24. Titik Fokus Ghea
.
.
.
Rutinitas harian Kiana sejak terbangun di tubuh Ghea adalah bangun pukul empat pagi. Ia akan selalu membuka mata paling pertama, lalu pergi ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri. Setelah itu, ia langsung mengurus keperluan anak-anak dan suaminya. Namun, bukan berarti ia tak pernah terlambat, mengingat terkadang Ardian juga terbangun di waktu yang sama dan meminta hubungan jasmaniah sebelum melanjutkan hari.
Pada awalnya mungkin terasa sangat berat, mengingat Kiana diketahui selalu pulang pagi setelah syuting sinema elektronik yang digandrungi para ibu-ibu berbagai kalangan, hingga akhirnya ia terbangun pukul sepuluh atau sebelas siang. Atau, menghabiskan waktu di konser dan klub malam, meskipun tidak sampai sempoyongan akibat meneguk alkohol.
Bangun di badan Ghea benar-benar mengubah jam metabolisme tubuhnya. Dan ia mulai terbiasa dengan hal tersebut.
Setelah melakukan defekasi, Ghea yang saat itu tak mengenakan sehelai benang kemudian melangkah menuju bilik pancuran. Samar-samar, ia mendengar pintu toilet dibuka di belakang sana. Sudah dapat diduga bahwa Ardian terbangun dan melakukan hal yang telah Ghea lakukan sebelumnya.
Tak lama kemudian, ketika air mulai memancar membasahi seluruh tubuh, Ghea merasakan tangan yang melingkar dari belakang dan memeluknya erat. Mengetahui jika itu adalah sentuhan sang suami, Ghea seketika memiringkan sedikit kepala agar Ardian dapat menjelajah bagian leher dan bahu istri yang menjadi kegemarannya.
"Papa nggak minta, 'kan?" tanya Ghea sambil memejam dan menggigit bibir bawah. Sebisa mungkin perempuan itu menahan agar desahan tak lolos begitu saja dan menambah gairah di antara keduanya.
"Kenapa emangnya? Mama nggak mau?"
"Bukannya nggak mau, tapi Mama takut capek aja. Soalnya, bentar Mama mau keluar."
Mendengar perkataan Ghea, Ardian lantas meraih tubuh itu dan memutar ke arahnya. "Mama mau ke mana?"
"Mama mau ke Primrose untuk ngeliat gaun sama ngecek venue acara ulang tahun adek. Acaranya, kan, tinggal beberapa hari lagi."
Mata sang adam sontak membulat sempurna. "Astaga, Papa lupa!"
Ghea menatap Ardian kecewa. "Papa ...."
"Maaf, Sayang. Papa bener-bener lupa."
"Nggak heran, sih, sebenarnya. Yang aneh, tuh, kalo Papa beneran ingat ulang tahun adek," acap Ghea sembari membuang tatapan ke arah bawah.
"Ma--"
"Nggak papa, Sayang. Santai aja," Ghea mendongak dan memberikan senyum tipis pada Ardian, "mau keramas, nggak? Sini, Mama keramasin seperti biasa."
Mau tak mau, Ardian pun duduk pada bangku kayu yang memang diletakkan dalam bilik pancuran. Ghea biasa menggunakan bangku tersebut ketika sedang luluran atau merendam kaki dalam air hangat, menghilangkan penat seharian.
Dengan begitu telaten, Ghea membersihkan tubuh Ardian dari atas hingga ke bawah. Saat Ghea kembali berdiri dan mengusak-ngusak rambut berbusa lelaki tersebut, kedua tangan Ardian sontak memegang perut sang istri yang berada tepat di depan wajahnya.
Adam itu memandang wajah Ghea, lalu berujar, "Mama nggak minum pil kontrasepsi, 'kan?"
"Iya."
"Papa juga nggak pernah pake pengaman."
"Ya, terus?"
Sembari mengelus perut rata itu, Ardian bertanya, "Tapi, kok, belum ada si kecil di sini?"
"Tau nggak, Pa, kenapa belum dikasih?" Ghea berbalik tanya dengan tangan masih sibuk pada puncak kepala suaminya.
"Kenapa?"
Ghea tersenyum tipis.
"Yang Diatas nggak mau ngasih, karena Dia tahu Papa jarang merhatiin anak sendiri, nggak punya waktu buat mereka. Pemberian-Nya jadi disia-siain, dong."
Terlihat raut kekecewaan Ardian saat itu. Namun, Ghea justru melihatnya sebagai mimik yang menggemaskan. Benar-benar mirip ekspresi El jika anak itu sedang kesal. Akurat, buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.
"Tapi, Papa udah coba deket sama anak-anak, kok. Coba tanya adek sama kakak."
"Iya ... Mama tau, kok. Meskipun yang dicari anak-anak tetap aja Mama," Ghea memperlihatkan cengiran, "kita sama-sama berusaha lagi ya, Pa. Jangan sedih gitu, dong!"
Ardian tiba-tiba menengok ke arah Ghea dengan mata tertutup rapat. Sesekali laki-laki itu mengerjap yang membuat Ghea kebingungan.
"Jangan nangis, Pa! Mama tau Papa sedih denger kata-kata Mama."
"Bukan gitu."
"Lah, trus kenapa?"
"Cepetan bilas rambut Papa, dong, Ma. Udah mulai perih, nih, matanya."
Terlihat jelas busa mulai turun dari kepala menuju kedua sisi wajah Ardian yang membuat Ghea membelalak untuk beberapa detik.
"Ya ampun, iya maaf."
Ghea dan Ardian berbagi tawa disela-sela suara air yang keluar dari pancuran, membuat kamar mandi serasa hidup pagi itu.
Tak hanya sampai disitu, Ardian juga mulai mengeluarkan celetukan khas bapak-bapak yang sebenarnya tidak terlalu lucu, tetapi sukses membuat Ghea mesem dan geleng kepala. Harus diakui bahwa Ghea sudah biasa mendengarnya, terlebih ketika sedang makan malam atau sebelum sesaat sebelum terlelap. Dan ia tak pernah bosan mendengar banyolan tersebut.
"Bapak Ardian Terhormat emang nggak ada bakat jadi pelawak," acap Ghea terkekeh dan menggoyangkan kepala ke kanan-kiri dengan pelan.
Rasanya tidak ingin tertawa terbahak-bahak akan celetukan yang dilontarkan beberapa detik lalu, tetapi Ghea juga tak dapat menahannya. "Papa ngomong sekali lagi, junior Papa bakalan Mama buat nggak bisa berdiri."
Sontak, Ardian pun menunduk. "Ih, jangan gitu, dong, Ma. Kasian Jared kalo nggak tegap."
"Dinamain, dong ...."
Sekali lagi, gelak kembali menggelegar mengisi tiap sudut kamar mandi.
.
.
.
.
.
.
Ghea tampil memesona dengan pakaian kasual: celana bahan berwarna gelap dan blazer senada, sneakers, kaus putih polos, dan aksesoris jam tangan. Seraya memegang tangan putri kecilnya, mereka melihat-lihat tiga gaun Tata di Primrose. Anak itu memilih sendiri gaun mana yang akan ia kenakan nantinya.
Di antara tiga gaun berwarna pastel merah muda itu, pilihan Tata jatuh pada gaun yang seluruh bagian punggung belakang menggunakan karet dan rits. Bagian depan diberi tile glitter dengan lekuk-lekuk khas. Untuk menambah kesan gaun ala Putri-Putri Disney yang menjadi kesukaan Tata, bagian bawah diberi petticoat agar mengembang.
Setelah membawa gaun itu keluar dari Primrose, Tata tak henti-hentinya memperlihatkan sudut bibir dan pipi yang terangkat. Selama perjalanan menuju ballroom Hotel Athena yang dijadwalkan akan menjadi tempat acara, Tata bersenandung riang membuat Ghea juga bersemangat.
Hotel Athena merupakan hotel milik Ghea yang termasuk dalam jajaran bintang lima. Berdiri megah dengan 25 lantai, kebersihan dan kenyamanan para pelanggan selalu menjadi prioritas utama. Tak heran jika hotel Athena berkali-kali mendapatkan penghargaan bergengsi di kelasnya.
Hotel ini diketahui adalah pemberian Ardian sebagai kado untuk Ghea atas lahirnya Agatha Bratadikara empat tahun yang lalu. Meskipun nama Ghea tertera jelas sebagai pemilik, tetapi Ardian tetap menunjuk orang kepercayaannya untuk bertindak sebagai corporate owner dan mengurus segalanya. Di tangan Amran, laki-laki berusia sekitar 40-an tahun, Hotel Athena semakin berkembang dari waktu ke waktu hingga telah membuka cabang di beberapa kota besar di Indonesia.
"Selamat datang, Ibu Ghea Bratadikara," sapa Amran dengan senyum manis seraya mengulurkan tangan ketika Ghea dan Tata telah tiba di lobi utama.
Sang hawa menjabat tangan Amran, seraya berujar, "Terima kasih, Pak Amran. Bagaimana kabar, Bapak?"
"Alhamdulillah, Ibu. Ibu sendiri bagaimana?"
"Ah, syukurlah. Saya dan keluarga juga sehat-sehat."
"Sangat senang mendengar itu dari Ibu. Kalau begitu, mau langsung ke ballroom saja atau Ibu mau berkeliling ke tempat lain dulu?" tawar Amran.
"Oh, langsung aja, Pak."
"Baik, kalau begitu silakan!"
Setelah melewati beberapa lantai dan koridor, akhirnya mereka tiba di ballroom yang telah disulap dengan dekorasi yang menyenangkan ala putri kerajaan. Terlihat lampu-lampu setinggi perut diletakkan di beberapa titik dan dihias menyerupai tanaman. Bagian panggung dipercantik dengan sebuah replika istana dominasi warna putih, pink pastel, dan biru. Yang menarik atensi Ghea adalah pedati di sisi kanan ruangan dengan tujuh boneka kurcaci sebagai bagian dari dekorasi Putri Salju. Ada pula gabus yang telah diubah sebagai alat pemintal, merepresentasikan Putri Aurora. Beberapa sepatu kaca, bunga mawar di dalam kotak, dan ornamen lainnya juga tak kalah memanjakan mata.
Tata menggoyang-goyangkan genggamannya pada Ghea seraya berucap penuh semangat, "Adek suka, Mama. Cantik banget ...."
"Mama seneng kalo Adek seneng."
"Makasih ya, Mama."
"Bilang makasih ke Pak Amran juga, dong. Kan Bapaknya yang kerjain semua ini."
Tata kontan menoleh ke arah laki-laki berkumis itu. "Terima kasih ya, Pak."
"Sama-sama, Cantik."
Amran kemudian mengajak Ghea dan Tata untuk berkeliling seraya menjelaskan konsep. Di tengah-tengah itu, anak perempuan Amran yang lebih tua empat tahun dari Tata pun tiba-tiba datang dan mengajaknya bermain. Dengan antusias, mereka berdua meninggalkan Ghea dan Amran, memilih untuk bermain boneka di sudut ballroom.
Tak lama setelah itu, Ghea mempersilakan Amran untuk melanjutkan aktivitas karena mendadak Hazel muncul dan mendekati mereka berdua. Ghea juga nampaknya ingin bertanya kepada Hazel terkait beberapa hal yang bersifat pribadi.
Mereka berdua berjalan menuju dua kursi terletak di sisi kiri ruangan dengan meja bundar kecil sebagai pemisah.
"Lo nanti dateng, 'kan?" tanya Ghea.
"Lo ngundang gue?"
"Yaiyalah ... eh omong-omong, gue mau nanya, deh."
Hazel menengadahkan tangan menuju Ghea, mempersilakan sang hawa untuk melanjutkan.
"Masa waktu itu anak bungsu gue nggak ngeliat gue, sih. Maksudnya dia jadi kebingungan gitu setelah liat foto Kiana di tv. Dia bilang gue bukan Ghea dan manggil gue tante."
Laki-laki berkemeja dan bercelana bahan yang sudah menjadi ciri khasnya itu menatap Ghea lekat untuk beberapa sekon. Alhasil, Ghea menaikkan kedua alis dan memiringkan sedikit kepala, membalas tatapan Hazel.
"Kenapa?" tanya Ghea.
"Lo nggak tau?"
"Iya ... kenapa, sih?"
Hazel mengembuskan napas, lalu mengangguk perlahan sembari memainkan jari-jari. Untuk sesaat, pria tersebut kembali mengatupkan rahang dan Ghea membiarkannya saja. Perempuan itu merasa mungkin Hazel sedang memikirkan kata-kata baik yang harus dia ucapkan agar tidak menambah beban pikiran Ghea. Mungkin saja.
"Anak lo itu memang punya kemampuan yang nggak dimiliki sama anak lain. Dia dapetin itu dari buyutnya, kakek Ardian. Lo pasti paham, sih, maksud gue."
Mendengar itu, Ghea terperangah.
Perempuan tersebut mulai mengingat tentang kejadian di rumah sakit dulu, saat tiba-tiba Tata mendatanginya ketika sedang duduk di ranjang tempat Ghea berbaring seraya berbagi cerita dengan sosok jiwa lainnya.
Lantas, wanita itu kemudian menanyakan pada Hazel, apakah Tata benar-benar melihat Ghea dan Kiana dalam waktu yang sama di saat itu. Dan jawaban Hazel sudah dapat diduga bahwa anak itu terkadang memang melihat Ghea dalam wujud tak kasat mata. Akan tetapi, anak bungsu Ardian tersebut tak mengerti sehingga ia membiarkannya berlalu begitu saja.
"Itu turunan apa gimana?" Rupanya rasa penasaran Ghea masih menumpuk.
"Turunan, sih."
"Bisa diilangin, 'kan? Maksudnya itu bisa ditutup, nggak?"
"Mungkin bisa. Tapi, gue juga nggak paham kalo pun memang bisa. Untuk sekarang yang bisa lo lakuin kalo anak lo mulai ngeliat Kiana yang asli lagi, lo tinggal usap mata kirinya."
Ghea membelalak dan menjentikkan jari. "Nah, gue ngelakuin itu kemarin. Ternyata beneran ampuh ya."
"Iya, dan itu selalu berhasil ...."
"Gue pikir itu cuma kebetulan doang."
Awalnya, Ghea khawatir jika Tata mulai melihat hal yang aneh-aneh, seperti menyaksikan wujud Laras dan Rara yang mengenaskan. Akan tetapi, setelah Hazel menjelaskan bahwa Tata hanya mampu melihat sosok-sosok yang ia kenal dan masih dalam frekuensi sedikit, perempuan itu berangsur lega. Namun, tidak menutup kemungkinan jika semakin dewasa maka kemampuannya juga akan semakin berkembang. Setidaknya untuk saat ini, Tata tidak mengatakan apapun pada Ghea terkait sosok-sosok yang ia lihat dan mulai rewel hanya karena menginginkan sesuatu atau adanya rasa yang tidak nyaman.
Lamunan wanita berambut panjang itu terserak tatkala satu tangan Hazel menjulur ke arahnya, menyerahkan sebuah benda berukuran kecil berwarna hitam.
"Flashdisk untuk gue? Isinya apaan?" acap Ghea saat tangannya menggenggam flashdisk tersebut.
"Bukti-bukti penyangkalan skandal lo sebagai simpanan dan selingkuhan orang."
Refleks, Ghea memutar kepala dengan pelan. Kedua bahu jatuh begitu saja dan tatapan pada Hazel melembut seketika. Mulut perempuan itu terbuka kecil, tetapi ia tak mampu mengeluarkan sepatah dua patah kata. Rasanya perasaan Ghea lega bukan main, hingga tanpa terasa manik miliknya berbinar-binar penuh harapan.
Hazel memajukan tubuh dan menjadikan lutut sebagai tumpuan kedua siku. Ia menggerak-gerakkan jemari secara bergantian.
"Lo masih ingat Mas Tara, 'kan? Sosok yang dua kakinya buntung dan hanya duduk di depan komputer di bagian informasi rumah sakit? Gue dibantuin sama dia untuk ngumpulin semua fakta ini dari terakhir lo ke rumah sakit sampe kemarin. Selain itu, gue juga dapat informasi dari hp yang ternyata masih nyangkut di mobil lo, mobil yang rusak parah dan masih ada di kantor polisi sampe sekarang--"
"Ta-tapi ... tapi bagaimana? Bagaimana caranya lo lakuin itu semua? Bukannya lo bakal ketahuan?"
"Dengerin gue!" Hazel menegakkan punggung sejenak, lalu melanjutkan, "Gue tau kapan gue nggak keliatan di depan orang dan kapan gue bisa keliatan. Sekarang, mungkin semua orang bisa liat gue. Tapi, keberadaan gue nggak bakalan terpantau sama CCTV. Lo tau? Dari jarak jauh gue bisa ilangin semua catatan keberadaan gue di mana pun. Dengan kemampuan itu, gue bisa nemuin semua fakta tanpa harus ketahuan. Sayangnya, hanya satu hal yang gue nggak tau--"
Ghea menyela cepat, "Apa itu?"
"Hal yang mengganjal Ghea untuk kembali ke tubuhnya. Cuma itu. Dan gue harap, lo bisa nemuin solusinya secepat mungkin."
Hazel mengembuskan napas kasar. Kedua tungkai laki-laki itu mulai bergerak teratur di bawah sana. "Jadi, mau lo atau gue yang ungkap semua bukti penyangkalan skandal lo itu? Gue denger, ada beberapa akun di media sosial yang bisa buat ini booming hanya dalam waktu sekejap."
Perempuan itu menunduk, lalu memainkan flashdisk tersebut dengan memutar-mutarnya ringan. "Gue nggak tau harus gimana. Soalnya, gue nggak tau siapa-siapa. Jangankan untuk bermain sosial media, gue punya akunnya pun dilarang sama Mas Ardian. Hp gue setiap waktu di cek sama dia, takut gue nge-install aplikasi."
"Berarti selama ini lo nggak punya medsos? Serius?" Hazel membelalak.
"Iya, ya abisnya gimana ...."
Laki-laki itu menggeleng pelan seraya berujar, "Suami lo ketat banget. Udah kayak guru BK baru tau, nggak?"
Ghea yang semula tertunduk lesu, kini mampu mengangkat wajah dengan senyum tipis setelah mendengar perkataan Hazel. Ia tidak menolak pun memungkiri ketika laki-laki tersebut menyebut bahwa Ardian seprotektif itu.
Sebenarnya, Ardian juga tak bisa disalahkan sepenuhnya, mengingat alasan pria tersebut tidak mengizinkan Ghea adalah agar otak puan dibiarkan untuk mengingat secara perlahan. Ardian takut jika informasi yang menyebar di sosial media tentang Ghea, interaksi dengan beberapa kerabat jauh secara mendadak tanpa tatap muka secara langsung, hingga artikel-artikel yang dapat membangkitkan trauma tak bisa dicerna sempurna oleh sang hawa.
"Gimana kalo kita ketemuan sama orang-orang yang terlibat? Kita jelasin aja kalo gue sama sekali nggak ngelakuin apa yang dituduhkan ke gue dengan membawa bukti-bukti ini?" usul Ghea penuh semangat.
Hazel menyeringai lebar. "Ghea, kalo lo lakuin itu, yang ada semuanya bisa berantakan dan semua orang bakalan tau kalo lo yang berada di belakang Kiana. Wartawan justru ngejar lo mati-matian."
"Kiana yang terkenal, gue nggak. Ya nggak mungkin gue dikejar-kejar wartawan."
"Justru karena Kiana terkenal banget, mereka tetap nyari informasi lewat lo. Lo bakalan disorot ke sana kemari. Lo mungkin nggak seterkenal Kiana. Tapi, lo itu bagian dari Bratadikara, salah satu keluarga konglomerat di negara ini. Nama lo terkenal banget di kalangan kaum jet set. Kalo lo ternyata berkaitan dengan skandal-skandal Kiana, wahhh satu negara bakalan tambah heboh. Semua orang bakal bertanya-tanya tentang lo dan mencari tau hubungan lo dengan Kiana. Kalo udah kayak gitu, kehidupan lo yang mungkin sedikit adem ayem seperti sekarang, bakalan terekspos media setiap hari. Lo nggak pernah nonton acara tv, apa? Negara ini, kan, kayak gitu. Yang punya masalah siapa, tapi yang diekspos juga siapa.
"Mereka dapat dua tumpukan emas dalam satu lahan yang sama!" Hazel mengakhiri.
Laki-laki itu menengadahkan tangan, meminta kembali flashdisk dari Ghea dan perempuan itu langsung memberikannya tanpa perlu berpikir panjang.
"Trus gimana, dong?"
"Gimana kalo gue yang selesein skandal lo pake cara gue sendiri? Jadi, lo bisa fokus ke misi Ghea dan mengurus aset-aset Kiana. Ini gue minta izin dari elo ya. Gue nggak mungkin gerak kalo lo gak izinin."
Ghea menjentikkan jari dengan cepat, seolah ia mengingat sesuatu yang penting. "Ah, lo bisa ngambil barang-barang gue di April, nggak?"
"Bisa, bisa banget. Tapi, kalo misalnya gue ambil, yang ada April merasa kalo dia sedang dirampok dan bakalan lapor polisi. Kemungkinan besar dia akan laporin lo sebagai orang pertama terduga pelaku. Lagi, lo akan terkenal karena pengen harta Kiana."
Ghea bergeming dan terkejut luar biasa. "Eh, buset. Kok lo kepikiran?"
"Ya kan gue udah bilang kalo gue tau segalanya, kecuali kesepakatan lo sama Ghea. Eh, tapi sekarang nggak deng, soalnya Ghea udah ngasih tau gue tentang kesepakatannya." Hazel tersenyum bangga seraya menaik-turunkan alis berulang kali, seolah sedang menggoda Ghea.
Perempuan itu sempat merapatkan mulut. Namun, melihat seringaian Hazel, Ghea pun menarik kedua sudut bibir ke atas hingga pipi gempal itu juga ikut terangkat. Dengan penuh ketulusan, Ghea berucap,
"Terima kasih ya, Zel."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top