√39
Didedikasikan untuk pembaca yang setia menunggu cerita ini update
Happy Reading!
***
Ada kalanya kamu jatuh, terpuruk, dan tak berdaya. Ada kalanya kamu akan merasa sendirian. Ada kalanya kamu tak kuat menahan beban yang ada. Tetapi percayalah, itu hanya ada di ilusimu semata. Yang perlu kau ketahui, banyak orang yang siap berdiri menopangmu ketika jatuh, banyak yang akan menemanimu ketika sendirian, dan banyak yang akan membantu memikul beban masalahmu. Dan aku sendiri akan selalu siap berada di barisan terdepan untuk itu.
Athanabil Adventiano
***
Athan memandang langit jingga di puncak bukit yang sepi, mengasingkan diri dari hiruk pikuk kota untuk menenangkan pikirannya yang sedang kacau balau. Apalagi setelah mendengar cerita dari Rahma tadi benar-benar membuatnya bingung setengah mati. Mengapa Thalia menceritakan cerita yang sangat berbeda dengan cerita aslinya kepada gadis itu? Apakah Thalia sedang memberikan kode atau bagaimana?
Athan menghirup udara sejuk perbukitan dalam-dalam, memandang cakrawala yang tak pernah berhenti membuatnya tenang. Dengan semburat orange dan kuning yang berpadu pada birunya langit, Athan dapat melupakan masalahnya walau sejenak.
Seandainya. Seandainya Thalia ada disini bersama dirinya sekarang. Walaupun cuma sebentar, Athan pasti sudah sangat senang dengan kehadiran gadisnya itu. Mengobati rindu yang membelenggu di dalam dada.
Athan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengeluarkan segala beban yang ada. Thalialah yang mengajarinya beberapa waktu yang lalu saat mereka berdua pergi ke bukit untuk piknik bersama. Thalia juga yang memberitahukannya bahwa masalah apapun akan berlalu jika dijalani dengan penuh kesabaran. Namun, saat ini, perempuan itulah yang membuatnya terjebak dalam sebuah masalah rumit, tanpa ada sebuah ujung penyelesaian yang pasti.
Setelah langit berubah menggelap, Athan memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, berharap Tuhan akan berbaik hati dengan membuatnya kecelakaan dan masuk jurang. Mungkin ini adalah tindakan nekat dan tak ada gunanya. Tapi Athan sudah terlanjur frustasi. Mungkin dengan seperti itu, Thalia mau menemuinya lagi. Ya, tujuannya hanya itu, agar Thalia mau menemui Athan lagi.
Sepertinya Tuhan berkendak lain dengan membuat Athan selamat sampai rumah walau beberapa kali pengemudi kendaraan lain mengumpat atas aksi ugal-ugalannya di jalan. Athan masih bingung, pantaskah ia bersyukur dengan hal itu?
Motor hitam itu sudah berada di depan rumah. Tetapi sang pemilik tak berniat untuk beranjak sedikitpun. Matanya masih sibuk menatap rumah yang ada di sebelahnya. Rumah Thalia.
Dulu, ketika Athan datang kesana untuk memberikan kue buatan ibunya, Thalia akan senang dan berlari sampai hampir jatuh untuk berebutan membuka pintu bersama Ratna, sedangkan Athan hanya memberikan paperbag itu dan langsung pergi tanpa kata.
Menyesal.
Itulah kata yang saat ini menancap di diri Athan. Lelaki itu menyesal telah mengabaikan gadis itu, memperlakukan gadis itu dengan kasar, bahkan menolaknya dengan ucapan pedas. Ada satu lagi yang membuatnya benar-benar menyesal, ia masih belum bisa membahagiakan gadis itu seutuhnya.
Jika dipikir-pikir lagi, jika Athan kesana sekarang, akankah semuanya akan kembali sama? Akankah Thalia akan datang dengan sapaan khasnya? Akankah Thalia yang membuka pintu sambil tersenyum lebar?
Ah, seharusnya Athan tau hal itu sangat mustahil, mengingat kedudukan Dave yang sekarang jauh lebih tinggi darinya. Dave pantas mendapatkan Thalia. Coba ingat ketika Athan menyakiti Thalia, siapa yang menyembuhkannya? Dave. Ketika Thalia bersedih, siapa yang menemaninya? Dave, dan selamanya akan Dave. Athan hanyalah lelaki brengsek yang cuma bisa membuat Thalia sakit hati.
Athan turun dari motornya. Langkah kakinya menuntunnya untuk berjalan ke rumah. Bukan rumahnya, melainkan rumah Thalia. Dengan harapan, siapa tau Thalia mau menampakkan diri lagi.
Jantung Athan berirama dengan cepat dan menggebu. Rasanya ia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Ia tak pernah segugup ini sebelumnya. Bahkan ini lebih parah dari mengikuti olimpiade tingkat internasional yang pernah ia ikuti dulu.
Pintu putih itu tertutup. Mungkin sedang tidak ada orang. Athan hendak memegang gagang pintu itu, namun sayup-sayup ia mendengar gelak tawa seseorang. Gelak tawa yang sangat ia rindukan sampai saat ini. Tawa yang merdu dan akan membuat siapapun akan ikut tersenyum ketika mendengarnya. Siapa lagi kalau bukan tawa Thalia.
Athan menurunkan tangannya yang memegang gagang pintu, matanya menatap jendela yang tertutupi kelambu tipis berwarna senada dengan pintu. Detik itu juga, hatinya remuk. Tangannya mengepal hingga memutih. Rasanya ia ingin marah. Marah sekali.
Bagaimana tidak? Disana, Dave dan Thalia tengah tertawa bersama, seolah sedang menertawakan hal yang sangat lucu. Nasib Athan misalnya.
Athan menunduk, menatap sepatu converse hitam putihnya yang lusuh. Seharusnya ia sadar. Thalia bukan lagi bahagianya. Thalia bukan lagi miliknya. Thalia sudah bahagia bersama orang lain. Thalia sudah milik orang lain. Seharusnya Athan sadar akan hal itu. Tetapi mengapa hatinya terus menolak tentang fakta itu? Mengapa hatinya selalu berkata bahwa hal itu tidak benar?
Athan membalikkan badan dengan lesu, mengubur harapannya dalam-dalam di hati yang tak lagi berpenghuni. Mungkin ini yang Thalia minta dengan membuatnya jauh dari hidup gadis itu seolah apa yang mereka lakukan dahulu tak akan pernah terjadi.
Jadi, bolehkah Athan menyerah sekarang?
***
"Ck! Lama!" umpat Dave ketika Thalia baru saja membuka pintu setelah hampir lima menit lelaki itu berdiri disana sambil menggedor pintu layaknya lintah darat yang menagih hutang.
"Sabar elah!"
Dave masuk, lalu duduk dengan seenaknya di sofa. "Tante sama Om mana?"
"Lagi keluar." Thalia duduk di seberang sofa, memainkan ponselnya dengan asik.
Dave bangun dari sandarannya di sofa, kedua tangannya berpautan yang bertumpu di paha. "Lo yakin mau ke rumah eyang?"
Mendapat pertanyaan itu membuat Thalia menghentikan aktivitas bermain ponselnya. "Hmm. Gue mau pamitan sama eyang sekaligus buat momen terakhir sama sahabat-sahabat gue."
Dave langsung tertawa renyah. Matanya menatap langit-langit atap sebelum akhirnya terfokus pada Thalia. "Gaya lo kayak mau mati aja!"
"Emang itu kenyataannya Dave. Lo tau itu."
Dave bungkam. Ia melirik Thalia yang berubah menyendu. Lelaki itu segera beralih ke sofa, memeluk gadis itu dengan erat. "Lo kuat Tha. Lo cewek terkuat yang gue temui. It's Okay. Everything will be okay. Lo nggak boleh sedih. Lo punya kita, Tha. Lo punya gue, lo punya Debby Alisa, lo juga punya kelurga lo yang selalu dukung lo. Semuanya akan baik-baik aja. Trust me."
Thalia mengangguk. "Semoga saja. Ya, semoga saja."
Pelukan itu sudah terlepas, Thalia mengambil ponselnya yang Dave duduki di sofa. Langsung saja sebuah teriakan menggelegar di seisi rumah. "DAVE LO DUDUKI HP GUE!"
"Alah duduki doang. Pantat gue nggak setajem itu kalo hp lo pecah."
Thalia langsung memukuli Dave tanpa ampun dengan bantal sofa yang ada di dekatnya. "BUKAN ITU BEGO! POSTANNYA KE LIKE!"
"Sakit anjing!" Dave segera berlari dengan cepat untuk menghindari Thalia yang sekarang sedang mode hulk. Ia segera berlari ke arah meja makan hingga aksi kejar-kejaran tak terelakkan."Alay banget sih lo! Emang postannya siapa sih?"
Thalia memandang ponselnya sekali lagi sembari menginjak-injakkan kakinya dengan kesal. "ATHAN!"
Tawa Dave menggelegar. "NAH LOH KETAUAN KAN MASIH STALKING ATHAN!"
Thalia langsung melempar bantal ke arah Dave. Namun, lelaki itu dengan sigap menerima bantal itu hingga tak mengenai wajah tampannya. "Wle nggak kena!"
Perempuan yang kesal setengah mati itu segera mengejar Dave dengan ganas. Lihat saja sampai lelaki itu tertangkap. Pasti akan habis di tangannya. "DAVE TANGGUNG JAWAB! INI GIMANA YA TUHAN! APALAGI INI POST TAHUN KEMARIN! MAU DITARUH MANA MUKA GUEEE!"
Dave menjulurkan lidahnya ketika Thalia yang kakinya pendek tak bisa mengejarnya. Hasilnya perempuan itu sedang terkapar lemah di lantai. "RASAIN TUH! SIAPA SURUH SOK-SOKAN JAUHIN ATHAN. MAKAN TUH KARMA!"
"RESE LO!" Thalia bangkit lagi namun kakinya tersandung pada kaki sofa. Tubuhnya terjerembab ke lantai dengan menyedihkan. "SHIT!"
Saat itulah tawa Dave kembali hadir, bahkan lebih keras ketika wajah Thalia mencium kerasnya lantai. "Nggak dicium Athan, keramik pun jadi."
Thalia menelungkupkan wajahnya di tangan. Ia menangis tersedu-sedu, membuat senyum di wajah Dave memudar. Ia langsung mendekati Thalia dengan wajah panik. "Tha, yaelah gue bercanda Tha. Kenapa pake nangis segala sih? Emang sakit ya nyium lantai?"
Thalia menangis lagi. Bahkan lebih keras. Dave mendekati Thalia hingga sebuah tangan menariknya hingga dirinya ikut mencium lantai. Thalia tertawa terbahak-bahak karena rencananya berhasil sedangkan Dave hanya mengumpat. Namun tak lama setelah itu ia kembali tersenyum, melihat gadisnya sudah bisa tertawa lagi, walaupun ia harus melakukan hal bodoh sekalipun.
Vote?
Komen?
Next or No? No aja lah :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top