14. Hanya Ingin Sendiri
.
.
.
Ditinggalkan oleh sang suami selama tiga hari membuat Ghea harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Tidak, Ghea tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh dengan mengaku di depan media bahwa ia adalah Kiana Ivanka Hadi. Akan tetapi, Ghea merasa bahwa ia ingin liburan atau kabur sebentar dari rutinitas yang ada. Menjadi seorang istri dan ibu dari dua anak di saat ia bangun pertama kali sejak koma, awalnya mungkin sangat menyenangkan. Namun, karena hal tersebut berlangsung sangat mendadak, batin Ghea juga terkadang lelah dan ia butuh sendiri.
Sesaat setelah mengantar Ardian ke bandara, Ghea bersama dua anaknya kemudian bergegas menuju rumah mertua. Sebelum kepergian sang suami, Ghea telah meminta izin kepada Ardian untuk tinggal di hotelnya selama satu hari tanpa El dan Tata. Ghea blak-blakan dengan mengatakan bahwa ia ingin menghabiskan waktu seorang diri. Ardian pun tampak mengerti dan menyuruh Ghea meminta izin pada kedua anaknya. Meskipun pada permulaannya Tata bersikeras ingin ikut dengan sang ibunda, namun lama kelamaan anak itu akhirnya luluh.
Kini, Ghea telah berdiri di depan rumah Intan dan Arya Bratadikara sambil menekan bel berulang kali. Tak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga yang diketahui sebagai Bi Zulfa pun muncul untuk membukakan pintu. Sementara Pak Rafli sudah mengangkat tas milik El dan Tata, Ghea bersama anak-anaknya sibuk meneliti rumah.
"Ghea? Akhirnya kamu datang ke sini. Mami nungguin dari kapan tau," ucap Intan yang bangkit dari duduknya di ruang keluarga. Ia memeluk tubuh perempuan tersebut. Sayangnya, Ghea tidak bisa membalas dengan bebas karena sekarang Tata berada dalam gendongannya dan tak mau lepas.
"Mami kenapa nggak ke rumah?" tanya Ghea.
"Ardian bilang jangan dulu, nanti aja. Katanya takut kamu kerepotan. Kan kamu lagi masa pemulihan. Makanya, Mami nggak pernah datang."
"Duh, Mas Ardian selalu gitu, deh. Terlalu berlebihan."
Pak Rafli pun masuk ke rumah dan menarik atensi wanita-wanita tersebut. Pria itu terlihat membawa sebuah parsel buah yang Ghea beli diperjalanan, lantas Intan menyuruh Pak Rafli untuk menyimpan di atas meja di ruang tersebut.
"Makasih ya parselnya," Intan kemudian mengambil satu tangan Tata dan El, "Ayo, sini sama Eyang Uti!"
El tanpa sungkan merekatkan tangan pada sang nenek. Tapi, tidak dengan Tata. Ia lebih memilih untuk melingkarkan tangan di leher Ghea yang membuat Intan tersenyum kecil dan mengelus punggung Ghea.
Ghea mendengkus ringan seraya tersenyum tipis. "Ya beginilah Eyang kalo Adek lagi manja," ucap Ghea dengan sesekali melirik pada Tata yang mencebik karena mendengar perkataan ibundanya.
"Kita gabung di taman belakang, yuk! Ada papi, Farhan, Risa, Aini, sama Abi."
"Lho, dalam rangka apa nih pada ngumpul semua?"
Intan mengedikkan bahu. "Nggak ada. Mereka, kan, cuma nengokin Papi sama Mami. Emang kamu, jarang banget dateng!" sindir halus Intan sambil memperlihatkan dua sudut bibir yang terangkat.
"Ih, Mami ... Ghea nggak gitu." Ghea tampak menjatuhkan kedua bahu dan bibirnya seketika maju.
"Mami becanda, Sayang. Ayo, ayo!"
Ghea, Tata, El, dan Intan kemudian bergerak menuju taman belakang yang sudah ramai oleh tawa cekikikan dan obrolan seru. Entah apa yang mereka bicarakan hingga suara mereka terdengar di seluruh taman belakang.
Taman belakang kediaman Bratadikara ini cukup luas dengan bukit rerumputan di beberapa titik dan di atasnya terdapat lampu taman, dua gazebo besar dari kayu, air mancur berisi ikan-ikan berukuran sedang, dan kolam renang. Di sana juga disediakan ruangan untuk mengganti pakaian setelah berenang. Jangan lupakan kursi panjang dan meja di tepi kolam untuk menambah keindahan.
Setelah menyapa semua anggota keluarga, Ghea akan menyerahkan Tata dan El pada kedua mertuanya. El tentu saja dengan senang hati tinggal di rumah tersebut karena ada Farhan dan Abi yang dapat diajak bermain. Akan tetapi, tidak dengan Tata. Sedari tadi ia masih setia memeluk leher sang ibu, meskipun Aini bahkan telah bangkit dan meminta Tata untuk melepaskan pelukannya pada Ghea.
"Nggak mau!" tegas Tata. "Nggak mau ikut Tante Ni!"
"Besok Mama jemput, Nak," Ghea mengelus punggung Tata, "mau dijemput jam berapa? Abis itu kita jalan, yuk? Mau, nggak?"
"Adek mau sama Mama. Adek nggak mau ditinggal!"
"Satu hari doang, Sayang. Besok Mama janji bakalan jemput Adek. Ya? Mau ya sama Eyang? Sama Tante Ni?"
"Nggak mau!" bentak Tata, yang kemudian sudah dapat diduga bahwa ia menangis kuat.
Sontak saja, Ghea kembali mendengkus dan membiarkan Tata menangis dalam gendongan. Perempuan itu menjauh dari keramaian taman belakang dengan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dan menuju ruang tv. Seraya memanggul Tata yang masih menangis, Ghea menepuk-nepuk punggung anak bungsunya tersebut. Sebelumnya, Intan memang telah memberitahu lokasi kamar di lantai dua, sehingga Ghea dapat membaringkan Tata di sana jika anak itu telah kelelahan karena menangis.
Dirasa Tata mulai meraih ketenangan dan akhirnya dengkuran halus mulai terdengar menjamah organ pendengaran, Ghea langsung naik menuju lantai atas dan membuka kamar Ardian. Ya, kamar itu dulunya adalah sang adam sebelum mereka terikat oleh pernikahan, kata Intan. Dengan bentuk yang tidak memiliki perubahan sama sekali --dominasi warna hitam dan putih, Ghea membaringkan Tata di sana dengan perlahan. Sebenarnya, Ghea bisa saja membawa anaknya tersebut ke kamar lain. Tetapi, Ghea tidak yakin ke kamar mana. Sebab, ia tak ingat setiap kamar di rumah ini.
Mata Ghea mengedar untuk beberapa saat, lalu atensinya tersita pada lemari kecil yang berada di samping televisi. Entah ada perasaan dari mana, Ghea ingin membukanya. Akan tetapi, puan itu memilih untuk melakukan keinginannya di lain waktu saja. Toh, masih banyak hari-hari lain. Tentu saja ini juga bisa dijadikan salah satu alasan untuk sering berkunjung, mengelilingi kamar dan rumah mertuanya yang terbilang besar.
"Mami, Papi, Aini, aku nitip El sama Tata ya. Besok aku jemput," acap Ghea saat kaki wanita tersebut telah kembali menapak di taman belakang. "Oh iya, Tata lagi tidur di kamar atas."
"Cepet banget perginya. Kamu pergi sama siapa?" tanya Arya yang bangkit dari duduknya di gazebo kayu.
"Aku pergi sendirian naik taksi, Pi. Tadi Ghea udah mesen, kok."
"Yaudah, hati-hati ya kamu."
"Siap, Pi."
Ghea kemudian memutar tubuh, lalu berjalan menuju El yang sedang menjadikan Abi sebagai kuda andalannya dan Farhan adalah penjahat berpedang yang harus ditumpas. Melihat itu, Ghea tersenyum lebar.
"Pangeran turun dulu! Tuh, Mama udah mau pergi," suruh Abi dengan wajah penuh peluh.
Ketika kaki kecil El telah menginjak tanah, Abi pun menggerakkan torso ke kanan dan kiri untuk menghilangkan pegal, sementara Farhan sudah terpingkal-pingkal dibuat oleh ekspresi Abi yang berlebihan.
"Awas aja, Bang. Nanti kamu bakalan rasain dijadiin kuda sama anak kamu. Noh, Kak Risa bentar lagi lahiran," seloroh Abi, "mana cowo lagi."
Farhan menepuk-nepuk punggung Abi. "Iya, iya. Tapi asli, muka melas kamu lucu banget. Kek bopung!"
Abi mengedikkan bahu, lalu memutar mata malas mendengar pernyataan Farhan yang menurutnya tak mengundang tawa sama sekali. "Bopung apaan, Bang?"
"Bocah Kampung."
"Alah sia...."
Tak memedulikan pertengkaran dua laki-laki di sampingnya, Ghea berjongkok seraya meraih kedua tangan El. "Mama pergi dulu ya, Sayang. Besok mau dijemput jam berapa?"
Ghea mengetahui bahwa anaknya itu tidak bersekolah hari ini dan esok hari karena adanya rapat guru. Pemberitahuan ini telah Ghea terima sejak dua hari yang lalu melalui surat elektronik, sehingga memang ia telah memiliki jadwal agar membawa anak-anaknya ke rumah sang mertua.
El berpikir sejenak seraya menaikkan jari telunjuk di pipi dan netra yang menatap ke arah atas. "Ehm, gimana kalo Mama jemput jam 11 aja? Abis itu, kita makan siang di tempat makan."
"Oh, Kakak mau makan siang di luar? Mau makan di mana, Nak?"
"Makanan Jepang?" seru El dengan mata penuh keantusiasan.
"Boleh boleh," ujar Ghea memamerkan senyum lembut. "Oh iya, sebentar malam sebelum Kakak bobo, Mama mau nelpon. Nanti kalo Mama lupa, minta tolong Eyang Uti atau Tante Ni buat nelpon Mama."
"Okey, Mama." El menaikkan satu jempolnya.
Sebelum Ghea melanjutkan perkataan, El dengan cepat dan lembut mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat puan itu seketika tertegun, sementara Abi dan Farhan telah menjauhkan tubuh dari ibu-anak tersebut, bergabung dengan anggota keluarga lain. "Mama, bisa nggak Kakak sama Adek nggak ditinggalin mulu di rumah Eyang? Emang Mama mau ke mana? Kakak sama Adek ngerepotin Mama ya kalo kita ikut?"
"Kakak, kok, ngomong kayak gitu?"
"Nggak, Kakak cuma nanya aja. Soalnya dari dulu Mama sama Papa selalu ninggalin kita di rumah Eyang. Bukan Kakak nggak suka, cuma sekarang lagi libur, Ma. Kakak juga setiap harinya di sekolah, jadi nggak sering bareng Mama-Papa. Kakak cuma pengen bareng-bareng kayak waktu ke taman bermain itu--"
Ghea tersenyum tipis. "Kakak--"
El tiba-tiba memutar tubuh, bersiap untuk melangkah meninggalkan Ghea menuju kakek, nenek, tante, dan om-nya di gazebo sana. Tetapi, tangan perempuan itu terlampau cepat menarik lengan anak sulungnya, sehingga tubuh El kembali menghadap sang hawa. Ghea menunduk untuk melihat wajah El yang ternyata sudah memerah, menyembunyikan air muka kecewa dan mungkin sebentar lagi tangisnya akan pecah.
"Besok Mama jemput, Nak."
"Mama juga selalu bilang gitu, kok. Tapi ternyata Mama jemputnya kadang lama. Dari Minggu ke hari Minggu lagi. Lama, kan, Ma?"
Benar dugaan Ghea, sebab air mulai jatuh dari manik El.
Ghea menelan ludah dengan susah payah, lalu meraih sang anak dalam pelukan hangat dan mengelus bahu El berkali-kali. Setelah jarak akhirnya tercipta, perempuan itu berujar, "Mama janji, besok Mama jemput Kakak sama Adek jam 11. Kita abisin waktu bertiga sama-sama lagi. Ya, Nak?"
"Janji?" El mengangkat jari kelingkingnya sembari memamerkan senyum lebar.
Seraya menyambut dan menautkan jari kelingking, Ghea berucap, "Mama janji."
Wanita itu kemudian menghapus air mata El yang sempat terjejak di pipi gempal sang anak, lalu mencium kening dan puncak kepala El berulang kali. "Mama pergi dulu ya, Sayang."
"Iya, Mama. Hati-hati ya. Jangan dilupain janjinya."
"Siap, Bos!"
Jika boleh jujur, Ghea juga sedikit berat hati meninggalkan Tata dan El. Tetapi, ia juga benar-benar butuh waktu untuk sendiri dan memikirkan banyak hal. Ia juga sadar bahwa ia harus menyelesaikan apa yang menjadi misinya, agar jiwa puan di luar sana bisa bebas.
Setelah berpamitan pada seluruh anggota keluarga, Ghea pun mengendarai taksi online dan hilang dari pandangan dengan cepat.
.
.
.
.
.
.
Sang hawa berpikir untuk pergi ke supermarket terlebih dahulu, membeli beberapa bahan makanan untuk santap malam dan esok pagi.
Entah mengapa, Ghea merasa begitu bahagia bisa pergi seorang diri seperti ini. Persis seperti dulu sebelum dirinya dikenal oleh banyak orang. Perempuan itu bisa pergi ke manapun tanpa harus khawatir mendengar suara langkah kaki pencari berita dan kamera paparazi. Tak perlu takut dengan gunjingan orang-orang di sekitar yang melihatnya. Tidak perlu risau dengan kemunculannya di layar kaca. Tidak, tak ada yang perlu ia cemaskan lagi.
Drrtt... Drrtt...
Ghea menatap layar ponsel dan tersenyum tipis ketika tulisan 'Ibu Cantik' muncul. Segera, Ghea menggulir jempol pada bagian berwarna hijau.
"Ghea?"
"Iya, Bu?"
"Kamu di mana? Ibu kangen ... kamu nggak kangen sama Ibu?"
Sang hawa terkekeh pelan. "Aku juga kangen sama Ibu."
"Jadi, kapan kamu ke sini? Ibu kangen El sama Tata juga."
"Ehm...."
Seraya mendorong troli yang baru terisi oleh beberapa roti, kukis, dan minuman berasa; tatapan Ghea tiba-tiba saja memincing pada satu sosok di depan sana. Tampak tak asing dengan rambut gelap senada dengan jaket kulit dan celana jeans yang dikenakan. Sosok itu tak membawa troli ataupun barang-barang walau hanya sekadar digenggam. Ya, Ghea memang tidak mengenal orang tersebut, tetapi ia mencurigai gerak-gerik laki-laki itu.
Dari jarak yang sekitar lima belas langkah, Ghea bermaksud untuk mendekat. Namun, alih-alih mengayunkan langkah, Ghea justru kembali mengangkat ponsel ke telinga, di mana sang ibu telah terdengar mengoceh karena perkataannya tak mendapatkan respons.
"Ehm ... anu, Bu--"
"Anu anu. Jadi, kapan?" acap Mirah dengan gemas.
Tanpa melepaskan pandangan dari sosok tersebut, Ghea menjawab, "Nanti aku nanya Mas Ardian dulu. Maaf ya, Bu, aku matiin soalnya aku lagi sibuk nih, dadah."
Tanpa menunggu jawaban Mirah, Ghea dengan cepat memutus sambungan dan kembali memasukkan ponsel dalam tas. Sesaat ia mendongak, sosok itu pun telah menghilang dari mata. Bergegas, Ghea mengejar orang tersebut dengan meninggalkan troli di belakang sana. Sayangnya, meskipun tatapan Ghea mengedar dengan cepat, ia tetap tidak menemukan orang tersebut.
"Kenapa orang-orang, tuh, cepet banget ilangnya?" monolog sang puan sambil mengernyit, sesekali terlihat mengusap pelipis dan satu tangan berkacak pinggang.
Dirasa tak menemukan jawaban atas sosok yang dilihatnya beberapa menit yang lalu dan telah selesai mengambil beberapa barang, Ghea pun bergegas ke suatu tempat.
Tidak, dia tidak menuju hotel Athena yang kepemilikannya atas nama Ghea Aurellia seperti izinnya pada seluruh anggota keluarga beberapa jam lalu. Tetapi, langkahnya begitu mantap menjejak di apartemen Moonlight, sebuah apartemen di kawasan elit di tengah-tengah kota yang dapat diakses dari berbagai jalur.
Apartemen ini merupakan tempat tinggal Kiana, sehingga ia tak heran ketika menemukan satu atau dua orang berpakaian pegawai stasiun tv masih mondar-mandir di lobi. Entah apa yang mereka lakukan di sini, padahal mereka tahu bahwa Kiana masih belum tersadar juga di rumah sakit yang tak jauh dari apartemen Moonlight.
Dengan sebuah kantung kresek berwarna putih di tangan kiri dan tas di tangan kanan, kaki Ghea akhirnya tiba di depan lift. Tak ada satu orang pun yang berdiri di sampingnya membuat puan itu sekali lagi mengembuskan napas lega.
Ting...
Lantai demi lantai akhirnya terlewati, hingga perempuan tersebut berhenti tepat di lantai delapan belas. Langkahnya begitu ringan melewati deretan kamar, koridor bermarmer dengan warna kuning gading, serta beberapa vas bunga di titik-titik tertentu. Saat kedua tungkai tiba di pintu kamar 57, Ghea menekan password yang terpasang di depan pintu.
Dan tentu saja, itu bekerja dengan sempurna!
"Ah, gila. Akhirnya gue pulang!" ucap Ghea ketika pintu berhasil ia buka.
Perempuan itu meletakkan sepatu di rak, lalu kembali menenggakkan punggung. Ghea tiba-tiba bergeming, seolah kakinya mendapatkan gravitasi yang luar biasa besar, dada berdetak tak karuan, mulut terkatup, dan kepalanya sontak tidak mampu memikirkan apapun.
Melihat sosok di depan sana, Ghea hanya berucap tak percaya....
"Lho, Mas?"
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top