20. Perdebatan
.
.
.
"Gue harus cepet-cepet ke apartemen!" ucap sang hawa meninggalkan Laras, Rara, Ghea, dan Hazel dalam keheningan nyata.
Kakinya berayun cepat keluar dari rumah sakit menuju pintu utama. Tak perlu lama menunggu, sebab sudah banyak taksi yang mengantri di sana untuk mengantar penumpang. Dengan langkah seribu, Ghea masuk ke dalam taksi dan sesekali menepuk bahu sang supir untuk melajukam kendaraan lebih cepat.
Persetan. Ghea tak peduli lagi dengan kendaraan lain di luar sana yang mencemooh pelan hingga melontarkan kata-kata kasar ketika sang supir menyalip dengan kecepatan penuh. Jika boleh jujur, Ghea juga sebenarnya masih memiliki ketakutan akan kecepatan kendaraan, mengingat mobilnya pernah mengalami insiden kecelakaan hingga ia koma. Akan tetapi, ia tidak peduli. Ia hanya terus menerus memikirkan seluruh aktiva yang berada di apartemen.
Ghea ingat bahwa seluruh aset itu ia simpan di brankas dalam ruang pakaian. Yang tahu passwordnya adalah dirinya sendiri dan April. Sebenarnya, Ghea yakin jika itu tak mungkin ke mana-mana. Sebab, ia tahu bahwa April tidak mungkin menyeleweng dari tugas.
Akan tetapi, perempuan itu juga tidak dapat membohongi hati sejak mengetahui bahwa April menggunakan mobil hingga barang-barang kesayangannya. Bukankah itu menjadi bukti bahwa semua kemungkinan terburuk bisa saja terjadi?
Sialan. Perkataan Hazel benar-benar membuatnya kalang kabut sekarang!
Sepasang kaki itu akhirnya tiba di apartemen, lalu melangkah masuk menuju unit miliknya dengan tergesa-gesa.
Setelah pintu terbuka lebar, Ghea tidak lagi memedulikan sosok yang ternyata telah menyadari kedatangan perempuan itu lewat balkon. Ya, siapa lagi jika bukan Valdy.
Langkah Ghea membuka pintu utama, lalu melewati ruangan tengah dan masuk dalam kamar menyita atensi dari laki-laki yang sudah menanggalkan jas di sofa ruang televisi, kemudian mengikuti derap Ghea menuju kamar dengan perlahan dan tanpa suara.
"Lo nyari apa?" tanya Valdy sesaat setelah ia melihat Ghea membuka kamar dan brankas berukuran setinggi lutut orang dewasa. "Ngapain lo buka-buka punya Kiana?"
Gerakan Ghea sontak terhenti. Dari belakang, Valdy dapat melihat bahu milik sang hawa yang naik turun dengan cepat, seolah ia baru saja mengakhiri olahraga yang menguras tenaga.
Puan itu sempat bergeming sebentar, hingga akhirnya ia memutar tubuh untuk menatap Valdy dengan nanar, napas yang seakan-akan berlomba, tangan terkepal, dan rahang tegas nan tajam.
"Kasih tau gue siapa yang ngelakuin semua ini?!" pekik Ghea yang membuat mulut Valdy seketika terbuka lebar.
"Gue nggak paham."
Perempuan itu kemudian menyerongkan tubuh, mempersilakan netra sang adam menelisik lebih jauh pada brankas di dalam sana. Betapa terkejutnya Valdy karena brankas itu benar-benar kosong tak bersisa apapun.
"Gu-gue nggak tau apa-apa, Ghea."
"Really?"
Valdy menaikkan kedua tangan di dada. "Wow ... calm, girl--"
"I can't!" bentak Ghea. "Siapa yang sering ke sini selain gue, elo, dan tukang bersih-bersih itu?"
"Well, April ... sometimes David and Leo."
"Lo punya nomor mereka?"
Valdy mengangguk samar.
"Telpon sekarang!"
"What?"
"GUE BILANG TELPON SEKARANG!"
Laki-laki itu kemudian keluar dari kamar mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja makan, lalu kembali ke kamar untuk menemui Ghea yang masih diselimuti oleh amarah. Terlihat jelas dari wajah perempuan itu yang memerah, sesekali ia terlihat memijat pelipis dan mondar-mandir di depan brankas tersebut.
Suara ponsel tiba-tiba saja berdering dari dalam tas sang hawa. Segera, ia merogoh tas berukuran sedang berwarna hitam itu dan melihat nama yang terpampang di layar. Sudah dapat ditebak bahwa itu tak lain adalah Ardian.
"Iya, Pa?"
"Mama di mana? Kok lama pulangnya?"
"Mama-- Mama masih keliling di mall." Mata Ghea terpejam sebentar dan membuang napas melalui mulut dengan pelan untuk menyeimbangkan perasaan yang sedang carut marut.
"Oalah, kirain di mana."
"Kenapa, Pa?"
"Mama pulang jam berapa?"
"Mungkin sejam atau dua jam lagi," jawab Ghea sekenanya.
"Mau Papa jemput?" tawar Ardian sekali lagi.
Ghea menggeleng seolah sang suami dapat melihatnya. "Nggak usah, Mama pulang sendiri aja, Pa."
Sempat tidak ada percakapan di antara mereka berdua membuat Ghea ingin sekali memutus sambungan.
"Oh ya, halo?" ucap Valdy di depan Ghea yang secara tak langsung membuat suara itu juga terdengar oleh Ardian.
Melihat ekspresi Ghea dengan mata membulatnya, Valdy seakan tahu diri. Ia keluar dari kamar Kiana dan menutup pintu secara perlahan.
"Papa denger tadi ada suara cowok."
"Ya namanya mall, pasti banyak orang lah. Ini Mama udah di tempat sepi. Sekitaran toilet lah."
"Ma!"
"Iya, Pa?"
"Perasaan Papa nggak enak. Mama pulang aja ya. Beneran ini, Papa nggak becanda."
"I-iya, Pa. Kalo gitu udah dulu ya, Pa. Bye."
"Bye, Sayang."
Selaras dengan diakhirinya sambungan telepon Ardian, Valdy pun masuk ke dalam kamar dan memberitahu bahwa David, Leo, dan April akan segera menuju apartemen Kiana. Ghea tidak merespons dan hanya duduk di tepi tempat tidur dengan menundukkan kepala, serta mata terpejam.
.
.
.
.
.
.
Di hadapan Ghea kini telah duduk tiga orang yang memandangnya asing, sedangkan Valdy berdiri tak jauh dari ruang itu sambil menyandar pada dinding dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya tetap memaku pada Ghea, Leo, David, dan April.
Ghea duduk di sebelah kiri, sedangkan April sebaliknya. David dan Leo diketahui duduk berdampingan di sofa tengah.
Sang puan mengamati April yang duduk seraya menatap Ghea tajam. Tampak rambut pirangnya tergerai hingga pinggang, kulit putih bersih, dan memiliki landang di atas bibir yang menarik atensi. Sayangnya, Ghea tidak memedulikan hal tersebut. Ia hanya ingin tahu keberadaan aktiva Kiana yang berada di brankas.
"Gue nggak kenal lo, tapi gue kenal Kiana. Gue mau lo jujur sama gue karena semua ini gue lakuin buat Kiana. Dan juga, gue nggak mau basa-basi. Lo udah liat kamarnya, 'kan? Lo pasti juga tau isi brankas itu karena cuma lo satu-satunya yang tau password-nya. Sekarang, kasih tau gue di mana seluruh dokumen-dokumen penting milik Kiana!" ujar Ghea dengan datar pada April.
"Gue nggak ngerti apa yang lo bilang. Dan gue juga nggak tau apa-apa tentang barang Kiana!"
"Lo nggak usah pura-pura bego. Gue tau lo sering pake barang-barang Kiana, 'kan? Contohnya--" mata Ghea menyelidik April sekali lagi dari atas ke bawah, "jam tangan yang lo pake sekarang. Gue tau itu punya Kiana. Why? Karena gue pernah ketemuan sama dia dan dia pake jam tangan itu."
Ya, sang hawa sangat mengenal jam tangan yang melingkar di tangan perempuan berhidung demes tersebut. Berbentuk bulat, berwarna silver, dan memiliki beberapa berlian yang mengitarinya. Ia bahkan masih mengingat bahwa harga jam tangan itu sebesar dua ratus juta rupiah.
Seyakin itu Ghea bahwa April tidak mampu untuk memilikinya, mengingat utang-utang yang April miliki. Meskipun dulu berulang kali Kiana ingin membantu melunasinya, tetapi April menolak dengan dalih bahwa ia akan menggunakan gaji dari Kiana untuk membayarnya. Pada awalnya, ya, mungkin telah lunas beberapa. Akan tetapi, April belum melunasi setengahnya.
Mendengar penuturan Ghea, April berdeham. Ia tampak memegang dan menyembunyikan jam tangan itu dari tatapan seluruh makhluk yang berada dalam ruangan. Perasaan tak nyaman jelas terpampang di wajahnya yang membuat Ghea menaikkan satu sudut bibir.
"So, ada yang mau bicara di mana semua harta milik Kiana? Apa gue harus menyebutkan satu per satu apa saja yang ada di dalam sana?" acap Ghea seraya sesekali pun melirik Leo dan David, lalu berakhir di April.
"Gue-- sorry, gue bener-bener nggak tau apa-apa," ujar laki-laki berkacamata tebal yang dikenal sebagai Leo.
David mengangkat kepala dan menoleh pada Ghea. "Please, kita sama sekali nggak tau apa-apa tentang semua aset Kiana."
"Bo-hong!" hardik Ghea pada pria bertubuh tambun itu, "gue tau lo temenin Kiana beli mobil Porsche sepulangnya dia dari Labuan Bajo."
Ghea kemudian menunjuk Leo. "Dan lo temenin Kiana belanja banyak perhiasan di Litany & Co. Surat-surat dan perhiasan itu ada semua di brankas."
Kedua laki-laki itu seketika tergagap dan melihat Ghea dengan mata terbelalak. David bahkan beberapa kali mengusap tangan yang berkeringat, sedangkan Leo hanya membuang tatapannya ke bawah.
"Di dalam sana ada sertifikat rumah yang sebentar lagi bakalan Kiana tempatin, kotak-kotak perhiasan termasuk cincin pertunangannya, surat-surat kendaraan seperti dua mobil Porsche dan dua Rolls-Royce--"
"Nggak!" April menyela cepat dan memandang Ghea gugup, "Rolls-Royce dan Porsche milik Kiana hanya satu, kotak perhiasannya ada enam."
"Dan salah satu mobil milik Kiana lo pake setiap hari itu, 'kan?"
Deg
April sontak saja terdiam dengan mata berlensa kontak berwarna abu-abu itu melebar. Bulir-bulir peluh dingin mulai menghiasi kening dan filtrum sang hawa yang membuat Ghea tersenyum dalam hati.
Istri Ardian Bratadikara mengembuskan napas pelan, lalu kembali menatap April lebih tegas dari sebelumnya. "Omong-omong, gue nggak nyebutin, lho, berapa banyak kotak perhiasan yang ada di dalam sana. Tapi, omongan lo tepat banget. Iya, jumlahnya segitu. Apa lo pernah ngintip karena lo tau kode keamanannya?
"Oh, atau lo memang buka trus ambil dan lo pamerin ketika lo diundang ke acara-acara tv? Iya?"
Muka April memerah, menatap Ghea dengan geram. Alih-alih mendapatkan respons yang sama, Ghea hanya tersenyum miring.
"Lo nggak tau apa-apa--"
"Bagian mana yang gue nggak tau?" sela Ghea, "tentang lo? Tentang Kiana? Don't underestimate me, Sweetie. Cause I know everything." Ghea memberikan penekanan pada setiap kata dan berucap tenang.
Nampaknya April benar-benar tidak kuat menjadi objek yang dipojokkan dan ditatap seolah ia adalah antagonis paling menjijikkan. Tangan yang semula terkepal kuat itu akhirnya dibuka, lalu perempuan tersebut berdiri dari duduk dengan cepat.
"Denger ya, Ibu Ghea yang terhormat," April menunjuk-nunjuk ke arah wajah Ghea, "gue yang selama ini mengurus Kiana di rumah sakit. Duit-duit dia tidak akan bisa nge-cover seluruh biaya yang besar. So, gue harus pake cara lain untuk membayar itu."
"Dengan lo ngambil semua dia yang punya?"
"Gue nggak ngambil, gue cuma ngeamanin aja."
Ghea menggebrak meja membuat Valdy, David, dan Leo terkesiap. Perempuan itu bangkit dan menunjuk balik April dengan murka. "Gue nggak mau tau. Gue tunggu lo kembaliin semuanya dan lo harus kasih ke gue secepatnya. Atau, gue bawa ini ke jalur hukum."
"Lo pikir gue takut sama lo? Lo nggak punya alasan yang bisa bikin gue ngasih semuanya ke elo. Dan yang paling penting adalah Kiana mempercayakan gue sepenuhnya untuk megang semua asetnya jika terjadi kejadian seperti sekarang. Sedangkan lo? Apa lo punya bukti lebih kuat untuk ngelawan gue? Nggak, 'kan? Lo tuh bukan siapa-siapanya Kiana dan lo nggak berhak atas apapun yang Kiana punya. Lo dari dulu nggak pernah ada dan berkontribusi di hidup dia. Trus sekarang kenapa gue harus ngasih ke elo harta Kiana? Tau diri, dong!"
"Lo juga bukan keluarga Kiana!"
"Tapi, gue selalu ada buat dia dan gue orang kepercayaannya. Sedangkan lo? Mana?"
"Dasar perempuan sinting!" hardik Ghea.
"What? Bukannya itu Anda ya, Nyonya? Lo tiba-tiba datang dan nuduh gue dengan seenak jidat. Trus mau megang seluruh harta Kiana. Siapa yang sinting sekarang?"
Ghea menengadahkan kedua tangan di samping tubuh. "Gue nggak datang tiba-tiba, gue kenal dekat sama Kiana. Buktinya gue tau semua hal tentang dia."
"Really? Gue juga tau semua, kok, siapa-siapa aja teman Kiana. Dan nggak jarang juga yang ngaku-ngaku kenal Kiana, because she's a really popular artist in this country. Maybe, lo juga salah satu dari perempuan-perempuan gila yang nge-fans sama Kiana dan butuh pengakuan. Who knows?"
April pun tidak ingin memperpanjang perdebatan, lalu ia akan melangkahkan kaki meninggalkan seluruh orang yang berada di ruangan itu. Namun, belum jauh ia pergi, sebuah benda menggelinding ke arah kaki Ghea yang membuat Ghea memanggil April.
Mendengar namanya disebut, derap April pun terhenti dan membalikkan tubuh menuju asal suara.
"You dropped this!" acap Ghea seraya mengangkat sebuah cincin solitaire, sebuah cincin dengan berhiaskan satu berlian di tengahnya yang ia tahu bahwa harga cincin tersebut tujuh ratus juta rupiah.
Nyatanya, bukan April yang melangkah untuk merenggut cincin itu dari tangan Ghea, tetapi Valdy. Terlihat jelas air muka tajam dan napas yang memburu dari pria yang sedari tadi hanya berdiam diri itu. Tak butuh waktu lama, Valdy pun mengayunkan kaki meninggalkan ruangan tanpa menoleh dan berkata sedikitpun membuat Ghea mengerutkan kening.
Melihat Valdy yang telah menghilang dari pelupuk mata setiap orang, David dan Leo pun pamit undur diri bersama dengan April. Namun, sebelum mereka benar-benar lenyap, David mengatakan pada Ghea bahwa jika puan itu memiliki urusan atau pertanyaan terkait Kiana, David dan Leo bersedia untuk menemui, serta menjelaskan apa yang mereka ketahui.
Hening. Kesenyapan mulai menusuk setiap sudut hingga relung hati. Perempuan itu masih setia bertumpu pada kedua kaki dengan gamang, bersiap menumpahkan seluruh air mata yang sedari tadi ia tahan. Kesunyian yang mendalam dan memori pada perdebatan berhasil merubuhkan kokohnya dinding pertahanan seorang Ghea Aurellia.
Perempuan itu akhirnya meninggalkan apartemen, lantas melewati bangunan-bangunan menjulang memecah langit dan membelah keramaian jalan dengan pandangan kosong. Ia melangkah begitu saja mengikuti ke mana angin dan pikiran membawanya. Bohong jika saat ini ia tidak memikirkan perkataan April yang benar-benar menusuk. Ia ingin berkelit, tetapi bingung harus mengatakan apa. Dirinya mengakui bahwa ia memang tidak pandai bersilat lidah dan terkesan gegabah. Maka dari itu, terkadang Ghea menyesal tidak mempersiapkan semuanya dengan baik untuk melawan.
Kaki sang puan akhirnya tiba di sebuah gerai yang menjual makanan manis. Ia menjatuhkan diri di tempat duduk panjang untuk para antrian pelanggan gerai. Sayangnya, ia tak melihat satu pun orang yang mengantri, sehingga ia langsung mendaratkan bokong tanpa perasaan bersalah.
Ghea memejam sebentar seraya membuang napas dari mulut berulang kali. Akan tetapi, ia tak juga merasa membaik. Saat ia menunduk seraya memijat pelipis dengan satu tangan, tiga tetes darah yang keluar dari hidung yang kemudian mengenai rok yang perempuan itu kenakan.
Dengan tangan bergetar, Ghea mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi seseorang. Ketika akhirnya ia mendengar suara yang mampu menenangkannya, perempuan itu berucap lirih,
"I need you ... right now!"
.
.
.
Terima kasih buat teman-teman yang sudah meluangkan waktu membaca, serta memberikan vote dan komentar hingga chapter ini.
Jika sekiranya ada masukan buat aku terkait cerita ini atau apapun itu, silakan tuliskan lewat komentar, atau dm (twitter/wp) 😊
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top