√40
Kita ini satu. Dimana ada kamu, pasti ada aku.
Athanabil Adventiano
***
Seluruh siswa SMA Gajah Mada bersorak senang ketika hari terakhir ujian semester sudah terlampaui. Segala pikiran serta tenaga sudah tercurahkan demi ujian ini, tinggal tersisa nilai yang menempel di mading sekolah menjadi pelengkap atas usaha yang telah dilaksanakan selama hampir satu minggu itu.
Ketika nilai peringkat paralel sekolah di tempel di mading, beragam ekspresi mereka tunjukkan. Ada yang senang bukan main karena peringkatnya naik, namun ada pula yang mendesah kecewa karena nilai mereka tak sesuai dengan harapan.
Thalia bergabung pada gerombolan itu. Beruntung sekali dengan badannya yang kecil ia dapat menyelinap di celah-celah yang ada. Matanya menjelajahi daftar kertas itu dengan sedikit mendongak. Perempuan itu tak mencari pada daftar bagian bawah, melainkan pada bagian teratas. Lalu sebuah senyum terbit di bibirnya. "Kamu melakukannya dengan baik." batinnya lalu pergi dari gerombolan itu.
"Gimana Tha? Peringkat berapa?" setelah keluar dari gerombolan, Debby bertanya karena perempuan itu begitu antusias melihat daftar nama. Padahal sejauh yang Debby ingat, Thalia sangat cuek dengan peringkatnya, bahkan ia sangat malas untuk mengecek ia peringkat ke berapa karena Thalia sudah yakin jika peringkatnya pasti berada di bagian bawah.
Lantas, peringkat siapa yang Thalia lihat tadi?
Thalia menggendikkan bahu seolah acuh. Kakinya melangkah menuju kantin karena tiba-tiba saja ia merasa haus. Kedua sahabatnya mengikuti dari belakang.
"Tha, liburan jadi ke Jogja kan?" Alisa bertanya dengan antusias. Ia menyeruput es jeruknya. "Berapa hari?"
"Hmm, tiga hari deh kayaknya."
"Ah kurang Tha! Seminggu aja. Gimana?"
Thalia nampak diam, berpikir. Lalu beberapa saat kemudian mengangguk. Debby dan Alisa bersorak senang.
"Nih tiketnya." Thalia mengeluarkan sebuah tiket pesawat dari dalam tasnya. "Jam 7 udah ke bandara soalnya jam 8 kita udah boarding."
Debby dan Alisa mengambil tiket itu dengan senyum-senyum tidak jelas. "Laksanakan!"
Setelah berbincang cukup lama, mereka memutuskan pulang untuk bersiap-siap ke Jogja keesokan harinya.
Thalia mengemasi barang-barangnya ke dalam koper yang cukup besar berwarna pink. Tangannya sibuk memasukkan helai demi helai baju sembari mendesah sedih. Sesekali matanya menatap ke arah jendela kamarnya yang sudah hampir berminggu-minggu ia biarkan tertutupi tirai hitam. Sudah berminggu-minggu lamanya juga perempuan itu tak pernah berkunjung pada balkon yang dulu pernah menjadi tempat favoritnya.
Dulu, Thalia sangat suka berada di sana. Memanggil nama Athan berulang kali, berharap lelaki itu mau keluar dari balkon untuk berbincang padanya. Dulu, Thalia juga sangat suka melihat bintang dari sana sembari membayangkan jika Athan akan melakukan hal yang serupa. Padahal ia tau, Athan sibuk belajar di dalam sana. Pernah juga Thalia melempar makanan ringan agar Athan mau memakannya sembari belajar. Tapi Athan membiarkannya berserakan di balkonnya.
Thalia menggigit bibir bawahnya dengan erat, menahan gejolak yang ada di dalam dada. Namun, hatinya menuntunnya untuk membuka tirai itu yang sama saja membuka kenangan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam.
Thalia membuka tirai dengan gugup, lalu Membuka pintu balkon yang sudah kotor karena tak pernah terjamah lagi.
Matanya mendelik tak percaya atas apa yang ia liat. Balkonnya sangat penuh dengan kertas origami berbentuk pesawat terbang yang jumlahnya sangat banyak.
Thalia duduk pada bangku yang sudah berdebu itu, mengambil salah satu pesawat terbang berwarna merah itu. Tangannya bergetar hebat ketika sebuah tulisan muncul disana.
Ia sangat hafal dengan tulisan ini. Ini tulisan Athan. Tulisan seseorang yang sedang ia hindari sampai detik ini juga.
Mata Thalia meluruhkan air mata yang mengalir hebat. Perempuan itu terisak dan bahunya tergoncang sesenggukan.
Thalia, lo kemana? Kenapa lo ninggalin gue Tha? Kenapa? Apa semua sikap lo ke gue bener-bener palsu dan hanya ada Dave di hati lo?
Tapi kenapa Tha? Kenapa lo ngelakuin ini disaat gue bener-bener sayang sama lo? Apa karena Lisa? Lisa hanya masa lalu Tha, percaya sama gue, lo masa depan gue, lo satu-satunya Tha.
Maukah tuan puteri kembali ke pelukan Pangeran? Gue mohon...
Thalia mendekap kertas itu yang mulai basah dengan air matanya. Isaknya terdengar pilu, hatinya remuk dan ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menangis.
Maafin Thalia, maafin Thalia, Athan. Thalia harus melakukan ini... Thalia harus...
Sebuah tetesan darah menetes di tangan Thalia. Perempuan itu terkejut dan buru-buru masuk ke dalam kamar lagi. Air keran di kamar mandi ia nyalakan untuk membasuh sisa-sisa mimisan yang ada di hidungnya.
Kepalanya terasa berat, pening. Rasanya seluruh dunia berpusat pada dirinya. Thalia meringsuk ke lantai dengan kedua tangan memegangi kepalanya yang berdenyut sakit bukan main ketika tubuhnya sudah tak sanggup lagi menopangnya.
Tuhan, kasih aku waktu lebih lama lagi. Satu minggu Tuhan. Kasih waktu aku satu minggu lagi sebelum akhirnya berpulang di Pelukan-Mu.
Dan dalam sekejab, semua berubah menjadi hitam. Thalia masuk ke alam bawah sadarnya.
***
"Ada apa?" Athan bergerak duduk di depan seorang lelaki yang tiba-tiba saja menelponnya untuk bertemu.
Dave menegakkan tubuhnya dengan tatapan serius. Lalu tangannya menyodorkan sebuah lembaran kertas ke arah Athan. "Besok Thalia ke Jogja."
Athan terkejut, namun memilih diam. Hey, siapa lagi dirinya hingga Thalia harus memberikan kabar itu kapadanya. Athan harus sadar diri jika dirinya bukan siapa-siapa lagi di hidup Thalia. "Trus urusannya sama gue apa?"
Dave tersenyum sinis. "Kalo lo mau tau alasan sikap Thalia selama ini, susul dia ke Jogja."
"Lo tau?"
Lelaki itu mengangguk. "Tapi gue nggak bisa beritau. Lo sendiri yang harus cari tau atau Thalia sendiri yang harus ngasih tau elo." Dave bangkit dari duduknya, menepuk bahu Athan dengan singkat. "Besok jam 7 lo harus udah di bandara. Semoga dewi fortuna berpihak pada lo atau lo akan menyesal seumur hidup lo." ucapnya lalu bergegas pergi, membiarkan Athan merenung dalam pikirannya.
Haruskah ia kesana?
***
"Nak, bangun... Mama mohon..." Ratna menggoyang-goyangkan tubuh Thalia dengan tangisan yang pecah. Di sampingnya, sudah ada Aldhi yang berusaha menenangkan istrinya akibat terlalu shock melihat anak semata wayangnya jatuh pingsan di kamar mandi dengan keran yang masih menyala.
"Mama?" Thalia mulai membuka matanya perlahan. Tangannya langsung memegang kepalanya yang sakit luar biasa. Ratna yang melihat anaknya sudah sadar segera menghambur ke pelukan gadisnya itu dengan haru.
"Besok batal ke Jogja aja ya?" Aldhi mengusap rambut anaknya dengan halus. "Kondisi kamu lagi nggak memungkinkan. Ke Jogja kalo udah sehat aja ya?"
Thalia menggeleng. "Nggak bisa Pa, Thalia harus kesana besok. Teman-teman Thalia udah terlanjur senang besok kesana. Papa nggak usah khawatir. Thalia pasti baik-baik aja kok."
"Tha--"
"Kabulin permintaan terakhir Thalia ya Ma, Pa?"
Dan tak ada pilihan lain selain mengiyakan permintaan gadisnya itu.
***
Thalia memegang koper pinknya dengan perasaan was-was. Pasalnya, jarum jam sudah menunjukkan angka setengah delapan dan tidak ada tanda-tanda kemunculan dari Alisa, Debby, Farell, Reza, maupun Dave. Apakah mereka lupa?
Thalia kembali mengecek arloji pink yang melingkar di pergelangan tangannya sembari mengigit bibirnya cemas. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponsel gadis itu.
"Tha, lo ke Jogja duluan aja. Nyokap gue tiba-tiba sakit. Sorry ya."
Thalia menghela nafas. "It's Okay Al. Titip salam buat Tante Veni ya!"
"Sorry banget ya Tha..."
"Gapapa kok Al. Lagian masih ada Debby kok."
Lalu setelah berbasa-basi sebentar, Alisa menutup panggilannya dengan rasa tak enak hati yang menyelimuti hati Alisa. Beberapa detik kemudian, sebuah panggilan kembali masuk ke ponsel Thalia. Panggilan dari Debby.
"Lo kemana sih Deb?"
"Duh, ban taxi gue bocor Tha! Lo duluan aja gimana? Entar biar gue cari tiket buat penerbangan selanjutnya."
"Gue tungguin lo aja kalo gitu."
"Nggak usah Tha. Kan sayang tuh tiket lo malah kebuang. Bener deh gue bakal nyusul kesana. Kalo bisa sama Alisa sekalian."
Thalia menghela nafasnya kasar. "Oke deh. Gue tunggu di Jogja ya!"
"Oke! Have fun Tha!"
Perempuan itu mengernyit bingung. Apa maksud have fun yang Debby berikan barusan?
Thalia menarik kopernya untuk segera check in setelah dipastikan Reza dan Farell tak jadi ikut karena urusan mendadak. Sempat kecewa memang, tapi Thalia berusaha memaklumi hal itu. Mungkin tanggal yang ia tetapkan sedang tak pas karena pasti di awal-awal liburan sudah digunakan untuk acara keluarga, bukan acara untuk bersamanya.
Check in sudah, tinggal menunggu 10 menit lagi dan pesawat akan datang. Panggilan dari speaker bandara mengumandangkan bahwa pesawat yang Thalia tumpangi sudah siap melaju.
Perempuan itu segera berjalan menuju lorong dan menaiki sebuah bus mini untuk naik ke daerah pesawat. Di sepanjang perjalanan, Thalia selalu menyumpalkan telinganya dengan earphone.
"Akhirnya..." desah Thalia lega ketika dirinya sudah duduk di dalam pesawat. Ia mengecek ponselnya sekali lagi. Jam menunjukkan pukul delapan lebih. Pesawat terlambat beberapa menit.
Thalia menatap jendela pesawat sembari melamun. Andai saja Athan disini, ia pasti akan senang karena ada teman mengobrol. Bagaimana tidak? Kini bangku sampingnya yang seharusnya berisi Alisa dan Debby harus kosong tak berpenghuni.
Sebuah ide muncul di benak Thalia. Ia mengambil secarik kertas di dalam tas kecilnya dan mulai menuliskan sesuatu disana. Tulisan itu ia foto di dekat jendela, berharap Tuhan menghadirkan nama itu sekarang juga di dekatnya.
Jantung Thalia seperti berhenti berdetak ketika sebuah suara menginstrupsinya. Rasanya tubuhnya membeku tak bisa bergerak sedikitpun.
"Gue ada disini Tha."
Ada yang kangen mereka?
Vote dan komen sebanyak-banyaknya biar aku semangat gitu nerusin cerita ini. Yaaa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top