√5
Bolehkah aku berharap kamu menjadi milikku? Walaupun itu hanya sekedar di dalam mimpi?
Thalia Novenda
***
"Tha! Kantin yuk!" Alisa membangunkan Thalia yang kembali tertidur setelah mendengar ceritanya. Namun, perempuan itu seolah enggan untuk beranjak dari tidurnya. Alhasil, hanya Alisa dan Debby yang pergi ke sana dengan sekotak susu titipan dari Thalia.
"Thalia, jangan dengarkan omongan mereka, percayalah jika aku hanya mencintaimu. Pangeranmu ini mencintaimu, Thalia."
Thalia menatap sang pangeran yang berjongkok di hadapannya sambil membawa sebuah cincin berlian. "Will you marry me?"
Thalia tersenyum. Tanpa perlu berpikir, Thalia sudah tau apa yang harus ia katakan. "Yes, I will."
"Thaliaaa! Kamu tidur di jam pelajaran saya lagi?" Pak Dwi dengan penggaris panjangnya mengetuk meja Thalia dengan keras.
"Oh Pangeranku!" Thalia yang belum sepenuhnya sadar segera berdiri lalu menangkup wajah Pak Dwi sambil memonyongkan bibirnya.
Pak Dwi yang terkejut dengan sikap murid didiknya tersebut segera memukul bibir Thalia dengan penggaris. "Sadar Thalia! Sadar! Kerasukan jin apa kamu!"
Mendengar gelak tawa dari seisi kelas membuat mata Thalia terbuka sepenuhnya. "Lho, perasaan pangeran gue ganteng kok sekarang jadi buruk rupa gini," celetuk Thalia tanpa sadar, menambah gelak tawa teman-temannya.
"Thalia! Cepat cuci muka kamu lalu kerjakan semua soal yang ada di papan tulis!" titah Pak Dwi sambil memelintir kumis tebalnya yang panjang. Tak habis pikir dengan tingkah absurd salah satu muridnya itu.
Thalia berjalan dengan malas menuju kamar mandi. Matanya masih mengantuk dan ia terus menyumpah serapahi Pak Dwi yang membangunkannya di saat yang tidak tepat. Seharusnya jika mimpinya dilanjutkan sedikit lagi pasti Thalia dapat merasakan benda kenyal nan manis itu lagi. Argh! Semua ini gara-gara guru tua berkumis itu!
Thalia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Setelah dirasa cukup, gadis itu segera keluar dari kamar mandi yang kebetulan kosong tersebut. Baru beberapa langkah saja tiba-tiba tubuhnya terhuyung ketika seseorang secara tak sengaja menabraknya. Seperti halnya dengan Thalia, orang itu juga baru saja keluar dari toilet laki-laki yang memang bersebelahan dengan toilet perempuan.
Thalia memekik keras karena terkejut. Namun, anehnya ia tak merasakan tubuhnya terhempas ke lantai. Matanya yang memejam membuka perlahan. Nafas Thalia tercekat. Matanya membelalak terkejut ketika sosok Athan ada di hadapannya, tengah memegangi tubuh Thalia dengan lengan kokohnya agar gadis itu tak jatuh mencium lantai. Perempuan itu tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ingin sekali ia berlama-lama menatap wajah tampan itu, namun harapannya seolah lenyap ketika dalam sepersekian detik tubuh Thalia sudah ditarik agar dapat berdiri dengan tegak. "Athan! Makasih ya udah nolongin Thalia!"
Athan hanya bergumam lalu pergi meninggalkan Thalia yang jantungnya berdetak kencang lagi. Jika Alisa hanya dibantu merapikan buku, bukankah Thalia lebih beruntung karena tubuhnya disentuh Athan?
***
Bel pulang sekolah sudah berdering nyaring, menandakan bahwa kegiatan belajar mengajar telah usai. Thalia merapikan seluruh buku pelajarannya, lalu tiba-tiba ponselnya berdering karena ada panggilan masuk.
"Halo Ma, ada apa?"
"Tha, Mama nggak bisa jemput kamu sekarang. Mama masih arisan di rumah temen. Kamu bareng Athan ya."
"Tapi Ma—" Belum saja Thalia menolak, sambungan telepon sudah terputus secara sepihak. Thalia bingung menyikapi hal ini, haruskah ia senang atau justru bersedih?
"Kenapa Tha?" tanya Alisa yang samar-samar mendengar pembicaraan sahabatnya itu lewat telepon.
Thalia mencebikkan bibirnya. "Nyokap gue nggak bisa jemput."
"Trus?" Debby yang barusan datang juga kepo dengan wajah Thalia yang tiba-tiba cemberut. "Gue disuruh bareng Athan," jawabnya.
"Miapah lo!? Athan anak baru yang super duper ganteng itu kan? Atau Athan si bakul cilok depan gerbang? Woy! Athan yang mana sih? Jawab Tha! Gue perlu kepastian!" Debby mengguncang-guncangkan tubuh Thalia dengan kekuatan super, bahkan jika Alisa tak segera melerai mungkin perempuan itu sudah akan mencekik Thalia hingga mati.
"Gimana mau jawab kalo lo hampir nyekik gue bego!"
Debby nyengir. "Trus Athan yang mana?" ulang Alisa lebih kalem.
"Ya Athan itu lah. Si anak baru." Thalia berusaha mendatarkan wajahnya padahal sedari tadi ia menahan senyum bahagianya. Gengsi gitu loh!
"Kok bisa? Lo ada hubungan apa sama tuh anak? Kok lo nggak cerita sama gue sih, nyet! Lo temen gue bukan?" Kini giliran Alisa yang menarik seragam Thalia penuh emosi.
Sabarkan Thalia Tuhan karena mendapat sahabat laknat macam mereka.
"Gue udah cerita, njing! Lo nya aja yang cuekin gue!" seru Thalia tak terima mengingat kejadian beberapa hari yang lalu di kantin.
Alisa menatap Debby. "Emang iya, Deb? Kok gue nggak pernah denger?"
Thalia mendengus. "Itu lho, tetangga baru gue." jelas perempuan itu berusaha sabar.
"Jadi tetangga baru lo si Otan!" pekik Debby tak percaya lalu kepalanya dihadiahi jitakan gratis oleh Alisa. "Athan geblek! Lo pikir Athan orang utan yang jadi presenter itu!"
"Trus gue harus gimana dong? Mana mau dia barengi gue balik? Lagian gue masih malu sama dia." Thalia menatap kedua sahabatnya melas.
"Kalian bisa nebengin gue nggak?"
"Gue ada les bentar lagi," jawab Alisa. "Gue naik angkot. Mau?" lanjut Debby.
Thalia menggeleng kuat. "Lo tau kan gue trauma naik angkutan umum."
Alisa dan Debby mengangguk. Tentu saja mereka berdua sudah tahu jika Thalia pernah mengalami tindakan asusila saat naik angkutan umum waktu Thalia masih duduk di bangku SMP. Alhasil, gadis itu trauma untuk naik angkutan umum jenis apapun itu.
"Nggak ada pilihan lain, Tha. Lo pulang bareng Athan atau tidur di sekolah sampe pagi," jelas Debby layaknya sebuah ancaman dan hak paten bahwa Thalia harus pulang bersama Athan apapun alasannya.
Alisa memegang bahu Thalia. "Serahin ke kita. Gue jamin lo bakal pulang bareng Athan."
Thalia tersenyum. Membayangkan dirinya pulang bersama Athan adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi ketika mereka menikmati perjalanan pulang dengan alunan lagu yang romantis. Membayangkannya saja sudah menyenangkan, apalagi jika itu sungguhan? Rasanya seperti mau meninggal!
Thalia, Debby, dan Alisa sudah berada di kawasan koridor timur, tempat untuk kelas 11 IPA F sampai 11 IPA I. Sedangkan kelas Thalia berada di koridor Selatan, tempat untuk kelas 11 IPA A sampai 11 IPA E. Mereka bertiga sudah berunding untuk menentukan rencana agar Thalia dapat pulang bersama Athan saat ini. Sebuah ide brilian muncul, hasil jerih payah mereka bertiga berdiskusi saat pelajaran Bu Yulita tadi.
Setelah selesai dan mendapatkan kesepakatan bersama, mereka bertiga bersembunyi di balik tembok. Alisa yang berada di depan segera mengintip ke kelas Athan yang untung saja belum pulang. Mereka bertiga tau pelajaran Pak Cahyo selalu saja ada tugas yang harus dikumpulkan hari itu juga. Jadi, mereka harus merelakan jam pulangnya diundur atau nilai kimia mereka akan jeblok.
Thalia terus memegangi dadanya yang berdebar tak karuan. Rasanya seperti sound kondangan, jedag-jedug ingin bergoyang. Sebuah senyuman terus mengembang di kedua sudut bibirnya. Keringat dingin membasahi kedua tangan hingga kakinya. Gugup, takut, senang, semuanya bercampur menjadi satu.
"Tha! Tha! Athan udah keluar. Cepet lo pura-pura sakit sana!" instrupsi Alisa ketika Athan, Farell, dan juga Reza baru saja keluar dari kelas.
"Sakit apa?" tiba-tiba saja Thalia lupa dengan skenario yang sudah mereka rancang karena terlalu gugup. Benar-benar reaksi di luar dugaan. Padahal mereka tadi sudah briefing sebelum aksi dimulai dan bisa-bisanya gadis itu melupakan semuanya. Kacau sudah.
"Duh bego lo! Sakit perut, Tha! Cepetan!" Debby menjawab pertanyaan dari Thalia dengan kesal. Sahabatnya itu selalu saja bego di saat waktu yang tidak tepat.
Thalia langsung paham dan mengerti. Dengan cekatan, ia langsung terduduk sembari memegangi perutnya yang sakit. Wajahnya ia buat sedemikian rupa agar ketiga makhluk di sana percaya bahwa dirinya benar-benar kesakitan. "Aw! Sakit!" rintihnya mendramatisir.
Athan, Reza, dan Farell yang sedang membicarakan sebuah pertandingan bola segera berhenti ketika Alisa dengan pintarnya berakting bahwa ada berita yang sungguh gawat darurat. Gadis itu datang tepat di hadapan mereka bertiga, tangannya memegangi lutut seolah barusan lari dengan jarak yang jauh.
"Gawat! Ada kabar buruk!" ucap Alisa dengan terengah-engah yang dibuat-buat.
"Gawat kenapa Al? Ada apa? Kenapa lo ngos-ngosan gitu?" tanya Reza dengan pertanyaan bertubi-tubi, ikut panik melihat Alisa yang panik. Gadis itu tersenyum dalam hati, aktingnya berhasil. Ia segera menuding ke suatu tempat di mana Thalia berada.
"Temen gue! Temen gue sekarat! Kalian bisa bantu gue nggak?"
Reza dan Farell langsung berlari ke tempat yang Alisa tunjuk tadi, tetapi tidak untuk Athan. Lelaki itu masih dalam ekspresi yang sama, bahkan tak tertipu dengan akting Alisa yang sudah mirip artis FTV.
"Dimana, Al?" Farell bertanya dengan panik, celingak-celinguk tak mendapatkan apa-apa.
Lalu Alisa mendramatisir dengan berlari ke arah tembok, di mana tempat Thalia tengah duduk seolah kesakitan dan di sampingnya sudah ada Debby yang memegangi tangan Thalia. "Itu! Temen gue... kesakitan..."
Reza dan Farel terkejut dibuatnya. "Astagfirullah Thalia kenapa pegang perut? Mau beranak?" celetuk Farell spontan.
"Astagoy Tha! Siapa yang ngehamilin lo, ha? Bapak si bayi teh kemana? Kok nggak mau tanggung jawab?" tambah Reza yang berjalan mendekat dengan tatapan iba kepada Thalia.
Mendengar respon di luar dugaannya, rasanya Thalia ingin sekali menendang muka Reza dan Farell sekarang juga hingga sama rata dengan tanah. Enak saja dia dikira mau melahirkan! Gila apa!
"Cepet panggilin ambulance, Than! Ini bener-benar gawat! Bentar lagi bayinya keluar!" Farell berucap panik sedangkan Athan hanya mendengus lelah.
Sudah cukup drama kali ini. Lelaki itu segera maju, mengeluarkan tangannya yang ada di saku, lalu menggendong Thalia bak bridal style tanpa hambatan suatu apapun.
Thalia yang merasa tubuhnya terangkat ke udara terkejut luar biasa. Ini semua diluar bayangannya. Ia tak membayangkan akan sejauh itu sampai-sampai digendong Athan, di hadapan teman-temannya.
"Stop! Stop! Turunin Thalia!" pekik Thalia tak karuan. Namun Athan tak peduli, ia terus melangkah, menghiraukan kebisingan yang perempuan itu buat.
Kedua sahabat Thalia dan Athan melongo tak percaya dengan tindakan Athan yang di luar dugaan. Bahkan telinga mereka seolah tuli mendengar teriakan Thalia yang meminta tolong kepada mereka agar si Athan mau menurunkannya. Mereka terlalu asyik melihat ending dalam drama sore itu dengan penuh haru kebahagiaan.
Thalia diturunkan dengan kasar di sebuah mobil hitam. Badannya membentur bangku penumpang yang untung saja empuk lalu matanya menyorot Athan dengan tajam. "Maksud Athan apa, ha!"
"Bukannya ini yang lo mau?" tanya Athan dingin. Belum saja Thalia menjawab, Athan sudah menutup pintu mobil dan memutar ke bangku kemudi.
"Ma-maksud Athan?" tanya Thalia yang tiba-tiba saja gugup bisa sedekat ini dengan Athan.
"Nyokap lo udah bilang sama gue." Athan menjawab tanpa menatap Thalia sedikitpun. Ia fokus mengeluarkan mobilnya dari parkiran sedangkan
Thalia cengo di tempatnya.
Jadi, Athan sudah tau jika semua yang ia lakukan bersama kedua sahabatnya itu hanya akal-akalannya saja? Lantas buat apa Thalia menampilkan wajah menyedihkan nan melas itu jika Athan saja sudah tahu? Bukannya itu sama saja mempermalukan dirinya sendiri lagi? Argh! Thalia ingin terjun dari mobil ini sekarang juga!
Mau menghilang...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top