28. Kenyataan Pahit
.
.
.
Dua hari berlalu sejak Ghea menemukan nama lain yang akhirnya bersarang di kepala. Sejak itu pula ia memilih untuk tetap diam, tak bertanya pada siapapun, meskipun ia merasa bahwa bertanya pada Hazel akan jauh lebih baik. Sayangnya, ia menghancurkan pikiran tersebut dan menelan bulat-bulat sendiri.
Pagi itu setelah mengantar El ke sekolah, Ghea dan Ardian bergegas menuju The Royal Guards, sebuah tempat Golf and Resort terkenal di kota. Ardian dijadwalkan bermain golf dengan rekan-rekan kerjanya sesama pemilik dan petinggi perusahaan-perusahaan.
Ya, Ardian tidak ingin pergi seorang diri. Ia ingin Ghea ikut dengannya, meskipun hanya melihat laki-laki itu beraktivitas dari kejauhan.
Tidak, Ghea tidaklah bodoh untuk menghabiskan waktu berjam-jam menunggu sang suami tanpa melakukan apapun. Perempuan itu meminta izin pada Ardian untuk melakukan spa selama suaminya pergi. Selain itu, rekan-rekan Ardian ternyata juga akan ditemani oleh istri-istri mereka saat makan siang nanti. Tentu saja Ghea tidak ingin melewatkan kesempatan untuk tampil segar dan memukau.
Ghea telah paham tentang ibu-ibu sosialita, sebuah lingkaran yang dulunya enggan ia sambangi. Entahlah, Ghea dulu merasa tak pernah nyaman berada di antara ibu-ibu. Namun untuk sekarang ini, ia merasa bahwa mereka menjadi teman yang menyenangkan.
Setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk memperindah diri, Ghea kemudian melangkah percaya diri memasuki sebuah tempat makan terbuka yang menghadap langsung ke arah lapangan golf. Dari kejauhan, Ghea dapat melihat sang suami yang tertawa lebar dengan rekan-rekannya seraya memegang tongkat golf dan sesekali menunjuk ke arah danau.
Langkah Ghea semakin mantap ketika seluruh tatapan malu-malu baik dari pengunjung, pegawai, dan ibu-ibu kaum jet set terpaku pada pesonanya. Tak sedikit dari mereka tersenyum pada Ghea yang tampil menggunakan gaun navy sebetis motif bunga-bunga, berbelahan dada rendah tanpa lengan, punggung terbuka, serta tali leher. Jangan lupakan bagaimana perempuan itu menggelung rambut asal hingga memperlihatkan belakang leher yang seksi, riasan natural, serta tas dan stileto berwarna pastel yang menyatu dengan warna kulit.
Ghea menarik tempat duduk di antara Alana dan Tris, lalu menyapa seluruh ibu-ibu yang berjumlah sekitar delapan orang itu dengan ramah.
"Duh, Ibu Ghea makin hari semakin cetar membahana ya," ungkap Tris seraya menepuk ringan bahu Ghea.
"Makasih banyak pujiannya, Bu. Ibu Tris juga nambah cantik. Pasti perawatannya nggak main-main, nih?" puji balik Ghea.
Damara tiba-tiba menyela, "Gimana nggak tambah cantik, suaminya aja baru tembus proyek baru. Pasti dapat cipratan, kan, Bu?"
"Yaaa biasalah kalo itu, mah," Tris berucap santai sambil melambaikan tangan satu kali, "suami ibu-ibu juga kalo tembus pasti dapet, kan? Ya sama aja kita."
"Trus, dapat apa, Bu?" Nining masih penasaran nampaknya.
"Nggak mahal lah."
"Kayaknya dapet tas baru? Perhiasan baru?" tebak Ghea.
"Lebih kalo Ibu Tris. Nggak mahal itu maksudnya di atas satu M. Ya kan, Bu?" Alana berujar di sela-sela senyuman yang meneduhkan itu.
"Kebetulan suami hadiah-in rumah sama mobil."
"Tuh kan ...."
Semua wanita menjadi heboh dibuatnya.
"Rumah satu M berarti?" tebak Ghea.
"Agak diatas dikitlah, 25 M," jawab Tris. "Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Mending bahas Mama El aja nih yang makin aduhai. Dari mana, sih, Sist? Kok telat?"
Sontak saja seluruh tatapan beralih pada Ghea. "Sebenarnya aku udah dari tadi ada di sini, dari pagi. Tapi kan ibu-ibu belum pada nongol, jadi aku spa aja."
"Ihhh coba Mama El bilang ya mau spa, kita jadi bisa spa bareng," acap Andini, perempuan yang baru pertama kali Ghea temui itu.
"Tapi, gue nggak bisa kalo pagi. Tau lah ya anak enam biji cowo semua di rumah masih perlu perhatian, belum lagi bapaknya juga mau diurus," tambah Damara seraya menggelengkan kepala.
"Enam orang cowok semua, Bu?" tanya Ghea dengan mata yang membulat membuat para perempuan terkekeh.
"Lah iya, anak gue cowok semua. Yang paling tua bentar lagi kuliah. Yang paling kecil baru kelas lima SD."
"Subur emang Bu Damara," celetuk Bianca, perempuan berbibir tipis dengan pewarna merah terang membuatnya tambah seksi.
Jujur saja, jika dibandingkan dengan seluruh wanita yang ada di sini, Ghea sedikit iri dengan Bianca. Wanita itu memiliki tinggi 170 sentimeter dengan kulit sawo matang khas perempuan latin. Mata lebar, bulu mata lentik, rambut hitam lurus, hidung mancung, dan garis wajah yang tegas. Tak perlu ditanyakan bentuk tubuh bak gitar spanyol. Ini memang tak mengherankan, sebab Bianca mendapatkannya dari ayah dan ibu yang berkewarganegaraan Venezuela.
Tatapan seluruh wanita tiba-tiba saja menajam pada satu sosok yang mendekat ke arah meja mereka. Sontak, Ghea pun mendengkus dan membuang pandangan ke arah lain. Tangannya ia lipat di dada dan menyandarkan punggung tegap pada kursi. Nampaknya tidak hanya Ghea yang tak nyaman dengan kehadirannya, mengingat seluruh wanita terdiam begitu saja seperti dirinya.
Aneh....
"Ah, ibu-ibu sudah lama ya datangnya?" tanya puan tersebut dengan ramah. "Oh, ada Ibu Ghea juga ternyata. Selamat siang, Bu."
Perempuan yang tak lain ada April pun mengulurkan tangan pada Ghea. Mau tak mau, Ghea bangkit hendak menjabat uluran April. Sayangnya, Bianca juga tiba-tiba berdiri yang membuat seluruh pandangan terpaku padanya.
Bianca menurunkan tangan Ghea dengan perlahan yang sudah terangkat sedikit. Sorot mata tajam Bianca kini menjurus ke arah April. "Jangan sentuh perempuan ini, Ibu Ghea! Nanti penyakitnya nular," ujar Bianca pada April sambil melipat kedua tangan di dada.
April tersenyum tipis nan ragu-ragu. "Maksud Ibu apa ya?"
Bianca mendecih. "Sok polos. Mending lo sekarang pergi aja, deh! Soalnya tempat duduknya udah nggak muat. Bahkan meja yang benda mati pun nggak nerima elo di sini."
Mata April mengerjap beberapa kali. "O-oh, sebelumnya maaf ya, Bu, kalo saya ganggu."
"Tuh sadar. Sana, gih!"
Tanpa perlu berkata lebih banyak lagi, April pun memutar tubuh dan menjauh dari mereka. Dari sudut mata, Ghea dapat menangkap bahwa April duduk sekitar lima meja di belakang sana seraya membuang tatapan menuju arah parkiran. Sementara ibu-ibu lain kembali berceloteh sambil tertawa anggun membuat Ghea sedikit kebingungan.
"Siapa, sih, yang undang perempuan itu?" tanya Prita.
"Kalo kita mah nggak ada yang undang. Mungkin Pak Ardian ya secara bisa diliat di sana Pak Ardian berdiri bareng Pak Amran," sela Nining sambil menuju dagu pada Ardian di ujung lapangan yang sedang bercengkrama dengan calon suami April.
"Oalah, pantesan aja. Ogut bingung kok tiba-tiba dia nongol. Pede banget lagi ke sini. Emang kita mau nerima? Dih, males banget." Prita memutar mata malas. "Mama El nggak tau Papa El ngajak Pak Amran?"
Ghea kemudian tergagap karena pertanyaan mendadak itu. "Eh? Ta-tau kok, Bu ... cuma aku nggak tau kalo dia juga bakalan ngunjungin Pak Amran di sini."
"Mohon maaf ya, Bu, emang ada apa sama dia?" tanya Ghea hati-hati. Suaranya bahkan mengecil seiring suasana pertemuan yang semakin mendingin karena kehadiran April.
"Dia itu perempuan nggak bener. Kayaknya hampir semua bapak-bapak berduit dia deketin. Suami ogut pernah jadi sasaran dia waktu itu, ngirim chat mesra, ngirim foto telanjang, dan nelpon tengah malam. Ya jelas kita keganggu ya kan. Apalagi anak ogut, tuh, si Farah rewel banget kalo tidurnya keganggu. Suami ogut langsung ambil tindakan dengan nge-block nomornya," terang Prita dengan berapi-api.
"Masa sih, Bu?" Bohong jika Ghea tak terkejut mendengar pernyataan itu.
Ah, tidak mungkin. Setahu puan yang pernah bekerja sama dengan April cukup lama, informasi ini dirasa sangat salah. Meskipun Ghea tahu bahwa seluruh barang-barang Kiana dipakai bahkan dibawa pergi oleh April, ia tak tahu bahwa April gemar merusak rumah tangga orang seperti yang disebutkan.
"Bukan cuma suami Bu Prita aja. Suami gue juga digituin, kok. Sampe sebel gue. Akhirnya gue labrak aja, tuh, perempuan," ujar Andini.
"Hah? Beneran, Bu?"
Andini mendengkus pelan mendengar pertanyaan Ghea. "Kalo masalah gini-ginian mah ya, sorry sorry aja nih, bukan bermaksud mengumbar masalah rumah tangga sendiri. Tapi, emang bener, lho. Masalahnya yang digoda bukan cuma suami ibu ini, atau ibu itu. Banyak, Sist."
Alana kemudian memajukan tubuh sambil jemarinya bergerak seolah mengajak orang-orang untuk memelankan suara. "Kayaknya emang dia orangnya gitu gak, sih? Eh, tau nggak? Waktu hari apa itu ya, gue ketemu dia di Femelle lan-tai ti-ga sambil jalan gandengan mesra sama mangsa barunya. Sampe ciuman bibir segala di sana. Gila gak, tuh?"
Sekarang bukan hanya Ghea yang membelalak, tapi istri-istri lainnya juga. Mereka semua tahu bahwa Femelle lantai tiga diperuntukkan orang-orang tertentu, dan mendengarkan bahwa April juga berbelanja di sana di saat pemasukannya hanya dari menjadi manager Kiana rasanya tak mungkin.
Alana, perempuan berambut hitam pendek sebahu itu kembali menjelaskan bahwa April datang bersama laki-laki yang mungkin seumuran dengan Ardian Bratadikara ke Femelle.
"Ke Femelle lantai tiga? Buset, gue aja belom terdaftar ya di sana!" Nining menggeleng cepat sambil membuang lap tangan yang berada di depannya.
Ghea kemudian bertanya, "Ibu liat dia pergi sama siapa?"
"Itu, lho, Mama El. Ck, siapa sih nama bapak yang punya Putra Group?" Kening perempuan itu nampak berkerut.
"Afrizal?" tebak Nining sambil menyuap kue black forest ke dalam mulut.
Alana menggeleng. "Anak Pak Afrizal. Siapa namanya?"
Prita mengangkat garpu seraya menunjuk-nunjuk Alana heboh. "Pak Valdy, Valdy Abrisam Putra."
"Nah itu dia!"
WHAT THE FUCK?! JADI WAKTU GUE KETEMU VALDY DI FEMELLE, SEBENARNYA DIA NEMENIN APRIL?
Tenggorokan Ghea seperti tercekat, napas perempuan itu seakan beradu kecepatan, bulir-bulir keringat mulai terlihat di beberapa titik wajah, dan netra gelap miliknya membulat sempurna. Kedua tangan ia turunkan dari atas meja, bersatu di bawah sana sambil terpaut erat. Tatapan Ghea jatuh pada kedua tangan yang mendingin itu. Padahal, suasana sedang terik-teriknya, tetapi Ghea merasa keringat dingin sekarang.
"Dan kalian semua tau kan kalo gue tuh penggemar berat Kiana. Apa yang Kiana punya, gue juga harus punya," jelas Alana yang membuat Ghea mengangkat wajah dan tertegun mengetahui bahwa ada ibu sosialita yang menjadi penggemarnya.
"Kalian coba deh nengok lagi ke belakang sana. Haduhhh--" Alana menjerit tertahan penuh dramatis seraya mengepalkan kedua tangan di depan dada dan memejam erat, "dia kayaknya pake baju sama tas Kiana deh, soalnya gue juga punya tuh semua yang dia pake."
"Astaga, keterlaluan!" hardik Bianca dengan kedua alis yang menukik tajam.
Prita berdecak seraya menggeleng kepala tak habis pikir dengan April. "Jadi dia dekat dengan Pak Valdy, sementara dia calon istri Pak Amran? Gila betul ...."
Damara yang dipertengahan obrolan tadi terlihat sedang menggulir ponsel kemudian memajukan tubuh semangat. Ia memgangkat ponsel dam memperlihatkan sebuah tangkapan layar dari satu video wawancara Kiana. Ghea ingat bahwa itu adalah konferensi pers terkait pengumuman pertunangannya dengan Valdy, di mana pasangan itu berpose sembari memamerkan jari tangan yang dilingkari oleh cincin.
"Liat, deh! Tuh cewek titisan iblis pake cincin tunangan Kiana sekarang," acap Damara yang sekali lagi sukses membuat semua perempuan membuka mulut hingga membentuk huruf O. "Dia nggak cuma berhasil gaet Pak Amran, tapi juga Pak Valdy. Dukunnya kuat juga ya, Ibu-ibu."
"Aw, takut banget, deh." Prita mengedikkan bahu, lalu memutar matanya malas setelah melirik sebentar ke arah April.
Tidak, Ghea sudah tak kuat lagi mendengar semua ini.
Akhirnya dengan sisa kekuatan yang ia punya, puan itu meminta izin untuk pergi ke toilet. Ketika kedua tungkai berjalan cepat membelah ruang makan dan pertemuan hingga tiba di tempat tujuan, Ghea segera mengunci pintu. Lantas, ia berjalan gontai menuju westafel seraya menatap dirinya yang menyedihkan.
Ghea menunduk sambil memegang westafel kuat-kuat. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh menjejak di pipi. Wanita itu menangis sesenggukan tanpa suara dengan satu tangan menutup mulut. Tak hanya itu, satu tangan yang bebas kemudian terkepal kuat, lalu ia memukul-mukul dada dengan keras.
Sakit, kecewa, sedih, amarah, dan tak percaya bercampur menjadi satu di relung terdalam hati. Perempuan itu tak tahu bagaimana melenyapkan perasaan negatif yang memeluk kuat saat ini. Yang mampu ia lakukan hanya jatuh terduduk bersandar pada dinding ruangan kecil yang dingin seraya memeluk kedua kaki dan mencengkeram bahu.
"Kenapa, Mas? Kenapa harus April?" Ghea bermonolog di sela-sela jeritan hati dan tangis pilu.
.
.
.
.
.
.
Setelah hati mulai disusupi rasa damai --walaupun tak benar-benar lenyap, Ghea pun bangkit dari duduknya di toilet, lalu menyeka lipstick dengan tisu hingga terlihat bibir yang pucat. Wajah perempuan itu juga nampak bengkak dan sembap.
Sekali lagi puan itu menatap diri di cermin, memantapkan hati untuk dapat kembali bergabung dengan teman-teman lainnya. Lantas, Ghea membuang napas dari mulut berulang kali untuk menetralkan perasaan.
Sang hawa kemudian melangkah mantap keluar dari toilet seraya memamerkan senyum tipis. Dari kejauhan, Ghea dapat melihat para suami telah bergabung dan bercengkrama bersama termasuk Ardian.
Sesampainya Ghea di depan meja, Alana menegur Ghea, "Mama El, kok mukanya pucat banget?"
"Iya nih, Bu. Badannya nggak enak," jawab Ghea asal.
"Ah, kalo gitu kita pulang dulu ya, Pak, Bu. Lain kali kita ngobrol bareng lagi," ujar Ardian yang langsung bangkit dan melingkarkan tangan di belakang sang istri.
"Oh iya, Pak. Get well soon ya Ibu Ghea," ungkap Prita penuh perhatian. Ia bahkan bangkit seraya memeluk dan cipika-cipiki sebelum Ghea hilang dari pandangan.
Ardian dan Ghea kemudian melangkah cepat menuju parkiran, masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh Pak Rafli. Tanpa banyak bicara, Ghea mendekatkan diri dan memeluk erat Ardian hingga tanpa sadar ia kembali menangis terisak di dada sang suami. Tubuh perempuan itu bergetar hebat membuat Ardian panik.
Laki-laki tersebut membalas pelukan Ghea sambil terus membisikkan kalimat, "Papa di sini, Sayang. Nggak papa, nggak papa. Mama baik-baik aja, kok."
Ardian kemudian menepuk ringan tempat duduk Pak Rafli. "Pak, langsung ke villa aja ya. Kayaknya Ibu perlu ketenangan sekarang. Kalo bisa agak cepet ya, Pak, bawa mobilnya!"
"Baik, Pak."
Dengan gerakan cepat, Ardian merogoh saku celana kanan untuk mengambil ponsel. Setelah benda persegi panjang itu ditemukan, ia menelpon Intan dan menitipkan kedua anaknya di sana untuk beberapa waktu. Tak lupa pula ia menceritakan keadaan Ghea yang sekarang benar-benar terguncang akibat sesuatu tak ia pahami.
Setelah panggilan dengan Intan diakhiri, Ardian kembali menelpon Reza dengan maksud menyuruh laki-laki itu mengambil alih pekerjaan Ardian untuk sementara. Reza pun menerimanya setelah mengetahui keadaan Ghea.
Dirasa seluruh urusan telah tertangani dengan baik, Ardian semakin mengeratkan pelukannya pada Ghea seraya membelai puncak wanitanya lembut. Beberapa kecupan diberikan dengan harapan Ghea dapat sedikit tenang.
"Mama kuat, Papa tau Mama kuat. Sabar ya, Sayang ...."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top