21. Menghabiskan Waktu Bersama

⚠️ Chapter ini memuat konten dewasa (sensual) yang tidak disarankan untuk pembaca di bawah umur.

Jika teman-teman merasa tidak nyaman, silakan skip chapter ini 😊

.
.
.

.
.
.

Sayup-sayup, Ghea dapat mendengar suara orang sedang berbincang di sisi sebelah kiri tubuh. Sedikit mendekat ke arah pintu. Di tengah kelemahan diri dan rasa kantuk yang menjalar, ia berusaha menajamkam indra pendengaran.

"Mama kenapa, Pa?" tanya El.

"Mama cuma kecapean." Ardian mendekat ke arah Ghea diikuti oleh langkah kecil El dan Tata.

Menyadari kehadiran mereka, sang puan pun membuka mata secara perlahan. Lantas, senyum lemah mulai terbit dari bibir pucat tersebut. Berkali-kali Ghea berusaha untuk membuka lebar netra, tetapi karena ia berada di bawah pengaruh obat-obat, ia masih sulit untuk melakukannya.

Tata dengan sigap naik ke atas tempat tidur, lalu membaringkan tubuh tepat di samping sang ibunda dan memeluknya erat. Anak kecil tersebut bahkan menenggelamkan wajah di ceruk Ghea.

"Mama, Mama nggak papa? Ada yang sakit nggak?" tanya El yang duduk di tepi tempat tidur sambil memegang tangan sang hawa.

"Nggak ada yang sakit, kok."

El menyunggingkan senyum, lalu meletakkan kepala di perut Ghea. "Mama jangan sakit ya. Nanti kalo Mama sakit, nggak ada yang temenin adek main, nggak ada yang urus keperluan papa juga."

Mendengar itu, Ghea mengangkat wajah El dan menatapnya sendu. "Kalo Kakak?"

"Kakak nggak usah ditemenin. Soalnya kan udah ada Bi Sum dan Mbak Lita yang urusin Kakak. Eh, ada Mbak Atik juga. Kakak udah biasa sama mereka," ucap El polos seraya memperlihatkan cengiran lebar. "Nanti Mama tambah sakit kalo urus Kakak juga."

"Kok Kakak ngomong kayak gitu, sih? Mama sedih dengernya. Kan Kakak anak Mama juga."

"Nanti Mama kecapean. Urus papa sama adek aja Mama bisa pingsan di jalan, apalagi nambah Kakak."

Ghea mengembuskan napas, lalu menarik Tata dan El dalam pelukannya yang jauh lebih erat. "Nggak, pokoknya Mama yang urus kalian semuanya."

Bohong jika Ghea tidak merasa sakit dengan pernyataan El. Bagaimana mungkin anak seumur dia telah mengatakan hal yang menurut Ghea sangat berbeda dari anak seusianya. Apa mungkin karena sudah terlalu sering mendapatkan perlakuan berbeda dari sang ibu, El telah melepaskan ketergantungannya pada Ghea. Padahal, Ghea merasa senang jika El meminta sesuatu atau mengandalkannya lebih sering lagi. Bukan seperti ini.

"Kakak El anak Mama juga."

Anak laki-laki itu kembali tersenyum teduh. "Iya, Mama. Kakak anak Mama, kok."

Sekali lagi, Ghea mengecup kepala dan pipi El berulang kali di saat matanya terkadang menutup untuk beberapa detik.

"Mama kenapa, sih, Pa?" tanya Ghea begitu mendapati suaminya telah duduk di samping El dan sedikit membungkuk seraya mengusap puncak kepala Ghea dengan pelan.

"Tadi siang Mama nelpon Papa, trus Mama shareloc tuh. Ya udah, Papa langsung ke sana. Papa ngeliat Mama duduk di kursi udah keliatan lemes banget. Mana ada darah keluar dari hidung Mama, Papa langsung panik. Tadinya mau bawa Mama ke rumah sakit, tapi nggak jadi--"

"Kenapa?" sela Ghea cepat.

"Karena Mama ternyata masih sadar dan megang tangan Papa, mohon-mohon supaya jangan dibawa ke rumah sakit. Mama nggak inget ya?"

"Iya."

Ardian mengedikkan bahu. "Ya begitulah. Akhirnya Papa bawa pulang aja, trus panggilin dokter. Kata dokter, Mama cuma stres sama kecapean. Kurang istirahat banget Mama, tuh. Makanya Mama istirahat dulu sekarang. Jangan jalan-jalan mulu!"

El mengangkat kepala dan menatap Ghea. "Iya, Mama jalan-jalan mulu tau, Paaa. Nggak berenti." El ikut mengompori.

"Tuh, kan ...."

Ghea tersenyum tipis dengan mata yang terpejam. "Kakak cepu nih."

"Ya abisnya Mama kalo dikasih tau nggak mau denger sih."

"Iya iya, Mama minta maaf ya."

Ardian kemudian bergerak mengambil selimut yang menutupi paha sang istri, lalu dibawa menuju dada. "Sekarang istirahat ya, Sayang. Tuh liat, adek aja udah lelap banget bobonya."

Dengan segera, Ghea menoleh pada Tata yang kini telah berada di ketiaknya dan mendengkur halus. Terlihat sangat menggemaskan dengan pipi gempal, mata terpejam, dan mulut tipis yang terbuka sedikit.

Ghea kemudian memiringkan tubuh, membelakangi Ardian dan El, lantas memeluk Tata. Tak lama, Ghea pun masuk ke alam mimpi bersama anak keduanya itu.

Kembali, Ardian dan El bergantian mengecup kening sang puan, lalu berjalan menuju pintu keluar dengan mengendap-endap.

"Selamat tidur, Mama dan Adek."

.
.
.

.
.
.

Saat itu, Ghea kembali membuka mata dan menemukan kamarnya telah gelap gulita. Ia menepuk-nepuk dan mencari sosok yang tengah berbaring di sampingnya. Begitu mendapati sang suami telah terlelap, Ghea mengembuskan napas lega. Akan tetapi, ia tak benar-benar lega. Pasalnya, perut perempuan itu mulai meronta-meronta ingin segera diisi.

Ghea pun menoleh ke arah jam dinding yang dapat memantulkan cahaya dan memperlihatkan jarum yang menunjuk pada pukul setengah tiga dini hari. Akibat rasa lapar yang menyelimutinya, Ghea kemudian bangkit dari tempat tidur dengan pelan-pelan, sehingga ia tak membangunkan Ardian.

Setelah ia berhasil membuka pintu dan berjalan menuju dapur, Ghea akhirnya berhenti di depan laci-laci yang memuat banyak makanan cepat saji. Dengan cekatan, ia meraih sebungkus mi instan goreng yang menjadi kegemaran dan menyeduhnya.

Tak butuh waktu lama, Ghea sudah duduk di kursi kayu dengan sepiring mi di atas meja bar dapur. Tak lupa pula ia menaruh telur mata sapi, dua cabai merah yang ia potong-potong, dan daun bawang sebagai pelengkap makanan.

Menyantap mi di tengah malam dan dalam suasana lapar seperti saat ini memang terasa nikmat luar biasa. Terlebih, ia juga jarang melakukannya lagi setelah bangun di tubuh Nyonya Bratadikara ini. Padahal, ketika berada di apartemen, ia selalu melakukannya seraya menonton drama-drama korea yang sedang menjadi perbincangan khalayak ramai. Akan tetapi, seperti tersadar jika ini bukanlah rumah miliknya seutuhnya, perempuan itu lebih memilih untuk duduk dalam diam dan memandang pemandangan meja makan tanpa penghuni di tengah malam.

Sepi. Sebuah kata yang mampu menjelaskan segala hal yang ia lihat dan rasakan.

Ghea menggulung mi dengan garpu dan kembali memasukkan dalam mulut dengan cepat.

"Ma?"

Perempuan itu tersentak, lalu menoleh ke belakang untuk melihat sosok yang memanggilnya.

"Papa?"

Ardian berjalan menuju Ghea dan berdiri di depan sang hawa seraya meletakkan kedua tangan menumpuk di atas meja bar. Wajah Ardian yang polos itu mengarah ke arah muka Ghea. Alih-alih menjawab, laki-laki itu justru berkata, "Kok Mama nggak bangunin Papa? Mama kelaparan ya? Kasian, belom makan malam ...."

Mendengar itu, Ghea mengernyit sebentar, lalu senyum lebar pun terbit di wajahnya yang masih sedikit terlihat pucat.

"Papa mau? Mama masakin ya?" tawar Ghea.

"Nggak usah, Papa bisa masak sendiri," tolak Ardian seraya membalas senyum manis sang istri.

Tak lama kemudian, Ardian pun datang dengan semangkuk mi kuah yang tak kalah mengundang selera. Pria itu memasukkan potongan sosis, daun bawang, hingga sayuran yang terlihat seperti potret properti mi di bungkus makanan cepat saji tersebut.

Laki-laki itu mengambil tempat di depan Ghea yang sekali lagi membuat sang hawa tak mampu mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Papa kok duduk di situ, sih? Sini, duduk samping Mama!" Ghea menepuk-nepuk kursi di sampingnya.

"Nggak ah. Kasian Mama ngeliat yang gelap-gelap di depan sana. Mending liat Papa aja yang sebelas dua belas dengan Pangeran negeri dongeng."

"Dih ...."

Mereka kemudian terdiam, namun tetap memperlihatkan senyuman satu sama lain. Sesekali, terdengar suara alat makan beradu yang membuat suasana dapur tidak terlalu sunyi seperti sebelumnya.

Ghea lalu menatap mangkuk Ardian dengan atensi penuh. "Pa, Mama minta kuah, dong," pinta Ghea seraya mengangkat sendok dan memajukan piringnya.

"Emang enak makan mi goreng pake kuah soto?"

"Enak, kok. Selama itu mi mah enak-enak aja. Papa mau cobain?"

Ardian menggeleng lemah. "Nggak ah, Papa meragukan sekte Mama."

"Sekte apa, sih?" Ghea tergelak.

"Sekte mi goreng dengan kuah soto. Lagian, chef-nya udah capek-capek buat komposisi yang tepat. Eh, pelanggannya buat sekte lain."

Ghea mengedikkan bahu dan memiringkan sedikit kepala seraya menyeringai jail. "Terserah pelanggan dong, Sayang."

"Iya, iya. Nih, ambil aja!"

Ardian menyodorkan mangkuk membuat Ghea dengan cekatan menuang kuah ke dalam piringnya hingga tersisa setengah di mangkuk sang adam.

"Oh iya, Pa. Mama belum nanya tentang perjalanan Papa yang tiga hari itu. Papa ngapain aja di sana?"

"Banyak, salah satunya ya itu ngeliat lahan proyek pemerintah. Soalnya kan bentar lagi ada tender yang dibuka, jadinya Papa sama tim lagi ngeliat lokasinya."

"Trus, menurut Papa gimana? Bisa, nggak?"

"Seharusnya sih bisa. Tapi, Papa kan belum tau apa aja syarat-syarat dari pemilik tender. Makanya, Papa cuma mengkalkulasikan aja, ya sambil nunggu gitulah. Yang penting, perusahaan pasti daftar."

"Oalah ... begitu, toh."

"Oh iya, Ma, lusa ada acara pertemuan para pengusaha di Hotel Val. Mama wajib ikut temenin Papa."

Puan itu sontak menurunkan sendok dan garpu, lalu menatap Ardian dengan mata membulat. "Ya ampun, Pa. Kok nggak bilang dari kemarin-kemarin, sih? Mama nggak ada gaun," acap Ghea, sedikit kesal.

Ardian pun mengangkat wajah dengan memperlihatkan senyum tipis. "Nggak ada gaun? Lah, trus itu empat lemari di kamar isinya apa? Kayu manis? Jahe?"

"Ya nggak gitu juga. Cuma gaun-gaun itu pasti udah Mama pake, deh, sebelumnya. Ihhh, masa dipake lagi." Ghea mencebik.

Ardian menurunkan alat makan, lalu kembali menatap Ghea. "Yaudah, besok pagi mesen gaun yang baru aja. Orangnya suruh ke rumah ya, takut Mama kecapean lagi kalo keluar-keluar rumah. Atau, mau Papa temenin?"

"Kan Papa kerja."

Pria tersebut menepuk dahi ringan. "Iya juga ya, Papa lupa lagi. Oh iya, nanti Papa kasih mentahnya aja ya."

Ghea terdiam sejenak, lalu melirik malu-malu pada sang suami yang sedang menunduk dan memilin mi. "Mentahannya dalam bentuk lembaran atau kartu?"

"Papa nggak punya cash!"

Seketika, Ghea tersenyum tipis sembari memutar-mutar garpu. Ia tahu jika Ardian memang jarang memiliki uang cash di dompet. Sekalipun ada, itu tidak lebih dari dua ratus ribu. Lembaran berwarna merah muda tersebut diketahui sebagai penjaga dompet, katanya.

"Ma?"

"Iya, Sayang?"

Ardian menyeringai. "Giliran dapat kartu aja manggil-manggil Sayang."

"Ihhh, dari tadi juga Mama udah manggil Sayang. Papa nggak denger?" tanya Ghea sembari mencubit ringan lengan Ardian. "Kenapa, sih? Mau cerita apa, Sayang?"

Ardian terdiam untuk beberapa saat, lalu mengangkat wajah untuk menatap sang istri lamat-lamat. Melihat ekspresi itu, Ghea kontak memiringkan sedikit kepala untuk mengamati obsidian gelap Ardian yang kini menatapnya penuh arti.

"Dari dulu kita berdua terbuka satu sama lain, nggak ada yang Papa sembunyiin begitupun Mama. Yaaa intinya Papa cuma mau bilang kalo misalnya Mama butuh cerita apapun itu, Mama bisa cerita ke Papa. Papa juga kan selalu cerita ke Mama. Masa Mama nggak, sih?"

Ghea menghela napas, lalu mengangguk samar. "Bagaimana kalo kita berdua saling berbagi? Kayaknya nggak adil aja karena Mama selalu ngerasa Papa nutupin sesuatu dari Mama--"

"Begitu juga yang Papa rasain ke Mama. Rasanya terlalu banyak yang Mama tutupin dari Papa. Jadi, keliatan kalo Mama sekarang--"

"Beda?"

Ardian mengembuskan napas, kembali memaku tatapan pada sang hawa yang terpaut beberapa sentimeter dari tubuhnya. Dengan cepat, Ardian meraih alat makan Ghea dan menurunkannya yang membuat perempuan itu mengerutkan dahi. Lantas, kedua tangan Ghea dibawa untuk menangkup wajah Ardian.

"Ma, meskipun sekarang Mama nggak inget apapun, meskipun sekarang mungkin Mama jadi orang yang berbeda, Papa harap perasaan Mama ke Papa tetap sama seperti dulu. Tetap sayang sama Papa. Tetap di samping Papa sampai nanti.  Nggak masalah dengan pribadi Mama yang sekarang. Toh, nggak akan ngubah kalo Mama istri Papa. Persetan orang bilang Papa terlalu bucin sama Mama, tapi itu yang Papa rasain."

"Kenapa Papa ngomong kayak gitu?" lirih Ghea.

Sang adam menunduk seraya berujar, "Papa--"

Perkataan itu terpotong ketika Ghea menarik kedua tangan dari wajah Ardian, lalu melangkahkan kaki menuju suaminya. Segera, Ardian mengambil pinggang Ghea dan mendudukkannya di atas pangkuan sehingga wajah tegas itu kini berhadapan langsung dengan tubuh puan.

"Maksud Papa, Papa takut perasaan Mama ke Papa hilang juga kayak ingatan Mama, gitu?"

"Iya, tapi--"

"Trus, menurut Papa bagaimana dengan perubahan Mama sekarang?"

Ardian mendongak dan terdiam. Dan karena itu, pandangan Ghea justru lebih leluasa beralih pada rahang dan rambut-rambut wajah yang tipis nan tajam, hidung tinggi, serta kulit putih bersih. Ghea menarikan tangan, membelai lembut wajah suaminya dari jarak yang terlampau dekat hingga dapat mendengar hembusan napas satu sama lain.

"Papa kadang kaget, tapi Papa nggak bisa bohong kalo Papa suka dengan Mama yang sekarang. Karena Mama, Papa jadi ngerasa dekat dengan anak-anak, padahal dulu kita jarang main bareng seperti yang Papa bilang waktu itu. Sekarang, Papa ngerasa ada yang kurang kalo sehari nggak liat adek lewat video call di jam-jam kantor. Atau, ngobrol dengan Kakak sepulang dari kerja sampe anaknya capek sendiri. Papa seneng banget karena itu.

"Trus, Papa juga pernah denger dari Risa kalo Mama jadi ceria, sering ngajak Papi sama Mami ngobrol di telpon padahal dulu segan banget bahkan buat ngucapin halo doang. Oh, sama karyawan di kantor. Rata-rata pada pangling ngeliat Mama yang senyum ke arah mereka, sedangkan dulu Mama selalu aja masang tampang tegas. Kayak ... Mama ngubah segala hal jadi baik, meskipun pada awalnya Papa akui lagi ada banyak banget kebingungan dan kekhawatiran dari kita semua. Dan karena perubahan baik itu, Papa mau ngucapin makasih ke Mama. I know, you're the best."


Deg


"And I'm so in love with you, Ghea Aurellia."

Netra Ghea berkaca-kaca mendengar tuturan Ardian yang begitu menyentuh hati. Rasanya perempuan itu bukan lega, tak lepas bebas begitu saja layaknya bulu yang ringan terbawa angin. Akan tetapi sebaliknya, perempuan tersebut merasa bahwa harusnya yang berada di hadapan Ardian adalah Kiana. Sepatutnya, Kiana-lah yang mendapatkan pujian tulus itu, bukan Ghea Aurellia.

Sayangnya, tidak diketahui akankah Ardian mengatakan hal yang sama jika orang yang berada di depannya adalah Kiana Ivanka Hadi. Sosok yang tak pernah berada di kehidupan laki-laki itu sama sekali. Atau, sampai kapanpun memang ia tak akan bisa masuk.

Kedua tangan Ghea menggenggam erat bahu Ardian, lalu ia menggigit bibir bawah dengan kuat. Sementara manik Ardian mulai mencari-cari obsidian gelap milik sang istri. Lantas ketika laki-laki itu telah mendapatkannya, tangan Ardian meraih tengkuk Ghea dan membawanya pada pagutan hangat bibir yang tak bisa perempuan itu hindari.

Napas mereka saling beradu dan hawa panas mulai menjalar di sekujur tubuh. Tangan Ardian begitu giat mengusap punggung Ghea, sementara tangan sang puan bermain di dada suaminya. Ardian ingin masuk lebih dalam dan Ghea mempersilakannya.

Kecupan intens nan intim yang semula hanya berada di bibir, kemudian berjalan menyusuri leher hingga ke dada Ghea. Sedangkan tangan wanita itu telah mengusap dan mencengkeram rambut belakang Ardian penuh gairah.

Ghea melenguh seraya sesekali memejam dan memperlihatkan leher depan yang membangkitkan perasaan tertentu. Debaran semakin menguat kala Ardian mulai tiba di dada sang puan yang tak tertutupi oleh apapun. Ah, Ghea menyadari bahwa hari ini ia hanya mengenakan baju oversized milik Ardian dengan kancing. Sehingga, Ardian lebih mudah menjangkaunya dan hanya sekali gerakan.

Ardian sontak menghentikan aktivitas yang membuat Ghea mengernyit tak paham. "Kok berenti?"

"Nanti dilanjutin kalo Mama udah sehat. Mama baru bangun ini, masa udah olahraga lagi aja."

Ghea kontan menjatuhkan bahu dan memejam sejenak, kecewa dengan perkataan sang suami. "Selesein, please. Nanggung banget soalnya, Papa."

Ardian memincingkan mata, lalu menyeringai jail. "Boleh, tapi cuma sekali aja."

"Okey."

Dengan saling berbagi tatapan dan napas seolah berlomba, satu tangan Ardian mulai bergerak membuka dan bermain di antara kedua tungkai. Sementara tangan bebas lainnya menangkup dagu Ghea agar tak berpaling memandang wajah Ardian saja.

Ketika sentuhan-sentuhan itu berhasil membuat Ghea melayang, perempuan itu berucap lirih,

"And I'm ... I'm in love with you, too ... Ardian Bratadikara."

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top