√44
Athan dan Thalia sudah masuk ke mobil lagi. Ditengah perjalanan menuju destinasi berikutnya, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah tempat makan khas Jogjakarta.
Athan sibuk memilih menu makanan, sedangkan Thalia berusaha mengalihkan perhatiannya dari lelaki tampan itu dengan sok-sokan bermain ponsel. Padahal Thalia hanya sedang membuka snapgram saja, tanpa berniat melihatnya.
"Aku pesen gudeg Tha. Kalo kamu apa?" tanya Athan yang membuat Thalia setengah terkejut.
"Samain aja."
"Kamu milkshake strawberry kan?" Thalia mengangguk. Lelaki ini masih mengingat minuman favoritnya. Minuman yang harus ada saat Thalia makan di sebuah tempat makan.
Pelayan itu pergi setelah Athan menyebutkan menu makanan yang mereka pesan dengan mengangguk hormat.
"Tha, setelah ini kita mau kemana?"
"Hmm, Taman Bunga Matahari?"
Athan mengangguk. "Kamu tau tempatnya?"
"Tau. Dulu waktu kecil gue pernah di sekitar sana sama Papa Mama, belajar sepeda."
"Bisa?"
Thalia menggeleng. "Gue nggak pernah bisa ngendarai sepeda, sampai sekarang. Semenjak gue jatuh dari sepeda, Papa ngelarang gue buat belajar lagi."
"Oh, itu alasannya kenapa di gudang kamu banyak sepeda?" tanya Athan dengan tertarik.
"Iya, gara-gara Papa ngelarang, setiap tahun gue minta dibeliin sepeda walaupun gue tau gue nggak bisa ngendarainya. Mau belajar, tapi Papa udah bersikeras ngelarang. Jadi yang gue lakuin cuma koleksi sepeda."
Thalia jadi ingat. Dulu, saat masih SD, Thalia pernah merengek pada kedua orang tuanya untuk dibelikan sepeda karena ia malu. Ia malu tak punya sepeda dan tak bisa mengendarainya disaat teman-temannya bisa melakukan hal itu. Bermodal menangis semalaman, akhirnya Aldhi menuruti permintaan putrinya tersebut.
Pada saat liburan, Thalia juga merengek meminta untuk diajari naik sepeda. Pada awalnya Thalia bisa dengan mudah melakukannya. Tetapi tiba-tiba saja sepedanya oleng dan akhirnya ia terjatuh. Lututnya terbentur batu yang ada di jalan hingga mengeluarkan darah yang tak sedikit. Thalia menangis, pasti. Namun keinginannya untuk jago main sepeda tak pernah surut. Ia yakin bahwa ia pasti bisa. Namun, Aldhi dan Ratna terlanjur khawatir jika anak semata wayangnya terjadi apa-apa lagi sehingga Thalia tak diperbolehkan untuk mengendarai sepeda, sampai kapanpun.
Pesanan mereka sudah datang. Thalia segera melahap makanan khas Jogja itu dengan lahap hingga makanan itu berantakan di mulut Thalia.
Athan yang melihat betapa ganasnya Thalia saat makan tak bisa menyembunyikan tawanya. Ia rindu saat-saat seperti ini. Ia rindu makan bersama Thalia. Ia rindu melihat Thalia yang selalu makan dengan belepotan seperti anak kecil. Bahkan semenjak Thalia pergi, Athan merasa ada yang kurang saat ia makan sendirian.
"Tha, pelan-pelan dong!"
Thalia tak peduli. Ia terus mengunyah sembari berbicara. "Shumpwah inhi makhanan terenhak--uhuk uhuk!"
Dengan sigap Athan mengulurkan segelas air putih kepada Thalia. Lelaki itu juga langsung duduk di samping Thalia untuk memukul punggung perempuan itu dengan pelan. "Makanya jangan keras kepala! Tuh kan keselek!"
Thalia hanya nyengir lalu makan dengan lahap kembali tanpa menuruti permintaan dari Athan yang sedang geleng-geleng kepala.
Setelah makan, mendadak Thalia merasa mual. Rasanya perutnya seperti terlilit dan ingin rasanya seluruh makanan yang ia makan keluar dari perutnya. Mendadak juga kepala Thalia pusing seperti semuanya berputar-putar di atas kepalanya.
Melihat bibir Thalia yang pucat, Athan langsung khawatir. "Tha, kamu kenapa?"
Thalia cepat menggeleng. Ia bangkit dari tempat duduknya dan meraih tas selempangnya. "Athan, gue ke toilet bentar ya!"
Athan berdiri, hendak menemani perempuan itu ke toilet setelah melihat Thalia tak bisa berjalan dengan begitu sempurna. Namun perempuan itu menolaknya dan menyuruh Athan untuk menunggu saja.
Di dalam toilet, Thalia meringsuk di depan water closet dan mengluarkan seluruh makanan yang ia makan barusan. Bahkan perutnya sampai kosong tak terisi lagi. Seharusnya setelah muntah orang lain akan merasa lega. Tapi ini tidak untuk Thalia. Perutnya masih saja terasa melilit dan mual itu terus terjadi. Pusingnya pun tak kunjung menghilang.
Thalia berjalan terseok-seok menuju wastafel. Ia nyalakan keran dan meminum air keran tersebut sembari menelan beberapa butir pil yang menjadi penopang hidupnya selama ini.
Tak sampai sepuluh menit obat itu benar-benar bekerja. Thalia langsung merasa baikan dengan mual dan pusing yang langsung lenyap begitu saja. Dengan hal itu Thalia jadi tau satu hal bahwa sekarang hidupnya bergantung sepenuhnya pada obat-obatan tersebut.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Athan menatap Thalia khawatir lantaran perempuan itu tak mau berbicara semenjak keluar dari kamar mandi. Walaupun wajahnya sudah tidak terlalu pucat, Athan yakin jika Thalia sedang tak baik-baik saja.
Mobil jeep berwarna hitam sudah terparkir apik di tempat yang sudah disediakan. Athan turun dengan kamera yang selalu mengalung di lehernya. Memang dengan liburan seperti ini Athan paling suka memotret segala hal. Fotografi sudah menjadi hobinya.
Dulu, ia sangat suka memfoto bangunan tua, keindahan alam, fenomena sosial, dan lain-lain. Tapi kini, Athan sudah memiliki satu objek yang tak akan pernah membuatnya bosan untuk dijepret, apa lagi kalau bukan Thalia.
Thalia berjalan di depan dengan riang karena akan menemui bunga-bunga yang indah berwarna kuning itu. Diam-diam dari belakang Athan memotret gadis itu lalu pura-pura memotret objek lain setelah Thalia menoleh ke belakang agar kedoknya tidak ketahuan.
"Athan, ayo! Lama ih!" omel Thalia kesal karena Athan masih tertinggal jauh di belakang.
Athan tersenyum lalu segera berlari menghampiri Thalia. Tangan kekar Athan langsung mengisi celah-celah jari Thalia dengan begitu mudahnya. Thalia sempat tersentak sebentar, namun nada protes tak keluar dari bibirnya. Justru senyum yang merekah lebar muncul secara tiba-tiba. Entah mengapa, digenggam seperti ini membuat Thalia merasa terlindungi seolah semuanya akan baik-baik saja di tengah masalah besar yang akan ia hadapi nanti.
Athan mengabadikan berbagai momen ketika berada di Taman Bunga Matahari. Bunga-bunga matahari yang jumlahnya ribuan, serta Thalia yang tengah memegang bunga berwarna kuning itu tak luput dari bidikan kamera Athan.
Thalia senang berada di tengah-tengah ribuan bunga matahari. Rasanya dengan melihat bunga matahari yang bermekaran dengan indah membuat hatinya bahagia. Apalagi, secone es krim berada di tangan menjadi pelengkap hari itu.
Setelah puas bermain petak umpet diantara bunga matahari, berfoto, dan menikmati indahnya pemandangan lautan bunga kuning itu, Athan dan Thalia memutuskan untuk pulang.
"Tunggu ya Tha," Athan berlari kembali ke dalam taman setelah mereka sampai di parkiran.
Thalia mengernyit bingung, tetapi ia memilih untuk menunggu. Tak lama kemudian, Athan datang, membawa sebuah buket bunga matahari di tangannya.
Lelaki itu lalu jongkok di hadapan Thalia lalu memberikan buket itu dengan begitu romantis. Thalia membekap mulutnya tak percaya dan mengambilnya dengan hati yang melayang tinggi.
"Kamu harus seperti bunga matahari ya Tha. Selalu ceria dan menebarkan kebahagiaan dimana saja dan kapan saja. Jangan murung dan bersedih, kamu pasti tau kan kalau aku tidak menyukainya?"
Thalia mengangguk dengan mantap. Namun di dalam hatinya yang paling dalam ia bersedih karena setahu Thalia, bunga matahari tidak mungkin digunakan untuk mengungkapkan rasa cinta, karena bunga ini tidak melambangkan kesan romantis seperti bunga mawar. Tetapi bunga ini lebih cocok mewakili hubungan persahabatan. Jadi, apakah Athan benar-benar sudah menganggap hubungan mereka hanya sebatas sahabatan biasa saja?
Dududususuu
MENURUT KALIAN NIH IRREPLACEABLE LEBIH COCOK JADI E-BOOK AJA ATAU BUKU SESUNGGUHNYA? KOMEN DIBAWAH YA
AYO KOMEN GAK!
VOTE GAK!
ANJIR PEMAKSAAN WKWK
SEE U
NEXT KALO VOTE NYA MENCAPAI 250 VOTE 150 KOMEN. BISA?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top