17. Anak-anak
.
.
.
"Mi, Kakak El mana?" tanya Ghea sesampainya ia di rumah sang mertua.
Intan yang sedari tadi duduk di ruang tv sambil menguyah kukis pun menoleh, saat melihat Ghea sudah berjalan cepat menuju ke arahnya dengan kening mengerut dan kedua alis menyatu.
"Kamu datang-datang bukannya salam dulu kek, apa kek," acap Intan seraya bangkit dan berjalan menuju perempuan tersebut.
"Ah, maaf, Mi. Ghea panik soalnya telat banget jemput anak-anak ...."
Ghea meraih tangan kanan Intan dan menciumnya perlahan. Melihat itu, Intan membelai punggung menantunya agar dapat sedikit mendapatkan ketenangan.
"Ehm, iya juga, sih. Sekarang Kakak El ada di kamar, dari tadi nggak mau keluar makan siang. Udah Mami sama Papi bujuk sama Aini juga tetap aja nggak mau keluar. Maunya sama kamu," jelas Intan dengan lembut.
"Trus Adek di mana, Mi?"
"Ada sama Papi lagi mainin ikan di kolam samping rumah."
"Kalo begitu, aku ke atas ya, Mi."
"Yaudah, sana!" suruh Intan, halus.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu lebih banyak, Ghea melangkah ringan menapaki tangga spiral menuju kamar Ardian yang berada di lantai dua. Perempuan itu mengetahui bahwa keluarganya selalu tidur di sana ketika menginap, sehingga ia tak perlu kebingungan mencari di kamar yang lain.
Bergegas Ghea meraih kenop pintu kayu besar itu dengan pelan. Sayang, meskipun Ghea telah mencoba berkali-kali, ia tetap tak dapat membukanya.
"Nak, ini Mama. Buka dulu, dong, Sayang."
Cklek...
Pintu terbuka kecil yang menampilkan sedikit wajah El menyembul dari pintu. Dilihatnya sang ibu dari atas ke bawah dengan tatapan datar. Alih-alih mempersilakan Ghea masuk, El justru berujar, "Ngapain Mama dateng? Kan jam makan siang udah lewat."
"Ini masih jam satu, jam makan siang belum lewat-lewat banget, kok."
"Tapi, Mama janji sama Kakak datangnya jam sebelas, bukan jam satu! "
Ghea menghela napas dan berucap dengan suara minim, "Kak, maafin Mama ya."
"Mama selalu bilang kayak gitu. Kakak bosen dengernya!"
Brak...
Pintu besar itu kembali ditutup oleh El dengan kuat.
Melihat peringai anak sulungnya, Ghea mengembuskan napas dan menunduk dalam. Bahunya jatuh begitu saja, lantas ia menggeleng pelan.
Untuk sekarang, Ghea mengakui bahwa dirinya sangat lelah. Penat dan letih batin puan itu nyatanya berbanding lurus dengan keadaan rumit yang menimpa ketika ia berada di tubuh sendiri, tubuh Kiana.
Rasa ini persis seperti yang selalu ia terima saat isu-isu panas tentang dirinya bergulir bak bola salju, tak memiliki ujung. Seluruh berita, baik itu benar atau tidak, masyarakat menelan mentah-mentah dan menghakiminya tanpa ampun.
Ia tidak akan berbicara, tak ingin menjelaskan, dan memilih untuk mengatupkan rahang selekat mungkin menjadi pilihan terbaik untuk dua suasana beda waktu yang ia rasakan.
"Sama aja," lirih Ghea dengan seringai tipis, lalu berbalik badan untuk melangkah menjauhi kamar tersebut.
Belum sempat kakinya menapak pada anak tangga pertama, terdengar suara pintu terbuka dan derap cepat menuju ke arahnya. Sosok itu sontak memeluk pinggul Ghea yang membuat perempuan berambut panjang tersebut bergeming sesaat.
"Kakak minta maaf, Mama. Maaf, Kakak ngomong kasar," ujar El sambil berderai air mata. "Kita jadi pergi, kan, Mama? Mama jangan marah sama Kakak ya. Jangan pukul Kakak!"
Wanita itu menoleh pada sang anak yang sudah mendongak ke arahnya selama beberapa detik. Ketika manik mereka bertemu, Ghea dapat melihat air muka memerah menahan kecemasan dan ketakutan dari El yang telah memegang Ghea dengan erat.
Sadar akan hal tersebut, Ghea kemudian berjongkok di depan buah hatinya dan memberikan senyum simpul nan menenangkan. Dielusnya kedua bahu anak kecil itu dengan perlahan, lalu berujar, "Kak, Kakak lupa ya? Kan Mama bilang kalo Mama nggak akan marahin Kakak lagi kalo Kakak nggak salah. Kenapa Mama harus marah, padahal yang salah Mama? Mama yang nggak tepat waktu. Mama yang ingkar janji."
El meneguk ludah, lalu menarik sudut bibir ke atas dengan ragu-ragu. "Mama tau nggak? Mama nggak pernah bilang kayak gini. Setiap Kakak ngambek atau ngomong kasar, Mama pasti juga ikut marah dan bentak-bentak Kakak sampe akhirnya Kakak mau keluar kamar. Mama pasti bakalan bilang, 'Mama juga capek, Kak!' gitu."
Anak laki-laki itu mengamati wajah Ghea dengan lekat. "Mama capek, nggak?"
"Capek ... Mama capekkk banget. Tapi, secapek-capeknya Mama sekarang, Mama nggak mungkin mukul atau marahin Kakak. Kan yang salah Mama. Kenapa Mama harus marah ke Kakak?"
"Kalo Mama capek mending kita langsung pulang aja ya."
Ghea menggeleng cepat. "Nggak bisa dong, soalnya Mama udah janji. Kalo janji harus ditepati. Ya, 'kan? Lagian--" perempuan itu mengusap perut, "Mama lapar."
"Kakak juga lapar," balas El dengan senyum manis.
"Kalo gitu kita makan di luar yuk? Makanan Jepang kan yang Kakak mau?"
"Iya, Mama."
.
.
.
.
.
.
Ketiga pasang kaki itu akhirnya berhenti di salah satu restoran jepang terbesar di pinggir kota setelah mengendarai taksi online selama kurang lebih dua puluh menit. Sedikit jauh memang, tetapi El mengatakan bahwa ini adalah restoran paling enak dan keluarga mereka selalu menghabiskan waktu di tempat tersebut. Mendengar perkataan El, Ghea pun hanya menurutinya.
Rumah makan ini ditata begitu apik. Sesaat setelah melewati pintu utama, para pelanggan akan disambut oleh sebuah akuarium kecil di pojok lengkap dengan air mancur mini. Lebih jauh melangkah akan menemukan kursi dan meja dari kayu, begitu pula sekat-sekat antara satu meja dengan meja lainnya.
El memilih sebuah ruangan di lantai dasar, di mana satu sisi dinding terhubung dengan taman dan kolam ikan. Taman tersebut ternyata menyatu dan memanjang melewati ruangan-ruangan yang ada, sehingga El dapat melihat pengunjung lainnya juga sedang menyapa dan memberi makan ikan-ikan.
"Kak, sini dulu! Kakak mau makan apa? Pilih sendiri!" panggil Ghea yang terlihat mulai mendudukkan Tata di kursi.
"Apa aja deh, Mama," ucap El, masih sibuk bermain dengan ikan-ikan.
"Nanti kalo Mama yang pilihin Kakak nggak suka, jadinya kebuang-buang. Ayo sini!"
Bergegas, El bangkit dari duduknya di tepi kolam dan berjalan menuju sang ibunda yang sudah memegang buku menu.
"Kakak pilih ini, sama ini," ujarnya menunjuk sushi dan sashimi, sementara sang pelayan wanita itu menuliskan pesanan El dengan cekatan.
"Kalo saya yang ini aja ya mbak, dua." Ghea menunjuk dua ramen beda rasa untuk dirinya dan Tata.
Setelah pelayan tersebut beranjak dan El kembali melihat-lihat ikan, Tata justru terpaku pada televisi yang dipasang di sudut atas ruangan. Ghea tak memperhatikan program apa yang disaksikan oleh si kecil, sebab atensinya tersita pada El yang asyik sendiri. Ia takut jika anak itu akan nekat masuk ke dalam kolam dan membuat keributan.
Berulang kali Tata melihat layar, lalu kembali menatap Ghea secara bergantian. Kaki kecilnya bergoyang teratur di bawah sana, seolah menandakan bahwa ia tidak mampu menunggu lebih lama lagi.
Melihat Ghea yang berpaling pada sang kakak, Tata kemudian menarik-narik baju Ghea membuat perempuan itu menunduk pada si bungsu dan tersenyum tipis.
"Kenapa, Nak? Adek mau apa?" tanya Ghea lembut.
"Mau duduk di sini," acap Tata seraya menepuk-nepuk paha Ghea.
Dengan cepat, Ghea mengangkat tubuh Tata ke pangkuannya. Ketika manik mereka saling bertemu, Ghea tidak dapat mengerti ekspresi yang ditunjukkan oleh anaknya. Tata hanya terdiam mengamati seluruh wajah sang ibu dengan sesekali terlihat lipatan di kening. Tak hanya itu, Tata berulang kali menoleh ke arah televisi, lalu kembali menatap Ghea.
"Adek kenapa?"
"Mama kayak bukan Mama," tukas Tata, tiba-tiba.
"Lho, ini Mama. Liat, deh, baik-baik!" Ghea tersenyum kecil sambil sesekali menaikkan kedua alis.
Tangan kecil Tata terulur untuk menyentuh dan membelai wajah putih Ghea dengan pelan. Dari kening hingga dagu, putri kecil itu tampak tak ingin melewatkan satu pun detil pada wajah sang ibu. Hingga akhirnya tatapan Tata tiba pada manik Ghea dan hanya fokus di sana untuk beberapa saat.
Jika ditilik kembali, wanita itu dapat melihat mata dan bibir yang indah layaknya Ghea Aurellia, serta hidung yang mirip Ardian Bratadikara. Kulit sang putri nampak duplikat dari ibundanya juga, terlihat sehat dan lembut. Bulu mata yang lentik selalu menarik atensinya kala dua manik bertatapan entah disengaja atau tidak.
Melihat itu, Ghea menyunggingkan senyum manis ke Tata.
"Mama ... siapa?"
Deg
Sebuah pertanyaan singkat dari Tata terdengar jelas di rungu sang hawa, membuat Ghea sontak bergeming dengan tatapan sendu.
"Mama itu siapa? Ini bukan Mama, 'kan? Tante siapa?" Pertanyaan demi pertanyaan itu kembali membuat Ghea terkesiap.
"Ini ... ini Mamanya Adek Tata!" Ghea gelagapan.
Tata menggeleng cepat. "Nggak, Tante nggak mirip Mama!"
"Bagian mana yang nggak mirip Mama? Coba Adek liat lagi? Mirip, 'kan? Karena memang ini Mama!"
Ghea mengelus kedua bahu Tata, mencoba meyakinkannya.
"No!" ucap Tata, terdengar lebih tegas dari sebelumnya membuat Ghea kembali mengatupkan rahang. "Tante bukan Mama!"
Tak butuh waktu lama hingga air mata Tata mulai menggenang dan memberi jejak di pipi dalam diam. Seketika, Ghea berpikir bahwa hari ini Tata tidak terlihat seperti anak lainnya yang berusia tiga tahun --beberapa bulan lagi akan menginjak empat tahun. Rasanya aneh melihat Tata seperti menatap orang lain pada dirinya, tetapi itu benar adanya. Sayang, Ghea tidak mungkin berkata jujur bahwa dia adalah Kiana.
Itu akan sangat aneh!
"Tante ... tolong kembaliin Mamanya Adek. Adek cuma mau Mama."
Oh?
Kata-kata Tata refleks membuat Ghea terdiam untuk kesekian kalinya, seakan-akan ribuan pisau berhasil menembus pertahanannya yang memang telah goyah sedari awal, didukung pula oleh tubuh melemah. Keyakinan yang begitu kuat perlahan mulai luruh bersamaan dengan bahu yang jatuh.
Ke mana perginya kepercayaan diri seorang Kiana Ivanka Hadi yang kini telah bertransformasi menjadi Ghea Aurellia?
Di mana keteguhan hati yang ia perlihatkan dulu?
Mungkinkah semuanya perlahan mulai lenyap akibat banyaknya pikiran yang menumpuk?
Alih-alih menjatuhkan air mata yang mulai menggenang di pelupuk, Ghea terus berusaha terlihat tenang dengan tetap memperlihatkan senyum.
Ia menangkup wajah si bungsu dengan satu tangan dan menghapus air di mata kiri gadis kecil itu secara berulang hingga netra tersebut tertutup berkali-kali.
"Coba lihat Mama sekali lagi, Sayang!" tutur Ghea lembut.
Tata yang sudah menangis sesenggukan membuat El dengan cepat bangkit dari duduknya di tepi kolam dan menghampiri kedua perempuan itu dengan pandangan panik. Ia tidak bertanya, namun memilih diam seraya memperhatikan Tata dan Ghea dari jarak beberapa langkah.
Sementara itu, tatapan Ghea masih terfokus pada anak kecil di depannya. Ia membiarkan Tata mengeluarkan seluruh air mata yang sempat ia tahan, entah sejak kapan, sambil sesekali jarinya seiras menyeka. Akan tetapi, Ghea mulai berpikir dan menyadari bahwa tatapan Tata berbeda sejak ia menyaksikan layar di depan sana.
Perlahan, Ghea pun menoleh pada layar televisi tersebut dan mengamati selama beberapa sekon pada adegan demi adegan yang ditampilkan.
Paham. Ghea kini merasa bahwa Tata adalah anak berbeda dengan kemampuan di atas rata-rata. Kenyataan ini sontak membuat bulu kuduk sang hawa meremang dan sedikit tak percaya. Sayang, perempuan itu tak paham cara agar Tata dapat melihatnya sebagai Ghea, ibu kandungnya.
Ghea hanya berpikir satu langkah yang dulu pernah dikatakan oleh ibunya ketika ia didera takut akan makhluk tak kasat mata, dan mungkin saja ini efektif.
"Sekarang, coba tutup mata Adek pelan-pelan," pinta Ghea pada Tata.
Tak butuh waktu lama sampai Tata mengikuti arahan ibundanya, lalu beberapa kali terdengar hembusan napas dari mulut kecil, entah siapa yang mengajarinya.
"Buka lagi pelan-pelan."
Ketika akhirnya manik mereka bertemu untuk kesekian kali, Tata kembali menumpahkan air mata dan memeluk Ghea erat seraya memanggil-manggil berulang, "Mama ...."
"Iya kan ini Mama."
Ghea mengembuskan napas, dada yang semula sesak dan bahu berat itu tiba-tiba saja terasa ringan.
Perempuan berpipi sedikit gempal tersebut membalas pelukan Tata bersama El yang juga tiba-tiba telah melingkarkan tangan di perut Ghea. Berulang kali sang hawa memberikan kecupan pada kedua anaknya tersebut. Tak lupa pula senyum lebar penuh keyakinan yang akhirnya terbit kala dua pasang tangan kecil mengisyaratkan perasaan cinta kasih pada Ghea.
Sang hawa kemudian menoleh kembali ke layar, melihat kembali sosok yang membuat Tata menjadi kebingungan.
Ya, layar itu menampilkan adegan film yang diperankan oleh Kiana, di mana sekarang sosok tersebut sedang menghadap ke depan dan tersenyum merekah dengan tatapan teduh.
Lo udah gila, Kiana!
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top