27. Dugaan Ghea

.
.
.

Sepasang netra menatap lurus pada layar dan jemari bergerak mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja, sedangkan pikiran sang empunya terbang entah ke mana. Bayang-bayang anaknya yang menyebut Kiana sebagai perempuan cantik dan penolakan yang ia terima masih ada dibenak.

Ponselnya tiba-tiba saja berdering dan memperlihatkan nama sang suami di layar persegi panjang, menghancurkan lamunan Ghea seketika. Tanpa menunggu lama, Ghea mengangkat telepon tersebut.

"Sayangnya Papaaa," lontar Ardian semangat ketika Ghea mengangkat ponsel yang membuat puan itu tersenyum lebar. Suaminya memang tak terduga.

"Iya, Sayang?"

"Gimana? Ada kesulitan, nggak?"

Ghea menggeleng pelan seakan sang suami melihatnya saat ini, lalu berujar, "Nggak, kok, Pa."

"Kalo butuh bantuan, bilang ya, Sayang. Atau bisa nanya-nanya aja ke Resti. Oh iya, mau dijemput, nggak? Sekalian makan siang di luar, yuk?"

"Boleh, boleh. Papa mau makan apa?"

"Hmmm ... makanan Indonesia aja. Seafood?"

"Boleh. Tapi, Mama yang pilihin tempatnya ya."

"Iya, sip. Yaudah, silakan menunggu pangeran datang tiga jam lagi." Suara berat laki-laki itu menyapa dengan semangat untuk kesekian kalinya.

"Ya ampun, lama ya ...."

Terdengar suara Ardian yang tertawa lebar di ujung telepon membuat Ghea ikut terkekeh pelan. Tak lama kemudian, mereka berdua mengakhiri pembicaraan.

Saat ini Ghea diketahui menggantikan posisi Risa yang sedang berada di rumah sakit. Sebenarnya Ardian tidak ingin Ghea bekerja di Primrose dalam waktu dekat mengingat Ghea masih butuh pendampingan dokter terkait kesehatannya. Sayangnya, Ghea bersikeras untuk menggantikan Risa dan Ardian tidak dapat membantahnya. Tentu saja, karena Ghea berhasil memberikan alasan kuat dengan mengatakan bahwa mungkin saja ingatannya akan kembali, jika melakukan rutinitas seperti yang biasa Ghea kerjakan sebelum kecelakaan.

Meskipun begitu, Ardian tetap berusaha memberitahu Ghea untuk tidak terlalu memforsir tubuh. Jika letih mulai terasa, Ardian menyarankan untuk meninggalkan semua pekerjaan dan memberikan pada manager Primrose, Resti.

Tok... Tok... Tok...

"Permisi, Bu," acap Resti dengan santun.

Melihat sosok berpostur tubuh 160 sentimeter tersebut, Ghea sontak mengangkat wajah dan berbagi tersenyum manis.

Resti mendekat ke arah Ghea dan memberikan beberapa dokumen untuk ditandatangani. Ghea menawarkan bahwa ia ingin melihat-lihat dulu sebelum membubuhkan tanda tangan dan Resti dapat menemaninya dengan berdiri di depan.

Seiring dibukanya satu per satu lembaran, Resti dengan sigap menjelaskan isi dokumen tersebut yang tak lain adalah beberapa pesanan busana hari ini. Ghea diminta untuk memberikan pengesahan pada beberapa gambar yang telah dikerjakan oleh desainer-desainer Primrose bersama dengan keinginan pelanggan.

Mata Ghea terpaku pada desain yang memukau. Gambar-gambar mereka terlihat sangat berbeda dengan gambar tangan milik Ghea saat mendesain gaun ulang tahun Tata. Jika dibandingkan dengan gambar Ghea, tak heran Ardian menyebut bahwa gambar sang istri buruk sekali. Dan sekarang, perempuan itu tanpa malu mengakui hal yang sama.

"Ini udah sesuai semua, 'kan?" tanya Ghea.

"Iya, Bu."

"Tolong, pekerjaannya dipercepat ya! Kalo bisa gaunnya udah nggak dibongkar-bongkar lagi lima hari atau satu minggu sebelum jadwal fitting terakhir."

Resti menggigit bibir bawah dan terlihat cukup ragu. Namun, Ghea memilih tetap melanjutkan untuk melihat-lihat desain seolah-olah gerakan dan raut yang terpancar dari wajah Resti tak mengganggunya sama sekali.

"Hmmm maaf, Bu--" ucapan bimbang Resti menarik perhatian Ghea, "bukannya jaraknya terlalu jauh ya? Kenapa nggak dua atau tiga hari dari jadwal terakhir?"

"Saya asumsikan kalo bentuk tubuh mempelai wanita dalam waktu kurang dari dua minggu, yaitu jarak dari gaun yang udah jadi dengan hari-H tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Jadi, nggak ada gaun yang harus dirombak terlalu banyak.

"Selain itu, kalian juga bisa ngerjain pesanan yang lain lagi. Soalnya saya nggak terlalu suka kalo mepet-mepet gitu. Kamu liat, kan? Sehari aja pesanannya udah ada berapa. Saya nggak meragukan kemampuan kamu dan yang lainnya. Tapi, alangkah baiknya kalo semua ini dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Jadi, kalian juga punya waktu luang lebih banyak. Iya, 'kan?"

Resti yang semula menampilkan mimik kebingungan pun akhirnya menarik kedua sudut bibir ke atas. Berkali-kali ia mengelus tengkuk seraya mengulum senyum, tampak sedikit malu-malu. Ah, memangnya siapa yang tidak ingin mendapatkan waktu rehat dari kerjaan.

"Ah, itu benar, Bu."

"Kalian ada berapa kali pengukuran? Durasi pengerjaannya?"

"Pengukuran tiga kali, Bu. Jadi pemesanan rata-rata dilakukan oleh klien empat bulan sebelum hari-H."

"Pengukurannya kapan aja?"

"Pertama kali klien tiba di sini, maka pengukuran dilakukan dengan bahan polos tanpa detail. Trus, pengukuran kedua itu dua bulan dan udah mulai dipasang brokat, atau segala macam pernak-pernik. Yang pengukuran terakhir itu seminggu sebelum hari-H."

Ghea mengangguk pelan sebelum akhirnya ia kembali mengangkat wajah dan berucap, "Kalo bisa pengukuran sampe empat kali. Tambahin pengukuran satu bulan ya, supaya di sini jadi finalnya."

"Baik, Bu."

"Ada lagi?" tanya Ghea.

"Oh iya, Bu--" Resti kembali membantu Ghea membuka dokumen terbawah, "sama ini, Bu. Saya minta persetujuan terkait pembelian kain karena stock kain seperti yang tertera di dokumen di gudang sudah kosong."

Ghea menggeleng singkat dan kembali membaca kertas-kertas itu dalam diam. Suasana yang tercipta pun menjadi sangat dingin setelah tak ada pembicaraan satu sama lain. Yang terdengar oleh organ pendengaran saat ini hanyalah dentingan jam dinding yang terpasang di belakang atas Ghea.

"Ini juga harus saya tandatangani dulu baru kalian siapkan bahannya, atau barangnya sudah ada sebelum saya tanda tangan?"

"Ibu harus tanda tangan dulu sebelum kami menyediakan."

Ghea mengangkat wajah pada Resti dan tersenyum tipis. "Bagaimana kalo misalnya saya nggak berada di tempat dan kalian udah butuh banget kainnya? Lain kali, untuk kayak gini-ginian, tuh, saya butuh recap di akhir aja. Pokoknya gudang nggak boleh kosong sama sekali. Tolong, kasih tau tim gudang untuk perhatiin lagi!"

"Baik, Ibu."

"Ada lagi, Resti?"

"Sudah cukup, Bu."

"Saya di sini sampe jam makan siang ya, setelah itu kamu yang handle. Bisa, 'kan?" tanya Ghea.

Resti bertanya dengan hati-hati. "Pak Ardian udah suruh balik ya, Bu?"

"Nggak, sih. Cuma saya udah janji bakalan pulang lebih cepat dari Kakak El setiap harinya. Saya di sini paling telat sampe sore, itupun kalo ada yang mendesak dan harus selesai hari itu juga."

"Oh, kalo begitu tidak masalah sama sekali, Bu. Ibu bisa percayakan saya."

"Terima kasih ya, Resti."

"Sama-sama, Bu. Kalo begitu saya izin kembali ke lantai dasar."

"Oh iya, silakan."

.
.
.

.
.
.

Jemari Ghea kembali bergulir pada mouse beriringan dengan mata yang bergerak mengikuti kursor layar iMac. Fokus itu kemudian jatuh pada lambang M merah yang terletak kedua dari atas. Sekadar bermain untuk perintang waktu, Ghea pun membuka surel tersebut dan mulai membaca beberapa isi terkait Primrose.

Sama seperti surel lainnya, tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Lantas, ia menggerakkan kursor menuju alamat surel lainnya yang ternyata menggunakan nama Primrose. Ghea menduga bahwa itu mungkin adalah surel cadangan, mengingat tidak banyak pesan masuk dan terkesan penting.

Ketika menekan pilihan terkirim, tatapan Ghea terpaku pada beberapa surel yang dikirimkan dari Primrose pada pemilik dengan nama A. Hana Vikki. Tergerak oleh hati yang diselimuti oleh rasa penasaran, Ghea membuka isi surel terkirim tersebut dan menemukan banyak gambar anak laki-laki. Sangat disayangkan, sebab gambar-gambar itu diambil dari belakang bocah tersebut, sehingga Ghea tidak yakin dengan wajah sang anak.

Ghea kemudian membaca isi surel yang terdiri dari banyaknya untaian kalimat, membuat kedua alis menyatu dengan cepat.

'Little lion sekarang udah gede. Udah bisa jalan sama megang sendok sendiri, meskipun makannya masih berantakan. Lucu kan Ma?'

Di surel yang lain, Ghea kembali menemukan laporan dan gambar yang berbeda pula setiap harinya.

'Little lion anak yang kuat kan, Mama? Lagi sakit, tapi anaknya nggak rewel. Tetap nggak mau lepas dari aku, jadinya aku gendong seharian sampe pegel deh badan. Kamu gimana kabarnya? Semoga sehat-sehat selalu ya.'

'Lion takut rumput, Mama. Dari tadi nangis karena diajakin nginjak rumput untuk pertama kalinya sejak bisa berdiri.'

'Hari ini lion ulang tahun. Mama nggak mau ngasih hadiah?'

'Aku lagi ceritain semuanya tentang Mama di kamar tidur. Little lion mungkin nggak paham sekarang, tapi cepat atau lambat dia pasti akan mengerti.'

'Hari ini little lion nangis mulu.'

'Kalo kamu baca semuanya, tolong dibalas email aku ya Hana. Aku pengen ngomong sama kamu tentang our little lion. Semoga kamu ada waktu, walaupun cuma lima menit.'

Dan masih banyak lagi surel yang berhubungan dengan perempuan bernama Hana itu, serta gambar-gambar bocah yang menyertainya. Sementara itu, surel berisi permintaan untuk bertemu adalah pesan terakhir Ghea untuk Hana sebelum kecelakaan terjadi dilihat dari waktu ia mengirimkannya.

Anak siapa ini? Dan ... Hana? Kayaknya Mbak Ghea terlalu berharap sama dia sampe ngirim email sebanyak ini.

Tanpa berpikir panjang, Ghea mengetikkan beberapa kalimat untuk ia kirim kembali pada Hana.

'Mbak, aku nggak kenal sama kamu. Tapi, kalo kamu emang masih hidup, silakan balas email ini dan buat jadwal pertemuan. Aku selalu siap kapanpun untuk ketemu kamu.'

Ini bukanlah pesan yang dikirimkan seperti layanan pesan singkat atau obrolan di media sosial, sehingga Ghea tidak berpikiran banyak akan dibalas hari ini. Namun, ia tetap berharap jika Hana memberi respons untuk terakhir kalinya.

Perempuan itu pada awalnya berpikiran untuk memberitahu ini ke jiwa Ghea yang berada di rumah sakit. Akan tetapi, ia gagal melakukannya karena kata-kata Hazel kembali terngiang.

Ya, percuma ia melakukan hal tersebut mengingat jiwa Ghea mungkin sudah kehilangan banyak memori. Jangankan tentang surel, ketika ditanya tentang El ataupun Tata pun Ghea hanya mampu menggelengkan kepala.

Tiba-tiba saja, ponsel Ghea kembali bergetar dan menampilkan nama Aini di sana. Segera ia mengangkat sambungan telepon itu. "Halo Kakak ...."

"Halo juga, Aini." Ghea mencoba tak kalah antusias di tengah-tengah rasa kalut.

"Kak, udah dikasih tau Kak Ardian, belom?"

"Tentang?"

"Gala dinner keluarga Dikara?"

Ghea menggeleng-gelengkan kepala seolah Aini menyaksikannya secara langsung. "Nggak, tuh."

"Ini baru, sih, infonya. Baru banget dikasih tau beberapa menit yang lalu. Jadi, keluarga besar Dikara bakalan ngadain gala dinner di rumah opa minggu depan. Kakak wajib banget dateng, lho, ya."

"Wah ... pasti seru, tuh!"

"Serulah, soalnya keluarga pada ngumpul semua. Entah keluarga dari ujung dunia manapun pasti nongol. Opa katanya pengen ngumpulin semua anak, cucu, sampe cicit-cicitnya. Jarang-jarang, lho, kita ngumpul gini."

"Oh gitu ya. Eh, ada dress code-nya, nggak?"

"Nggak ada kalo itu, mah. Yang penting dateng aja udah. Sekalian Kakak kenalan sama semua keluarga sekali lagi. Nggak papa ya, Kak?"

"Ya nggak papa, dong."

"Takutnya Kak Ardian malah nggak setuju Kakak ikut ngumpul. Soalnya kemarin Kakak sempat pingsan, yaaa siapa tau aja ya kan Kak Ardian ngelarang. Kalo misalnya beliau itu mulai larang sana sini, laporan aja ke mami ya supaya dia dapat ceramah." Aini terdengar cekikikan yang membuat Ghea ikut terkekeh pelan menanggapinya.

"Sip kalo itu, mah ... oh iya, Aini!"

"Kenapa, Kak?"

"Hm ...."

Ghea mulai menimang-nimang apakah ia akan menanyakan temuan barunya atau tidak pada Aini. Kali ini, ia hanya berharap jika ia mendapatkan jawaban yang dapat mengungkap sedikit demi sedikit perihal misi Ghea.

Oh, God, please....

"Kamu kenal perempuan namanya Hana, nggak?"

"Hana?"

"Iya, nama lengkapnya A. Hana Vikki."

Ada kelengangan yang menyelimuti saat itu juga membuat jantung Ghea berdetak cepat. Jemari bergerak mengetuk-ngetukkan pena di atas meja, sementara kaki bergerak acak di bawah sana.

"Nggak, Kak. Aku nggak kenal sama sekali. Emangnya kenapa ya, Kak?"

Bahu Ghea sontak jatuh begitu saja dan hembusan napas kuat terdengar memenuhi organ pendengaran. Meskipun begitu, Aini tidak mengatakan apapun lagi dan berhasil membuat keduanya bergeming untuk beberapa sekon. Mungkin di seberang sana Aini kebingungan atau memikirkan hal lain. Entahlah, Ghea tidak ingin memasukkan ini dalam pikiran adik iparnya itu dan cukup dirinya saja yang mengetahui tentang Hana.

Puan itu akhirnya tiba di ujung pikiran dan menduga bahwa mungkin saja Hana adalah perempuan lain Ardian dan memiliki seorang putra yang Ghea asuh sekarang. Tentu saja ini pendapat liar yang awalnya hanya muncul sekelebat. Akan tetapi, semakin lama perempuan itu kembali menelaah surel setelah Aini memutuskan sambungan telepon, rasanya hal tersebut bukanlah dugaan belaka.

Jika memang Hana adalah perempuan lain milik Ardian, di mana dia sekarang? Di mana pula anak yang Ghea asuh itu?

Percuma. Ini hanya akan menjadi pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban karena tidak ada yang mampu untuk menjelaskan pada sang hawa. Lagi, semakin lama Kiana berada di tubuh Ghea ini semakin banyak pula kepingan-kepingan tanpa jawaban yang terkumpul.

Sampai kapan akan seperti ini?

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top