3. Permintaan Gila

.
.
.

Hari-hari Ghea pada awalnya diselimuti oleh berbagai kesibukan yang menyita banyak waktu dan tenaga. Selalu duduk di kursi empuk seraya membaca berbagai dokumen terkait usahanya dalam bidang mode, bukanlah hal yang asing untuk disaksikan. Dan betapa beruntungnya perempuan itu memiliki suami dan anak-anak yang pengertian, jarang protes ketika ratu rumah tersebut pulang larut. Namun Ghea sadar diri, sebagai seorang istri dan ibu, dia berusaha untuk membagi waktu untuk keluarga kecilnya.

Saat ini, ia akhirnya memiliki waktu yang lama bersama Ardian, Tata, dan El. Meskipun perempuan itu mengerti bahwa kini dia hanya terbujur tanpa mampu menenangkan anak keduanya yang sudah meronta dalam gendongan sang suami.

"Adek mau apa? Adek mau apa, Sayang?" Ardian tampak beberapa kali menghela napas ketika Tata berteriak dan menangis lagi.

"Mama ... Adek mau mama!"

"Tapi mama lagi bobo, Nak. Tuh, coba liat!"

"Mama bobo mulu. Adek gak suka. Adek mau ajak mama main. Papa, ayo bangunin mama!" rengeknya di sela-sela tangisan.

Ardian tak mendengarkan pinta anak perempuannya tersebut dan membawa Tata keluar dari ruangan. Ia membiarkan El tidur malam itu bersama Ghea, berdua saja. Sedangkan dia memilih untuk berkeliling rumah sakit bersama Tata agar sang putri letih dan berakhir terlelap dalam dekapan hangat, melupakan sejenak perihal ibunya yang masih memejam di dalam sana.

Hari ini, Aini diketahui telah meminta izin pada Ardian untuk datang terlambat, mengingat ia mengerjakan project kampus bersama teman-temannya. Gadis itu berjanji akan datang, meskipun mungkin akan larut malam. Ardian tak masalah dengan itu. Toh, tugas utama Aini memang belajar, bukan mengurus Tata maupun El.

Melihat Ardian dan Tata yang telah menghilang dari pandangan, Ghea yang semula tidur bersama El pun terbangun. Bukan raga, melainkan jiwa yang selama ini bergerak dengan bebasnya. Sebelum melangkah meninggalkan kamar, Ghea mencium kening putranya yang terlihat damai memeluk raga sang ibu.

Sret...

Ghea berhasil menutup pintu kamar. Namun sedetik kemudian, ia terlonjak tatkala menemukan asap hitam telah hadir di belakangnya. Wanita tersebut terkadang tak habis pikir. Sebab, asap hitam tersebut hanya berada di depan kamarnya saja, tidak pernah sekalipun ia melihatnya di depan kamar lain.

Perempuan berambut panjang itu pertama kali melihatnya sejak hari pertama ia masuk rumah sakit hingga hari ini. Meskipun Ghea telah mengusirnya, asap hitam itu tetap saja datang dan seolah mengajak Ghea berbicara. Tidak, dia tak mengeluarkan untaian kalimat seperti manusia pada umumnya. Tapi hati Ghea, seolah mampu menerjemahkan tiap gelombang yang memancar dari entitas asing tersebut.

"Aku masih menunggu sesuatu. Setelah itu, aku akan kembali," acap Ghea. "Aku tahu. Aku berusaha untuk ngelakuinnya secepat mungkin."

Setelah itu, asap hitam tersebut hilang dari pandangan Ghea membuat sang hawa seketika menundukkan pandangan dan bahunya jatuh, terasa sedikit menentramkan di sela-sela perasaan cemas yang bergelayut.

Saat kakinya akan melangkah menjauhi kamar, ia tiba-tiba saja berhenti tatkala melihat Kiana yang baru saja keluar dari lift dengan beberapa barang belanjaan dari merek ternama. Sadar jika dirinya dipandangi, perempuan itu pun menoleh pada Ghea untuk beberapa saat dengan senyum lebarnya, lalu meletakkan belanjaan di depan pintu secara perlahan dan kembali mengayunkan kaki jenjang itu untuk menyapa Ghea.

"Mbak, tumben baru keluar kamar lagi," ujar Kiana.

Perempuan itu lantas mengajak Ghea untuk duduk di bangku panjang dekat meja informasi yang tak jauh dari tempat Ghea berdiri sebelumnya.

"Iya, nih. Bosen juga kalo di kamar terus," ujar Ghea bersamaan dengan memamerkan senyum tipis. "Oh iya, Na. Aku boleh nanya nggak?"

"Ya boleh, dong. Sejak kapan Mbak nggak boleh nanya ke aku?"

Ghea seketika terdiam dan memandang Kiana lekat, sedangkan yang ditatap hanya tersenyum manis dengan sesekali mengangkat alisnya. "Mbak Ghea?" panggil Kiana yang akhirnya membuat kesadaran Ghea kembali.

"Ka-kamu ... kamu bisa masuk ke tubuh kamu lagi?" tanya Ghea, sedikit ragu. Takut jika pertanyaan itu menyinggung sang hawa.

Sudut bibir melengkung indah yang semula terpancar di wajah Kiana sontak memudar, tergantikan oleh tatapan serius dan sesekali Kiana menunduk sembari memainkan jemari lentiknya.

Kiana mengangkat wajah. "Bi-bisa, Mbak."

"Trus? Kenapa?"

Pertanyaan Ghea membuat Kiana seketika mengernyit.

"A-aku ... aku belum mau kembali, Mbak. Aku nyaman dengan ini," ujar Kiana. "Memangnya kenapa, Mbak?"

"Ah, itu ... hm aku pengen minta tolong."

"Minta tolong apa dulu, nih, Mbak?Kalo gampang mah, hayuk aja."

Ghea menyunggingkan senyum tipis. "Oke, aku bakal jelasin. Tapi, tolong jangan disela!"

Mendengar itu, Kiana mengangguk mantap.

"Aku juga pengen kembali!" tegas Ghea membuat Kiana menyatukan alis dan kening yang masih setia mengerut, "tapi aku nggak bisa. Kenapa? Karena ada satu hal atau satu barang yang membuat aku nggak bisa kembali, seakan ngeganjal aku. Dan mirisnya lagi, aku nggak tau itu apaan. Aku pengen ... kamu masuk ke tubuh aku--"

"Itu gila, Mbak!" hardik Kiana memotong. "Lebih baik Mbak minta tolong ke orang lain dibandingkan aku."

Tampak Ghea menelan saliva dengan sedikit kesusahan, hingga ia hanya menunduk selama beberapa detik.

"Apa Mbak mau aku cariin orang lain di rumah sakit ini? Ada pasti, Mbak."

Ghea seketika menggeleng lemah. "Aku udah keliling, Na. Tapi nggak ada satu pun orang yang punya keinginan hidup tinggi seperti kamu. Aura mereka kelam, tertutup dendam, ataupun lemah nggak berdaya seperti aku sekarang, tapi kamu--" Ghea mengambil kedua tangan Kiana, "kamu beda. Aura kamu itu hidup, terang."

"Mbak ... Mbak Ghea, tuh, punya suami dan anak-anak. Itu pasti menjadi motivasi Mbak untuk bisa kembali. Iya, 'kan? Kenapa Mbak nggak berusaha lebih keras lagi dengan membayangkan mereka?"

"Kamu bener. Tapi sayangnya, selama seminggu ini Mbak coba sekuat tenaga untuk kembali dengan berbekal motivasi dari mereka, tetap nihil."

Kiana balas menggenggam kedua tangan Ghea erat. Nampak perasaan iba terlihat di wajah putih miliknya. Entah apa yang Kiana pikirkan sekarang. Akan tetapi, Ghea masih berharap jika Kiana mau menerima permintaannya itu, meskipun peluang besar akan penolakan mungkin ia terima.

"Ngomong-ngomong, Mbak mau aku ngapain?"

Ghea sempat tertegun untuk beberapa saat setelah mendengar pertanyaan itu, seolah Kiana mampu membaca isi hatinya dan harapan Ghea padanya menjadi semakin besar.

Sedetik kemudian, Ghea menghela napas. "Aku mau kamu bangun di tubuh aku, cari apa yang buat aku terjegal sampe nggak bisa kembali. Aku yakin, itu pasti nggak jauh di dalam rumahku."

"Trus, bagaimana dengan suami dan anak-anak Mbak? Mereka pasti kaget kalo tau istri dan mama yang mereka kenal selama ini sudah berubah."

"Mereka nggak akan tahu, kecuali kamu berencana untuk ngasih tau mereka tentang identitas kamu. Atau ... begitukah pikiranmu?"

"Ya, nggak juga, sih. Cuma kalo mereka sadar di tubuh itu bukan Mbak, tapi aku, aku bisa jawab apa?" Kiana tampak menggaruk belakang leher.

Ghea tersenyum simpul sambil mengusap bahu Kiana berulang kali. "Pikiran kamu terlalu jauh."

"Mbak, aku sekarang nggak becanda, lho. Bagaimana dengan suami dan anak-anak Mbak? Bagaimana kalo nanti, nih, ya misalnya--" Kiana menepuk-nepuk bangku berulang kali, "aku jadi nyaman dengan keluarga Mbak dan nggak pengen keluar? Mbak nggak takut aku ngambil mereka?

"Mbak, Mbak nggak tau reputasi aku selama ini di masyarakat kayak gimana?"

Mata Ghea dan Kiana saling memandang selama beberapa detik. Dan karena tatapan teduh dan perkataan dari Kiana itu, Ghea merasa semakin yakin dengan keputusannya. Mungkin semua orang akan menganggap Ghea kurang waras, tapi ia tak peduli. Baginya yang terpenting sekarang adalah mencari akar dari permasalahan yang ia rasakan saat ini. Meskipun dia sendiri bingung harus mulai dari mana dan bagaimana menjelaskannya pada Kiana secara terperinci.

Tak lama kemudian, Ghea pun menengadahkan tangan kiri membuat mata Kiana mengikuti gerak itu hingga ia tiba di layar televisi di dalam bagian informasi. Sebuah program gosip kehidupan para artis pun muncul bersama sepasang pembawa acara yang terkenal dengan ceriwisnya.

"Kiana Ivanka Hadi, udah hampir dua minggu ya dia terbaring karena kecelakaan itu. Eh, atau mungkin udah tiga minggu? Kasian banget. Kita do'a-in semoga beliau cepat sembuh dan balik ke layar kaca lagi," ucap seorang pembawa acara yang bernama Sesil.

Pria yang berdiri di sampingnya, terkenal dengan nama Bayu pun membalas, "Yup, bener banget. Tapi sebelum kita beranjak ke informasi lain, kita punya rangkuman berita tentang Kiana Ivanka yang dihimpun oleh Tim Mata-Mata yang sayang, nih, untuk dilewatin. So, check this out..."

Layar pun berganti dengan potongan cuplikan Kiana di beberapa wawancara, pemotretan majalah, hingga film-film yang ia bintangi bersama dengan latar suara seorang perempuan yang tegas.

Dalam laporan mereka, Kiana disebut sebagai salah satu public figure yang begitu disorot setelah membintangi film box office bertajuk 'Unforgettable Love', film yang berhasil meraup pendapatan terbesar di tahun ini. Tak hanya itu, sederet prestasi Kiana dalam bidang modelling juga patut diacungi dua jempol, baik di dalam maupun luar negeri.

Akan tetapi, semua itu berubah laksana debu dalam satu malam ketika kontroversi tentang dirinya muncul. Kiana dituding sebagai orang ketika dalam rumah tangga aktor yang juga lawan mainnya di film tersebut, digosipkan menjadi simpanan pejabat, hingga dirumorkan memakai barang haram untuk menunjang staminanya ketika berada di depan kamera. Beberapa bukti yang beredar menunjukkan hal tersebut membuat publik semakin percaya dengan gunjingan-gunjingan yang ada.

Nahas, sebelum Kiana dan manajemennya mencari bukti tentang kasus-kasus tersebut, sang mega bintang menghadapi kecelakaan parah yang mengakibatkan dirinya koma hingga saat ini.

Sayangnya dalam tayangan tersebut, kronologi kecelakaan yang dialami Kiana tidak dijelaskan terperinci. Sehingga Ghea mampu menangkap hembusan napas yang Kiana buang secara kuat dan kasar. Ghea menduga bahwa Kiana tidak tahu bagaimana ia kecelakaan dan berakhir seperti saat ini.

Benarkah demikian?

Di akhir laporannya, program tersebut menyelipkan wawancara dengan salah satu manager Kiana yang bernama April, yang ternyata wawancara itu telah dilakukan beberapa hari yang lalu. April menyatakan bahwa ia tidak dapat mengeluarkan pernyataan apapum, baik tentang kontroversi maupun kondisi Kiana saat ini. Ia hanya meminta doa untuk kesembuhan Kiana, sebelum akhirnya perempuan berambut pirang dengan satu tindikan di hidung itu pun masuk ke dalam mobil dan menghilang dari sorotan kamera wartawan.

"Maksud kamu itu? Reputasi bahwa kamu seorang perusak rumah tangga orang?" tanya Ghea yang berdiri beberapa menit lalu mengikuti Kiana setelah sang hawa melihat liputan dirinya di televisi. Ghea terlihat melipat kedua tangan di dada.

Sontak, Kiana pun membalikkan tubuh menuju Ghea yang berada di belakangnya. "I-iya, Mbak...."

"Emang kamu kayak gitu?" Ghea seakan kembali meminta penegasan.

Kiana menjatuhkan tatapan, lalu sedetik kemudian ia mengangkat kepala. "Ta-Tapi Mbak--"

"Pertanyaan aku cuma butuh jawaban antara iya atau tidak!"

Kiana menggeleng cepat dengan mata yang berbinar menahan air mata agar tak tumpah di depan Ghea. "Aku bukan perempuan rendahan seperti itu, Mbak. Aku bukan perempuan bodoh yang ngelakuin hal-hal kayak gitu."

"See? Aku juga percaya kalo kamu bukan perempuan seperti itu. Nggak tau datang dari mana keyakinan aku. Tapi, aku liat kamu orang yang benar-benar beda. Well--" Ghea maju selangkah dan meraih kedua tangan Kiana lagi, "lakuin apa yang pengen kamu lakuin untuk membalas atau mencegah orang-orang itu dengan tubuh aku. Aku membebaskannya. Asal yang terpenting buat aku sekarang adalah berjalan terus, menghilangkan sesuatu yang mencegahku untuk kembali. Mungkin aku kedengaran sedikit egois, tapi aku nggak punya pilihan lain."

Kiana mendengkus seraya menggigit bibir bawah dengan sedikit kuat. Setengah mati ia menahan agar matanya tak basah. Akan tetapi, Ghea berhasil menghancurkannya begitu saja.

Melihat tubuh Kiana yang bergetar, Ghea menarik perempuan itu dalam pelukannya. Tangan Ghea menepuk-nepuk punggung Kiana, berharap ia sedikit lebih tenang setelah mendengarkan berita tentangnya dan tanggapan masyarakat yang diliput terkait kontroversinya.

"Kamu sebenarnya pengen apa untuk kedepannya?" tanya Ghea dengan nada pelan setelah ia memberi jarak pada Kiana yang kini telah menghapus air mata dengan lengan.

"Sederhana, sih, Mbak. Aku nantinya cuma pengen jadi istri dan rawat anak-anak aku. Jadi ibu rumah tangga yang baik, mungkin? Tapi kayaknya itu nggak bakalan terwujud, deh, ngeliat dari situasi aku sekarang. Mana ada laki-laki yang mau menikah dengan perempuan rendahan seperti itu," ucap Kiana sambil menarik sudut bibir ke atas di sela derai tangis. "Pokoknya aku pengen hidup tenang yang jauh dari pemberitaan media kayak sekarang. Karena ... karena aku udah capek."

Ghea mengangguk. "Jadi ini alasan kamu belum mau masuk ke tubuhmu lagi?"

"Bener, Mbak."

Ghea memperkecil jarak tubuhnya dengan Kiana hingga ia mampu mendengar hembusan napas perempuan itu sekali lagi, meskipun tak terlalu jelas seperti sebelumnya. "Kiana, kalo aku boleh jujur, aku udah nggak bisa jaga pernikahan aku lagi."

Mendengar hal tersebut, mata sembap Kiana sontak membelalak. "Maksud Mbak gimana?"

"Rumah tangga aku udah nggak baik-baik aja. Aku dan suami ada masalah dan harus secepatnya dibereskan. Jadi, sekarang aku mulai belajar untuk melepaskan mereka satu per satu. Maka ketika aku kembali, aku nggak pengen nengok ke belakang dan ada penyesalan dikemudian hari. Aku cuma pengen kamu bantuin aku untuk mencari sesuatu itu, mencari yang aku butuhin. Dan kamu, bebas pakai tubuh aku untuk memperbaiki nama Kiana atau melakukan hal untuk mencegah nama Kiana makin tercemar. Terserah kamu....

"Setelah semua ini berakhir, aku nggak peduli kalo kamu mau ambil semuanya, termasuk anak-anak dan suamiku. Tapi, aku mohon. Untuk sekali ini saja, tolong aku! Cuma kamu yang bisa ngelakuin itu semua.

"Dengan kata lain, kamu bisa wujudin kemauan kamu, 'kan? Memiliki suami dan anak-anak, jadi istri yang baik untuk mereka--"

Kiana tiba-tiba melepaskan diri dari genggaman Ghea dan mundur dua langkah. Perempuan itu nampak menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan perkataan Ghea yang baru saja singgah di indra pendengarannya. "Tapi nggak gitu caranya, Mbak. Lagian Mbak beneran ngelepasin keluarga sendiri? Mbak bener nggak akan nyesel?"

"Apapun itu akan aku lakuin, termasuk merelakan mereka. Karena aku cuma pengen kembali, nggak tersesat di dunia ini untuk selamanya."

Ghea kembali menatap obsidian gelap milik Kiana dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Jadi, aku mohon sama kamu, tolong bantu aku."

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top