18. Sesuatu Yang Baru

.
.
.

"Satu dua tiga ...."

Ghea menggendong Tata keluar dari bathtub, lalu membalutnya dengan handuk berwarna merah muda kesayangan sang anak. Perempuan itu tampak telaten mengurus Tata yang terkadang rewel dan masih ingin bermain air. Tentu saja ini dapat dimaklumi, siapa juga yang tidak senang bermain air?

Sembari memakaikan baju pada Tata, Ghea berulang kali memanggil asisten rumah tangga yang bertugas pada hari itu. Tak lama kemudian, Lita datang dengan rambut kuncir andalannya dan senyum simpul.

"Saya, Bu?"

"Iya, tolong bersihin maenan adek yang di depan ruang tv sama kamar saya ya, Ta. Sekalian kasih tau Bi Sum, ayamnya biar saya yang goreng aja. Oh iya, Fika mana?"

"Ada di taman depan, Bu."

"Minta tolong kasih tau dia untuk temani adek di sini ya, temenin maen di kamar ini aja."

"Iya, Bu."

"Kakak El udah pulang, belum?"

"Belum nyampe rumah, Bu. Mungkin bentar lagi."

Ghea mengangguk dan mempersilakan Lita untuk kembali menjalankan tugas-tugasnya.

Tak butuh waktu lama, Fika pun datang ke kamar Tata dan mulai menemani anak kecil itu menggambar. Sementara itu, Ghea melangkah keluar kamar ketika mendengar kata 'Mama' mengalun deras dari mulut kecil El. Nampaknya, anak itu kebingungan sendiri karena tak menemukan sang ibu di berbagai tempat.

Setelah suara El menghilang, Ghea bergegas menuju anak laki-laki tersebut. Sebenarnya, tidak terlalu sulit mencari keberadaan El di rumah sebesar ini karena sudah dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan langsung menuju kamarnya. Telah menjadi hal biasa ketika tas, sepatu, dan seragam El tergeletak di sembarang tempat sesampainya di ruangan pribadi sepulang sekolah. Terlebih, sosok kecil itu kini terlihat lihai menarikan jemari pada mouse dan mata bergerak cepat mengikuti karakter yang berada di dalam layar.

"Kak?"

"Iya, Ma?" jawab El tanpa melihat Ghea yang sedang berdiri di depan pintu dengan melipat kedua tangan di dada.

"Ditunda yuk mainnya. Kakak mandi dulu, gih!"

"Bentar, Ma. Bentar lagi kelar. Lima menit, deh, lima menit."

"Kakak, ayo dong. Nggak lama lagi Papa sampe, tuh."

Mendengar penuturan Ghea yang menyebut bahwa sebentar lagi Ardian akan tiba: El pun mematikan berbagai perangkat bermain gim, mengambil handuk, lalu melangkah menuju kamar mandi. Sementara Ghea sendiri memilihkan pakaian untuk sang putra.

Setelah semuanya telah siap, sekitar lima belas menit kemudian sebuah mobil pun terdengar memasuki pekarangan rumah. Ghea dengan langkah cepat menuju kamar Tata dan menggendongnya ke luar. Tak lupa pula menggandeng tangan El dan berjalan bersama menuju pintu utama.

"Papaaa," teriak antusias El dan Tata seraya berlari menuju Ardian yang telah menanggalkan jas hitam untuk dibawa oleh Pak Rafli. Tak hanya itu, pengemudi tersebut juga terlihat membawa tas kerja sang kepala keluarga.

"Tumben banget Papa disambut kayak gini," acap Ardian dengan senyum lebar.

Tata yang berada digendongan Ardian pun menyela, "Mama tadi suruh mandi cepat-cepat, katanya Papa mau pulang. Jadi, nanti pas Papa nyium Adek, nggak bau. Adek harum nggak, Pa?"

Ardian mencium tubuh putri kecilnya itu. "Eum, harum banget. Jangan-jangan pake sabun Papa."

"Nggak, dong. Kan Adek punya sendiri, gambar princess."

Mendengar itu, Ardian dan Ghea terkekeh singkat.

"Aneh ya, Pa? Soalnya kita nggak pernah kayak gini." El berkata lembut setelah satu kecupan Ardian mendarat di puncak kepalanya.

"Iya, biasanya kalo Papa pulang kalian pada sibuk sendiri. Adek maen boneka, Kakak maen game, Mama malah sibuk di butik. Iya, 'kan?"

Ghea kemudian bergerak perlahan dan melingkari pinggang sang adam seraya berujar lembut, "Emang iya?"

"Iya."

Ardian mengecup kening dan bibir Ghea ringan, lalu menatap bola mata indah itu dengan lekat. "Istri Papa emang paling terbaik. Makasih ya udah disambut. Besok-besok kalo Papa pulang dari perjalanan kantor, bolehlah disambut kayak gini lagi."

Untuk sejenak, Ghea menatap iba Ardian yang kini sedang berbagi senyum dan cerita pada anak-anaknya.

Perempuan itu teringat akan kisah teman-temannya yang telah menikah, rata-rata para ibu jika tidak memiliki pekerjaan di luar, mereka akan mempersiapkan anak-anak mereka untuk menyambut ayah yang pulang kerja. Sehingga setibanya kepala keluarga itu di rumah, mereka bisa langsung bermain dan bersantai. Ghea hanya melakukan hal sederhana itu untuk menyambut sang suami, seharusnya ini bukanlah hal yang aneh. Akan tetapi, melihat respons suami dan anak-anaknya, Ghea merasa janggal. Jujur, jauh di dalam sana, ada sesuatu yang terasa menusuk kalbu Ghea hingga ia tak mampu untuk berucap ketika mendengar perkataan Ardian. Pikirannya pun terbang entah ke mana.

Apakah Ghea memang selalu sibuk hingga tidak pernah memperhatikan suami dan anak-anak? Begitukah?

Terkadang pertanyaan-pertanyaan semacam itu hadir dalam benak. Suatu ketika bisa saja keluar dan dijawab oleh suami dan anak-anak, namun tak jarang juga Ghea lebih memilih untuk memendamnya saja.

Itu terkesan absud jika tiba-tiba ia bertanya tanpa ada basa-basi sebelumnya, 'kan? Ah, Ghea mendadak ingat bagaimana ia bertanya pada beberapa orang tentang pertengkarannya dengan Ardian beberapa waktu lalu. Tentu saja orang-orang menjadi bingung. Bukankah seperti itu?

"Kok Mama bengong? Masuk, yuk!" ajak Ardian yang kini sudah beranjak menuju pintu depan rumah.

"Pa?" panggil Ghea yang membuat langkah Ardian, Tata, dan El terhenti. Mereka sontak berbalik badan pada Ghea yang masih setia berdiri di belakang sana.

"Hm?"

"Mama sama anak-anak bakalan selalu nyambut Papa tanpa Papa bilang, tanpa Papa minta. Yang paling penting ... Papa pulang."

"Kalo Papa nggak pulang?"

Ghea mengangkat sudut bibir. "Mama bakalan kangennn banget."

"Yakin? Kangen Papa atau transferan?" goda Ardian dengan senyum jail.

"Kalo dua-duanya?"

"Ih, Mama gitu, deh." Ardian mengerucutkan bibir dan memandang Ghea dari sudut mata. Sementara yang ditatap hanya tertawa lebar tanpa suara.

Segera, Ghea melangkah dan meraih tangan Ardian yang mengulur ke arahnya. Hingga akhirnya satu tangan itu melingkar di belakang Ghea dan membawa seluruh anggota keluarga untuk masuk di dalam rumah.

.
.
.

.
.
.

Waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Sementara anggota keluarga lain telah terlelap, Ghea justru sibuk dengan komputer dan alat tulis di ruang kerja Ardian. Sesekali perempuan itu menyesap secangkir teh hangat buatan Bi Sum, jemari perempuan itu kembali menari di keyboard. Tatapannya pun sangat fokus, hingga ia sudah melupakan waktu.

Setibanya Ardian sore tadi, laki-laki itu menyempatkan diri untuk mandi dan bermain bersama anak-anak di ruang keluarga, sedangkan Ghea memasak bersama Bi Sum. Hingga waktu makan tiba, seluruh anggota keluarga pun makan malam dengan tenang dan sesekali terdengar celetukan dari Tata yang membuat suasana menjadi hangat. Setelah itu, Ardian terlihat menemani kedua anaknya menonton serial kartun di televisi dengan posisi yang terbilang lucu. Ardian membaringkan tubuh di sofa, sementara Tata menelungkup di atas perutnya dan El memeluk kaki sang ayah.

Menyadari jika anak-anak mulai terlelap, Ghea dan Ardian mengantar mereka ke kamar masing-masing, lalu perempuan tersebut meminta izin pada Ardian untuk menggunakan komputer sang suami. Tak perlu banyak alasan dan penjelasan, sebab Ardian langsung memberikan izin. Oleh karena itu, Ghea berakhir di sini sekarang.

Ghea mulai menggulir layar, membaca artikel, mencari berbagai gambar yang dirasa relevan, dan membuat sketsa dengan pensil di atas kertas HVS yang tak sengaja ia temukan di atas meja kerja.

Cklek...

Tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka dan menampilkan Ardian yang telah mengenakan pakaian tidur berwarna biru tua. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Ghea yang hanya melihat laki-laki itu sekilas, lalu kembali dengan kesibukan.

"Mama lagi buat apa?" tanya Ardian yang kini telah berdiri di belakang Ghea.

"Ini, Mama lagi cari inspirasi, ciye bahasanya," Ghea terkekeh dan ditimpali pula hal yang sama oleh Ardian, "ini, lho, Paaa Mama lagi buat sketsa untuk gaun ulang tahun adek. Sebenarnya udah ada sih di butik, cuma belum kelar dan menurut Mama ada yang harus ditambahin gitu deh. Nah, akhirnya Mama buat tiga sketsa ini."

Ardian mengangkat tiga kertas itu dan menelitinya dengan lekat-lekat.

"Gimana menurut Papa? Cantik yang satu, dua, atau tiga?"

Alih-alih memilih nomor, Ardian hanya berujar, "Gambar Mama berubah ya."

"Eh?"

"Iya, berubah."

"Jadi tambah jelek ya?" Ghea memperlihatkan cengiran seraya memainkan pensil.

"Itu mah relatif--"

"Tapi kalo menurut Papa sendiri?"

"Hmmm...."

Ghea mulai merasa kesal karena Ardian hanya terdiam lama. Perempuan itu tak henti-hentinya mengetuk-ngetukkan pensil di atas meja hingga suaranya terdengar teratur mengikuti detik jam di dinding ruangan.

Sampai pada akhirnya laki-laki itu berucap enteng, "Iya, jelek."

Astaga! Untung suami.

"Papa emang paling nggak romantis, nggak bisa gitu bahagiain istri dikit aja," cibir Ghea yang membuat Ardian sontak tersenyum tipis.

"Padahal Papa setiap hari bahagiain istri, lho."

"Dengan uang? Nggak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang ya Papa." Ghea terlihat gemas sekali.

"Papa nggak bilang dengan uang."

"Ya terus?"

Ardian tiba-tiba saja mendekat, lalu menunduk dan memberikan kecupan di bibir Ghea membuat manik sang hawa membulat sempurna dan rona merah tercetak jelas di pipi. Ah, ini dirasa terlalu mendadak.

"Seperti itu contohnya. Ternyata emang Papa nggak salah, lho, soalnya yang cantik cuma Mama doang."

Terdengar gombalan dari mulut Ardian yang sejujurnya menggelitik perut, sempat sedikit membuat merinding juga di bagian tengkuk dan tangan Ghea.

"Dasar buaya rawa!" acap Ghea seraya mengulum senyum dan mencubit perut kotak-kotak Ardian. "Sadar dong, Pak. Buntut Bapak udah dua. Nggak pantes ngegombal ala-ala remaja gitu."

"Pantes dong. Kan Papa gombalin istri sendiri, bukan istri orang. Lagian kalo ngegombal mah nggak ada hubungannya sama buntut. Ya, nggak?"

"Serah Papa aja, deh. Jadi, pilih yang mana nih?" Ghea yang salah tingkah itu seketika mulai kembali ke topik awal, tidak ingin berlama-lama larut dalam perasaan bahagia akibat rayuan gombal yang mungkin saja baru ia dengar lagi setelah sekian lama.

"Papa bingung kalo nggak liat bentukannya."

"Yaudah, kalo gitu Mama buat tiga-tiganya aja. Besok pagi, deh, Mama ke butik bawain sketsanya."

Ghea pun mulai merapikan kertas-kertas sketsa tersebut bersama dengan alat tulis yang berserakan. Ia juga mematikan komputer yang menampilkan beragam website dan artikel terkait fashion itu.

"Papa antar ya?" tawar sang adam dengan alis yang ia naikkan berkali-kali.

Ghea sontak mendongak dengan kening mengerut. "Papa nggak ke kantor?"

"Boleh istirahat sehari, kata Papi."

"Dihhh."

"Yaudah, yuk bobo!" ajak Ardian, manja.

Ghea terdiam sejenak seraya menatap Ardian dari sudut mata, nampak curiga dengan suaminya itu. "Ini beneran bobo atau bobo dalam tanda kutip?"

"Bobo beneran, tapi ada tanda kutipnya dikit."

"Yaelah Papa--"

"Papa udah puasa tiga hari, lho, Ma. Tiga hari nggak dapat jatah! Mama nggak kasian sama Papa?"

"Cuma tiga hari."

"Tiga hari itu lama!" Ardian memanyunkan bibir.

Tak ingin berdebat lebih lama dengan suaminya, Ghea lebih memilih untuk mengalah. Sebenarnya, ia pun tidak dapat menolak permintaan Ardian, sebab perempuan itu juga butuh dan selalu mendapatkannya dari sang suami tanpa ia minta. Sayangnya, keinginannya lebih sering terpental begitu saja jika ia sudah memikirkan misi Ghea dan anak-anak, serta kesibukan lainnya yang sangat menguras waktu dan tenaga.

Mencari kesibukan memang sangat penting!

"Iya iyaaa. Papa ke kamar duluan, deh, soalnya Mama mau beresin ini."

Sebelum berbalik badan dan melangkah menjauhi Ghea, laki-laki itu sempat berucap dengan seringai jailnya, "Papa request Mama pake lingerie merah yang nggak ada renda-rendanya itu ya. Atau pake g string juga boleh."

"Bapak ini selain tukang gombal dan nggak sabaran, ternyata banyak mau juga ya," acap Ghea dengan tatapan tak percaya dan senyum yang semakin lama semakin melebar. "Udahlah, nggak usah pake gitu-gituan, soalnya nanti bakalan Papa sobek juga. Kan sayang. Udah beli mahal-mahal, eh malah dikoyak."

"Janji, Papa nggak bakalan kayak gitu."

"Beneran ya?"

"Iya, Sayang."

Tak butuh waktu lama, sang adam pun hilang dibalik pintu. Ghea yang sedari tadi merasakan darah yang berdesir dan detak jantung tak beraturan akibat ulah Ardian akhirnya bisa bernapas lega. Ia menjatuhkan bahu dan duduk santai di kursi hitam yang empuk, lalu tangan kanan meraih laci untuk menyimpan berbagai alat tulis.

Belum sempat Ghea memasukkan alat-alat tersebut, gerak wanita itu sontak terhenti tatkala sebuah lembaran jatuh bebas dan mendarat tepat di kakinya.

Ghea pun merunduk untuk mengambil kertas yang ternyata adalah sebuah foto di salah satu rumah sakit. Interiornya pun terbilang seperti rumah sakit pada umumnya dengan dominasi warna putih dan abu-abu. Sayangnya, foto bayi dengan kain membarut dada merah muda berada dalam inkubator dan seorang suster yang berkewarganegaraan asing berdiri di sampingnya, menarik perhatian Ghea.

Perempuan itu membalikkan foto tersebut dan menemukan tulisan dengan pulpen.

'Bratadikara, Los Angeles, California, US.'

Pikiran Ghea melayang selama beberapa detik, nampak ia merasa pernah melihat hal serupa ketika pertama kali ia terbangun di rumah ini.

Setelah dirasa cukup berpikir dan yakin, Ghea bergegas keluar menuju ruang keluarga. Ia membuka laci-laci kecil tempat di mana album keluarga tersimpan dengan rapi.

Benar saja, perempuan itu akhirnya menemukan apa yang ia cari, lantas Ghea kembali masuk ke dalam kantor Ardian dan menjajarkan tiga buah foto, yaitu foto saat El dan Tata masih bayi dalam gendongan Ghea, serta sebuah foto yang baru saja ia temukan. Dari perbandingan tersebut, dua gambar yang Ghea ambil dari ruang keluarga memperlihatkan petugas medis dari Indonesia. Sedangkan satu gambar lainnya diambil di rumah sakit di Amerika.

Ghea menghela napas, lalu memejam beberapa sekon untuk menelaah apa yang terjadi sebenarnya. Ia terus berpikir mengapa bayi itu juga diberi nama belakang Ardian, padahal anaknya hanya dua.

Yang paling penting, Ghea tidak tahu apakah bayi itu adalah anaknya yang lain. Atau, dia adalah salah satu di antara Tata atau El itu sendiri. Ah, untuk poin kedua itu, Ghea tidak mampu memperlihatkan perbedaannya. Sebab, ia merasa bahwa semua anak bayi mirip satu sama lain, terlebih jika masih merah seperti ini.

"Tunggu bentar. Ini maksudnya apa? Please, gue nggak paham?!" ucap Ghea tertahan, sedikit frustasi dengan pemikiran-pemikiran yang muncul dalam kepala.

Apalagi ini?

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top