10. Taman Bermain
⚠️ Chapter ini memuat konten dewasa (sensual) yang tidak disarankan untuk pembaca di bawah umur.
Jika teman-teman merasa tidak nyaman, silakan skip chapter ini 😊
.
.
.
.
.
.
"Argh!"
Satu erangan singkat menjadi tanda berakhirnya aktivitas penuh gairah dan desakan Ardian pada Ghea di bawah sana, lalu kening keduanya menempel satu sama lain untuk meredakan panas yang sempat menyelimuti. Mengatur napas dengan memejamkan mata menjadi pilihan terbaik di saat Ardian masih berada di atas sang hawa, menguncinya seperti awal bersatunya kedua tubuh.
Deru napas yang seolah berlomba antara dua insan semakin lama semakin teratur, membuat Ghea akhirnya membuka mata untuk melihat sang kekasih yang juga bermandikan peluh. Ditangkupnya wajah dengan rahang tegas itu, lalu diberi kecupan singkat di bibir menjadikan senyum lelaki tersebut mengembang dan matanya terbuka sayu. Ardian membalas dengan memberikan ciuman di kening Ghea, lama dan penuh kehangatan.
Tak lama kemudian, Ardian menarik selimut menutupi diri dan sang istri, lalu membaringkan tubuhnya tepat di samping Ghea. Sekali lagi, netra sepasang suami istri itu memejam untuk beberapa menit. Ardian bahkan melipat satu lengan yang ia bawa menutupi matanya.
Setelah senyap mulai merambat dan dada yang semula naik turun tak karuan berangsur normal, Ghea memeluk tubuh Ardian dan meletakkan kepala di dada bidang yang terekspos sempurna itu.
Puan tersebut mendongak dan memanggil pelan, "Pa!"
Tanpa menurunkan lengan, Ardian membalas singkat. "Ehm?"
"Besok kan Minggu, Kakak El nggak sekolah, Papa juga nggak masuk kantor. Kita jalan-jalan, yuk?"
"Emangnya Mama mau ke mana?"
Ghea berpikir sebentar. "Gimana kalo ke taman bermain aja? Yang di tengah kota itu, lho, Pa."
"Pasti itu rame banget, deh."
"Yaiyalah, kan Minggu. Ya, Pa?"
Tak ada suara dari sang suami membuat Ghea seketika mengernyit. Namun, sedetik kemudian ia dapat menangkap satu sudut bibir Ardian terangkat, tersenyum jail.
"Papa pengen denger Mama mohon-mohon ke Papa coba."
"Ck! Papa mah gitu...."
"Mau pergi nggak?"
"Ya mau, tapi--"
"Eh, tunggu bentar deh, Ma--" Ardian menurunkan lengan dan membuka matanya seraya menatap langit-langit kamar, "tentang Hazel yang Mama bilang kemarin, Papa udah nyari sama nanya-nanya HRD juga. Kata mereka ada satu orang namanya seperti itu, tapi S ya, bukan Z. Jadi, Hasel."
Mendengar penuturan sang suami, Ghea sontak mengangkat kepala. Siku kanannya bergerak menopang tubuh dan tatapan perempuan itu memaku serius pada Ardian.
"Tapi, umurnya sekitar 40-an, kalo nggak salah 43 apa 44 gitu. Papa lupa!" lanjut Ardian.
"Ih, nggak ah, Pa. Keliatan dia umurnya sekitar 20-an, mungkin 25 atau 26? Pokoknya 20-an lah. Orang keliatannya masih muda gitu, kok." Ghea menyangkal keras ucapan sang suami.
"Beneran! Tanya aja HRD di kantor, pasti sesuai dengan yang Papa bilang barusan."
Ghea sontak membuang pandangan ke arah lain dan dengan perlahan menjatuhkan tubuh di samping Ardian, ikut memandangi langit-langit kamar yang sekarang dalam suasana remang-remang akibat lampu kuning yang menyala di beberapa sudut. Ia tampak sedang berpikir dalam dan mencoba mengingat kembali rupa pemuda tersebut.
Ya, Ghea yakin jika Hazel tak setua yang Ardian sebutkan!
Saat asyik berkutat dengan pikiran sendiri, Ghea tak sadar jika Ardian telah memiringkan tubuh ke arah sang hawa dengan satu tangannya menjadi tumpuan. "Ma, jadi nggak ke taman bermainnya?"
"Oh," fokus Ghea akhirnya terpecah setelah mendengar perkataan Ardian, "yaiyalah, harus jadi pokoknya!"
"Kalo gitu Papa punya persyaratan lain."
Ghea sontak menoleh. "Apa coba?"
"Papa minta satu kali lagi ya?" ucap Ardian dengan cengiran lebar hingga membuat mata lelaki itu terlihat tinggal segaris.
"Satu kali lagi apa?"
"Yang tadi."
Astaga!
Ghea membelalak sempurna. "Papa nggak capek?"
"Nggaklah, berapa kalipun bakalan Papa jabanin kalo Mama mau!"
Sang hawa hanya mengembuskan napas, lalu kembali menatap plafon di atas sana tanpa memedulikan permintaan Ardian yang kini sedang senyum-senyum bak orang kerasukan dedemit. Perempuan itu sekarang lebih memilih untuk memikirkan sesuatu di diri Hazel yang membuat Ghea penasaran. Contohnya, laki-laki itu terlihat seperti mengeluarkan sebuah bayangan atau aura berbeda dari tangan ketika Hazel menyerahkan Tata ke Ghea di lobi kemarin.
Benar-benar sesuatu yang tak asing!
Ingin menebak-nebak, tetapi dirasa sia-sia saja sebab Ghea tak mengingat apapun. Akan tetapi untuk melupakannya, Ghea juga tak bisa.
"Aw, Papa!" pekik Ghea ketika ia menyadari bahwa sang suami sudah berada di antara kedua kakinya dan memainkan jari. Entah sejak kapan ia berada di sana.
"Sekali lagi ya, Ma. Beneran cuma sekali."
"Beneran lho ya. Awas kalo minta lebih!" ancam Ghea membuat Ardian tersenyum dan memperlihatkan deretan gigi yang rapi.
Dan malam itu ternyata tak berakhir damai, mengingat permainan panas kembali terjadi seperti sebelumnya.
.
.
.
.
.
.
"Yeah, yeah, yeah, yeah," sorak Tata antusias ketika mobil akhirnya terparkir sempurna di taman bermain terbesar di kota tersebut.
Ardian membuka pintu tengah dan melepaskan seat belt yang membelit kedua anaknya. El dengan cekatan merapikan pakaian ketika kaki telah berpijak di tanah, sedangkan Tata turun perlahan dari mobil sambil memegang tangan papanya. Sementara itu, Ghea sendiri sedang mengambil beberapa barang di bagian dashboard dan memasukkan di dalam tas yang berukuran kecil.
Setelah semuanya telah siap, mereka akhirnya bergerak menuju pintu masuk khusus. Mereka tak mengantri dan membeli tiket di loket seperti orang pada umumnya, sebab Ghea sudah memesan secara online dari beberapa jam yang lalu untuk keluarga kecilnya.
Dan memang benar, suasana taman bermain sangat ramai!
Tata yang sedang berada di genggaman Ardian pun dengan cepat menggoyang-goyangkan tangan sang ayah. "Ayo, ayo," pintanya tak sabaran.
"Iya, ayo!"
Baru beberapa langkah berjalan, Tata langsung menarik Ardian menuju bagian yang menjual pernak-pernik dan cenderamata khas taman bermain tersebut. Tanpa menunggu lama, Ghea dan El pun mengikuti derap si putri kecil.
Toko itu terbilang unik. Bentuk bangunannya menyerupai jamur dengan atap merah dan bintik-bintik besar berwarna putih. Sedangkan di bagian dinding berdominasi krem dengan beberapa lubang angin dibentuk menyerupai jendela rumah kurcaci di film Disney, Snow White. Meskipun terlihat kecil di luar, ternyata bagian dalam tidaklah demikian. Di dalam berisikan banyak jualan yang lucu dan menarik mata, seperti sekarang Tata berhenti di tempat yang memajang banyak bando dengan telinga hewan-hewan menggemaskan.
"Papa, ambilin Adek yang kelinci!" suruhnya dengan sesekali berjinjit dan satu tangan terulur. Melihat tingkah menggemaskan Tata itu, Ghea tak dapat menyembunyikan senyum simpul.
"Yang mana, Dek?" Ardian nampak mencari-cari benda yang dimaksud oleh sang putri.
"Itu, yang sebelah kanan!"
Mata Ghea, Ardian, dan El sekali lagi mengikuti arah telunjuk Tata.
"Ih Adek mah, itu sebelah kiri!" protes El.
"Yaudah, sebelah kiri, deh."
Ardian dan Ghea seketika menggeleng pelan diselingi kekehan kecil yang mengundang atensi Tata. "Papa pake yang harimau, Mama yang kucing. Kalo Kakak pake itu aja, yang jerapah!"
El mendadak mengernyit dan mengedikkan bahu, lalu kembali mengeluarkan bantahan. "Nggak ah, Kakak maunya pake yang gajah."
"Kan Kakak tinggi kayak jerapah. Mama lucu kayak kucing. Kalo Papa pake yang harimau soalnya badan Papa gede," jelas Tata sambil memasang bando di kepala.
Mendengar penjelasan Tata, Ghea langsung memberi respons cepat. "Oh gitu...."
Tak butuh waktu lama, keluarga kecil Ardian kemudian mencoba beberapa wahana yang sesuai usia si kecil, seperti kereta api mini, rumah boneka, dan komidi putar yang berada di tengah-tengah taman. Tak cukup sampai di situ, El bahkan dengan semangat menarik tangan Ardian untuk bergerak menuju tempat yang khusus memamerkan robot-robot dari berbagai negara. Jangan tanyakan bagaimana anak itu memilih-milih robot yang menarik atensinya. Bersama sang ayah, El bahkan tak bisa diganggu atau diajak mengunjungi tempat lain. Masalah robot-robotan, Ardian dan El memang juaranya.
Oleh karena mereka berdua sudah asyik sendiri, Tata bergegas menarik tangan Ghea keluar dari tempat tersebut. Putri kecil itu nampaknya tak tertarik dengan mainan kegemaran sang ayah dan kakaknya.
"Mama, ayo liat-liat badut di luar!" ajak Tata yang membuat Ghea langsung pamit pada Ardian dan El.
Sesaat setelah menginjakkan kaki di luar, tanpa disangka ternyata ada festival kostum yang menarik perhatian banyak pengunjung. Tata sontak menarik-narik baju Ghea, meminta untuk digendong karena ia sama sekali tak melihat kemeriahan di sana. Ah, ini terlalu ramai. Ghea bahkan tidak mampu untuk sekadar mengeluarkan ponsel dan mengabadikan kostum-kostum indah itu.
Butuh waktu sekitar lima belas menit sebelum akhirnya festival tiba di penghujung membuat Tata mulai rewel. Ia menggeliat digendongan Ghea, namun ketika diturunkan Tata malah menangis. Segera, Ghea pun menuju sebuah kursi kayu panjang yang tak dihuni oleh siapapun. Ghea mendudukkan Tata di sana, sementara dirinya berjongkok dihadapan si kecil.
"Adek mau apa, Sayang? Bilang sama Mama," ujar Ghea lembut seraya sesekali menyugar rambut Tata.
Disela sesenggukannya, Tata berujar, "Adek capek, Ma. Adek haus."
"Yaudah, ayo kita beli minum dulu! Udah nangisnya ya, Sayang. Kalo Adek pengen sesuatu, bilang langsung ke Mama. Soalnya kan Mama nggak tau Adek maunya apa kalo Adek nggak bilang. Ya, Nak?"
Tata mengangguk sambil sesekali menyeka air mata. "Iya, maaf ya Mama."
Keduanya pun melangkah ringan menuju gerai minuman. Untungnya, itu tak jauh dari tempat mereka duduk, meskipun memang terlihat antrian yang lumayan panjang. Mau tak mau, Ghea kembali menggendong Tata.
Dari satu tempat ke tempat lain, melakukan berbagai hal hingga matahari yang semula berada di atas kepala kini perlahan mulai tenggelam. Benar saja, keluarga kecil itu menghabiskan seluruh waktu di taman bermain. Terkadang Ghea dibuat kelimpungan oleh keinginan Tata yang selalu berubah-ubah atau saat El mulai jenuh dan kelelahan. Namun, ketika ditanya apakah mereka ingin pulang, keduanya justru menolak dan tetap berkeliling.
Sore itu, Tata seketika berhenti ketika melihat seorang anak yang mungkin sebayanya sedang memegang es krim berbagai rasa yang ditumpuk-tumpuk menjadi satu. Oleh karena langkahnya yang terhenti itu membuat Ghea, Ardian, dan El melakukan hal yang sama. Pandangan Ghea kemudian mengikuti arah mata anak bungsunya dan seketika paham.
"Adek mau es krim juga?" tanya Ghea lembut.
Tiba-tiba saja El meraih tangan Tata sembari berucap lantang, "Adek nggak boleh makan es krim! Udah, jalan sama Kakak aja sini."
Mereka melangkah di depan dan meninggalkan Ardian serta Ghea yang termangu di belakang.
"Kok nggak boleh, Kak?" tanya Ghea cepat.
Sontak saja derap El terhenti, lalu anak itu memutar tubuh pada Ghea yang masih berdiri terpaku dengan suara El yang untuk pertama kalinya terdengar keras dan kasar bagi Ghea. Tidak, El memang tidak banyak berbicara padanya dan sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Terkadang, ia lebih memilih untuk bermain gim sendirian dibandingkan mengobrol banyak bersama Ardian dan Ghea.
Sungguh, Ghea baru sadar itu sekarang!
Tatapan datar yang diperlihatkan oleh El membuat Ghea kembali mengatupkan rahang dan lebih memilih untuk mendengarkan anaknya itu.
"Mama pernah ngambil es krim dari tangan Kakak, trus dibuang gitu aja dan diinjak-injak di tanah. Mama jewer telinga Kakak sampe bengkak dan sakitnya lama. Udah itu, nyubit paha Kakak sampe biru-biru. Mama ngelakuinnya di depan semua orang dan orang-orang jadi ngetawain Kakak. Kata mereka, Kakak anak nakal karena nggak dengerin Mama. Padahal, Kakak selalu ngikutin apa yang Mama mau."
Mata El nampak berkaca-kaca, tetapi Ghea tak tahu bahwa pertahanan anak laki-laki itu luar biasa, hingga El kembali melanjutkan, "Cukup Kakak aja yang dipermaluin kayak gitu di depan semua orang sama Mama. Jangan Adek juga!"
Kalimat demi kalimat yang dikeluarkan oleh mulut kecil El tampak tak memiliki emosi, tetap tenang dan penuh penekanan. Namun, itu sudah layak membuat Ghea tidak berdaya. Dadanya serasa tertusuk berbagai benda tajam dan sesak setengah mati. Kaki yang semula mantap berdiri menopang tubuh seketika melemah, mungkin akan jatuh jika saja Ghea tak melihat situasi yang ada di sekitarnya.
"Ma?" panggil Ardian pelan.
Tangan yang terulur ke bahu sang hawa seketika dihampaskan begitu saja oleh Ghea. "Kayaknya Mama harus ke toilet, deh, Pa. Kebelet."
"O-oh? Ok. Kita nunggu di sini--"
"Nggak usah. Kalian jalan aja! Nanti Mama kan bisa nelpon Papa kalo udah kelar." Ghea memotong perkataan Ardian dan memberikan tersenyum hampa.
Tak ingin mendengar respons Ardian selanjutnya, Ghea memilih untuk memutar badan menuju toilet. Ia berjalan cepat, seolah ingin menghilang dari seluruh tatapan yang mengarah kepadanya.
Ya, pandangan-pandangan itu tentu saja beralasan. Sebab, Ghea berjalan seraya menjatuhkan air mata di pipi. Terlalu banyak saksi mata yang melihatnya sedang bergelayut pada kesedihan hingga Ghea pasrah begitu saja menjadi tontonan di kala kakinya masih menapak di luar sana.
Sesampainya ia di bilik toilet, Ghea bergegas mengunci dan terduduk di kloset. Ia mengangkat kedua tangan, menyembunyikan wajah di sana sambil sesekali menggigit bibir bawah agar isakannya tak terdengar oleh orang lain. Perempuan itu juga menepuk-nepuk dada dengan tangan yang terkepal, mencoba meredakan sesak yang sedari tadi dia tahan.
"Bukan gue. Kata-kata itu bukan buat gue. Tapi, kok nyesek banget? Gila, sakit banget dengernya," sang puan nampak menghembuskan napas dari mulut untuk menetralkan perasaan, "Kenapa Mbak Ghea ngelakuin itu ke Kakak El?"
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top