2. Mencoba Tegar

.
.
.

.

.
.

"Papa, mama kapan bangunnya? Adek kangen," rengek Agatha Bradikara atau yang kerap dipanggil Tata.

Anak kecil berusia 3 tahun yang dalam beberapa bulan lagi akan bertambah usia itu memeluk lutut Ardian yang sedang duduk di samping ranjang, tepat di sisi tubuh lemah sang istri.

Netra berbinar Tata ketika menatap Ghea benar-benar meluluhlantakkan pertahanan laki-laki tersebut. Dengan gerak cepat, diraihnya tubuh mungil itu dan mendekapnya penuh kehangatan. Netra keduanya kembali terpaku pada Ghea dengan kepala Tata yang disandarkan pada dada bidang Ardian.

"Coba Adek manggil mama. Siapa tau mama denger, trus mau bangun, Nak." Ardian membelai puncak kepala anak bungsunya itu dengan perlahan.

Mendengar perkataan sang ayah, tangan kiri Tata tergerak menuju tangan dingin Ghea dan meletakkannya tepat di punggung. "Pa, tangan mama dingin banget," lapor anak kecil itu.

"Iya, Dek."

"Mungkin karena mama bobo mulu ya?"

Alih-alih membalas pertanyaan si kecil, Ardian lebih memilih untuk mengecup kepala sang anak beberapa kali.

Tata kemudian berujar lirih dengan ekspresi kosong, "Mama, ayo bangun! Mama...."

Rasanya perih ketika setiap kata 'Mama' mengalun deras dari bibir kecil Tata, membuat Ardian hanya mampu mengatupkan rahang. Meskipun ia memberitahu Tata berulang kali jika sang ibu berada dalam fase tertidur lelap dan akan sulit untuk dibangunkan, Tata tetap saja menolak untuk membiarkan Ghea tertidur lama. Jika gadis kecil itu memiliki kesempatan mengunjungi Ghea seperti hari ini, ia akan naik ke tempat tidur dan menggoyangkan tubuh sang ibu dengan seluruh kekuatan yang ia punya. Terkadang, Ardian harus membawa anak itu keluar dari ruangan jika tingkah lakunya sudah keterlaluan, seperti berteriak keras yang dapat memengkakkan telinga atau mencubit tangan Ghea hingga biru.

Namun, tantrum Tata itu tidak terlihat hari ini. Gadis kecil tersebut tampak tenang sesaat setelah memasuki ruangan. Jujur saja, Ardian sedikit terkejut dibuatnya. Mungkin anak itu dilanda rasa letih setelah bermain di taman tadi pagi bersama adik dari Ardian, Risa. Atau ... dia perlahan menyerah membangunkan sang ibu? Entahlah.

Rumah Sakit Pelita memiliki akses tersendiri bagi para keluarga untuk mencapai lantai khusus ini tanpa harus melewati koridor-koridor kelas lainnya. Lantai ini biasa disebut dengan Lotus. Salah satu peraturannya, yaitu memperbolehkan anak-anak di bawah 5 tahun untuk mengunjungi keluarga yang sedang dirawat. Karena peraturan ini, Ardian tidak perlu berpikir panjang membawa istrinya ke rumah sakit ini. Ia ingin agar anak-anak dapat bermain ataupun berbagi cerita dengan sang ibu. Mungkin dengan seperti itu, Ghea dapat mendengar dan merespons walau hanya sekilas.

Tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

Cklek...

"Papa, Kakak pulang!" ucap El setelah muncul dari ambang pintu bersama seorang pemuda yang tak lain adalah sahabat sekaligus teman sekantor Ardian, Fahreza.

El meletakkan ransel di atas meja, lalu berlari memeluk dan mencium pipi Ardian. Tidak lupa ia menanggalkan sepatu, lantas naik ke tempat tidur Ghea dengan gerakan lincah dan memberikan kecupan di pipi. "Mama, Kakak udah pulang," bisiknya.

"Tadi Kakak ngapain aja di sekolah?" tanya Ardian.

Pertanyaan itu membuat atensi anak sulung tersebut kembali pada Ardian. Terlihat cekatan ketika turun dari tempat tidur dan berlari menuju ransel, merogoh bagian paling terdalam untuk mencari sesuatu yang akan ditunjukkan pada papa, mama, dan adik perempuannya.

Setelah mendapatkannya, El berlari kecil menuju Ardian dan memperlihatkan gambar sebuah keluarga lengkap. Anak itu mendeskripsikan dengan lancar sosok-sosok yang ada di dalam gambar tersebut, di mana Ardian dan Ghea duduk di taman sambil mengamati El dan Tata yang sedang bermain.

"Jadi, Kakak tadi belajar menggambar?" tanya Ardian yang diberi anggukan ringan oleh El. "Gambar Kakak bagus."

"Makasih ya, Papa. Oh iya, Papa bawain mainan Kakak?"

"Bawa dong. Coba Kakak cari di tas kecil di samping sofa itu."

Keduanya sempat melirik pada sofa, sebelum akhirnya El mengangguk dan berujar, "Makasih lagi ya, Papa."

"Iya, Sayang. Sana maen!" Tanpa menunggu lama lagi, anak laki-laki itu pun beranjak meninggalkan Ardian, Tata, dan Reza.

"Papa...." Si kecil Tata nampaknya mulai mengantuk, terlihat dari matanya yang sayu dengan sesekali memejam. Ia juga menguap lebar yang membuat sang ayah tersenyum dibuatnya.

Mendengar pinta putri kecil, Ardian pun menggendong dan menepuk-nepuk punggung anak itu agar cepat terlelap seraya bangkit dari duduk dan mondar-mandir di dalam ruangan.

"Udah ada respons, Ar?" tanya Reza setelah meneguk habis soda yang ia beli di kantin rumah sakit. Pemuda itu nampak duduk di sofa dengan sesekali melirik El, menjaga anak itu agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Pernyataan Reza sontak membuat Ardian yang sebelumnya menancapkan tatapan di jendela pun menoleh pada sosok berambut cepak tersebut. "Belum ada, Za."

"Sama sekali?"

"Sama sekali!"

Reza pun mendengkus pelan setelah mendapatkan jawaban yang tidak memuaskannya itu. "Kata dokter gimana, sih?"

Ardian tampak menghela napas sebentar, lalu berujar pelan, "Benturan di kepalanya keras, Za."

"Separah itu?"

Ardian mengangguk sebagai balasannya.

"Jadi, planning lo sekarang gimana? Kalo menurut gue, sih, anak-anak dititipin aja di rumah nyokap lo, supaya lo bisa istirahat bentaran sambil ngejagain Ghea di sini," saran Reza.

"Udah, tapi ya mau gimana lagi?"

Ardian kembali menggerakkan kepala naik-turun, sependapat dengan saran Reza. Dan hal itu sebenarnya telah ia lakukan di hari pertama Ghea masuk rumah sakit.

Di hari itu, Ardian menitipkan El dan Tata pada orang tuanya. Namun, baru sehari mereka ditinggalkan, Tata mendadak demam tinggi dan terus meronta untuk dipertemukan dengan sang ibu. Tak cukup sampai di situ, El juga melakukan hal yang sama, meminta pada Ardian untuk mengajaknya pulang saja dibandingkan harus bermalam di rumah nenek-kakeknya. Jujur, ini membuat Ardian dilanda kebingungan hebat. Pasalnya, mereka berdua tak pernah seperti itu ketika keluarga kecil Ardian menginap di sana.

Karena hal tersebut, Ardian pun akhirnya mengajak kedua anaknya untuk menemani Ghea di rumah sakit. Terkadang, ia akan membawa anak-anaknya pulang ke rumah terlebih dahulu, lalu kembali beberapa jam kemudian.

Ardian menyerahkan seluruh tugas perusahaan pada beberapa petinggi, termasuk ke Reza untuk sementara waktu hingga ia dapat mengendalikan situasi rumit ini.

Semua itu Ardian jelaskan pada Reza yang baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah sakit setelah enam hari Ghea dirawat, hingga akhirnya laki-laki itu paham betapa repotnya Ardian saat ini.

"Lo mau nyewa pengasuh, nggak?" tanya Reza.

"Nggak usah, Za. Soalnya adek gue sepulang dari kampus bakalan langsung ke sini, kok." Ardian menolak dengan halus. "Mulai sekarang katanya dia yang mau bantuin gue."

"Siapa? Risa? Lah kan dia udah balik tadi. Ah, atau ... Aini?"

"Ya, siapa lagi adek gue yang masih kuliah?"

Cklek...

"Tante Ainiiiii," panggil El yang membuat Ardian dan Reza menoleh ke arah pintu. "Ada Om Abiyan juga!"

"Nah kan, panjang umur anaknya," seloroh Reza.

Sesosok perempuan dan laki-laki yang mengenakan pakaian kasual pun masuk ke kamar dengan wajah cerah, terutama Aini --Adik Ardian. Perempuan itu sebenarnya tidak tega melihat kakak iparnya tergolek lemah di tempat tidur. Akan tetapi, demi Ardian dan keponakannya, Aini pun mencoba tetap tegar. Dan ia yakin, ini juga yang dilakukan oleh sang kakak selama ini.

El menghampiri Aini yang membuat hawa tersebut refleks menundukkan tubuhnya. Anak sulung Ardian memberikan kecupan di pipi perempuan berambut pendek tersebut. "Tante liat-liat, Kakak El jadi tambah cakep, deh," acap Aini sambil mencubit pipi gempal El.

"Makasih, Tante...."

Anak laki-laki itu bergerak menuju Abiyan, kekasih dari Aini yang berdiri tepat di belakang sang hawa. Laki-laki yang sering dipanggil Abi itu itu menunduk dan menengadahkan tangannya, bersiap menerima tepukan dari tangan mungil El.

"Bagaimana kabar Kakak?" tanyanya.

El tersenyum lebar. "Baik, Om."

"Jangan panggil Om, dong. Panggil Kakak."

Mendengar itu, Aini menyela, "Dih, nggak sadar diri!"

Abi pun menegakkan kembali punggung dan menatap Aini dengan malas. "Justru karena aku sadar diri, makanya harus dipanggil kakak. Kan masih muda," ujar Abi sambil mengedipkan mata kiri.

Aini mendengkus pelan, tak ingin berdebat dengan laki-laki jangkung berkulit putih tersebut. "Serahlah!" acuhnya.

Sementara Abi bergabung dengan Reza dan El, Aini memilih untuk mendekat ke arah Ardian dan menengadahkan kedua tangannya, bermaksud untuk meminta Tata.

"Kakak bisa, kok. Dah, nggak papa," tolak Ardian.

"Bukan bisa atau nggak, Kak. Biar aku gendong Tata supaya Kakak bisa makan siang dulu. Sana, gih!" suruh Aini dengan dagu ke arah pintu.

"Oh, iya."

Perlahan, Ardian menyerahkan Tata pada Aini. Ada sedikit gerakan menggeliat dari Tata membuat Aini terdiam sesaat. Setelah tubuh gadis kecil itu ia terima dengan sempurna, Aini pun berkeliling ruang dan menepuk-nepuk ringan punggung Tata agar anak itu tetap nyaman dalam gendongan sang puan. Persis seperti yang dilakukan oleh Ardian beberapa menit yang lalu.

Saat akan melangkah meninggalkan kamar bersama Reza, langkah Ardian terhenti tatkala mendengar Tata berujar, "Mama ... mama...." Sepertinya sedang mengigau, tapi tidak juga karena matanya terbuka sedikit.

"Mama lagi bobo, Sayang. Nanti Adek bangunin mama lagi ya. Sekarang, biarin mama bobo bentaran aja," ucap Aini, menenangkan.

"Nggak papa Kakak tinggal?" tanya Ardian yang masih berdiri di ambang pintu.

Aini tersenyum tipis. "Nggak papa. Buruan sana, Kak!" usir perempuan tersebut seraya menggerakkan tangan.

.

.

Sementara itu, jiwa Ghea yang duduk di tempat tidur pun mengamati Tata. Anak kecil tersebut mulai tak nyaman dalam gendongan Aini dan memberontak perlahan. Nampaknya ia telah menyadari jika yang menggendongnya saat ini bukanlah sang ayah.

Tata akhirnya menangis keras membuat Ghea pun bangkit, lalu berdiri di belakang Aini dan memperhatikan Tata yang berada di bahu adik iparnya tersebut.

Ghea menaikkan jari di depan mulut. Seketika, Tata pun terdiam. "Adek mau apa, Nak? Kalo butuh apa-apa, minta sama Tante Aini atau Papa ya," kata Ghea lembut.

Tampaknya Tata melihat sosok ibunya itu. Sang anak menjulurkan tangan pada pipi Ghea, tapi ternyata tak tergapai. Tangan mungil itu justru melewati pipi Ghea yang membuat Tata mengerutkan kening.

"Adek mau apa?" ulang Ghea.

"A-adek ... Adek mau bobo sama Mama," ujarnya perlahan di sela-sela tangis.

"Ayo, minta sama Tante Aini. Bilang kalo Adek mau bobo sama Mama di tempat tidur."

Tata pun memutar tubuh, lalu berkata, "Tante Ni, Adek mau bobo sama mama di sana," tunjuknya ke arah tempat tidur.

"Ohhh Adek mau bobo di sana. Yaudah...."

Aini kemudian meletakkan Tata di tempat tidur. Sementara anak itu memeluk tubuh Ghea, Aini pun duduk di kursi dan kembali menepuk punggung Tata dengan penuh kasih sayang. Nampaknya Aini mulai mengantuk juga, terlihat dari seringnya perempuan tersebut menguap lebar.

"Adek, Tante Aini jadi ngantuk juga, nih," monolog perempuan tersebut yang tak diindahkan sama sekali oleh Tata. Anak itu telah memejam dan masuk ke alam mimpi hanya dalam hitungan detik setelah dibaringkan di samping tubuh Ghea.

"Ih ... buset. Gue kok ngantuk banget ya?"

Aini menguap sebentar dan sesaat kemudian ia jatuh tertidur di kursi dengan kepala berada di tempat tidur.

Ghea tersenyum melihat itu, mengingat dialah yang membuat Aini merasakan kantuk tak terkira. Bukan tanpa alasan dia melakukannya. Kantung mata Aini mulai membesar dan tubuh lemah yang dapat ditangkap oleh indra penglihatannya, membuat Ghea melakukan hal tersebut.

"Tidur yang nyenyak ya, adek-adek," ujar Ghea, lalu melangkah keluar dari kamar dengan perlahan.

Ghea merasa sangat lega setelah bertemu Kiana beberapa hari yang lalu, membuat perasaannya sudah tak kesepian lagi.

Akan tetapi, sosok hitam layaknya asap yang selalu menunggu di depan pintu luar kamar, mengingatkan Ghea untuk secepatnya kembali dan menuntaskan sesuatu yang tak dapat dideskripsikan.

Sesuatu yang membuat Ghea kembali!

Untung saja sosok itu tak terlihat hari ini, sehingga Ghea dapat melenggang begitu saja meninggalkan kamarnya.

Perempuan itu kemudian mengayunkan kaki mengitari koridor Lotus hingga akhirnya dia tiba di ujung, tempat di mana terdapat beberapa sofa single yang menghadap langsung ke jendela besar, memperlihatkan pemandangan bangunan-bangunan tinggi di luar sana.

Perempuan tersebut menoleh ke arah tempat itu dan mendapati Ardian serta Reza sedang duduk berhadapan. Ardian tampak menunduk dengan kedua lutut menopang siku. Tangan pria tersebut mengusap wajah dan kepala dengan kasar, sehingga rambutnya terlihat acak-acakan.

Saat Ardian mengangkat wajah menuju Reza, Ghea dapat menangkap kekacauan mental dan emosional yang dirasakan oleh suaminya. Wajah memerah dan mata sembap oleh air mata membuat dada Ghea sesak. Ia tak pernah melihat Ardian sehancur itu sebelumnya dan ini berhasil membuat Ghea dirundung perasaan sedih.

"Gue nggak bisa tanpa Ghea. Gue nggak bisa...."

Mendengar penuturan Ardian, Ghea tersentak. Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang menusuk hati hingga terasa sangat menyakitkan. Layaknya rumah sakit ini kehilangan oksigen hingga ia bernapas dengan susah payah. Dan karena tak mampu menahan itu semua, Ghea pun menitikan air mata yang memberikan jejak di pipi.

"Maafin aku, Mas...."

.
.
.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top