13. Keputusan Final

.
.
.


"Jadi, pembangunan butik kamu udah berapa persen?" tanya Ghea pada Risa sesaat setelah menyesap teh.

"Udah sekitar--" Risa nampak berpikir dengan menatap sedikit ke arah atas, "60% Kak. Itu, sih, kata Mas Farhan. Kayaknya 40% itu masih belum kelar gegara kita berdua biasanya berselisih paham, deh. Aku maunya gini gini, Mas Farhan beda lagi. Yaaa jadi nggak ketemu."

Risa dan Ghea kembali terkekeh.

"Kalo debat-debat gitu, mah, udah biasa di rumah tangga."

"Bener banget, Kak. Asal nggak maen tangan, maen kaki, lempar piring, lempar baskom, lempar wajan, aku jabanin," acap Risa dengan antusias.

"Ya ampun, Risa ada-ada aja," ujar Ghea seraya menepuk ringan paha adiknya itu. "Tapi, Kakak penasaran, deh. Kakak pernah nggak ya berantem sama Kakakmu? Berantem yang gede gitu, lho, yang mungkin sampe ngomong pisah?"

"Seingat aku nggak, Kak. Ini nggak tau ya kalo emang pernah dan kalian berdua nggak cerita. Dulu memang setiap ada masalah, Kak Ghea biasanya cerita sama aku atau nggak ya ke Aini. Tapi, selama ini Kakak nggak ngomong apapun tentang pertengkaran dengan Kak Ardian."

"Oh gitu ya...."

Ghea membuang tatapan ke arah meja yang membuat Risa menatapnya dengan mengerutkan kening. "Emang kenapa, Kak?"

"Nggak, ini apa namanya ... Kakak pernah berantem sama Mas Ardian beberapa hari yang lalu dan Kakak rasanya masih aneh aja sekarang. "

Mengingat kembali bagaimana Ardian menjelaskan tentang pembagian tugas sebagai orang tua pada Ghea beberapa waktu lalu membuat hatinya seketika kembali sakit. Perempuan itu berpikir bahwa mulai sekarang ia harus mengubah perjanjian konyol itu. El dan Tata harus mendapatkan apa yang seharusnya mereka terima sebagai anak, mendapatkan cinta dan kasih sayang dari kedua orang tua secara utuh. Lebih penting lagi adalah ia harus menghentikan kebiasaan ringan tangan yang biasa dilakukan oleh Ghea asli pada El.

Sang puan merasa bahwa keluarga sempurna yang berada di bayangannya, mungkin memang tak pernah ada.

Risa kemudian mengambil tangan Ghea dan memperlihatkan tatapan teduh yang membuat puan tersebut menaikkan kembali tatapan semula. "Kak, kalian nggak papa, 'kan? Kalo ada masalah cerita sama aku. Dulu, Kakak selalu cerita, lho."

Perempuan beranak dua itu menggeleng pelan. "Iya, kita udah nggak ada masalah, kok. Lagian, Mas Ardian juga nggak nganggap itu masalah besar."

"Semoga kalian selalu baik-baik aja ya, Kak."

"Kamu juga sama Farhan," Ghea menepuk ringan tangan Risa yang berada di paha sembari tersenyum tipis, "tapi, yang lebih penting, buruan ambil cuti!"

"Iya iya. Ya ampun, diingetin mulu...."

Sret...

Bersamaan dengan berakhirnya perkataan Risa, Farhan tiba-tiba saja membuka pintu. Nampaknya, pria bertubuh tinggi dan berpostur tegap itu akan menjemput sang istri sore ini. Melihat sosoknya diambang pintu, Farhan tersenyum lebar pada Ghea. Sedangkan El dan Tata tidak mempedulikan pamannya itu, serta masih setia kembali mengaduk-ngaduk akurium di sana. Entah, mungkin saja sekarang ikan cupang milik Risa sudah tidak selamat lagi.

"Oh, ternyata Kak Ghea, aku kira yang datang Kak Ardian soalnya di bawah udah ada Pak Rafli," acap Farhan seraya mengulurkan tangan pada Ghea. "Kakak apa kabar?"

Membalas uluran tangan Farhan, Ghea berujar, "Baik, baik banget. Ya ampun, Kakak nggak tau di bawah udah ada Pak Rafli. Soalnya, nggak nelpon juga, mana nggak ada yang ngasih tau. Kamu juga gimana kabarnya?"

"Seperti yang Kakak liat, aku seger banget."

"Semoga selalu kayak gitu. Oh iya--" Ghea menunjuk pada Risa yang duduk di sebelahnya, "nih kayaknya nggak mau cuti ya?"

"Udah coba dibilangin Mami sama Papi, tapi tetap aja nggak ngaruh, Kak. Apa perlu dimarahin sama Kak Ardian dulu kali ya baru dia denger?"

"Wah, ide bagus. Bentar Kakak kasih tau Mas Ardian kalo udah sampe rumah."

Risa mencebik, "Ya ampun, jadi sekarang kalian bersekongkol ya untuk ngusir aku dari sini."

Sontak saja, Farhan, Ghea, dan Risa kembali bagi senyum.

Tak lama kemudian, Ghea pun mengajak semuanya untuk pulang, termasuk pada Tata dan El yang akhirnya mau kembali setelah dibujuk Farhan. Awalnya, Tata sempat tak ingin meninggalkan ruangan karena ia meminta akuarium kecil itu dibawa pulang sekalian. Sayangnya, Ghea menolak dan Farhan memberi pengertian berulang kali sehingga Tata menyerah dan kini telah berada dalam gendongan Ghea sembari menyembunyikan air mata. Sepertinya Tata masih tak ikhlas meninggalkan ikan-ikan itu.

"Udah siap lah Farhan jadi ayah," ujar Ghea ketika Farhan dan Risa mengantarnya ke mobil yang dikendarai oleh Pak Rafli.

"Harus, dong, Kak!" jawabnya mantap.

"Yaudah, makasih banyak ya, Sa, udah temenin Kakak muter-muter butik. Kalo gitu Kakak duluan ya. Hati-hati kalian!"

"Iya, sama-sama. Kakak juga hati-hati," ujar Risa.

.
.
.

.
.
.

"Lebih keras, Ma!" pinta Ardian dengan sesekali diselingi rintihan.

"Ini udah keras, Papa!" gemas Ghea.

"Nggak kerasa apa-apa. Kuatin lagi!"

"Ya ampun ... segini?"

"Nah iya, ini enak banget. Tapi, agak ke bawah dikit, Ma."

"Di sini?"

"Iya, bagian itu. Kerasin lagi, Ma!"

Ghea hanya mengembuskan napas ketika Ardian memintanya untuk memijat dari betis hingga ke jari-jari kaki menggunakan minyak urut malam itu. Puan yang berada di atas tempat tidur dengan duduk bersila di samping kaki sang suami kini terlihat memusatkan atensinya pada layar kaca di depan sana. Suara pewarta yang menyiarkan tentang kecelakaan beruntun terdengar jelas, meskipun volume yang diatur oleh sang suami tak terlalu besar.

Hal ini tentu saja tidak akan terjadi jika El dan Tata belum tertidur. Sekarang, keduanya sudah masuk ke dalam mimpi tepat di samping tubuh Ardian. Awalnya, laki-laki itu sedikit heran ketika Ghea mengajak kedua anaknya untuk tidur bersama. Sebab, kata Ardian, Ghea tak pernah mengizinkan anak-anak untuk tidur dengan mereka bahkan satu kali pun.

Sementara Tata terdengar sudah mendengkur kecil di dalam ketiak sang ayah, El justru tidur dengan membuat formasi 'bintang'. Nampaknya bocah laki-laki itu tidak memberi Ghea sedikit tempat untuk merebahkan tubuh.

"Ma?" panggil Ardian.

"Ehm?"

"Lusa Papa mau pergi keluar kota, ngeliat proyek di sana."

Seketika, pandangan Ghea kini terpusat pada Ardian yang sedang berbaring dengan tangan kanan sebagai tumpuan kepala. Perempuan itu juga berhasil mengabadikan senyum jail dan kedua alis yang dinaikturunkan berulang kali.

"Oh ya? Berapa hari? Papa pergi sama siapa?" tanya Ghea penuh selidik.

"Tiga hari, pergi sama sekertaris Papa-lah."

"Siapa? Si Jenar Jenar itu? Berdua doang?"

Sempat tak ada pembicaraan antara mereka berdua dan hanya berbagi pandang selama beberapa detik, sebelum akhirnya Ardian bersuara, "Kenapa? Mama cemburu ya?"

"Nggaklah, Mama nggak cemburu!" Putus Ghea kemudian, lalu membuang muka dari hadapan sang suami. Jujur, ia sebenarnya tidak ingin mengatakan hal tersebut. Akan tetapi, ia tidak tahu mengapa mulutnya seakan tak dapat bekerjasama dengan otak. Istilahnya, lain di hati, lain pula di mulut.

Ardian tersenyum tipis, lalu bangkit dan merengkuh sang istri dalam dekapan erat. Sang adam menenggelamkan wajah di bahu belakang Ghea sembari sesekali diberi kecupan. "Yaudah, nggak papa juga kalo Mama nggak mau ngaku. Nanti Papa jadwalin pergi berlima sama pegawai lainnya biar Mama nggak cemburu."

"Ehm ... bagus, deh." Ghea masih tak acuh, namun ia tampak mengulum senyum.

"Duh, gemesnyaaa." Ardian berkali-kali mencubit ringan pipi sang istri yang membuat Ghea akhirnya membalas dengan senyuman simpul.

"Dulu Mama nggak pernah nanya kayak gitu. Setiap Papa minta izin pergi perjalanan dinas, pasti jawaban Mama selalu 'Yaudah, sana!'."

"Oh iya? Kok sedih banget?"

Perempuan tersebut terkekeh dibuatnya. Ia juga sedikit tak menyangka jika respons yang diterima Ardian hanya seperti itu. Padahal, laki-laki tersebut pasti meminta tanggapan lebih dari sang istri.

"Iya, 'kan? Mama juga dulu, tuh, nggak pernah antar Papa sampe pintu depan kalo mau berangkat kantor seperti biasanya. Gimana mau anterin, Mama aja bangunnya jam sembilan mulu."

Ghea refleks memutar tubuh sebentar dan memberikan tepukan ringan di bahu Ardian. "Nggak usah bohong, ah," acapnya dengan tubuh yang kembali lagi menghadap ke depan, tidak menunggu balasan suaminya.

"Papa ngomong apa adanya."

Segitunya ya gue? batin Ghea.

Ardian kembali berkata bahwa sejak bangun dari koma, Ghea benar-benar menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Bukan, bukan fisik, melainkan tingkah laku yang selama ini ditunjukkan. Awalnya, Ardian merasa asing. Namun, semakin lama ia menikmati perubahan Ghea tersebut dan mencoba memahaminya, meski ia mengakui bahwa terkadang ia juga kebingungan sendiri.

Ghea berpikir bahwa apa yang Ardian katakan tentulah benar adanya. Sebab, jiwanya saat ini bukanlah jiwa Ghea, melainkan Kiana. Hingga hari ini pun, ia masih tak paham mengapa jiwa Ghea memilih dirinya untuk masuk ke raga perempuan tersebut. Misi apa yang seharusnya Kiana lakukan agar Ghea dapat kembali ke tubuh aslinya tanpa terganjal.

Namun yang pasti, sepertinya perempuan itu memutuskan untuk menyerah dalam mencari dokumen perpisahan. Dari Bi Sum, Reza, hingga Risa, semuanya adalah orang terdekat Ardian dan tak ada satu pun yang mengetahui tentang perdebatan yang menjadi polemik dalam rumah tangga mereka. Entah Ardian dan Ghea yang berhasil menyimpan rapat terkait perpisahan mereka dari semua orang. Atau, memang tak ada niatan untuk melakukan itu semua sedari awal.

Keputusan Ghea kali ini sudah final!

Terkait dengan Ardian dan El, Ghea nampaknya harus mengatakan sesuatu pada sang suami.

"Pa, Mama boleh ngomong nggak?"

Ardian menoleh pada sang istri dengan kening berkerut. "Ya boleh, dong."

"Mulai besok, usahain pulang sore ya. Abis itu temenin Kakak sama Adek maen di pekarangan belakang."

"Nggak bisa, Ma. Papa banyak kerjaan, makanya Papa pulang malam mulu, kan? Papa nggak ada waktu buat gitu-gituan."

Ghea menggeleng cepat dengan wajah tertekuk, nampak sedikit memohon. "Nggak bisa diusahain ya, Pa? Sehari aja kalo gitu. Soalnya, kan, lusa Papa udah berangkat. Ya, Pa?"

"Emangnya Mama mau ke mana, sih? Kenapa nggak Mama aja yang nemenin anak-anak main?"

"Nggak, Mama nggak ke mana-mana. Cuma yaaa Mama pengen Papa lebih dekat lagi ke anak-anak. Emang Papa mau anak-anak lebih dekat ke orang lain, contohnya seperti ke Pak Reza dari Papanya sendiri? Ya, Pa? Sehari aja, deh, kalo gitu."

"Iya...." Ardian menjawab dengan malas.

"Lagian juga nggak ada ruginya, kan, Pa?Jadi, kalo misalnya nanti Mama udah nggak ada, Papa nggak susah dekat dan atur mereka karena Papa udah terbiasa dan tau mau anaknya kayak gimana. Seperti waktu Mama koma, 'kan? Papa jadi kesusahan sendiri tanpa Mami, Ibu, Aini, sama Risa. Anak-anak juga jadi manja banget, mau deket Papa mulu. Tapi, Papa nggak tau gimana caranya ngatur mereka, jadi Papa kembali ngasih kendali ke orang lain untuk urus anak-anak. Coba seandainya mereka deket sama Papa dari dulu, Papa pasti nggak akan terlalu berat karena udah terbiasa. Tapi, Mama juga mau bilang kalo Papa keren banget, bisa menuhin semua kebutuhan kami, sampe kadang nggak ada waktu buat diri sendiri dan keluarga. Maaf dan makasih ya Papa untuk semuanya," tutur Ghea lembut.

Tak ada jawaban dari sang suami membuat Ghea hanya mendengkus, lalu kembali fokus pada layar kaca di depan sana yang kini sudah berganti program dari berita menjadi siaran musik malam. Entah mengapa, rasanya sedikit lega bisa mengatakan hal tersebut tanpa melihat langsung ekspresi Ardian, tetapi setidaknya Ghea senang karena sang suami telah mendengar apa yang ia rasakan selama ini.

Ghea tiba-tiba tersentak tatkala kedua tangan Ardian memutar pinggulnya dan membawa Ghea untuk duduk dipangkuan sang adam sehingga keduanya saling menatap satu sama lain dengan intens. Tangan perempuan itu refleks bergerak untuk menyugar anak rambut Ardian dan membelai wajah dengan rahang tegas itu berulang kali, hingga Ardian mulai memejam untuk menikmati setiap sentuhan sang istri.

Jangan salahkan suasana romantis yang tercipta secara mendadak karena lampu temaram dan alunan musik yang menyentuh indra pendengaran, 'Body On Me' dari Rita Ora dan Chris Brown yang mengalun lembut nampaknya cocok sekali dengan atmosfer saat ini.

"Maafin Papa ya, Ma, karena kerjaan yang ternyata menyita waktu dan terima kasih juga karena udah mau ngertiin Papa. Tapi, please ... jangan bilang kayak gitu lagi, karena menuhin seluruh kebutuhan kalian adalah kewajiban Papa. Mama juga jangan bilang bakalan pergi ninggalin Papa, karena Papa nggak bisa tanpa Mama. Maaf kalo kesannya terlalu berlebihan, tapi Papa beneran takut kayak kemarin...."

Ardian tiba-tiba saja menundukkan kepala, tatapannya jatuh pada dada sang istri yang telah terbungkus oleh piyama sutra.

Ghea menarik kedua sudut bibir ke atas dan memperlihatkan tatapan teduh, lalu mengangkat dagu Ardian agar mereka saling menatap kembali. "Kan Mama bilang seandainya...."

"Walaupun itu cuma pengandaian atau apapun itu, Papa nggak mau denger lagi! Ya, Ma?"

Sang hawa tersenyum tipis. "Iya, Sayang. Maaf ya."

Hening kemudian merayap menelisik dua insan tersebut. Mereka kembali saling memandang netra untuk beberapa saat.

Lantas, tangan Ardian kemudian bergerak untuk meraih tengkuk Ghea dan membawanya semakin dekat, hingga deru napas keduanya semakin terdengar jelas. Tanpa menunggu lama, Ardian meraih bibir ranum puan dengan lembut dan membawanya pada gelombang yang memabukkan. Rasanya tak ingin berhenti ketika Ghea membalas ciuman tersebut dengan lihai dan penuh keintiman.

Ghea mendesah pelan dan melepaskan pagutan, ketika satu tangan sang suami mendarat di dadanya dan satu bagian lainnya mulai melesat meraba titik sensitif di antara kedua paha sang hawa.

Ah, tidak. Mereka tidak mungkin melanjutkannya di sini dan membangunkan anak-anak!

"Pa, di kamar lain aja, yuk? Please...." pinta Ghea dengan wajah yang telah memerah.

Ardian mendongak dan menarik satu sudut bibir ke atas, seolah menggoda Ghea. "Mama mau? Beneran?"

"Iya, ih. Ayo! Mama udah nggak tahan."

Tanpa menunggu lama, diraihnya tangan Ardian keluar dari kamar dan menuju ruangan lain untuk menuntaskan apa yang seharusnya diselesaikan oleh suami istri tersebut.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top