19. Tak Ada Jawaban

.
.
.

Rasa kalut Ghea seolah tak terbendung lagi sesudah melihat gambar yang ia temukan semalam, sehingga ia bermaksud akan menanyakannya pada Ardian yang kini terlihat fokus ke jalan menuju Primrose, setelah sebelumnya telah mengantar El ke sekolah pagi ini.

Suaminya itu tidak terlihat seperti biasanya yang selalu tampil necis dengan setelan jas, dasi berwarna senada, dan jam tangan seharga mobil. Rambut klimis dan aroma wewangian segar yang keluar dari tubuh terkadang membuat sang hawa sulit untuk berpaling. Tidak, Ardian tak menyemprotkan parfum Tom Ford Grey Vetiver seperti yang digunakan oleh artis kenamaan Hugh Jackman. Akan tetapi, laki-laki itu memang menjaga kebersihan dengan rajin membasuh tubuh.

Ghea memperhatikan sang suami yang tampil dengan kaus putih, celana jeans belel, dan bersandal jepit seperti yang digunakan oleh Bi Sum ketika menuju pasar. Sayangnya, sesederhana apapun pakaian yang dikenakan oleh sang adam tetap saja tak menghilangkan aura pemimpin tegas, kuat, dan penuh kharisma.

"Nanti kalo udah selesai, mau dijemput, nggak?" tanya laki-laki itu sambil sesekali melihat ke arah spion.

Ghea menoleh cepat. "Nggak, deh, Pa. Mama mau jalan-jalan dulu."

"Mau Papa temenin?"

"Nggak usah. Lagian Mama cuma sebentar, kok. Papa istirahat aja di rumah," tolak Ghea, lembut.

"Oke, deh."

Cukup lama tak ada percakapan di antara mereka, hingga suasana kembali menjadi dingin. Ghea sebenarnya masih ragu. Akan tetapi, jika ia tak menanyakannya, maka rasa penasaran dan pertanyaan tanpa jawaban akan semakin menumpuk dalam kepala. Rasanya Ghea tidak mau menambah beban pikiran lagi. Sudah terlalu banyak kepingan-kepingan ia temukan, namun tak satupun yang terungkap dan membuatnya puas.

"Oh iya, Pa. Semalam kan Mama nemuin foto bayi yang di bagian belakangnya ada tulisan 'Bratadikara, Los Angeles, California, US'. Itu ... bayi siapa?" Ghea bertanya dengan penuh kehati-hatian.

"Foto yang mana?"

"Yang ada di ruang kerja papa."

"Ada siapa aja di foto itu? Ada susternya juga, nggak?"

Ghea mengangguk cepat. "Iya."

"Trus ada siapa lagi?"

Perempuan itu dapat menangkap rahang mendadak mengeras, sorot mata tajam, dan genggaman pada stir yang menguat hingga urat-urat tangan suaminya terlihat. Ardian nampak berkali-kali membuang tatapan dari Ghea --selain fokus pada jalan, tentunya.

"Udah, itu aja."

"Ohhh."

Cuma itu?

"Emangnya ... kita punya anak yang lain ya, Pa?" lirih Ghea.

Ardian membalasnya dengan memberikan tersenyum tipis. "Mama mau punya anak lagi?"

"Ih, Papa. Ditanya apa, malah balik nanya. Mama serius, lho." Ghea mencebik.

"Papa juga serius. Kalo mau nambah adek buat El, Papa mah hayuk aja. Tapi, Mama emang udah siap nambah anak lagi?"

Ghea mengembuskan napas kuat-kuat, hingga terdengar jelas di rungu Ardian. Perempuan itu membuang tatapan keluar jendela dan melipat kedua tangan di dada. Ia tidak ingin melanjutkan pembahasan tersebut jika Ardian memang tidak ingin menjawabnya dan mungkin lebih baik dengan mengganti topik lain.

"Itu anak sepupu papa. Tau Kak Marsell, 'kan? Yang tinggal di Amerika. Nah, itu foto anaknya," ucap Ardian tiba-tiba, seolah mampu membaca pikiran sang istri.

"Kok ada di rumah?" Ghea masih setia dengan menatap jalan, bangunan, dan kendaraan di luar sana tanpa perlu repot memandang Ardian.

Sebenarnya Ghea pernah mendengar nama Marsell dari Ardian, namun hanya sepintas lalu seperti saat ini. Bagi Ghea, Ardian tidak terlalu akrab dengan Marsell. Bukan hanya karena jarak tempat tinggal yang terlampau jauh sehingga mereka jarang bertemu, tetapi juga Ardian tidak menyukai perangai tak beraturan dari Marsell karena terlalu terpengaruh budaya sana.

"Nggak sengaja keikut waktu album keluarga kita ada di rumah mami. Nggak tau juga, sih, itu mami dapat dari mana."

"Ohhh gitu ...."

Bisakah Ghea percaya kali ini? Jujur, jawaban Ardian tidak memberikan kepuasan di hati Ghea. Entah mengapa perempuan itu sulit untuk menerima, padahal mungkin Ardian memang mengatakan yang sebenarnya.

Mungkin memang ada baiknya setelah dari Primrose, sang hawa langsung bergerak menuju rumah sakit untuk meminta penjelasan Ghea yang asli terkait hal ini.

.
.
.

.
.
.

Derap demi derap terdengar membela koridor rumah sakit dengan cepat. Ghea tampak tak acuh ketika petugas keamanan dan medis beberapa kali menegurnya karena berlari kecil. Telinga Ghea memang seakan tertutup oleh kegundahan hati yang datang mendadak dan menghantuinya semalam suntuk. Memang sulit dipercaya bahwa wanita itu tidak dapat terlelap karena terus memikirkannya.

Saat kenop pintu kamar Kiana diputar, Ghea tersentak dan mundur selangkah ketika menemukan Valdy telah membungkuk ke arah tubuh Kiana, memberikan tunangannya itu kecupan singkat di kening.

Sadar jika seseorang berhasil mengganggu waktunya dan masih setia terpaku di pintu, Valdy pun memutar tubuh untuk mengamati sosok yang datang secara mendadak tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Suatu kebiasaan buruk. Namun, sedetik kemudian senyum laki-laki itu terbit ketika mendapati Ghea di sana.

"So-Sorry, gue nggak bermaksud ganggu lo," ujar Ghea, sedikit tak enak hati.

"It's not a big deal."

"Kalo begitu, gue nunggu di luar aja."

Valdy langsung menegakkan punggung dan berujar, "Nggak usah, gue udah mau balik, kok."

"Really?"

"Yeah ...."

Valdy berjalan menuju Ghea, lalu menepuk bahu perempuan itu ringan. Ghea pun membalasnya dengan anggukan samar yang mungkin saja tak terlihat oleh Valdy.

Setelah punggung tegap itu menghilang dibalik pintu: Laras dan Ghea keluar dari kamar kecil, sedangkan Rara membuka pintu lemari. Sang tamu tidak tahu jika ketiganya mulai sembunyi ketika bertemu Valdy. Entah itu hanya berlaku pada Valdy atau tamu yang lainnya, kecuali ia sendiri tentunya.

"Udah beneran pergi si Mas Ganteng?" tanya Laras.

"Iya, lo nggak liat apa orangnya udah keluar?" balas sang puan yang menggunakan tubuh Ghea saat ini.

"Galak amat, Sist," balas Rara yang langsung diberi anggukan oleh Laras dan Ghea.

"Kiana ke sini lagi. Kangen ya pengen ngobrol?" sapa Ghea, menepuk-nepuk sofa agar Kiana dapat duduk di sampingnya. Sesaat setelah bokong Kiana mendapat sempurna di sana, Ghea kembali melanjutkan, "Ada apa, Na?"

"I-ini Mbak ... apa namanya? Ehm, aku pengen nanya tentang foto yang aku dapat dari ruang kerja Mas Ardian."

"Foto apa?"

Kiana dengan segera merogoh saku tas paling terdalam, lalu mengeluarkannya dan memberikan pada Ghea yang telah menengadahkan tangan kanan.

"Mbak tau ini anak siapa? Atau ... mungkin ini Tata atau El?"

Ghea menatap foto itu tanpa ekspresi pada awalnya, namun dengan cepat berubah menjadi begitu menghanyutkan. Menatap seolah barang digenggamannya adalah sebuah duka yang terpatri abadi dalam pikiran. Berulang kali ia mengusap foto tersebut dengan jari telunjuk seakan-akan tubuh sang bayi mampu ia rasakan kehadirannya.

Melihat hal tersebut, Kiana mengernyit. Namun, ia membiarkan Ghea larut begitu saja dan tak menginterupsi. Perempuan itu paham jika mungkin Ghea sangat rindu pada anak-anaknya yang sudah lama tak ia lihat, jika mungkin benar gambar tersebut adalah El atau Tata.

"Kata Mas Ardian apa?"

"Itu anak Kak Marsell!"

Ghea sontak mengangkat kepala dan menatap teduh pada Kiana. Dengan menarik sudut bibir ke atas tipis-tipis, Ghea berucap, "Kalo begitu, ini memang anak Kak Marsell."

"Mbak, aku nggak begitu bodoh untuk percaya setelah ngeliat ekspresi Mbak tadi. Dan kenapa juga itu ada di ruang kerja Mas Ardian?" Kiana masih bersikeras dengan pendiriannya.

"Kiana, kalo memang Mas Ardian bilang seperti itu ya berarti emang kenyataannya begitu. Nggak ada hal lain lagi," tutur Ghea lemah lembut.

Kiana menggeleng pelan dan menatap Ghea lamat.

Belum sempat Kiana berucap, seseorang kembali membuka pintu dengan pelan. Sontak saja, seluruh tatapan memaku pada laki-laki di depan sana yang tak lain adalah Hazel. Laki-laki itu tersenyum dan menyapa Kiana singkat, lalu berpaling pada Ghea, Laras, dan Rara. Jujur, Kiana terperangah mendengar sapaan Hazel pada ketiga sosok bebas itu.

"Lo bisa liat mereka?" tanya Kiana.

"Yaiyalah, gue kan bukan manusia."

Ah, benar juga!

"Tumben lo ke sini," ucap Hazel seraya menjatuhkan diri di sofa tepat di depan Kiana dan Ghea, mengusir Rara dan Laras yang sebelumnya berdiam diri di sana.

"Gue cuma mau nanya tentang ini." Kiana menyerahkan gambar yang semula berada di tangan Ghea ke Hazel.

Laki-laki itu seketika menopang kedua siku pada lutut dan punggungnya maju menghadap Kiana. Berulang kali Hazel menggoyangkan gambar di tangan kirinya, lalu memandang Kiana dengan seringai menyebalkan.

"Ini anak lo!" Putus Hazel kemudian.

"Lo jangan becanda! Maksud lo, anak gue sebenarnya tiga gitu?" acap Kiana tegas.

Perempuan itu kembali menoleh pada Ghea dan menggoyang-goyangkan bahu sang puan. "Mbak, itu beneran? Jadi sebenarnya anak Mbak tuh ada tiga? Trus kalo emang iya, dia sekarang di mana?"

Alih-alih menjawab, Ghea hanya menunduk dan mengembuskan napas pelan. Matanya tiba-tiba kembali menghadap Hazel seolah meminta pertolongan. Tentu saja, Hazel sangat paham akan hal itu.

"Percuma lo nanya Ghea. Dia bahkan nggak tau!"

"Maksud lo?"

Sang adam langsung menepuk kedua paha, tak sabaran dan mungkin sedikit gemas dengan Ghea yang terkesan menutup-nutupi.

"Lo dan Ghea sama-sama mengalami kecelakaan, berakhir pada benturan yang keras. Tapi, dia lebih parah dari lo, Kiana. Perempuan ini--" Hazel menunjuk tepat di wajah Ghea, "udah nggak inget apa-apa, selain keluarganya. Dia udah nggak punya memori sebanyak dulu. Jadi, percuma kalo lo nanya-nanya dia. Yang ada, lo tambah bingung sendiri."

"Beneran, Mbak?" tanya Kiana dengan manik yang membulat sempurna.

"Iya, aku cuma tau muka Mas Ardian, El, Tata ... sekarang aku bahkan nggak bisa ingat kapan aku ngelahirin anak aku, kebiasaan mereka, atau apapun itu. Terkadang memang aku ingat sedikit-sedikit tentang kejadian lama, tapi tidak sedalam itu lagi. Ah, aku juga ingat satu nama sampai sekarang."

"Siapa itu?"

"Kiana Ivanka Hadi." Ghea tiba-tiba memperlihatkan cengiran polos yang malah membuat Kiana memutar matanya malas.

"Aku nggak lagi becanda, lho, Mbak ...."

"Mbak juga nggak becanda."

"So, nggak ada yang mau jelasin tentang bayi ini?" Pandangan Kiana mengedar pada Hazel, Ghea, Laras, dan Rara. Sayangnya, keempat makhluk itu hanya kompak mengedikkan bahu. "Oke, oke. Aku bakalan nanya langsung ke mami atau papi aja. Mungkin aku bisa dapat jawaban dari mereka."

Benar, mungkin memang Kiana tak akan mendapatkan jawaban apapun terkait foto bayi tersebut, perlakuan kasar yang diterima oleh El, kesibukannya hingga melupakan Ardian, dan seluruh memori lainnya pada Ghea yang kini memang terlihat lemah.

Ya, Kiana baru tersadar jika Ghea memiliki lingkaran hitam di bawah mata dan kuku-kuku jari juga menampakkan warna gelap.

Hah, Kiana benar-benar buntu sekarang!

Sadar akan kebingungan Kiana, Hazel mencoba memberitahu perempuan itu bahwa ia akan selalu membantu sebisa mungkin. Sayangnya, ada beberapa hal yang menuntut laki-laki itu untuk terdiam karena ternyata dia dan Ghea juga memiliki sebuah kesepakatan. Sang adam tak dapat memberitahu Kiana tentang kesepakatan itu, dan perempuan tersebut tak masalah sama sekali. Namun, Hazel mengungkapkan bahwa akan sangat baik jika orang-orang terdekat dapat memberitahu Kiana atau puan itu mencari tahu sendiri. Tentunya dalam jangka waktu tertentu.

"Kenapa harus pake jangka waktu segala?" Kiana memandang Hazel dengan alis yang menyatu.

"Lo mau pake tubuh Ghea selama-lamanya? Pasti nggak, dong. Dan emang lo nggak bisa pake tubuh itu lama, soalnya tubuh Ghea udah mulai melemah. Mungkin sekarang lo belum ngerasain itu, tapi nggak lama lagi lo akan tau rasanya gimana," jelas Hazel yang membuat Kiana seketika mengatupkan rahang.

"Berarti gue harus gerak cepat?"

"Exactly!"

"Kalo gitu, kasih tau gue apa yang harus gue lakuin sekarang?"

Hazel tampak memandang Kiana lekat. "Lo pernah kembali ke apartemen lo, 'kan?"

"Yup."

"Dan lo nggak periksa brankas lo sama sekali?"

Ah, sial!

Mata Kiana terbelalak sekali lagi. Ia ingin mengeluarkan kata-kata, namun tidak bisa. Perempuan itu mati kutu dengan pertanyaan singkat Hazel dan merutuki kebodohannya karena tak memeriksa apapun, selain hanya bersantai dan memikirkan suami serta anak-anak yang jauh dari dirinya. Bagaimana mungkin perempuan itu tidak sadar akan sekelilingnya yang juga butuh untuk diperhatikan?

Bodoh, bodoh, bodoh.

"Sekarang yang lo lakuin adalah amanin aset-aset lo, Kiana. Kalo memang itu masih berada di tempatnya seperti semula."

Seharusnya memang masih berada di sana, bukan?

Kecuali....

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top