23. Hotel Val
.
.
.
"Papa ngediemin Mama dari kemarin sampe malam ini. Ngehindarin Mama. Papa kenapa? Kalo Mama ada salah, Papa bilang, dong. Mama nggak ngerti apa yang ada di pikiran Papa kalo Papa nggak ngomong," acap Ghea sambil memperhatikan suami dari cermin.
Ghea nampak duduk di depan meja rias menggunakan gaun merah tanpa lengan berbelahan dada rendah dan menjuntai hingga semata kaki. Penampilan Ghea semakin memesona dengan stileto berwarna senada dan clutch bag hitam koleksi terbaru dari sebuah desainer ternama. Rambut yang digelung rapi hingga memperlihatkan leher jenjang menambah kesan seksi yang sesekali mampu menarik atensi sang suami di belakang sana.
Tidak mendapatkan respons seperti yang ia harapkan, Ghea pun bangkit dan memutar tubuh pada Ardian yang kini telah rapi dan mulai mengenakan jam tangan. Melihat itu, Ghea membantu sang adam dengan lembut.
"Pa," panggil Ghea seraya mengambil satu tangan Ardian.
Laki-laki itu memejam sebentar, sebelum akhirnya ia menatap manik gelap sang istri. Terpaku akan afeksi kecil yang ia terima.
"Papa cuma kecapean aja, Ma. Malas ngomong," ujar Ardian pelan.
Ghea kemudian bergerak untuk melingkarkan tangan di pinggang sang adam. "Tau gak, sih, kalo Mama nggak percaya dengan apa yang Papa bilang sekarang. Bukan sejam dua jam, tapi Papa nyuekin Mama sejak kemarin. Papa marah sama Mama karena belanjaan Mama banyak? Sebel karena Mama pulang telat kemarin? Kalo iya, Mama minta maaf. Ayo, Pa, kita bicarain pelan-pelan. Mama nggak suka didiemin gini."
Alih-alih menjawab, Ardian hanya menundukkan pandangan.
"Pa, Mama minta maaf," lirih Ghea sekali lagi.
Terpejamnya netra sang suami membuat Ghea semakin merasa bersalah. Akan tetapi, ia juga tak paham apa yang membuat Ardian menghindar darinya dan memilih untuk berdiam diri dalam ruang kerja sepulangnya dari kantor satu hari yang lalu. Ia hanya menghampiri dan menggendong Tata saat anak bungsunya itu rewel. Selebihnya, tidak ada. Laki-laki itu akan kembali ke ruang kerja dan masuk ke kamar tidur pada pukul empat pagi.
Tidak, ia bahkan tidak berbicara sepatah dua patah kata pada Ghea. Jangankan berbicara, melirik dari sudut mata pun tak ia lakukan.
"Mama nggak bisa baca pikiran Papa."
Mendengar ungkapan itu, Ardian yang semula terdiam lama langsung meraih tubuh Ghea dalam pelukan erat yang membuat puan berambut hitam tersebut memamerkan lengkungan bibir yang indah. Berkali-kali Ghea membelai punggung Ardian dengan penuh perhatian.
"Papa nggak suka Mama pulang telat. Kasian anak-anak kalo Mama tinggal sampe sore kayak gitu. Setidaknya kalo tau bakalan pulang telat, adek harus diajak." Ardian berujar tanpa melepaskan pelukannya sama sekali.
"Maaf, Papa. Mama janji nggak akan ninggalin anak-anak sampe selama itu lagi. Tapi, please, kalo Mama ada salah, Papa langsung tegur Mama aja. Jangan didiemin kayak kemarin karena itu nggak enak banget. Maaf ya, Sayang."
Ardian merekatkan mulut sembari menghirup aroma campuran jeruk dan bunga yang menguar segar dari tubuh sang hawa, membuat Ardian merasa rileks dan nyaman.
Lantas, laki-laki itu mengecup Ghea di bagian leher, bahu, hingga turun ke dada berulang kali. Setelah itu kembali naik menuju pipi dan sudut bibir membuat Ghea tersenyum merekah.
"Semuanya ini juga punya Papa ya. Pokoknya nggak boleh ada yang sentuh Mama, selain Papa!" ungkap Ardian seraya menatap lurus pada Ghea.
Meskipun kata-kata itu dirasa terlontar secara mendadak untuk Ghea, namun hati merasa sedikit tenang setelah mendengar semua dari suaminya.
"Iya, semuanya cuma milik Papa."
Ardian mengecup kening Ghea sekali lagi, lalu kembali menatap puan itu lembut. Sang adam melingkarkan tangan pada pinggang Ghea membuat hawa itu mengangkat kedua lengan dan melakukan hal yang sama pada leher suaminya.
"Maafin Mama ya," acap Ghea dengan senyum tipis.
Ardian mengangguk samar dengan pandangan yang ia arahkan menuju bahu Ghea. "Doain Papa juga, semoga Papa selalu sabar."
"Pa--"
Cup
Pria tersebut tiba-tiba saja mengecup bibir Ghea hingga rasanya pikiran perempuan itu lenyap seketika. Setelah adanya jarak yang tercipta, Ghea menatap Ardian lamat dan mulai berpikir bahwa suaminya tidak benar-benar mengatakan apa yang ia rasakan.
Tatapan yang Ardian berikan seolah pandangan hampa dan pupusnya harapan. Jujur, Ghea ingin bertanya lebih lanjut karena hatinya benar-benar tak tenang. Ia tak pernah melihat Ardian seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ia mencoba untuk menelan segalanya seorang diri hingga ia dapat menemukan waktu mengungkapkan semua.
Apakah Ardian juga sedang melakukan hal yang sama?
"Trus, kita mau berangkat jam berapa? Udah jam segini, lho, Sayang?" tanya Ghea seraya melirik jam tangan Ardian yang telah menunjukkan pukul delapan malam.
"Sekarang aja."
"Okey, yuk!"
.
.
.
.
.
.
Sesuai dengan rencana awal, Ardian dan Ghea akhirnya tiba di Hotel Val --salah satu hotel bintang lima di tengah kota. Keduanya berjalan menyusuri koridor berlantai marmer hitam dan pilar-pilar tinggi lebih dari satu lingkaran penuh. Beberapa titik koridor diberi lampu berwarna kuning keemasan menambah kesan mewah yang membuat Ghea tak henti-hentinya menatap takjub dan memuji keindahan dalam hati.
Jangan norak! batinnya.
Dahulu, sebagai seorang Kiana memang sudah terbiasa mengunjungi hotel-hotel berbintang seperti ini, hanya untuk mengadakan atau menghadiri pesta dengan bintang tamu para penyanyi kenamaan dunia. Namun, setelah terbangun di tubuh Ghea, ia mencoba menjadi pribadi perempuan tersebut yang terkenal dengan sikap anggun, tetapi juga dapat tegas dan dingin di waktu bersamaan. Ghea Aurellia diketahui jarang untuk menghabiskan waktu dengan datang ke konser atau klub, melainkan sibuk berbelanja atau ikut arisan bersama istri-istri pengusaha yang lain.
Ghea sangat menikmati waktu bercengkrama terkait anak-anak, barang-barang mewah terutama busana, serta liburan ke luar negeri saat bersama teman-temannya. Sosoknya juga terbilang sedikit cuek dengan segala aktivitas sang suami di kantor, mengingat ia juga tak terlalu paham dengan pekerjaan Ardian. Tetapi sekali lagi, Ardian sama sekali tidak mempermasalahkannya. Laki-laki itu pernah mengakui bahwa hanya melihat istri dan anak-anak mondar mandir di dalam rumah tanpa perlu bertegur sapa, telah membuat hati laki-laki itu tenang.
Bagi Ardian, yang penting adalah melihat sosok anggota keluarga berada di dalam rumah.
Sebelum memasuki ballroom, Ghea kemudian menyerahkan sebuah undangan berwarna merah pada petugas yang berjaga di pintu masuk. Setelah melakukan konfirmasi atas undangan, sepasang suami istri akhirnya melangkahkan kaki melewati pintu besar dari kayu mahal yang diolah dengan baik.
Mata Ghea sontak membulat sempurna ketika mendapati ballroom tersebut telah ramai oleh banyak tamu dengan strata tinggi. Kursi dan meja bundar besar ditata sedemikian rupa, serta lampu sorot dipasang di atas panggung menambah semarak. Jangan lupakan bagaimana musik lembut mulai mengalun memenuhi seisi ruangan yang dapat memuat hingga seribu undangan. Kudapan-kudapan yang tersaji di atas meja panjang di sisi ruangan nampak mulai meraih atensi Ghea.
"Mari saya antar ke meja Anda, Tuan dan Nyonya Bratadikara," acap salah seorang petugas hotel dengan ramah.
Seraya mengikuti langkah pegawai tersebut, Ghea yang sedari masuk ruangan telah melingkarkan tangan di lengan sang suami kemudian mendongak.
"Pa!"
"Hm?" Ardian menaikkan alis mendengar Ghea menegurnya.
"Papa belum muji gaun Mama dari tadi. Liat, deh! Bagus, nggak?"
Mungkin pertanyaan itu terdengar sangat tidak penting bagi Ardian, hingga laki-laki itu sempat memperlihatkan kening yang mengerut, lalu tersenyum kecil setelahnya. Akan tetapi, penilaian Ardian terhadap pilihan sang hawa menjadi salah satu yang utama bagi Ghea. Entah sejak kapan Ghea senang sekali jika sang suami memujinya. Rasanya, kata-kata yang terlontar begitu tulus. Berbeda dengan yang selalu ia terima dari berbagai kalangan selama ini, hanya untuk mencari muka saja.
Setelah petugas memperlihatkan tempat duduk yang bertuliskan nama keduanya, Ghea dan Ardian tak lantas duduk. Mereka membiarkan pelayan meninggalkan mereka berdua yang masih setia untuk bercengkrama satu sama lain.
Ardian tiba-tiba saja memajukan tubuh menuju Ghea, lalu berbisik tepat di telinga sang hawa, "Dari tadi Papa udah nahan buat nggak nerkam Mama, soalnya Mama malam ini super hot and I love it ...."
Sesaat setelah mendapatkan pujian tersebut, Ardian menarik sedikit kursi dan mempersilakan Ghea untuk duduk. Perempuan itu pun mendaratkan bokong dengan perasaan bahagia yang membuncah. Berkali-kali ia memandang sang suami dengan senyum malu-malu yang terkadang dibalas pula oleh Ardian.
"Mama El?" tegur salah seorang perempuan dari arah belakang, berusia sekitar 40-an dengan rambut disanggul rendah.
Sontak, Ghea mendongak ke sisi berbeda untuk melihat wanita yang memanggilnya itu. Tak perlu waktu lama, sebab perempuan tersebut telah mengambil tempat di samping Ghea dan menghadapkan tubuh dengan penuh keantusiasan.
"Ah, ini Mamanya Farah, teman sekelas Kakak El itu, lho, Ma." Ardian menjelaskan seraya menengadahkan tangan pada perempuan tersebut.
"Bener, Pak," pandangan sang wanita kemudian kembali ke Ghea, "kenalin, nama ogut (saya) Prita."
Ghea menjabat tangan Prita dengan senyum kikuk.
"Duh, padahal dulu sebelum kejadian, kita deket banget, Bu. Sekarang jadi kayak baru kenalan," ujar perempuan berkulit putih langsat dengan hidung tinggi dan mata sipit tersebut.
"Gitu ya, Mama Farah. Maaf ya, aku nggak ingat apa-apa." Ghea memberikan senyuman dengan sesekali meringis.
"Lho, nggak usah minta maaf, Bu. Toh, nggak ada juga yang mau kayak gini. Ya, 'kan?" jelas Prita seraya menyunggingkan senyum, "biasanya ada Ibu Damara, Ibu Tris, Ibu Nining, sama Ibu Alana. Kita berenam suka jalan bareng, lho, Bu. Oh iya, kebetulan mereka juga ada di sini, kok. Tunggu bentar ya, ogut telpon dulu. Duhhh, pasti mereka seneng, deh, ada Mama El di sini."
Sebelum membuka tas dan mengeluarkan ponsel, Ardian berujar yang membuat Prita menghentikan gerakannya dan mengangkat kepala sekali lagi.
"Pak Ervan di mana, Bu?" tanya Ardian.
"Oh, ada di ujung sana, Pak," Prita menunjuk sisi kiri dekat panggung, "bareng sama bapak-bapak yang lain."
"Kalo begitu saya ke sana dulu, deh, Bu. Udah lama nggak ngobrol sama Bapak."
"Silakan, Pak."
Ardian lalu meraih bahu Ghea yang membuat perempuan itu memutar kepala ke arah sebaliknya. "Papa tinggal sebentar ya, Ma?"
"Oh iya."
Setelah Prita mengetikkan beberapa kalimat yang Ghea percaya bahwa itu di grup chat: Prita kemudian melanjutkan cerita tentang kesehariannya, apa saja yang para ibu-ibu itu lakukan jika sedang kumpul bersama, hingga berbagi tentang keluarga. Dari Prita, Ghea akhirnya tahu bahwa perempuan itu adalah mantan atlet tenis lapangan dan menikah dengan pengusaha. Hari ini, ia dan sang suami juga mendapatkan undangan untuk menghadiri acara yang diadakan sebagai ajang silaturahmi para pengusaha di berbagai bidang.
Usaha suaminya bukanlah skala besar seperti milik Ardian, tetapi cukup tersebar di beberapa kota di Indonesia dengan omset besar.
Perbincangan mereka tampak seru ketika akhirnya keempat istri lainnya ikut bergabung. Dan Ghea bersyukur bahwa ia dapat berbaur dengan mudah, meskipun terkadang ada beberapa topik yang tidak ia pahami.
Tak berbeda dari ibu-ibu lainnya, terkadang topik pembicaraan mereka menjurus ke arah keintiman bersama pasangan. Awalnya, Ghea memperlihatkan rona merah di wajah ketika satu per satu istri menyebut perlakuan suami mereka yang sangat mereka sukai. Hingga akhirnya, Ghea juga mulai bercerita ketika pertanyaan demi pertanyaan terlontar begitu saja padanya. Pertanyaan mereka juga masih dalam tahap wajar, tidak terlalu mengumbar dapur dan ranjang rumah tangga masing-masing secara vulgar.
Alana mengatakan bahwa Ghea terlihat seperti pengantin baru, beda dengan perempuan lainnya. Mungkin saja itu karena pengaruh ingatan yang menghilang sehingga ibu-ibu ini dapat menyimpulkan demikian. Meskipun begitu, Tris --yang duduk di samping Alana sangat mendukung kemesraan setiap pasangan suami istri.
Tak lama kemudian, musik mulai berganti dengan nada yang lebih cepat. Para tamu yang sedang berdiri pun kembali ke tempat duduk masing-masing, di mana Ghea asumsikan bahwa acara akan segera dimulai. Ia sedikit menyayangkan bahwa ia harus berpisah dengan ibu-ibu sosialita itu karena cerita mereka memiliki banyak pelajaran hidup.
Akan tetapi, Prita meyakinkan bahwa mereka akan segera mengadakan acara sehingga mereka dapat berkumpul lagi. Untuk saat ini, mereka memang tak memiliki waktu yang bebas, mengingat para wanita sedang mendampingi suami di acara resmi. Ghea pun paham dan membiarkan kelima puan itu menyebar ke tempat duduk di sisi pasangan mereka.
"Pa," panggil Ghea pada Ardian yang baru saja mendaratkan bokong di kursi tepat di sampingnya.
"Kenapa, Sayang?"
"Nanti Bu Prita katanya mau buat acara. Mama boleh pergi, 'kan?" tanya Ghea seraya melingkarkan tangan dengan manja pada sang suami.
Mendengar pinta itu, Ardian pun mengangguk pelan dan tersenyum manis. "Buat ibu-ibu ya? Boleh, kok. Asal Mama jangan kecapean ya. Papa nggak mau Mama sakit."
"Iya, janji."
Meskipun kepala Ardian menghadap ke arahnya, tetapi Ghea merasa bahwa laki-laki itu berulang kali memberikan tatapan tajam ke arah lain di belakang sana yang berjarak dua meja dari meja mereka. Menyadari hal itu, Ghea pun menoleh mengikuti arah pandang lelakinya dan menemukan fakta bahwa ternyata Ardian menatap intens pada laki-laki yang baru saja bertemu Ghea kemarin. Tak lain adalah Valdy.
Perempuan itu kontan mengembalikan perhatian pada Ardian, lalu mengusap tangan dengan lembut. Hingga akhirnya, Ardian kembali menatap teduh wanita yang sangat ia cintai.
"Papa ... kenapa?" lirih Ghea.
Ardian menggeleng pelan. "Nggak papa, Sayang."
Setelah perhatian laki-laki itu kembali tertuju ke atas panggung yang sudah heboh dengan hadirnya dua MC terpopuler di negara ini, Ghea mulai mencuri-curi lirik ke arah Valdy. Dan benar saja, bahkan ketika acara telah dibuka, Valdy masih setia menatap ke arah Ghea.
Tatapan itu ... tak bergairah!
Dan bodohnya Ghea, karena sekarang ia mengakui bahwa ia merasa iba pada Valdy yang menjadi satu-satunya tamu undangan tanpa pendamping.
Harusnya kamu bareng Kiana, Mas Valdy.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top