16. Namanya Hazel
.
.
.
Waktu telah menunjukkan pukul 10.15 membuat Ghea bergegas untuk melangkahkan kaki keluar dari unit apartemen dan menjemput anak-anaknya.
Tak banyak yang Ghea lakukan di apartemen, selain makan, mandi, dan menonton layanan streaming berwarna hitam-merah. Ia juga sebenarnya memikirkan banyak hal yang membuatnya lantas letih sendiri dan akhirnya terlelap dengan cepat, pun perempuan itu tak terlalu khawatir pada kebersihan apartemen karena pegawai kebersihan selalu datang tepat waktu.
Setelah keluar dari lift dan tiba di depan pintu utama, Ghea akan mengayunkan langkah membelah taman depan yang memiliki banyak tanaman serta tempat duduk kayu. Namun, baru beberapa derap melewati pintu utama, Ghea terhenti. Ia mendengar namanya disebut oleh seorang pria di belakang sana. Bergegas, ia membalikkan tubuh.
Betapa terkejutnya Ghea setelah mendapati Hazel telah berdiri dengan setelan jas lengkap andalannya seraya melipat tangan ke belakang. Senyum di wajah pria berkulit sawo matang itu terbit dengan sempurna. Tidak, Ghea tidak membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Ghea mengernyit dan memberikan tatapan runcing.
"Ibu Ghea tinggal di sini juga? Oh, saya nggak tau kalo Ibu juga punya apartemen. Unit mana, Bu? Kebetulan saya juga tinggal di sini," ucap Hazel ramah.
Ghea menaikkan satu sudut bibir mendengar perkataan itu. Sayangnya, Ghea sudah kepalang tahu gelagat aneh Hazel hingga akhirnya perempuan itu mulai naik pitam. "Maksud Bapak apa ngikutin saya mulu? Bapak nggak capek?"
"Nggak, karena memang itu tujuan saya sedari awal, Bu."
"Bapak jangan kurang ajar ya! Saya bisa laporin Bapak ke kantor polisi untuk diproses hukum dan saya juga bisa memberitahu suami saya agar Bapak dipecat," ancam sang hawa.
Tampaknya ancaman Ghea tak berarti apa-apa bagi Hazel. Sebab, pria itu menatap Ghea tajam dan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Tatapan itu seperti ... menantang?
"Tapi, saya sama sekali tidak takut sama gertakan Ibu."
"Oh ya?" Ghea seketika merogoh saku tas, lalu mengangkat ponsel di depan Hazel. "Ini, saya bisa langsung hubungi suami saya sekarang."
Hazel mempersilakan Ghea dengan tangan kanan menengadah. "Do it!"
Tanpa ragu, Ghea menekan nomor Ardian dan menggisar tubuh untuk menghindari tatapan Hazel. Ponsel yang ia dekatkan di telinga nyatanya tidak dapat menyambungkan diri dengan sang suami membuat Ghea kesal sendiri. Kaki perempuan itu bergerak tak sabaran.
"Kenapa? Nggak ada respons ya? Udahlah, mending matiin aja!" tutur Hazel, enteng.
Benar saja, hingga tingkat kesabaran Ghea tiba di puncak, Ardian tetap tidak mengangkatnya. Dengan berat hati, ia memutus sambungan tersebut dan kembali berbalik badan menghadap Hazel, menatapnya lurus bak mata pisau yang siap memotong dan menusuk apapun yang berada di depannya.
"Lo mau apa, sih? Duit? Lo tinggal bilang aja mau lo berapa." Ghea berujar lantang dan tanpa sadar menghilangkan jarak dengan menggunakan sapaan 'lo-gue'.
"Gue nggak butuh duit."
"Oh, kalo begitu lo nggak perlu repot kerja di kantor suami gue lagi, 'kan?"
"Emang gue pernah bilang gue karyawan di kantor suami lo?"
Ghea menelan ludah dengan sedikit susah payah. Manik gelap miliknya mengedar perlahan dan kedua tangan dilipat di depan dada. Jujur saja, ia merasa terintimidasi dengan keadaan seperti ini. Sungguh suasana yang tak asing dan sebanding dengan intimidasinya perkataan para pengumpatnya di berbagai media dulu.
Tak ingin berlama-lama di depan Hazel, Ghea pun memutar tubuh untuk menjauhi sang adam.
Namun, langkahnya kembali terganjal setelah Hazel berujar, "Kiana Ivanka Hadi!"
Deg
Dari mana dia tahu?
Ghea bergeming dengan detak jantung tak beraturan. Napas tercekat dan tubuhnya seketika melemah. Perempuan itu menggenggam erat rok selutut yang ia gunakan, nampak ingin membuat efek jera pada Hazel dengan sekali pukulan.
Di satu sisi ia takut pada keberadaan Hazel. Namun, di sisi lain ia juga harus menghadapi laki-laki tersebut.
Sang puan mengembuskan napas kasar untuk menetralkan perasaan. "Nama gue Ghea Aurellia!"
"Oh ya? Beneran? Masa?"
Pertanyaan yang bahkan menjurus ke arah cemoohan tersebut membuat Ghea sontak kembali memalingkan tubuh menuju Hazel.
"Kalo lo memang bukan Kiana, trus kenapa lo berhenti waktu gue sebut nama Kiana?"
"Lebih baik lo ngomong sekarang, apa mau lo?!" Wajah Ghea sekarang benar-benar menyiratkan kemurkaan yang luar biasa.
Hazel berjalan mendekati perempuan berambut panjang itu, lalu menengok ke kiri-kanan mengamati orang sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada yang mendengar percakapan mereka saat ini. Setelah dirasa aman, Hazel tersenyum tipis dan berbisik, "Gue cuma mau lo keluar dari tubuh Ghea sekarang!"
"Gue Ghea, bukan Kiana!" Puan tersebut bersikeras.
"Gue tau lo bukan Ghea karena Ghea yang asli masih ada di kamar rumah sakit, tempat tubuh lo tidur dengan nyenyak. Asal lo tau, Kiana, apa yang lo lakuin sekarang itu memiliki konsekuensi besar yang bakalan lo bayar di masa depan. Dan gue yakin banget kalo lo tau tentang itu, lo bakalan nyesel."
Wanita itu mengusap wajah dengan kasar, frustasi. "Lo nggak usah sok tau, deh. Emang lo siapa?"
Hazel menunjuk dada. "Gue sok tau? Sorry, gue tau lebih banyak dari pada lo. Makanya gue minta lo keluar dari tubuh Ghea sekarang!"
"Heh, lo denger ya!" Ghea menunjuk wajah Hazel, "gue sama dia udah terikat kesepakatan tentang beberapa hal. That's why, gue nggak mau keluar dari tubuh ini sampe semuanya kelar. Dan asal lo tau juga, gue bakalan pake tubuh ini terserah untuk apa."
"Lo nggak bisa semena-mena--"
"Kesepakatannya gitu!"
Ghea berhasil membungkam Hazel dengan satu kalimat singkat. Lekum laki-laki itu bergerak perlahan dan tatapan ia buang ke segala arah. Sadar dengan perubahan ekspresi Hazel yang semula percaya diri bak seorang pahlawan, Ghea hanya tersenyum menang ketika sekarang air muka lelaki tersebut seolah-olah tak lebih dari sekadar maling ayam yang tertangkap basah oleh warga desa.
"Lo bilang lo tau segalanya, tapi ternyata nggak juga ya? Buktinya lo nggak tau tentang kesepakatan gue dan dia!"
Hazel sontak menyunggingkan senyum. "Jadi, lo ngaku kalo lo Kiana? Tapi, walaupun lo nggak ngaku juga nggak papa, sih. Toh, gue udah tau kalo lo sebenarnya Kiana Ivanka Hadi."
Laki-laki itu kembali melanjutkan, "Dan begini Nyonya Bratadikara, gue cuma tau segala hal terkait konsekuensi yang bakalan lo dapetin dengan lo pake tubuh ini, bukan kesepakatan lo dengan Ghea yang asli. Paham?"
Tapi, tetap saja Ghea hanya memberikan tatapan memincing pada pria bertubuh tinggi itu.
Hazel mengangkat kedua tangan sejajar dada. "Oke, gue akui gue kalah debat sama lo karena gue nggak mau memperpanjang ini. But, buat misi lo itu, gue pengen bantu supaya cepet kelar dan lo bisa keluar dari tubuh Ghea sesegera mungkin. Please, gue cuma butuh Ghea kembali ke badannya, setelah itu gue akan pergi dan nggak bakalan gangguin lo lagi."
Sang puan mengerutkan dahi. "Bantu? Emangnya lo bisa apa?" tanya Ghea sambil sesekali menggerakkan dagu ke atas.
"Gue bisa segala hal. Gue bisa ngilangin barang, manipulasi sesuatu, dan lain-lain. Gue juga yakin kalo semua yang gue lakuin nantinya bakalan berjalan mulus. Percaya sama gue."
Ghea menghembuskan napas, lalu menunduk selama beberapa detik untuk berpikir tentang tawaran Hazel. Ternyata, berdebat dengan Hazel juga menyita energi tubuhnya, hingga ia merasa bahwa ia memerlukan energi lebih banyak lagi hanya untuk sekadar berpikir.
Setelah ditimang-timang, Ghea merasa bahwa ia memang membutuhkan bantuan seseorang untuk menyelesaikan segala hal. Jujur saja, Ghea sekarang bingung harus mulai dari mana dan jika ia menemukan sesuatu, ia tidak tahu harus bertindak seperti apa. Selama menggunakan tubuh ini, ia hanya mengandalkan insting saja tanpa pernah berpikir lebih jauh tentang konsekuensi yang akan ia terima.
Jika dilihat kembali pada semua perkataan Hazel, nampaknya menerima tawaran pria itu bukanlah menjadi masalah. Terlebih, Hazel memang hakikatnya bukan manusia yang membuat Ghea yakin bahwa ia tidak salah langkah terkait memberikan kepercayaan pada Hazel.
"Dengan satu syarat!"
Hazel menengadahkan kedua tangan. "Oke, apa syaratnya?"
"Lo nggak boleh ngomong di manapun kalo gue Kiana."
Laki-laki itu menyeringai. "Yaiyalah. Lagian, mana ada yang percaya sama gue kalo gue bilang kayak gitu? Yang ada gue disebut gila atau nggak ya penggemar berat Kiana."
Ghea mengangguk perlahan, lalu berujar, "Gue sebenarnya nggak ada waktu untuk ladenin lo, tapi penawaran lo menarik buat gue."
"So?" tanya Hazel seraya mencari manik Ghea.
"Oke, gue terima lo untuk bantuin gue." Hazel kontan tersenyum merekah mendengarnya.
"Trus, sekarang kita mulai dari mana?"
Ghea mengatupkan rahang diikuti pula oleh Hazel, lalu tak lama kemudian perempuan itu menjentikkan jari hingga lamunan Hazel terpecah.
Dengan tatapan datar, Ghea berkata, "Hm, gue bingung kita harus mulai dari mana. Tapi, gue tau suatu tempat yang bagus buat diskusi."
"O-key ... ke mana?"
"Ah dahlah, ikut gue aja!"
.
.
.
.
.
.
"Gila ya, gue baru rasain ada minuman seenak ini!" seru Hazel semangat seraya mengangkat gelap berisi air berwarna cokelat.
Hazel yang duduk di kursi plastik pada sebuah taman kecil dengan Ghea di sebelahnya tampak begitu semangat, bahkan ia telah menghabiskan dua gelas seorang diri. Jujur saja, Ghea mengamati Hazel dengan sudut bibir yang terangkat, sedikit takjub pada laki-laki yang mengaku tak pernah mencoba minuman itu sebelumnya.
"Ini apa nama minumannya?" tanya Hazel sambil mengangkat gelas.
Sontak, Ghea pun menghentikan gerakan tangannya mengaduk minuman. "Dawet."
"Astaga! Gue harusnya ganti nama jadi Dawet."
"Hah?" Ghea terbelalak, lalu sedetik kemudian ia cekikikan mendengar penuturan bodoh laki-laki muda itu.
"I-iya, emang ada masalah?" tanya Hazel dengan kedua alis yang terangkat.
"Nggak salah, sih, cuma nggak ada nama kerenan dikit apa? Hazel aja lah, udah paling keren itu. Eh, by the way lo tuh sebenarnya siapa, sih?"
Hazel menunjuk dada sekali lagi dengan mata melebar. "Gue? Oh ... waktu lo di rumah sakit, lo pernah liat asap hitam di depan kamar Ghea, nggak? Nah, itu gue!"
Ghea sontak memukul bahu Hazel. "Ngaco lo!"
"Dih, nggak percaya."
"Yaiyalah!"
"Ck! Gue kasih tau lo, mulut gue ini diciptain untuk berbicara jujur atau kalo nggak bisa jujur ya sekalian diam aja. Walaupun gue dipaksa ngomong bohong, gue tetap nggak bisa. Kayak mulut gue langsung terkunci, nggak bisa ngeluarin apapun. Jadi, yang gue bilang barusan itu ya beneran."
Ghea mengangguk-ngangguk mendengar perkataan Hazel.
"Karena lo bilang lo tuh aslinya asap hitam, pasti lo nggak punya badan, dong. Lah, trus dapat badan ini dari mana?" tanya Ghea dengan memfokuskan manik pada wajah sang adam seraya pipinya bergerak mengunyah.
"Di depan kuburan cina."
Uhuk....
Ghea menepuk-nepuk dada dengan kepalan tangan, tersedak setelah mendengar perkataan Hazel yang luar biasa mengejutkan. Bergegas, Hazel menurunkan minumannya dan membantu Ghea menepak punggung perempuan itu perlahan.
"Lo mah dari tadi becanda mulu," ucap Ghea.
"Lah, baru juga dibilangin kalo gue nggak bisa bo'ong. Gue serius. Asli. Lo tau di belakang rumah sakit tempat lo dirawat ada kuburan cina, 'kan? Nah, gue nemu nih badan di depan pagar sebelum masuk ke sana."
"Kok bisa, sih? Ini keluarganya nggak ada yang nyariin apa?"
"Dia nggak punya keluarga. Sebatang kara gitulah, sama kayak lo."
Terdiam. Ghea hanya mampu merunduk seraya memainkan sendok dan mengaduk minumannya dengan pelan.
Ah, perempuan itu kembali mengingat bagaimana kesehariannya selama ini hanya diisi oleh kesendirian.
Sebenarnya, tidak juga. Sebab, Valdy terkadang menemaninya. Tak perlu menyebutkan David, April, dan Leo karena memang sudah menjadi tugas mereka menemani Kiana dalam bekerja di industri hiburan. Sayangnya, Kiana tetap saja merasa bahwa hubungan mereka hanya sekadar rekan kerja, meskipun dirinya dan April memang sering berbagi cerita satu sama lain. Selebihnya, tidak terlalu dalam.
"Ternyata nggak cuma gue ya yang sebatang kara," acap Ghea pelan, mencoba menghibur diri sendiri.
"Emang iya. Di dunia ini banyak orang yang sebatang kara. Nggak usah jauh-jauh, lo donatur terbesar di dua panti asuhan, 'kan? Dari situ aja lo udah bisa liat berapa banyak anak-anak tanpa orang tua dan keluarga lain."
Kiana memang diketahui sebagai seorang donatur dua panti asuhan dan satu rumah singgah. Semua dana yang ia peroleh berasal dari pekerjaannya selama menjadi figur publik dan beberapa bantuan dari kenalannya. Tak jarang, Kiana juga mengumpulkan teman-teman seprofesi untuk menyelenggarakan acara amal dan hasilnya pun disumbangkan pada orang-orang yang membutuhkan.
"Tapi, setidaknya mereka punya temen yang dari bangun pagi sampe tidur malam selalu sama-sama. Lah, gue?"
"Lo kan punya beberapa sahabat. Ke mana semua, tuh?"
"Mati kayaknya setelah tau gue kecelakaan. Satu pun dari mereka nggak ada, tuh, yang nengokin gue di rumah sakit. Mungkin sampe sekarang," canda Ghea, namun tampak tak mengandung unsur jenaka sama sekali. Terbukti tidak ada satu pun dari mereka yang tertawa.
"Iya juga sih. Yang biasanya datang cuma manager lo doang sama si Valdy-Valdy itu."
Ghea segera menurunkan gelas dan bertanya, "Manager gue yang mana? Mereka berdua bersamaan datangnya?"
Hazel kemudian menjelaskan bahwa dia pernah melihat April datang ke kamar Kiana untuk sekadar mengobrol singkat tentang pekerjaan. Lantas setelah diri puan itu berlalu, sekitar dua puluh menit kemudian Valdy pun masuk. Mereka tidak datang bersamaan seperti yang diduga oleh Ghea membuat sang hawa mengangguk cepat.
"Oh iya, trus lo tau nama nih yang punya badan dari mana? Dari KTP ya?" tanya Ghea lagi.
Pria itu sontak menggeleng cepat. "Kagak njir!"
"Lah, terus?"
Hazel menelan minuman dengan cepat, lalu menoleh pada Ghea yang sudah mengamatinya dengan atensi penuh.
Laki-laki itu pun menjelaskan bahwa ketika ia terbangun di tubuh tersebut, ia tak menemukan satu pun identitas diri. Akhirnya, ia melangkah melewati beberapa bangunan dan mendapati sebuah banner besar di persimpangan jalan yang memamerkan gambar produk terbaru mereka.
"Jadi, nama gue ini diambil dari nama minuman yang gue liat di banner rumah makan itu, Hazelnut. Tapi, nggak pake nut."
"HAHAHA ...."
Entah sejak kapan tawa lepas Ghea menguar. Namun yang pasti, Hazel begitu senang melihat perempuan itu memperlihatkan deretan gigi yang rapi dibandingkan sorot mata tajam yang ia berikan seperti sebelumnya. Tatapan yang diperlihatkan Hazel jelas saja mengandung makna demikian.
"Lo, tuh, cocok banget dah jadi pelawak. Dahlah, gue capek ngakak dari tadi."
"Dih!"
"Oh iya, Zel, jam berapa sekarang?"
Hazel mengamati jam tangan berwarna silver yang berada di tangan kanannya. "Jam satu."
Ghea membelalak dan mengumpat kasar. "Shit! Anak gue!"
Perempuan itu dengan cepat merogoh saku tas untuk menarik beberapa lembar uang, lalu menyerahkannya pada penjual dawet. Ia tidak memikirkan lagi berapa yang ia berikan dan tidak ingin menunggu untuk kembalian. Yang dipikiran Ghea saat ini hanya El dan Tata.
"Gue duluan ya, Zel. Nanti kita ketemu lagi. Bye ...."
Melihat kepergian Ghea, Hazel hanya mampu meringis dan menggaruk kepala yang tak gatal sama sekali.
Untung udah dibayar!
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top