1. Jiwa yang Bebas

.
.
.

.
.
.

Berjalan dengan sesekali menyibak rambut bak model Victoria Secret, pujian terlontar dan tatapan kagum terpancar dari setiap insan yang mengabadikan derap demi derap Kiana membelah koridor bangunan putih menuju ruangan pribadinya.

Dengan mengenakan pakaian serba putih yang menjuntai menyapu koridor, Kiana tampak percaya diri, meskipun tak ada riasan yang terpoles di wajah putihnya.

"Halo, Sist. Halo, Mbak. Oh iya ... halo juga, Mas Tara," sapa balik Kiana pada beberapa orang yang memanggilnya dengan ramah, sambil memperlihatkan tangan yang sibuk membawa belanjaan dari brand-brand ternama yang ia sampirkan di bahu.

Hingga akhirnya sang hawa berhenti tepat di depan lift tanpa satu pun orang yang menemani di sisinya.

Ting...

Pintu lift pun terbuka menuju salah satu koridor yang diperuntukkan bagi pribadi pemilik pangkat tinggi, jiwa dengan kemampuan finansial di atas rata-rata, hingga individu penguasa layar kaca yang kerap kali wara-wiri dengan jadwal selangit. Dan posisi terakhir yang disebutkan itu ... adalah dirinya.

Kiana Ivanka Hadi, atau yang kerap disapa Kiana adalah anak tunggal dari keluarga Hadi yang terhormat dan bergelimang harta. Sayangnya, sejak ibu gadis itu meninggal dan sang ayah memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan pilihannya serta memiliki perangai yang buruk, Kiana pun diusir dari rumah dan menjalani kehidupan di kota besar. Berbekal uang hanya cukup untuk makan beberapa hari dan tidak adanya perlindungan dari sanak keluarga, Kiana terpaksa tinggal beberapa waktu di sebuah rumah singgah.

Hingga pada suatu ketika, seseorang menemukannya sedang berbelanja kebutuhan di swalayan yang berakhir mengubah hidup gadis itu seperti sekarang: tak lepas dari cahaya terang kamera, kehidupan malam, sorai-sorai dukungan, dan bahkan hinaan menusuk kalbu yang terkadang dilontarkan untuknya melalui jejaring media sosial.

Kini, sudah 7 tahun menjalani hidup sebagai figur masyarakat, membuatnya semakin terbiasa dan mulai muak dengan selentingan peristiwa hidupnya yang disorot kamera, dijadikan konsumsi khalayak. Terkadang, ia ingin menghilang saja. Dan tampaknya ini mulai berhasil dengan perlahan.

Cklek...

Kiana membuka pintu kamar disertai dengan langkah berat dan helaan napas. Rasanya melelahkan setelah mengelilingi bangunan yang besar ini sambil membawa barang hanya untuk sekadar dipamerkan, tentu saja memuaskan hasratnya agar mendapat pujian dari masyarakat.

Barang-barang mewah itu pun diletakkan di atas sofa bersama barang lainnya yang juga masih dalam keadaan rapi, tak tersentuh oleh siapapun.

Kamar yang cukup luas untuk didiami seorang diri dan didekorasi layaknya hotel berbintang lima dengan nuansa cokelat keemasan pada bagian dinding. Pernak-pernik yang terpajang pun tak banyak, selain jam dinding dan televisi 21 inch. Meskipun begitu: meja kaca, karpet kecil, sofa berbahan kulit, lemari baju, lemari pendingin berukuran mini, dan kamar kecil yang dilengkapi dengan pancuran air hangat seketika dapat melupakan minimnya ornamen-ornamen yang ditampakkan.

Kiana duduk di kursi yang diletakkan tepat di samping tempat tidur. Netra gadis itu menghangat ketika tatapannya jatuh pada sosok pucat pasi yang berbaring di depannya, terlelap bak putri tidur yang kehidupannya kini disokong oleh alat-alat medis setiap waktu.

"Nggak kasian liatnya?" ucap salah satu sosok berpakaian putih, suster yang diketahui telah mendiami kamar ini selama kurang lebih 20 tahun, bernama Rara.

Sang superstar tak pernah merasa sendiri sejak dirinya diketahui koma sepuluh hari yang lalu.

Rara, sosok dengan perawakan tipikal perempuan Indonesia pada umumnya, selalu hadir menemani jiwa Kiana yang masih betah untuk berkeliling tanpa khawatir diikuti oleh kamera wartawan. Sebenarnya, paras Rara sangat menarik dan manis, membuat siapa saja yang melihatnya pun tak akan mampu melepaskan atensi. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan dirinya yang masih memiliki kehidupan beberapa puluh tahun silam, niscaya tidak ada satu pun yang ingin melihatnya dalam kondisi sekarang ini dengan bermandikan darah yang mengucur dari berbagai bolongan di tubuh.

Tidak, Kiana tak akan menjelaskan nasib tragis yang Rara alami. Biarkan perempuan itu menyimpannya seorang diri.

Setelah mendengar perkataan Rara yang duduk menjulurkan kaki di atas meja kaca, Kiana mendengkus ringan. Tanpa menoleh sedikit pun, putri Hadi tersebut berujar, "Kasian, sih. Tapi mau gimana lagi? Gue udah terlanjur nyaman kayak gini."

"Lebih nyaman kalo lo balik lah, Na. Lo nggak mau masuk tv lagi? Nggak mau jalan di runway Fashion Week? Atau yang sederhana aja, deh. Lo nggak mau makan es krim yang enak banget itu?"

Bukan, itu bukan suara Rara, melainkan Laras. Ia juga salah satu sosok yang selalu menemani Kiana. Jika Kiana terkenal di layar kaca pada kehidupan nyata, maka sosok satu ini juga terkenal di dunianya sendiri dengan nama Mbak Kun alias Kuntilanak, yang senang duduk di pohon asam di taman Rumah Sakit Pelita ini.

Dengan penampakan Rara dan Laras yang tragis nan mengerikan, Kiana tak pernah dilanda rasa takut. Bahkan perempuan itu mengajak keduanya untuk sering berbagi cerita agar perasaan kosongnya perlahan tertutupi oleh ucapan pedas Rara dan cekikikan Laras. Sehingga kamar dingin itu akan semakin ramai dan suara dentingan alat-alat bantu perlahan tersamarkan, walau hanya untuk sesaat.

"Pasti enak nggak, sih? Makan es krim pas cuaca lagi panas-panasnya. Beuh ... mantap gila!" seru Laras yang sudah duduk di atas televisi seraya mengayunkan kedua kaki laksana anak kecil.

"Iya juga. Tapi, lain kali aja, deh," tolak Kiana halus pada perkataan Laras.

"Dih, orang mah semua mau hidup, lo malah mau gentayangan," ketus Rara.

"Gue kasih tau lo ya, Sist. Alat-alat itu bakalan dilepas kalo harapan hidup lo udah rendah dan uang lo udah habis. Mungkin sekarang lo masih leha-leha karena manager lo bisa bayarin ini pake duit kerja keras lo sendiri. Tapi, yang namanya duit, ya pasti bakalan habis juga suatu saat nanti," lanjut sosok suster itu.

Mendengar pernyataan tersebut, Kiana sontak menoleh pada Rara dengan sorot memincing. "Lo kalo ngomong bisa nggak usah pake biji cabe? Buset, pedes amat!"

Rara hanya menengadahkan kedua tangan, bibir bawah pun dimajukan, dan kedua mata memerah itu memutar malas.

"Atau gini aja, lo mau ikut gue? Temenin gue nangkring di atas pohon asam nyambi cari cowok ganteng," ajak Laras dengan cengiran lebar, lalu disusul suara cekikikan yang dapat membuat bulu kuduk meremang jika manusia-manusia dengan kepekaan tinggi mendengarnya.

"Heh, si Kiana kalo dah bangun, bukan dia yang nyari cowok. Tapi cowok yang datengin dia!" hardik Rara pada Laras membuat Kiana mendadak mengulum senyum.

"Tapi tunggu bentar," Rara mengangkat tangan di depan dada, "kalo Laras ada di sini ... berarti?"

Kiana, Laras, dan Rara tiba-tiba saja mengatupkan mulut, saling berbagi pandang yang hanya mereka bertiga pahami maksudnya. Dan dengan gerak cepat, Kiana pun bangkit dari duduk untuk menjauhi tubuh lemah tersebut dengan langkah yang terlampau pelan.

Cklek...

Pintu kamar pun dibuka perlahan, menampilkan seorang laki-laki berambut hitam, kulit putih bersih, senyum yang menawan, dan tinggi semampai. Tatapannya yang teduh membuat Kiana terkadang merindukannya.

Valdy, laki-laki penuh kharisma yang memenangkan hati Kiana itu terlihat memukau dengan kemeja hitam dan lengan yang ditarik hingga ke lipatan siku, serta satu kancing bagian atas dibuka. Pria tersebut membawa sebuah buket bunga dan hadiah berupa tas merek ternama kesukaan Kiana yang harganya bahkan lebih dari tiga digit.

"Mas?" acap Kiana yang berdiri di depan tempat tidur dengan mata membelalak, sedikit tak percaya dengan kedatangan calon suaminya tersebut untuk kelima kalinya.

Lagi? Ya, Kiana tahu bahwa Valdy adalah orang yang sangat sibuk. Bahkan pria itu terkadang lebih memilih untuk menjadikan Kiana prioritas kedua setelah pekerjaan. Tak berkomunikasi selama lebih dari satu minggu, bukanlah sesuatu yang baru dalam hubungan Kiana dan Valdy. Dan Kiana tak pernah mempermasalahkan hal tersebut.

Akan tetapi, Valdy datang ke rumah sakit sekali dalam dua hari, untuk menengok sang kekasih yang mengalami kecelakaan dahsyat di ruas tol dan menjadikan peristiwa tersebut topik penting dalam berbagai media berita yang bahkan mungkin akan terus digaungkan hingga satu bulan ke depan. Valdy tidak sesibuk itu? Atau ... ia kini mulai merasa menyesal karena tak memiliki banyak waktu untuk Kiana?

Sang adam lalu meletakkan buket di atas meja. Sedangkan tas mewah tersebut ditaruh di samping belanjaan lainnya, seperti saat Kiana meletakkannya di sana beberapa waktu yang lalu.

Barang-barang tersebut adalah pemberian Valdy, dengan harapan bahwa ketika Kiana sadar nanti, suasana hatinya akan semakin membaik dan membuat tubuh puan tersebut segera pulih. Meskipun begitu, usaha yang dilakukan oleh Valdy dari beberapa hari yang lalu hingga hari ini nampaknya tidak membuahkan hasil.

Kiana tak pernah bangun. Atau ... perempuan itu menyerah untuk kembali. Dan seluruh orang pun tahu alasan dibalik itu semua, termasuk Valdy.

Laki-laki yang berprofesi sebagai pengusaha tersebut mendudukkan dirinya tepat di mana jiwa Kiana mendiami kursi sekitar 10 menit yang lalu. Tangan sang adam bergerak lembut untuk membelai kening hingga ke puncak kepala wanita yang telah terbaring lemah, seraya memperlihatkan senyum hampa.

"Gimana kabar kamu, Sayang? Udah bersih-bersih ya tadi sama Suster Laura? Pantesan kamu wangi banget ... jadi tambah cantik juga," ucap Valdy, menurunkan tangan dari kepala menuju pipi tirus Kiana dan mengusapnya pelan.

Valdy kemudian mengambil tangan Kiana dan memberikan kecupan beberapa kali, lalu meletakkan kening di sana sambil memejam. "Kamu tahu, Sayang? Mama aku berulah lagi. Kali ini, perempuan yang ke-4. Bayangin udah secapek apa aku meladeni dia dan perempuan-perempuan itu. Padahal mama aku tau kalo aku cuma mau kamu yang jadi istri aku."

Lelaki itu kembali mengangkat kepala dengan tatapan kosong dan lurus menuju jendela yang memperlihatkan langit sore di luar sana, pandangan yang selaras dengan pikiran kacaunya.

"Tapi, kamu nggak usah mikirin itu. Toh, nanti juga mama bakalan capek sendiri. Iya, kan, Yang?" Valdy pun menunduk lagi, menatap kekasihnya dengan senyum tipis.

"Oh iya, aku juga pengen ngasih tau kamu kalo Mbak Tiara sekarang lagi hamil. Pasti nanti anaknya lucu, deh. Dan kamu ... pasti menjadi tante yang baik."

"Of course!" ucap lirih Kiana setelah mendengar nama kakak laki-laki tersebut membuat Laras dan Rara memutar kepala pada perempuan yang berdiri di antara keduanya dengan tatapan iba.

Sempat ada keheningan yang terasa menusuk hati dan merayap menyelimuti diri pada insan di dalam ruangan tersebut dengan jiwa yang melekat pada raga, pun tidak. Tatapan seluruh makhluk hanya tertuju pada satu sosok saat ini. Valdy, lelaki yang berhasil mencuri atensi setiap kali ia menyambangi kamar dan semangat berbagi beragam cerita pada Kiana, meskipun lelaki itu paham bahwa tak ada satu pun respons yang akan ia terima setibanya ia diujung tuturan.

"Makanya kamu cepet bangun ya, Sayang. Aku pengen ngeliatin banyak hal ke kamu, nemenin ke mana pun tujuan kamu ... berbagi cerita yang lebih banyak lagi di saat kita menghabiskan waktu berdua di malam hari," Valdy seketika merunduk untuk menyembunyikan tetesan air mata, lalu sedetik kemudian mengangkat kepalanya lagi seolah ia berhasil melenyapkan rasa gundah, "aku kangen kamu."

Kiana tak mampu menatap Valdy lebih lama lagi, hingga tanpa sadar ia sudah berlalu meninggalkan Laras dan Rara yang setia menatap lelaki tersebut dengan pilu.

Sang hawa terduduk di kursi panjang di depan kamarnya, seraya mengeluarkan seluruh emosi yang berkecamuk di dada dalam diam setelah mendengarkan perkataan Valdy. Tak dapat ia pungkiri bahwa lelaki itu terkadang meruntuhkan tekadnya untuk sedikit bersantai lagi dalam wujud tak kasat mata seperti saat ini. Namun, hal itu tak akan berlangsung lama, terlebih jika ia telah menatap berita yang menampilkan dirinya sebagai objek.

Hingga saat ini, nampaknya tak ada yang benar-benar dapat mengembalikan motivasi Kiana untuk sadar. Namun, jauh di palung terdalam hati, ia juga ingin kembali merasakan sesuatu yang sederhana.

Seperti ... makan es krim, mungkin?

.
.
.

.
.
.

Setelah Valdy menghilang sejam yang lalu, Kiana ternyata masih betah untuk duduk di luar kamar. Ia pun menoleh ke kanan dan menemukan seorang perempuan yang sedang duduk termenung, sedikit mendongak untuk mengamati garis dinding.

Kiana ingat bahwa ia telah tiga kali melihat perempuan itu. Akan tetapi, ia enggan untuk menegurnya pada hari-hari lampau. Akan tetapi, tidak untuk hari ini.

Dengan langkah pelan, Kiana duduk di samping wanita tersebut dan tersenyum. Sadar kehadiran Kiana, hawa dengan surai gelombang pun menoleh secara perlahan.

"Hai." Wanita itu menyapa dengan ramah.

"Wah, kamu bisa liat aku?" pekik Kiana yang membuat lawan bicaranya terkekeh pelan.

"Iya, dong. Kan kita ini sama aja."

"Kirain beda." Kiana membalas dengan cengiran lebar. "Oh iya, kamu udah lama di sini? Aku sering liat kamu, deh, tapi belom berani nyapa."

"Lah, kok gitu? Santai aja lagi kalo sama aku. Iya nih, aku baru tiga hari di sini," jawabnya.

Mata Kiana membelalak mendengar penuturan lembut itu. "Jadi hari pertama aku liat kamu, tuh, hari pertama kamu di sini?"

Sang hawa mengangguk cepat. "Kamu bener."

"Umur kamu berapa? Nanti aku malah manggil kamu-kamu padahal lebih tua, kan gak sopan."

Wanita itu kembali menyunggikan senyum. "Umur aku 30 tahun."

"Nah, kan, bener. Aku 28 tahun. Jadi, aku manggil Mbak aja ya? Gimana?" tawar Kiana.

"Boleh, kok."

"Nama Mbak siapa? Aku Kiana."

Senyum perempuan itu seketika luntur dan berganti dengan ekspresi datar selama beberapa detik yang mengundang kerutan di kening Kiana. Namun tak lama kemudian, ia menarik kedua sudut bibir ke atas membuat Kiana melakukan hal yang sama, meskipun dalam keadaan canggung.

"Namaku Ghea ... Ghea Aurellia."

.
.
.

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top