√49

Badan Athan rasanya seakan mau remuk ketika akhirnya setelah berjam-jam berada di pesawat dan transit di berbagai tempat, ia sudah dapat mengijakkan kakinya di negara orang sendirian, untuk pertama kalinya. Biasanya, Athan akan bepergian bersama kedua orang tuanya. Itupun untuk liburan dan setelah dipaksa oleh Anggi tentunya karena Athan paling tidak suka bepergian jauh dari zona nyamannya. Namun demi Thalia, ia mau meninggalkan zona nyamannya. Hanya demi Thalia.

"American Hospital Of Paris, please?" ucap Athan kepada supir taksi tua yang mengangguk ketika sebuah nama rumah sakit terkenal yang tak asing di indra pendengarannya itu disebutkan.

Athan memainkan ponselnya, mengabari Anggi bahwa ia sudah sampai di Paris dengan keadaan selamat. Setelah itu, Athan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memandangi jendela mobil taksi yang memperlihatkan Kota Paris yang super padat dengan banyaknya manusia lalu lalang.

"Thanks sir," Athan mulai memasuki rumah sakit yang masuk dalam kategori rumah sakit paling bagus sedunia itu. Tak dapat Athan bayangkan biaya yang harus dihabiskan untuk sekali penginapan disana. Walaupun begitu, dengan fasilitas alat canggih beserta dokter yang kemampuannya tak dapat diragukan lagi merupakan balasan yang setimpal.

Athan sudah sampai di depan meja resepsionis. Disana sudah ada tiga orang suster yang sama-sama sibuk. Suster pertama dengan rambut pirang yang digulung sedang mengangkat telepon sambil berbicara dengan Bahasa Prancis, sedangkan sisanya sedang mengecek berkas-berkas. "Ehem," Athan berdehem pada suster berkulit hitam yang ada di hadapannya.

Suster itu tersenyum, menutup berkasnya yang selesai ia baca. "May I help u sir?"

"Thalia Novenda's room?"

Suster itu tersenyum ramah. "Wait a minute sir. I will check it," ucapnya sembari menatap layar komputer berlogo apel di hadapannya lalu memberi jawaban kepada lelaki muda itu.

Sejauh mata memandang, yang dapat Athan lihat adalah banyaknya manusia hilir mudik. Ada yang tengah menunggu di luar, ada yang menangis, dan beragam ekspresi lainnya. Athan juga sempat mengintip sedikit ruang rawat yang ada di dalamnya dan ia tak percaya dengan hal itu. Bagaimana tidak? Ruangannya benar-benar seperti kamar hotel jika kalian tahu. Begitu mewah dengan kesan nyaman bagi para penggunanya.

Kedua kaki Athan berhenti di depan sebuah ruangan sesuai instruksi dari sang suster. Athan memegang gagang pintu besi itu dengan hembusan nafas yang berat. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia berharap bahwa dibalik ruangan sana tidak ada Thalia. Ia berharap bahwa ada Thalia lain disana. Namun, pintu itu didorong lalu muncullah Ratna dengan raut sedih bercampur terkejut ketika melihat anak sahabatnya berada tepat di hadapannya sekarang.

Ratna membekap mulutnya tak percaya. Ia langsung memeluk Athan dengan erat, menumpahkan semua perasaan sedih yang ia alami kepada lelaki itu. Tangisnya pecah dan pilu bahkan Athan ikut menangis hanya dengar mendengarnya.

Athan menyodorkan sebotol air mineral kepada Ratna lalu duduk di samping wanita paruh baya itu yang sedang mengusap air matanya dengan tisu. Athan menggenggam tangan Ratna dengan erat. Menguatkan ibu dari gadis yang ia cintai agar selalu kuat atas takdir yang diberikan Tuhan.

Ratna memandang taman rumah sakit yang tersuguh di hadapannya, menatap Athan kemudian.

"Dulu, waktu Thalia umur sepuluh tahun, dia merengek sama papanya buat diajari naik sepeda. Bahkan Thalia janji nggak bakal makan es krim di malam hari lagi biar permintaannya itu terkabul." Ratna tertawa sembari mengusap air matanya yang hendak jatuh.

"Akhirnya papanya menuruti. Tante masih ingat betul gimana ekspresi bahagia Thalia saat papanya mau mengajarinya naik sepeda. Tapi, waktu latihan, Thalia jatuh. Lutut dan sikunya membentur aspal dengan keras. Darahnya nggak pernah berhenti walau sudah berhari-hari.

Tante panik. Anak temen tante ada yang seperti itu dan katanya dia terkena hemofilia. Akhirnya tante bawa Thalia periksa ke dokter."

Ratna menghirup udara dalam-dalam. "Dan saat itu juga Thalia didiagnosis terkena leukimia."

Athan memeluk Ratna dengan erat.

"Thalia gadis yang kuat Than. Disaat teman-temannya liburan ke tempat rekreasi, ke pantai, dia harus berdiam diri di rumah sakit untuk kemoterapi. Disaat anak-anak lain makan permen manis, dia malah obat pahit. Tapi dia nggak pernah mengeluh. Dia selalu tersenyum dan bilang sama tante kalo dia baik-baik aja.

Sekarang dia udah stadium tiga. Dan kemoterapi udah nggak bisa membantunya lagi. Jalan satu-satunya yaitu operasi. Dan alhamdulillah ada pendonor yang mau mendonorkan sumsum tulang belakangnya."

Athan mengernyit bingung. "Orang lain? Maaf te sebelumnya, bukannya pendonor dari orang lain lebih beresiko? Kenapa bukan dari pihak keluarga aja yang tentunya lebih aman?"

"Karena sebenarnya Thalia bukan anak kandung kami," itu bukan suara Ratna, melainkan suara Aldhi yang datang sembari memeluk istrinya yang menangis tersedu-sedu.

"Ma, Thalia nyariin. Biar Papa yang jelasin ke Athan tentang semuanya."

Ratna menurut, ia berjalan menjauhi area taman untuk menuju kamar Thalia sehingga hanya ada Athan dan Aldhi yang ada disana.

"Maksud om?" tanya Athan dengan keterkejutannya. Fakta apa lagi ini?

"Sudah dari dulu om dan tante nggak bisa memiliki anak, Athan. Akhirnya kami memutuskan untuk mengadopsi Thalia di panti asuhan---"

"Pelita Hati?"

"Gimana kamu bisa tau? Thalia ngajak kamu kesana?"

Athan mengangguk. "Thalia membagikan banyak mainan disana."

Mendengar penuturan Athan membuat Aldhi tersenyum bangga. "Bahkan ia tak malu darimana dia berasal."

Pria paruh baya itu menatap Athan dengan bingung. "Tapi darimana kamu tau Thalia sedang sakit dan dirawat disini?"

"Dave om yang memberitau saya."

Aldhi tertawa sembari geleng-geleng. "Dave Dave, masih sama saja seperti dulu."

"Memang kenapa om sama Dave?"

"Nggak ada. Tapi gini Than, masalahnya Thalia nggak mau operasi. Dia sudah menyerah. Jadi om minta, kamu yakinkan Thalia buat melakukan hal itu ya? Siapa tau dengan kedatanganmu kesini mengubah pikiriannya."

"Baik om. Apapun akan saya lakukan, demi Thalia."

***

"Tha, ada yang mau ketemu kamu tuh," Ratna menatap pintu dengan tersenyum lebar hingga mau tak mau Thalia penasaran dibuatnya.

Entah mengapa jantung Thalia berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia dapat merasakan bahwa Athan sangat dekat dengannya. Tapi ia tau hal itu sangatlah mustahil mengingat Athan berada di Indonesia sedangkan dirinya berada di Prancis. Namun, seorang lelaki datang, membawa nampan berisi bubur yang sangat dibenci Thalia dengan senyuman manis yang mampu membius Thalia dalam beberapa saat.

"Your prince is coming, darling," bisik Ratna tepat di telinga Thalia lalu pergi, membiarkan waktu berdua bagi anaknya dan Athan.

"Hmm hai!" Thalia menyapa dengan canggung. "Hai!" balas Athan sama canggungnya dengan Thalia.

Athan duduk di kursi yang dibuat Ratna duduk tadi, memperhatikan wajah Thalia yang benar-benar berubah. Wajahnya yang mulus dan segar mulai memucat, bibir pink yang menjadi favoritnya mulai memutih dan kering, dan rambutnya yang dulu sering ia belai hilang menyisakan botak yang lucu. Tapi dari semua perubahan fisik yang ada, hanya satu yang tak pernah berubah. Pancaran cahaya penuh kehangatan dari mata gadis itu. Sama sekali tak pernah berubah.

"At-athan, kenapa Athan bisa disini?"

"Tha, kenapa nggak jujur sama aku dari dulu sih?"

Thalia menatap selimutnya dengan raut sedu. "I just-- i will not make u sad, make u think that i am a sick girl, i just want to be a normal. And i just want you love me for who i am, not because u take a pity on me." tangis Thalia pecah dan itu membuat hati Athan teriris begitu hebat. Lelaki itu langsung memeluk Thalia dengan erat seolah tak ingin melepaskan gadis itu untuk selamanya. "I really sorry for not telling you about everything." tambah Thalia dengan tersedu-sedu.

"Hust, You don't have to say sorry, Thalia. It's my mistake for didn't care about you. All is my mistake. I am really sorry."

Athan melepas pelukan Thalia, mengusap air mata yang membekas di kedua pipinya. "Do you want to forgive me?"

Dan tanpa berpikir dua kali pun Thalia mengangguk membuat Athan kembali memeluk Thalia dengan begitu erat lalu mencium kening gadis itu lama.

"Than, udah dong. Thalia udah kenyang tauk!"

"Satu lagi deh!"

"Than, itu ucapan Athan yang ke lima kali! Thalia nggak mau percaya!"

Athan mengerling jahil. "Satu suap atau satu kecupan hmm?"

Pipi Thalia langsung merona merah. Ia segera memakan bubur yang Athan suguhkan dengan cepat. Namun sebelum bubur itu tertelan, sebuah benda kenyal menempel di bibirnya. Thalia membelalak terkejut ketika Athan mencium bibirnya dengan tiba-tiba.

"Ih Athan!" Thalia memukul bahu Athan dengan keras setelah lelaki itu melepas kecupan yang singkat itu.

"Siapa suruh makan belepotan hmm?"

"Ya kan nggak pake bibir ngebersihinnya. Pake tisu kan bisa! Dasar modus!" Thalia pura-pura merajuk. Ia tak mau menatap Athan yang terkikik geli melihat sikap Thalia.

"Idih sok ngambek, dasar tembem!" Athan mulai mencubit pipi Thalia yang menggembung ketika perempuan itu pura-pura marah membuat Thalia mengadu kesakitan.

Setelah makan, Athan menemani Thalia untuk tidur siang di atas ranjang pasien. Thalia sendiri yang meminta karena ia tak mau jauh-jauh dari Athan. Walaupun sempit, Athan dan Thalia merasa nyaman tidur dengan posisi demikian.

"Tha, kenapa aku nggak dibolehin kesini sebelumnya?"

Thalia memandang tangan Athan yang menggenggam tangannya dengan erat. "Thalia nggak mau Athan ngeliat Thalia dalam keadaan sakit. Thalia maunya selalu tampil cantik di hadapan Athan."

"Tapi kamu selalu cantik apapun keadaannya Tha."

"Thalia juga nggak mau Athan ngeliat Thalia botak kayak gini. Athan kan takut sama tuyul sedangkan kepala Thalia mirip tuyul, Athan!"

Athan tak sanggup menahan tawanya. Ia menciumi pipi Thalia berulang kali dengan gemasnya. "Kamu sama tuyul itu beda Tha. Kalo tuyul mencuri uang, kamu mencuri hatiku."

.

Adadadaa

Miss them guys?

Challenge :

520 vote 310 comment! Bisaa? Hmm :')

Semoga bisa tamat sebelum taun baru. Aamiin. Dahh see u

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top