elit. Tak mengherankan memang, sebab berkat kerja keras beliau, keturunannya dapat menikmati dan hidup dengan sangat baik hingga hari ini.

Ghea kemudian memutuskan untuk mengenakan gaun hitam selutut yang dipadu padankan dengan clutch dan sepatu hak berwarna senada. Sedangkan Ardian memakai setelan lengkap dengan dasi kupu-kupu yang jarang ia kenakan. Sementara Tata dan El mengenakan pakaian yang sesuai dengan warna  busana orang tuanya.

Pada awalnya, Tata memberontak tak ingin ikut dan memilih untuk memainkan banyak boneka yang ia dapatkan dari acara ulang tahun beberapa waktu lalu. Akan tetapi, Ardian bersikeras untuk mengajak anak bungsunya. Mulai dari membujuk halus, hingga akhirnya satu bentakan keras keluar yang membuat Tata menangis dan berakhir harus digendong Ghea selama perjalanan.

"Adek dikasih tau nggak mau denger, sih. Kalo kata Papa Adek harus ikut, ya harus ikut! Lagian nggak setiap hari, kan, kita ke rumah eyang buyut," omel Ardian seraya memegang stir dan menatap pada lampu merah di depan sana yang membuat kendaraan berhenti sesaat.

Ghea kemudian menoleh sembari mengusap lengan Ardian perlahan, mencoba menenangkan suaminya. Sedangkan satu tangan lain membelai punggung Tata yang berada di pangkuan, masih menangis tersedu-sedu sambil menyembunyikan wajah di dada sang ibu.

"Nanti Papa buangin semua boneka Adek. Mau kayak gitu? Mau Papa buangin ke tong sampah?"  ancam Ardian.

"Pa--"

"Gara-gara Adek ini kita jadi telat banget. Mana sekarang macet lagi!"

Ghea sangat paham tentang kedisiplinan Ardian.  Wanita itu tahu jika suaminya tak pernah terlambat dan sangat membenci hal tersebut. Jika ia akan menghadiri sebuah janji, bahkan satu jam sebelumnya ia bisa saja sudah berada di tempat. Bagi laki-laki itu, lebih baik ia menunggu dari pada harus ditunggu. Sebab, ia merasa tak enak hati dan bersalah jika seseorang menunggunya.

Perempuan itu mendengkus perlahan seraya menunjuk ke arah kanan Ardian. "Nanti Papa belok ke sana aja. Nggak terlalu rame, kok, kalo lewat sana."

"Tapi, mutar lagi, Ma. Jadi jauh."

"Mending jauh dari pada berhenti-berhenti karena macet, Papa ...."

Ardian sontak berdecak, "Ah, sebel banget jadinya!"

Tak ada suara yang terdengar, bahkan El yang duduk di belakang hanya terdiam seraya memperhatikan jalanan di luar sana. Sesekali, Ghea akan mengamati anak sulungnya itu dari spion tengah, sementara tangan sibuk membelai Tata.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 15 menit, mereka akhirnya tiba di rumah besar bergaya klasik dominansi cat warna putih di bagian dinding. Pagar besi hitam setinggi dua setengah meter, jalan menuju parkiran yang memuat hingga puluhan mobil, lampu-lampu sorot kecil sepanjang jalan, dan pohon-pohon kecil yang dihias demikian rupa membuat rumah menjadi sangat indah dipandang netra.

Mobil Ardian akhirnya terparkir bersama mobil-mobil mewah lainnya milik anggota keluarga Dikara.

Ghea dengan sigap membuka pintu, lalu membantu El melepaskan seat belt yang membelitnya. Sementara Tata, Ghea dudukkan di kursi depan karena anak itu tidak ingin turun dari mobil. Nampaknya ia masih marah pada Ardian.

"Adek nggak mau turun? Mau di mobil sendirian?" tanya sang kepala keluarga.

Mendengar pertanyaan itu, Tata menunduk dan menggeleng perlahan. Sontak saja, Ardian menghela napas, lalu meraih tubuh kecil tersebut dan memeluknya erat.

"Maafin Papa ya, Nak. Maaf tadi Papa ngomongnya kenceng banget."

Sekali lagi, Tata menaik turunkan kepala pelan.

"Kita turun, yuk? Di dalam udah ada Kak Bima, Kak Asti, Kak Mita. Ada juga Adek Ryan yang baru kita jenguk di rumah sakit waktu itu. Semuanya nunggu Adek Tata, lho," bujuk Ardian seraya menyebut nama keponakan dari sepupu-sepupunya.

"Iya, Papa. Tapi, Adek mau digendong."

"Iya, Sayang. Papa gendong."

Setelah semua dirasa telah terkendali, keluarga kecil Ardian pun melangkah menuju pintu utama rumah --lebih tepatnya disebut mansion karena ukuran yang terlampau besar.

Satu per satu anggota keluarga memandang takjub ke arah Ardian dan Ghea, serta pada kedua anak mereka. Tak sedikit yang langsung menghampiri Ghea, cipika-cipiki, dan menanyakan kabar. Antusias yang diberikan keluarga besar Ardian pada Ghea membuat perempuan itu merasa hangat dan betah untuk berlama-lama mendengarkan mereka berbagi cerita.

Yang membuat Ghea nyaman, tak ada satu pun dari mereka yang memaksa puan itu untuk mengingat apapun. Mereka hanya sibuk bercerita dan sesekali bertanya tentang pendapat Ghea. Gugup? Tentu saja. Siapa yang mengatakan tidak di saat ia bertemu dengan orang-orang yang seharusnya ia ingat dan berbagi kenangan bersama.

Rasa canggung di diri Ghea terlihat jelas di wajah, sehingga Ardian berinisiatif untuk tidak meninggalkan perempuan itu. Beberapa kali Ardian mencoba menenangkan Ghea dengan membelai belakang hawa jika panik tiba-tiba mulai melanda.

Jangan tanyakan ke mana El dan Tata. Sebab, mereka sudah menghilang dari pandangan sesaat setelah Bima --anak Restu, sepupu Ardian-- mulai menarik tangan dan mengajaknya bermain di taman belakang.

Ting... Ting... Ting...

Suara gelas yang dipukul ringan menggunakan sendok kecil untuk menarik perhatian pun dibunyikan oleh Arya. Sontak saja, seluruh atensi tersita pada anak pertama Wijaya Dikara tersebut yang tak lain adalah ayah dari Ardian sendiri.

Dari arah belakang, Ghea dapat melihat sosok yang menjadi panutan semua orang sedang duduk di kursi roda dan didorong oleh suster. Ghea mengetahuinya secara lengkap dari Ardian bahwa laki-laki tersebut berusia lebih dari 90 tahun. Namun, masih terlihat begitu sehat dengan rambut yang memutih dan kulit yang cerah.

Wijaya menyapa satu per satu mulai dari anak, cucu, hingga cicitnya. Namun, dorongan kursi roda itu berhenti tepat di depan Ghea. Dengan tangan yang masih memegang erat tangan cucu menantunya --membuat Ghea akhirnya memosisikan diri dengan berjongkok di depan beliau.

Wijaya bertanya, "Ini siapa? Cantik sekali. Kayaknya kita baru ketemu ya?"

"Opa, ini Ghea, istri Mas Ardian," ucap Ghea lembut, membalas sapaan ramah Wijaya.

"Istri Ardian? Beneran? Bukan istri kedua?"

Sontak semua orang dibuat terkejut, lantas tak sedikit yang tergelak dan geleng-geleng kepala setelah mendengarnya.

Akan tetapi, Ghea hanya tersenyum hangat mendengar itu. Sebab ia tahu bahwa Wijaya memang tak melihatnya sebagai Ghea, tapi sebagai sosok lain yang sangat asing. Ghea tak terkejut karena inilah yang diturunkannya pada Tata sebagaimana yang dijelaskan oleh Hazel beberapa waktu lalu ketika laki-laki tersebut mengunjunginya di Hotel Athena.

"Opa bisa aja, deh. Itu Kak Ghea," balas Aini.

"Oh, iya?" Wijaya kembali menatap Ghea lamat dengan senyum lebar, "nanti setelah makan, Opa mau bicara sama kamu ya."

Ghea mengangguk pelan. "Boleh, Opa."

.
.
.

.
.
.

Taman belakang yang dilengkapi dengan kolam renang --namun sekarang ditutup untuk keperluan acara, air mancur berukuran sedang di sudut taman, dan beberapa tanaman setinggi satu meter telah disulap secantik mungkin dengan penambahan lampu-lampu kecil. Semakin indah dengan lampu taman berbentuk kerucut di undakan-undakan dan lampu gantung dipasang pada pohon-pohon besar.

Wijaya yang memosisikan diri di tepi taman seraya mengamati cucu dan cicitnya bermain pun nampak begitu lahap ketika suster menyuapi sepotong kue bolu pandan. Melihat itu, Ghea kemudian bergerak perlahan dan meminta pada suster agar ia yang akan menyuapi kepala keluarga Dikara tersebut.

Ketika akhirnya Ghea mendaratkan bokong di kursi di samping kursi roda Wijaya dan mulai memotong-motong kue menjadi bentuk sekali suap, laki-laki tersebut menoleh pelan pada Ghea.

"Bagaimana kabarmu, Nak?"

"Baik, Opa."

"Yang di rumah sakit, gimana?"

Ghea tertegun sejenak, lantas menurunkan piring yang sempat ia angkat untuk sesaat dan menundukkan pandangan.

"Opa memang tidak tau nama kamu, Nak. Tapi, Opa tau kamu bukan Ghea. Cucu Opa itu beda sekali dari kamu."

Tidak, sama sekali tak ada emosi yang terlontar dari mulut seorang Wijaya Dikara. Ia hanya tersenyum seraya menepuk-nepuk tangan Ghea membuat perempuan itu mengangkat wajah dan menatap lawan bicaranya sendu.

"Maaf ya, Opa."

"Kenapa bisa kayak gini? Apa yang terjadi sama kamu? Sama Ghea?"

Puan itu mengembuskan napas panjang dari mulut. Lantas, ia menceritakan semuanya mulai dari awal ketemu dengan jiwa Ghea di rumah sakit, kecelakaan, pekerjaan, hingga kegiatan sehari-hari. Ia juga tak lupa menceritakan kesepakatan antara dirinya dan Ghea yang membuatnya harus mengambil langkah ini.

Andai saja ia memiliki pilihan lain dalam menyelamatkan reputasi yang sudah susah payah ia bangun, tidak mungkin ia akan menjadi Ghea sekarang. Di samping itu, hati perempuan tersebut juga tergerak untuk membantu Ghea yang sedang mengalami kesulitan.

Terganjal, entah apa yang membuat jiwa Ghea tak dapat kembali. Padahal, tubuh ini semakin hari semakin melemah. Dalam hati puan, ia berharap dapat menyelesaikan semuanya tepat waktu hingga tubuh ini masih mampu untuk berdiri di kaki sendiri. Sebelum semua terlambat, sebelum semuanya lenyap tak bersisa.

"Opa turut prihatin dengan kamu, Nak Kiana. Tapi, ini nggak akan lama lagi, kok. Kamu udah ada di setengah perjalanan. Kamu harus kuat, kamu harus sabar ya, Nak."

"Terima kasih, Opa."

"Kamu juga harus jaga kesehatan. Opa liat ada beberapa dari tubuh kamu yang mulai melemah, menghitam."

"Temen aku juga bilang begitu, Opa."

Ternyata ucapan Hazel semua benar adanya. Tentu saja Ghea meragukan semua itu pada awalnya. Akan tetapi, Ghea juga tak menampik bahwa seiring berjalan waktu memang tanda-tanda mulai terlihat, ditambah lagi dengan pernyataan Wijaya membuat Ghea semakin tak memiliki keraguan.

"Opa juga mau bilang dan kalo bisa sampaikan ini sama Ghea. Tolong maafin oma ya."

Ah, oma atau yang lebih dikenal sebagai Dewi adalah nenek Ardian yang telah meninggal empat tahun lalu, tepatnya sebulan setelah Agatha Bratadikara lahir. Perempuan itu dikenal sebagai orang yang ketat pada aturan, tapi penyayang. Punya prinsip kuat dan jika menginginkan sesuatu maka dia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya.

Benar-benar luar biasa!

Permintaan dan pernyataan Wijaya membuat Ghea mengernyit. "Oma nggak salah apa-apa, Opa."

Wijaya menggeleng. "Nggak, oma itu sudah salah memaksakan semuanya pada Ardian. Dia maksa menikahkan Ghea dan Ardian, padahal dia tahu cucunya itu nggak mau sama sekali."

"Oma kayak gitu, kan, pengen yang terbaik untuk Mas Ardian."

"Tapi, ada hal-hal yang memang tidak dapat dipaksakan dan mungkin kedepannya malah menjadi bumerang. Banyak yang dipertaruhkan, banyak yang terluka."

Ghea mengangguk dan mengulum senyum, membenarkan perkataan Wijaya yang sekarang menatap El bermain bola dengan anak-anak lainnya. Suara tawa dari para bocah di depan sana tiba-tiba menggema membuat Wijaya dan Ghea juga refleks ikut menyunggingkan senyum.

"Sepertinya Ghea udah lakuin sesuatu sama kamu ya? Sampe kamu nggak sadar sama sekali. Karena kalo kamu tahu, kamu nggak akan lakuin semua ini, Nak."

Sekali lagi Ghea memperlihatkan kerutan di kening dan kedua alis menyatu. "Maksudnya apa, Opa?"

Wijaya menoleh pada Ghea dengan menarik dua sudut bibir ke atas. "Ternyata Opa salah. Kita sudah pernah ketemu sekali, Nak."

Eh?! Kapan?

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top