√42
PLAY THE PLAYLIST
Athan bergerak gelisah tak menentu, tetapi matanya masih setia terpejam. Keringat bercucuran di pelipisnya, hingga kaos oblong hitam yang ia pakai basah dibanjiri keringat. Suara erangan itu muncul, lagi lagi dan lagi.
"Hosh hosh hosh!" Athan akhirnya bangun dari mimpi buruk itu dengan nada ngos-ngosan, seperti habis lari berkilo-kilo meternya. Athan mengusap keringat yang membasahi kepalanya dengan gusar.
Matanya melirik ke arah jam yang terpasang di dinding. Jam setengah dua. Selalu jam setengah dua.
Athan menghembuskan nafasnya, beranjak turun dari ranjang untuk pergi ke dapur karena tiba-tiba saja ia merasa haus. Suara deburan ombak Pantai Cemara Sewu menjadi teman malamnya mulai detik ini. Angin yang menyapu wajahnya membuatnya dirinya sungguh tenang.
Matanya menyipit untuk memastikan sesuatu jika di jembatan yang sangat cantik itu terdapat seorang gadis yang tengah duduk disana sendirian.
Memang, selain memiliki keindahan berupa pohon cemara sesuai namanya yang tumbuh di sepanjang pantai, terdapat pula jembatan yang berdiri kokoh diantara padang rumput yang indah. Bahkan air laut disana masih biru dan jernih. Masih tak banyak pengunjung yang mendatangi pantai ini. Oleh sebab itulah pantai ini masih asri dan karena itu juga Eyang Thalia membangun sebuah penginapan disini untuk mengisi hari tuanya.
Athan mendatangi gadis itu. Ia yakin betul jika disana adalah Thalia. Bermodal keyakinan itulah, ia melangkah dengan begitu mantap kesana.
Athan duduk di samping gadis itu. Sebelumnya, ia sudah menyelimuti punggung Thalia dengan selimut yang ia bawa. Gadis itu menoleh, terkejut. Rambutnya bertebangan menutupi sebagian wajahnya.
"Mimpi buruk?" tanya Thalia setelah melihat langit sekilas.
Athan menampilakan raut terkejutnya. "Bagaimana kamu tahu?"
Thalia tersenyum, merapikan anak rambut yang menutupi wajahnya. "Lihat, sekarang jam setengah dua. Dan saatnya bagi pangeran menerima kutukannya."
Lelaki itu tersenyum. "Saya masih jadi pangeranmu?"
"Dulu."
Athan mendesah kecewa. Namun beberapa saat kemudian ia tersenyum. "Mau saya ceritakan mengapa pangeran menerima kutukannya?"
Thalia menoleh, diam untuk berpikir. "Boleh. Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Jangan panggil saya-kamu. Kesannya kayak bos ke bawahannya."
"Kamu kan bos saya."
"Yaudah."
"Okay. Aku-kamu?"
"Begitu lebih baik."
Thalia tersenyum. Memandang kakinya yang mengayun seirama dengan perpaduan alunan ombak dan angin yang berdesir.
"Bisa dimulai?"
Thalia mengangguk. Ia berdegup dengan kencang. Inilah saat-saat yang ia tunggu. Mendengar cerita langsung dari Athan mengenai masalahnya hingga ia harus dihantui mimpi buruk hingga sekarang. Dan saat yang ia tunggu benar-benar sudah tiba. Ya Tuhan, ia tak bisa mengukur bagaimana bahagianya ia sekarang.
"Dulu, aku punya seseorang yang aku sukai. Lisa."
Tenang Thalia. Tenang.
Athan menatap Thalia lama. "Dulu Tha, Dulu." ucapnya sambil terkekeh.
"Lanjutkan."
"Tanpa disangka temanku, Dirga juga suka padanya. Tanpa sepengetahuanku juga mereka saling berhubungan di belakangku. Mereka mengkhianatiku." Athan diam, menatap pasir putih yang sudah kehilangan jejak kaki pemiliknya.
"Saat itu rasanya dunia nggak adil. Bener-bener nggak adil. Bayangkan, kedua orang yang kamu sayangi ternyata berkhianat. Dan itu bener-bener sakit Tha. Kami berantem lewat telpon saat itu. Dia marah aku pun marah. Nggak ada yang mau mengalah buat ngelepas Lisa. Ego kami terlalu tinggi. Akhirnya Dirga kehilangan kendali mobilnya karena terlalu fokus bicara sama aku di telpon. Dia kecelakaan. Mobilnya masuk jurang."
Thalia membekap mulutnya tak percaya. "Di-dia meninggal?"
Athan mengangguk. "Dia meninggal saat itu juga. Aku bener-bener nyesel Tha. Aku nyesel udah berantem sama dia cuma karena masalah cewek. Seharusnya aku bisa berlapang dada buat nerima semuanya. Tapi egoku terlalu tinggi. Aku kehilangan sahabat terbaikku Tha." Athan mengeratkan tangannya pada papan jembatan kayu dengan erat. Bercerita seperti ini rasanya sama saja membuka luka lama yang sudah hampir terobati. Athan hancur, tentu saja. Hanya masalah perempuan dan ia kehilangan sahabat terbaiknya. Kejadian naas saat Dirga jatuh ke jurang, saat dirinya bertengkar hanya karena masalah Lisa terus berputar di otaknya tanpa berhenti. Membuat penyesalan tak berujung di hidupnya.
"Untung aja Papa dipindahtugaskan ke Bandung. Jadi aku bisa sedikit melupakan masalah itu."
Thalia mendekat, mengusap punggung Athan yang sedikit begetar. Ia tau menceritakan masa lalu tidaklah mudah. Ia menjadi merasa bersalah karena sesuatu yang berhubungan dengan ini.
"Dan aku nggak mau kehilangan kamu Tha. Tolong jangan khianati aku. Tolong Tha... Aku udah nggak sanggup lagi kalau harus kehilangan kamu. Aku janji bakal berubah. Aku janji akan bersikap baik. Tapi kamu mau kembali ya?" tangan Thalia yang semula mengusap punggung Athan kini beralih berada di genggaman lelaki itu. Athan menatap Thalia dengan sorot memohon dengan putus asa.
Sebenarnya Thalia benar-benar tak tega. Tapi ia tau ia tak bisa melakukan hal itu. Dengan sekali nafas, Thalia menarik tangannya dalam genggaman lelaki itu.
Athan menampilkan raut kecewa. Namun ia kembali tersenyum tipis. "It's Okay Tha. Gimana kalo kita temenan?"
Thalia mengangguk. "Gue setuju." karena hanya dengan itulah mereka masih bisa terus bersama. Ya, dengan menjadi teman, walau dalam waktu yang tak lama lagi.
Athan mengambil kotak yang ada di sampingnya. Menyalakan lilin yang ada diatasnya. "Happy SweetSeventeen Tha."
Thalia tersenyum. "Kan udah kemarin."
"Kemarin kamu masih marah sama aku. Dirayakan sekarang gapapa ya?"
Thalia mengangguk.
"Make a wish dulu."
Perempuan itu menyatukan kedua tangannya di dada sambil memejamkan matanya. Lalu beberapa detik kemudian ia tersenyum. "Udah!" dan lilin pun padam tanda selesai ditiup.
"Apa permintaanmu?" tanya Athan.
"Rahasia dong!"
"Sesama teman nggak menyimpan rahasia Tha."
Thalia terkekeh. Pintar sekali lelaki ini berbicara. "Kepo!"
"Kepo itu peduli. Peduli itu sayang. Walaupun sayangnya cuma sebagai teman."
Mendengar penuturan Athan membuat Thalia tersenyum miris. Yah, akhirnya status mereka berakhir pada pertemanan. Tak apa. Yang penting ia bisa terus bersama Athan.
"Ayo Tha, Apa?"
"Tomorrow."
"Tomorrow? Why? Kenapa kamu meminta hari esok?"
"Karena nggak ada yang tau kapan Tuhan ngasih umur untuk kita Than. Kita sebagai umat hanya bisa berdoa. Dan gue berharap Tuhan masih mau ngasih gue hari esok buat memperbaiki diri gue lagi." dan biar gue bisa deket terus sama lo Than.
Athan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Hmm, permintaan yang aneh."
"Bukannya sama kayak gue? Aneh. Seperti yang lo bilang di awal pertemuan kita."
Athan tertawa lepas. "Iyalah! Coba bayangin pagi-pagi ada yang ngetuk rumah trus marah-marah nggak jelas. Mana cuma pake baju piyama lagi"
Thalia mencubit lengan Athan dengan kesal. "Ih Athan! Nggak perlu diperjelas kali! Rese lo!"
"Gelandangan huu!"
"Diem!"
"Dasar gelandangan emperan toko!"
Thalia mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang mirip di foto masa kecil Athan. "Coba ini mirip siapa?"
Athan menelungkupkan wajah Thalia hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. "Rasain!"
Thalia yang menggerutu segera menarik tubuh Athan hingga keduanya tidur bersisihan.
"Astagadragon! Langitnya bagus banget sumpah! Banyak bintangnya lagi!" Thalia tersenyum senang melihat ribuan bintang tersebar luas di angkasa. Mereka saling berkelap-kelip dengan begitu riangnya.
"Mungkin mood-mu sedang bagus. Makanya mereka ikut tersenyum melihatmu tersenyum Tha."
"Ah ngaco!" ucap Thalia sembari tersipu malu. "Liat itu kayak ikan ya!" Thalia menunjuk pada deretan bintang yang membentuk bentuk ikan walau tak jelas.
"Itu penyu Thalia."
"Bukan Athan, itu monyet!"
"Iya, monyetnya mirip kamu."
"Athan nyebelin!"
"Bukannya dari dulu ya?"
"Athan ih! Au ah!"
"Tetap tersenyum ya Tha. Jangan bersedih. Ada aku disini."
Dan Thalia tak bisa tak mengangguk mengiyakan. Mengapa ia bersedih jika sudah ada pengobat lara di sampingnya?
Mashok tidak?
Maap ya kalo kurang dapet feelnya atau gimana
Sesuai janji, mereka udah akur yaaa muehehehe
Next part nggak bakal sedih2 kok. Percaya deh
Komen buat next?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top