22. Waktu Yang Salah
.
.
.
"Paaa, ya, Pa? Boleh ya?" Ghea memohon pada Ardian dan mengikuti pria berambut hitam tersebut keluar-masuk ruang pakaian pagi itu.
"Apalagi, sih, Ma?" acap Ardian dengan gemas, kini telah berdiri di depan cermin satu tubuh dan mulai mengancing kemeja berwarna putih secara perlahan. "Kan, Papa bilang kemarin suruh orangnya aja yang ke rumah. Mama juga biasanya gitu, kok."
"Pilihannya pasti dikit kalo mereka yang ke sini. Mending Mama langsung pilih di butiknya aja, sama sekalian beliin Papa untuk besok juga. Ya, Pa?"
"Punya Papa udah banyak. Lagian, Papa takut Mama kecapean kayak kemarin lagi kalo keluar rumah. Mama baru sembuh, lho. Kalo Mama pingsan, trus siapa yang nemenin Papa besok ke acara?"
"Ih, Papa do'anya jelek banget. Masa do'ain Mama pingsan lagi."
"Seandainya ...."
"Omongan adalah do'a, Papaaa."
Ardian hanya mengatupkan rahang selama beberapa detik, lalu meraih jas yang berada di lengan Ghea. Sang istri membantu merapikan beberapa detil dengan cekatan. Tak lupa pula Ghea memasangkan dasi yang sudah Ardian pilih sebelumnya.
"Di Primrose emang nggak ada ya?" tanya sang adam.
"Ya nggak ada, dong. Kan di sana isinya wedding dress semua."
Setelah pakaian Ardian telah rapi dan sebelum kaki jenjang itu berayun keluar dari ruangan, Ghea dengan cepat memeluk Ardian dengan erat. Melihat perilaku Ghea, Ardian membalas pelukan sang hawa seraya mengulum senyum.
Ghea kemudian mendongak. "Ya, Pa?"
"Oalah, meluk Papa ternyata ada maunya."
"Mama nggak akan lepasin sampe Papa ngizinin Mama buat keluar. Biarin aja Papa telat ngantor."
"Mama jangan manja kayak Tata, dong. Perhatiin juga kesehatan diri sendiri. Inget nggak kata kakak El kemarin?"
"Beneran cuma sebentar, kok, Pa. Lagian Mama cuma ke butiknya abis itu pulang, nggak ke mana-mana lagi. Di sana juga kan tempatnya nyaman."
Ardian hanya menatap manik Ghea seraya mengembuskan napas perlahan.
Cup...
Ghea mengecup bibir Ardian ringan sebanyak tiga kali yang sontak membuat sang adam menyunggingkan senyum manis.
"Kurang ah," protes Ardian di sela-sela tarikan sudut bibir.
"Yahhh." Ghea mendesah kecewa.
Segera laki-laki itu meraih belakang leher Ghea dan memegang dagu sang hawa untuk menaikkan sedikit kepala menuju ke arahnya. Dengan sigap, sang istri mempersilakan Ardian menjelajahi bibir ranum tersebut dengan memejam. Nampaknya, ini adalah morning kiss dengan durasi terpanjang mereka sejak Ghea terbangun di rumah besar itu.
Dan ya, ia sangat menikmati tualang Ardian di dalam sana.
"Paaa!" teriak El dari luar kamar.
Dengan cepat, Ghea mendorong sedikit tubuh sang suami hingga tercipta jangka. Melihat gerak refleks sang istri, Ardian hanya tergelak kecil yang membuat Ghea bersemu.
Pintu kemudian terbuka lebar dan menampilkan El telah menjinjing tas sekolah dengan tangan kiri.
"Ayo, Pa. Udah jam enam. Nanti Kakak telat!" kesal El. Beberapa kali anak itu menghentak-hentakkan kaki, tanda kesabarannya mulai menipis. Kedua alis menyatu dan bibir dimanyunkan membuat Ghea menatapnya gemas.
"Lho, nggak sarapan dulu?" tanya Ghea.
"Nggak usah, Mama. Kakak udah telat, soalnya kalo udah terang gini pasti macet, deh. Papa lama banget, sih."
"Maaf ya, Sayang. Ini Papa udah siap, kok." Ardian melangkah keluar dari ruangan seraya melingkarkan tangan di belakang sang istri dan mengajaknya bersama-sama menuju pintu utama.
Tata diketahui tidak mengantar kakak dan ayahnya berangkat karena ia masih terlelap. Ghea tidak ingin membangunkan anak bungsunya itu, sebab ia tak ingin Tata rewel seharian.
"Jadi gimana, Pa?" tanya Ghea ketika kaki telah mendarat sempurna di teras depan.
"Yaudah nggak papa. Tapi, jangan capek-capek ya! Kalo ada apa-apa, langsung telpon Papa kayak kemarin. Oke?"
"Oke, Sayang."
Ardian kemudian memberikan sebuah kecupan singkat di puncak kepala sang istri, sedangkan Ghea mengecup kening El ringan. Lantas, ketika dua jagoannya telah berlalu dari hadapan, Ghea kembali masuk ke dalam rumah untuk mempersiapkan diri.
.
.
.
.
.
.
Ghea masuk ke salah satu butik yang terletak di dalam mall. Butik tersohor baik di dalam negeri itu diberi nama 'Femelle' , diambil dari kata bahasa Perancis yang berarti 'Perempuan'. Ardian memberitahu bahwa ini salah satu butik langganan Ghea dari dulu sampai sekarang, sehingga sang suami menganjurkan Ghea untuk memilih pakaian di sana karena telah terbiasa dengan sang pemilik yang diketahui memang teman Ghea.
Pemiliknya bukanlah orang Perancis sesuai dengan nama butik tersebut, melainkan pribumi yang pernah mengenyam pendidikan di sana. Sayang, Ghea tak mengingat apapun tentang ini dan baru pertama kali menginjakkan kaki di butik tersebut setelah bangun dari koma.
Sama seperti butik ternama lainnya, sebenarnya di sini juga diberlakukan sistem antrian. Akan tetapi, ini tidak berlaku bagi Ghea mengingat perempuan itu melewati pintu khusus. Selain karena memang ia mengenal baik sang pemilik --meskipun sekarang telah lupa, Ghea juga termasuk anggota yang didaftarkan secara eksklusif dengan minimal belanja lima ratus juta rupiah.
Seorang perempuan bersetelan lengkap berwarna biru gelap kemudian menghampiri Ghea dengan langkah mantap. Wanita yang dikenal sebagai Amora --sang pemilik butik-- tersebut memiliki tinggi semampai, menggunakan sepatu hak berwarna senada dengan setelan membuatnya semakin terkesan classy dan elegan. Riasan smokey eyes dan pewarna bibir merah gelap memancarkan aura tegas nan tajam. Namun, citra itu tidak bertahan lama ketika akhirnya ia menerbitkan senyum merekah dan menyapa Ghea ramah seraya mengulurkan tangan.
Sembari Ghea menerima ulurannya, wanita itu menyebut, "Nyonya Bratadikara, silakan!"
Mereka berdua menyusuri butik dan menaiki lift menuju lantai tiga.
"Apa ya perbedaan antarlantainya?" tanya Ghea setibanya mereka di lantai tujuan.
"Lantai satu itu untuk para antrian biasa, Bu. Lalu, lantai dua untuk anggota VIP dan lantai tiga khusus anggota VVIP atau Premium. Ibu termasuk anggota VVIP kami, sehingga Ibu dapat menikmati seluruh barang-barang kami terlebih dahulu sebelum kami memamerkannya di lantai-lantai lainnya."
Amora kemudian meletakkan kedua tangan di depan tubuh dengan penuh kesopanan sambil kembali melanjutkan, "Jika ada yang Ibu ingin tanyakan, saya akan setia mendampingi Ibu selama berada di sini--"
"Oh nggak usah, saya lebih enak milih sendiri aja."
"Baik kalau begitu, Ibu. Jika ada sesuatu yang ingin Ibu tanyakan, kami selalu siap. Saya permisi, Ibu."
Kalo di tempat kerja emang nggak ada kata temen dah. Profesional banget Mbaknya, batin Ghea seraya matanya mengedar pada berbagai gaun yang terpajang dalam lemari kaca.
Meskipun butik ini diberi nama dengan arti 'Wanita', tetapi di dalamnya tidak semua khusus untuk para hawa. Beberapa di antaranya juga terlihat setelan jas, kemeja, hingga dasi untuk para pria, meskipun memang pilihannya tidak sebanyak untuk perempuan.
Memilih sendiri ternyata bukan berarti seseorang berjalan untuk melihat-lihat pakaian yang ada tanpa pengawalan. Sebaliknya, Ghea dipersilakan duduk di salah satu sofa dengan meja bundar kaca berisi beberapa cemilan dan secangkir minuman hangat di sebelahnya. Satu per satu pelayan pun menyambangi Ghea seraya membawa gaun eksklusif.
Dari satu gaun ke gaun lainnya, Ghea tampak begitu sabar untuk melihat setiap detil dan memperhatikan penjelasan karyawan. Hingga pada akhirnya, ia mendapatkan empat gaun yang menarik perhatiannya. Bukannya memilih salah satu di antaranya, Ghea langsung mengambil empat gaun yang dibanderol seharga di atas ratusan juta per gaun.
Setelah para pegawai beranjak untuk mengambilkan beberapa barang yang akan dia belikan untuk sang suami, Ghea sempat menelpon Ardian.
"Pa, masa Mama beli empat gaun," acap Ghea manja.
"Lho, tumben ...."
"Kebanyakan ya, Pa?"
"Tumben dikit."
Astaga!
Ardian melanjutkan, "Biasanya Mama ngambil tiga kali lipatnya."
"Serius?" Mata Ghea terbelalak sempurna.
"Iya," ujar Ardian seraya terkekeh di seberang sana, "ambil aja terserah Mama. Biasanya juga nggak pernah laporan."
"Trus, Papa tau Mama ambil dua belas, tuh, dari mana?"
"Dari Atik, kalo nggak ya Lita. Mereka yang ngitungin dan ngasih tau Papa kalo gaun-gaun itu udah sampe rumah."
"Oalah ... oh iya, Pa, Mama juga mau beliin buat Papa--"
"Iya, Sayang. Terserah Mama aja. Udah dulu ya, Papa masih ada dokumen yang harus diperiksa dan diserahin hari ini. Love you, Mama."
"Eh, iya. Love you, Papa. Mama tunggu di rumah ya."
Sesaat setelah sambungan telepon diputus, Ghea kembali memilih beberapa kemeja dan dasi untuk Ardian. Perempuan itu tidak memilih jas mengingat sudah terlalu banyak jas yang laki-laki itu punya. Sebagian bahkan belum pernah digunakan. Sedangkan warna kemejanya dominan putih, abu-abu, dan hitam. Terlalu monoton.
Sang hawa membatin, Enak banget ya hidup Mbak Ghea. Berasa dunia ada di tangan tanpa perlu capek-capek syuting pagi sampe ketemu pagi lagi, wawancara di banyak tempat, kenalan orang-orang dengan mulut berbisa. Lah iya, itu mah gue.
"Kayaknya emang dunia, tuh, sempit banget ya?" ucap seorang pria di belakang sana yang membuat Ghea memutar tubuh dan menemukan sang adam tengah tersenyum padanya.
Refleks, Ghea pun bangkit dari duduk dan berjalan menuju laki-laki tersebut yang tak lain adalah Valdy.
"Bisa-bisanya ketemu di sini," acap Ghea antusias, "sama siapa?"
"Gue tadi anterin temen ke sini, tapi pas udah muter-muter dan belanja, dianya terpaksa pergi soalnya ada keperluan mendadak. Berakhir gue di sini sendirian karena gue juga pengen liat-liat barang yang lain, sih, dan emang belum pengen balik. Kalo lo?"
"Ya sama, belanja aja. Btw temen lo cewek ya?"
"Yaiyalah ...."
Holy shit, gue bahkan belum pernah diajak ke sini sama Valdy. Kok agak kesel ya?
"Lo udahan belanjanya atau masih lama?" tanya Valdy seraya menengadahkan tangan.
Ghea mengangguk samar. "Gue udah kelar, kok. Sekarang udah mau balik."
"Bagaimana kalo ngopi bareng sebelum lo balik? I wanna talk 'bout ... yaaa you know." Valdy memiringkan kepala samar dan membuang tatapan.
Sepertinya Ghea paham pikiran Valdy, sehingga ia pun mengangguk sebagai bentuk mengiyakan ajakan pria tersebut.
Setelah membayar seluruh busana yang ia beli, Ghea kemudian berjalan bersama Valdy menuju suatu kafe yang ternyata hanya berada di luar mall, benar-benar di samping pintu keluar. Suasana yang didominasi oleh warna cokelat kayu dan hitam pada bagian dinding, serta diberi lampu kuning di beberapa titik memberikan hangat dan eksklusif.
Mereka berdua mengambil tempat di dekat dinding kaca yang langsung memperlihatkan suasana ramai kota di depan sana. Setelah memesan minuman, tidak lama secangkir cokelat hangat dan kopi hitam pun tersaji di depan mata.
Sembari memperhatikan Ghea menyesap minumannya, Valdy berucap, "I still can't believe April did such a thing. Dia keterlaluan sudah ngambil barang-barang Kiana."
Ghea seketika menurunkan cangkir. "Gue juga bingung harus maksa dia kembaliin semuanya dengan cara apalagi. Like ... everything she said was true, and I can't argue with that."
"There should be something we can do."
Sang hawa membuang tatapan ke luar seraya mengembuskan napas kasar. Ia merasa mustahil dapat mengambil semuanya dari April. Dan jika pada akhirnya Ghea harus membawa ini ke meja hijau, rasanya ia juga tak akan bisa menang.
"Gue pengen bantuin lo, Ghea. Apapun itu," acap Valdy yang akhirnya berhasil menarik atensi Ghea.
Puan itu menatap kembali Valdy dengan penuh keyakinan. "Oke, biarin gue berpikir tentang ini dulu. Setelah gue tau langkah apa yang akan gue ambil, gue bakalan ngasih tau lo."
Valdy mengangguk singkat sambil memutar sendok di dalam gelas. "Gue harap nggak lama."
.
.
.
.
.
.
Ardian memarkir mobil, lalu berjalan menuju salah satu kafe setelah sebelumnya membuat janji dengan Angga dan Reza. Rencananya, mereka ingin membahas beberapa hal terkait tender dengan suasana berbeda dan lebih santai.
Mengingat kedua temannya itu masih memiliki pekerjaan dan baru akan beranjak menuju kafe, Ardian yang tidak memiliki banyak tugas kemudian memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu menuju lokasi dan menunggu mereka berdua di sana.
Seiring kaki berpijak pada lantai marmer tempat minum kopi yang masih satu lokasi dengan pusat perbelanjaan itu, Ardian tak henti-hentinya memandang ponsel. Sesekali ia terlihat menggulir layar yang menampilkan beragam dokumen. Namun, tepat setelah kakinya memasuki kafe dan mendongak untuk melihat kursi yang sekiranya tanpa penghuni, langkah ringan itu sontak terhenti.
Sang adam memusatkan indra penglihatan di depan sana yang sempat membuatnya tertegun untuk beberapa detik.
Beberapa langkah dari tempatnya berdiri terlihat sepasang manusia yang tampak berbagi cerita dengan serius. Hingga samar-samar Ardian dapat mendengar sang pria memajukan tubuh dan berucap pada perempuan di hadapannya. "Sorry."
Laki-laki itu menyeka sudut bibir sang hawa yang juga tak kalah terkejutnya dengan Ardian. Mata gelap perempuan membelalak sempurna ketika ibu jari lawan bicaranya bergerak perlahan di sekitar bibir.
"Ah, iya ... makasih," balas sang puan dengan begitu canggung. Matanya bergerak cepat ke kanan-kiri membuat pria di depannya refleks mengulum senyum.
Layaknya petir menyambar di siang hari, tubuh Ardian seketika mematung. Darah berdesir, detak jantung berirama cepat, lidahnya seolah keluh, hingga akhirnya Ardian menampakkan kilatan mata yang begitu tajam.
Segera, ia menelpon Reza dan membuang tatapannya ke arah lain.
Dengan napas memburu dan menggenggam erat ponsel, Ardian berucap pada Reza, "Za, lo udah jalan ke sini?"
"Belom, sih, Bos. Ini gue sama Angga baru aja keluar gedung."
"Pindah tempat aja, deh. Kayaknya di sini ada acara, soalnya rame. Di mana-mana penuh, nih."
Ardian sesekali menundukkan kepala dan berjalan keluar dari kafe, lantas berdiri memunggungi dinding kaca agar keberadaannya tak diketahui.
"Yahhh, kalo begitu di tempat biasa aja."
"Oke."
Sambungan itu diakhiri sepihak oleh Ardian, lalu dengan gerakan cepat ia menekan nomor telepon Ghea. Tak perlu lama menunggu, suara lembut perempuan itu akhirnya menyapa rungu sang suami.
"Iya, Papa?"
"Ma-Mama ... Mama di mana?"
Entah mengapa rasanya seperti Ardian sulit untuk mengeluarkan kata demi kata saat ini.
"Mama lagi di butik," jawab Ghea dengan santai.
"Kok belum pulang?"
"Ya kan Mama masih pengen liat gaun-gaun lainnya."
"Mama sama siapa? Amora ada di situ?"
Sempat ada keheningan selama beberapa detik yang membuat Ardian seketika memejam. Kaki jenjang laki-laki itu bergerak teratur dan samar, tampak tak sabaran. Sesekali terdengar hembusan napas dari mulut Ardian untuk menetralkan perasaannya. Ia masih ingin tak berpikiran aneh-aneh saat ini, tentu saja.
Akan tetapi, ia juga tak bisa membohongi diri bahwa sepasang manusia yang sebelumnya ia perhatikan adalah Ghea dan Valdy, istri dan temannya. Dengan perlakuan Valdy yang begitu manis pada istrinya, Ardian mengakui bahwa ia dirundung geram yang hampir memenuhi seluruh isi kepala. Namun, sebisa mungkin ia harus tenang.
"Ada, kok. Ada Amora."
"Bagus, deh. Oh iya, Mama pulang jam berapa?"
"Masih lama kayaknya, Pa."
"Kenapa lama? Emang seseru itu ya ngobrolnya?" Nada yang terdengar ketus dan tajam tersebut spontan terucap dari mulut Ardian membuat Ghea terdiam lagi untuk beberapa saat.
"Eh?"
"Maksud Papa ngobrol sama Amora."
Ghea terdengar gelagapan. "Ohhh, i-iya ...."
"Yaudah, hati-hati ya pulangnya."
"Iya, Sayang. Love you--"
Ardian tidak membalas dan lebih memilih mematikan ponsel. Ia tahu bahwa di dalam sana Ghea sedang memperhatikan telepon genggam dengan lekat karena ucapan cinta kasihnya tak dibalas oleh suami. Tentu saja Ardian mengetahuinya, sebab sebelum melangkahkan kaki meninggalkan tempat tersebut, ia memilih untuk memutar tubuh dan memperhatikan sang istri sekali lagi.
Tak lama kemudian, Ardian memutuskan untuk pergi dari tempat itu dengan perasaan aneh yang berkecamuk hebat dalam dada. Rasanya ia ingin mengumpat mati-matian dan menghempas apa saja yang berada di depannya untuk menuntaskan perasaan ini. Sial, ini sangat sesak.
Kenapa harus sama Valdy?!
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top