√43

"Tha? Udah siap?"

Thalia mengangguk sembari memakai tas punggungnya dengan tersenyum. "Ayo!"

"Eyang, Thalia sama Athan jalan-jalan dulu ya. Nanti nginep di rumah Paman Eko."

Eyang mengusap rambut Thalia dengan lembut. "Lah dalah. Kesana naik opo to nduk?"

"Sudah saya pinjamkan mobil kantornya Papa, Eyang, Eyang nggak perlu khawatir. Saya akan menjaga Thalia sebaik mungkin," jawab Athan dengan mantap. Guratan khawatir di dahi Eyang pun sirna, berganti dengan senyum simpul yang tetap menawan tak lekang dimakan usia. "Yowes yowes, pesen Eyang cuma satu. Jaga diri kalian masing-masing. Kalo ada apa-apa telpon Eyang."

Thalia bergerak hormat dengan sigap. "Siap Eyang!"

Setelah berpamitan dengan eyang, Athan dan Thalia masuk ke sebuah mobil jeep yang diberikan oleh Darwis dari kantornya selama kedua remaja itu menikmati indahnya kota istimewa Jogjakarta. Tentu saja hasil permintaan Athan karena sudah mendapatkan nilai sempurna di ujian semester yang lalu.

Sebenarnya ini adalah impian Athan sejak dulu. Sejak sebelum mereka memutuskan untuk memilih jalan pertemanan. Namun keinginan Athan untuk berkeliling dunia bersama Thalia harus kandas, berganti dengan hanya berkeliling Jogja berdua. Walaupun tak sesuai ekpestasinya dulu, tetapi Athan cukup puas. Apalagi Thalia juga terlihat antusias menjalani impian ini. Lelaki itu merasa jika Thalia juga menikmatinya, walau sebenarnya menginginkan lebih disaat bersamaan. Seperti, meminta lebih perihal status yang sekarang mereka jalani. Tapi ia tahu, keputusan yang telah disepakati tak mungkin diubah begitu saja. Athan maupun Thalia hanya takut jika salah satu diantara mereka akan marah hingga menjauh. Mereka tak menginginkan hal itu terjadi, sampai kapanpun. Biarlah status persahabatan ini yang berlayar mengarungi samudra, asal mereka berdua tetap bersama selamanya.

"Tujuan pertama kita mau kemana Than?"

Athan terkekeh. "Akhirnya kata 'kita' hadir setelah lama absen."

"Athan, serius!"

"Aku serius Tha. Sejak kapan sih aku main-main sama kamu?"

Boom! Thalia langsung speechless seketika. Duh, di samping Athan yang banyak bicara ini sungguh membuatnya mati kutu saja! Tak bisakah lelaki itu berbicara seadanya saja seperti dulu? Tuh kan, jantung Thalia jadi tak sehat dibuatnya.

"Tha, ada tempat yang pengen kamu kunjungi?"

Thalia mengangguk. "Ada. Tapi nanti aja. Waktu sore. Kalo lo?"

Athan nampak berpikir, sebentar. Lalu ia mulai mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, melewati jalan-jalan setapak khas perdesaan. Tak sampai sepuluh menit, mobil itu sudah berhenti di sebuah tempat rekreasi yang saat itu masih terlihat lenggang karena memang masih pagi. 

"Gumuk Pasir?" tanya Thalia heran ketika mereka sudah turun dari mobil.

Athan mengangguk. "Ayo!"

Mereka berdua mulai masuk ke area wisata setelah membayar tiket. Ketika Thalia hendak mengeluarkan uang, Athan segera menampiknya dengan halus. "Than, biar gue aja yang bayar."

Athan memegang kedua bahu Thalia, menatap perempuan itu dengan intens sembari menggeleng. Thalia mati kutu melihat wajah Athan yang sedekat itu dengannya. "Biar aku aja. Aku yang akan bertanggung jawab atas segalanya selama tuan putri disini. Lagipula, aku kan sudah janji sama Eyang. Boleh ya Tha?"

Thalia masih diam membisu, ia seolah sedang terhipnotis atas ketampanan Athan yang tiada taranya. Apalagi jarak mereka yang masih berdekatan membuat Thalia tak bisa berkutik. Bahkan untuk dibuat mengangguk maupun menggeleng pun rasanya sungguh berat.

"Tha?" ketika kedua tangan Athan melepas bahunya, saat itulah Thalia merasa Tuhan mengembalikan nyawanya kembali. Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan Athan, perempuan itu malah terbengong seolah belum sepenuhnya berada di alam sadar. "Apa Than?"

"Bilang iya."

Tanpa berpikir dua kalipun Thalia langsung bilang iya tanpa tau mengapa ia harus mengatakan kata itu. Athan tersenyum, mengacak rambut Thalia dengan gemas. "Bagus!"

"Eh bagus apanya? Kenapa gue harus bilang iya?"

Athan berjalan menjauh sembari tersenyum senang, sedangkan Thalia berlari kecil untuk mengejar lelaki itu. Ia butuh penjelasan lebih lanjut. Salahkan saja mengapa ia melamun saat diajak bicara tadi!

"Athan, tadi bilang iya soal apa?"

"Soal kamu jadi pacarku lagi," jawab Athan enteng. Thalia langsung menghentikan langkah kakinya dengan terkejut. Ia terlalu shok dengan apa yang terjadi. Jantungnya bahkan sudah menggila.

Tak merasakan kehadiran Thalia di sampingnya, membuat Athan menoleh. Ternyata benar dugaannya, perempuan itu masih tertinggal di belakang. Langsung saja Athan menghampirinya dengan khawatir, takut terjadi apa-apa pada tuan putrinya. "Tha? Ada apa?"

Thalia masih diam, menambah rasa khawatir yang Athan rasakan. "Thalia, kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir dong."

"Apa bener gue bilang iya buat jadi pacar lo lagi?"

Dalam sepersekian detik Athan tertawa. Bukan, itu tawa yang ia buat-buat untuk mencairkan suasana yang tegang. Jelas sekali jika Thalia tak mau, lo bodoh Than, bodoh!

"Bukan Tha, hanya masalah biaya. Biar semuanya aku yang nanggung. Yuk, kita kesana," Athan menarik tangan Thalia menuju tengah gurun yang tandus. Untung saja hari itu mereka memakai sepatu, jadi panasnya pasir tak terlalu menyakitkan di kaki mereka.

Gumuk pasir sendiri adalah salah satu bentang alam di Kabupaten Bantul yang proses pembentukannya dipengaruhi angin, terbentuk karena pasir yang menumpuk dalam jumlah besar. Gumuk pasir seperti ini hanya ada tiga di Asia Tenggara, yaitu di Vietnam, Filiphina, dan tentu saja di Indonesia ini.

"Kamu tau darimana asal gundukan pasir ini Tha?"

Thalia menggeleng.

Athan tertawa. "Kamu kan orang Jogja Tha, masa' nggak tau?"

"Nggak usah ngejek gue." Thalia menampilkan wajah kesalnya dengan menggembungkan pipinya hingga tampak sangat imut bahkan Athan tak tahan untuk tidak mencubitnya.

"Dasar tembem! Taunya apa sih kalo nggak soal makanan hmm?" ucap Athan sembari mencubit kedua pipi Thalia dengan gemas. Perempuan itu meronta-ronta untuk dilepaskan, namun tentu saja Athan tak akan melepaskannya dengan mudah hingga sebuah cubitan mendarat di pinggang Athan. Cubitan kasar dari Thalia yang akhirnya melepaskan tangan Athan di kedua pipi Thalia.

"Sakit tauk!" keluh Thalia mengusap kedua pipinya yang berdenyut. Bukannya merasa bersalah, Athan justru tertawa. Entah tawa yang keberapa hari ini. "Siapa suruh pipi kamu begitu menggemaskan Tha?"

"Diem!" Thalia segera berjalan menjauh, pura-pura ngambek. Padahal ia sedang menahan gejolak di dalam hatinya yang ingin meledak. Ia juga ingin menyembunyikan betapa merahnya pipinya sekarang. Ia hanya tak mau jika Athan tau bahwa Thalia baper setengah mati atas apa yang lelaki itu lakukan. Seharusnya kan Thalia tak boleh seperti itu. Bukankah dalam jalinan persahabatan hal itu sangat lumrah?

Athan memberikan sebuah papan seluncur kepada Thalia yang tengah duduk-duduk saja di pasir. "Buat apa?" tanya gadis itu.

"Buat meluncur lah Tha, masa' buat dimakan."

"Nggak lucu!" ucap Thalia sok ngambek lagi.

Athan berjongkok, menyejajarkan posisinya dengan Thalia. "Maaf udah membuatmu marah."

Thalia yang menatap pasir seketika mendongak. Ia sedikit terkejut ketika kata maaf keluar dari bibir Athan dengan begitu mudahnya. Padahal lelaki itu dulu sangat antipati pada kata itu.

"Dimaafin ya?"

Bahkan Thalia tak bisa tak berkata iya ketika Athan sudah berkata demikian.

"Athan, lo aja deh yang sandbaording. Gue disini aja."

"Loh kenapa?"

"Gue nggak bisa."

"Ayo aku ajari. Sini!"

Thalia bangkit berkat bantuan uluran tangan Athan. Sekarang mereka berdua berjalan menembus keramaian menuju gundukan tertinggi. Thalia yang belum bisa seimbang seringkali terjatuh ketika papan sudah meluncur. Kedua tawa mereka menggelegar ketika acara seluncur mereka kacau akibat selalu terjatuh.

Akhirnya, Thalia memilih duduk di atas papan seluncur lalu meluncur setelah punggungnya di dorong oleh Athan.

Thalia tak pernah sebahagia ini setelah hampir berbulan-bulan mengurung di dalam kamarnya atau tepatnya setelah ia mengatakan kepada Athan bahwa ia tak mencintainya lagi.

Berjam-jam mereka asik bermain di tempat wisata yang kian siang kian ramai, tak peduli jika matahari tengah senang memancarkan sinarnya dengan begitu terik.

Athan dan Thalia sudah tak lagi bermain seluncuran. Mereka berdua sedang menikmati pemandangan serta sengatan matahari yang menusuk kulit di atas ayunan sederhana yang diikat pada kayu.

"Than, cita-cita lo apa?"

Athan menoleh, terkejut dengan pertanyaan yang Thalia ucapkan. Pasalnya, tak biasanya perempuan itu bertanya hal demikian. "Emangnya kenapa?"

Thalia tertawa singkat. Menertawakan keadaannya. "Menurut gue orang yang punya cita-cita itu orang yang beruntung. Mereka bisa berandai-andai pengen jadi apa dan mewujudkannya di masa depan. Tapi sayang, kayaknya Tuhan nggak ngasih kesempatan itu ke gue."

Athan mengernyit bingung dengan pernyataan yang Thalia ucapkan. Mengapa perempuan itu seolah pasrah dengan hidupnya? Athan hendak saja bertanya, namun sudah didahului Thalia yang mengulang pertanyaannya.

"Jadi cita-cita lo apa?"

"Cita-cita ya? Hmm..." Athan nampak berpikir. "Nggak punya."

"Kok nggak punya?"

"Cita-citaku udah lenyap semenjak orang yang aku cita-citakan memutuskan sebuah hubungan."

Thalia refleks menoleh, menatap mata Athan yang tergurat kepedihan yang mendalam. "Kalo menurut kamu orang yang bisa bercita-cita adalah orang yang beruntung, kamu salah Tha. Masa depan masih semu. Belum jelas gimana kebenarannya. Aku pun udah nggak mau berharap karena aku takut masa depan mengecewakannya seperti masa depan yang mengecewakanku atas kamu."

Thalia diam, tanpa kata. Membiarkan Athan berbicara.

Melihat Thalia yang terus diam membuat Athan merasa bersalah telah mengungkit kejadian di masa lalu. Mungkin saja Thalia merasa tidak nyaman dengan pembahasan ini. Seketika saja ia meruntuki kebodohannya sendiri.

Athan turun dari ayunannya, membelakangi punggung Thalia.

"Listen to me,"

Thalia mendongak, menatap Athan yang berkeringat karena terkena paparan sinar matahari. Bahkan dalam keadaan berkeringat pun lelaki itu masih saja tampan.

"Sekarang kamu merem."

Thalia mengikuti arahan yang diberikan Athan. Perempuan itu memejamkan matanya. Lalu tangan kokoh Athan yang memegangi tali ayunan mulai menariknya ke belakang secara perlahan.

"Sekarang teriak Tha. Luapkan segala yang kamu rasakan." Ayunan itu dilepas sehingga terhuyung ke depan dengan kencang. Thalia yang awalnya takut mulai merasa senang. Ia berteriak sekeras mungkin dan membayangkan bahwa ia sedang terbang. Benar kata Athan,  dengan berteriak, ia lega walau tak seluruhnya.

Setelah puas bermain di gumuk pasir itu, Athan dan Thalia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Di tengah berjalan menuju parkiran, Athan bertanya. "Kamu tau kenapa aku kesini sebagai destinasi pertama kita?"

"Karena ini dekat rumah Eyang?"

Athan menggeleng. "Gumuk Pasir ini seperti kamu Tha. Langka. Cuma ada satu di Indonesia. Tapi sayang, Tuhan cuma ngasih ini diawal aja, Tuhan nggak ngijinin aku buat memilikinya sampai akhir."

Thalia menghentikan langkah kakinya, mengusap air mata yang keluar di pelupuk matanya sebelum akhirnya kembali melangkah menyusul Athan yang sudah ada di depan. "Sekali lagi maaf Than."



Pada kangen nggak sih sama merekaaa?

Maaf atas keterlambatan update yaa. Masih bener-bener sibuk banget.

Oh ya bagi kalian yang sudah pernah ke Jogja atau tinggal di sekitar Jogja ada rekomen tempat wisata bagus nggak? Silahkan komen ya!

Jangan lupa buat follow instagramku @aameliars dan juga @duniamelia ya!  See u

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top