√35
Jangan bahagia kalo itu cuma pura-pura. Jangan senyum kalo itu terpaksa. Dan jangan tertawa kalo itu cuma buat menipu orang.
Irreplaceable
***
Thalia sudah siap dengan seragam abu-abunya yang sudah menjadi ikonnya anak SMA. Untuk kesekian kalinya, ia memandang wajahnya yang terpantul dalam cermin panjang di hadapannya ini. Cukup baik, matanya yang sembab hasil menangis semalaman tak begitu kelihatan berkat bantuan make up. Ia patut bersyukur akan hal itu.
Setelah selesai memastikan bahwa wajahnya baik-baik saja, Thalia turun ke bawah, menyapa kedua orang tuanya yang sedang sarapan bersama. Namun, ia sama sekali tak berniat untuk bergabung karena nyatanya, nafsu makannya hilang sejak beberapa hari yang lalu.
Thalia langsung saja berpamitan pada Aldhi dan Ratna untuk berangkat sekolah. Hari ini Dave sengaja ingin menjemputnya, jadi itulah alasan mengapa Thalia tak berangkat bersama ayahnya. Ketika gadis itu membuka pintu, Thalia menggerakkan bibirnya berulang kali agar senyum yang ia keluarkan nanti tidak aneh dan kaku. Setelah cukup bisa membuat senyum yang menipu, Thalia memegang gagang pintu dengan satu tarikan nafas.
"Thalia, lo harus senyum, seperti biasanya..." ujarnya dalam dirinya sendiri.
"Dor!" Thalia menepuk bahu Dave yang sudah menunggunya sedari tadi dengan ceria. Dave nampak terkejut mendapat tepukan yang membuyarkan lamunan lelaki itu.
Gadis itu tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi terkejut Dave yang lucu. Lelaki itu justru mendengus dan menatap gadis itu dengan tatapan dingin.
"Udah?"
"Apanya?"
"Pura-pura bahagianya."
Thalia tersentak. Ia memandang Dave dengan sendu. Tawanya yang nyaring kini berganti hening. Senyum lebar yang terpatri di wajahnya, kian memudar. Melihat perubahan ekspresi dari Thalia membuat praduga Dave benar adanya. Thalia tengah berpura-pura bahagia.
Bahkan Dave tak yakin jika gadis itu menertawainya karena mungkin saja perempuan itu sedang menertawai hidupnya sendiri? Who knows...
Lelaki itu memegang bahu Thalia lembut, menyuruh Thalia menatap manik matanya yang teduh. "Tha, jangan bahagia kalo itu cuma pura-pura, jangan senyum kalo itu terpaksa, dan jangan tertawa kalo itu cuma buat menipu orang. Seseorang tak selamanya bahagia Tha, pasti ada rasa sedih dalam hidupnya. Lo boleh menipu semua orang dengan ketawa lo, dengan senyum lo, dengan keceriaan lo. Tapi buat gue? Nggak bisa Tha. Gue udah hafal mana yang palsu dan mana yang asli dari diri lo. Jadi, gue mohon, jadi diri lo sendiri. Kalo lo nggak mau semua orang khawatir dengan keadaan lo, setidaknya jadilah diri lo sendiri di hadapan gue. Biar gue bisa menampung segala kesedihan lo. Oke?"
Tak terasa air mata menetes di pelupuk mata Thalia. Bahu gadis itu terguncang hebat, nyaris terisak. Dave segera memeluk Thalia dengan erat, mengusap rambutnya dengan lembut dan pelan. Bahkan lelaki itu sudah tak peduli lagi jika seragamnya akan ikut basah dengan air mata itu. Yang Dave pedulikan hanyalah Thalia, Thalia, dan Thalia.
"Apa ini keputusan yang benar Ma?" dari balik jendela, Aldhi dan Ratna mengintip interaksi antara anak semata wayangnya dengan Dave.
Ratna yang ditanyai seperti itu hanya mengangkat bahu tak tahu. "Ini semua Thalia yang minta Pa. Mama yakin, Thalia pasti sudah tau mana yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain."
***
"Nih," Dave menyodorkan masker sekali pakai berwarna abu-abu kepada Thalia setelah mobil itu terparkir di parkiran SMA Gajah Mada yang luasnya minta ampun.
"Buat apa?"
"Menutupi kesedihan lo." Dave meraih telapak tangan Thalia, menaruh masker itu di atasnya. "Gue tau lo pasti nggak mau semua orang khawatir dengan keadaan lo dan gue pikir masker ini jalan satu-satunya. Bilang aja lo kena flu. Jadi lo nggak usah susah-susah tampil sok bahagia di hadapan orang lain."
Thalia mengangguk, mengambil masker itu.
"Thanks."
Di depan kelas, kedua sahabat Thalia sudah menunggu dengan harap-harap cemas atas kedatangan gadis itu. Ketika dari ujung koridor Thalia sudah menampakkan batang hidungnya, Debby dan Alisa segera berlari dan menarik gadis itu menuju taman belakang sekolah yang sepi. Persetan dengan jam pelajaran pertama yang akan berlangsung, mereka seolah tak peduli.
"Ada apa sih?" Thalia memberontak ketika lengannya di tarik Debby dengan buru-buru.
"Tha, lo ada masalah apa sih?" tanya Alisa dengan lembut.
"I'm okay."
"Yeah, your mounth can say okay, but your eyes can't lie to me, Thalia. Listen, kita ini sahabat lo dan sesama sahabat nggak akan menyimpan sebuah rahasia kan?" Debby menatap Thalia dengan intens.
"Ya ampun Tha! Lo habis nangis?"
Thalia refleks mengusap matanya, siapa tahu ada bekas-bekas air mata. Namun, ia malah kepergok benar-benar habis menangis ketika Debby hanya mengujinya saja.
"Tha? Kenapa harus putus?" tanya Alisa lembut.
Thalia menghembuskan nafasnya. "Gue cuma cinta sama Dave."
"Bohong! Lo bohong Tha!" Debby segera menyanggah. Ia tahu betul jika Thalia hanya mencintai Athan, bukan Dave. Dave hanyalah masa lalu yang hanya bisa dikenang, tanpa bisa diulang kembali masanya apapun caranya.
"Jujur Tha!" Alisa menimpali. "Nggak mungkin lo yang udah perjuangin Athan mati-matian tiba-tiba pas udah dapet minta putus! Itu bukan Thalia yang gue kenal! "
Thalia menatap pohon rimbun yang ada di hadapannya. Mungkin berbohong kepada sahabatnya sendiri tak ada gunanya. Mereka sudah tahu seluk beluk hidup Thalia. Bahkan mereka juga hafal mimik wajah Thalia ketika berbohong maupun kapan Thalia jujur. Dengan segala nafas, Thalia menjawab. "Karena jalan antara gue sama Athan udah beda, Al. Kita udah beda arah."
"Maksud lo?"
Thalia tersenyum. Tipis sekali. "Sepertinya Tuhan berkehendak lain. Mungkin, cukup sampai disini hubungan yang gue jalani sama Athan."
"Udah yuk, kita masuk. Gue nggak mau Bu Yulia harus ceramah panjang lebar gara-gara kita terlambat." Thalia pergi, menyisakan kedua sahabatnya yang bingung setengah mati atas rahasia yang benar-benar Thalia tutup rapat itu.
"Kapan sih Tha lo berbagi kesedihan lo bareng kita?"
***
"Woy! Tha!" Farell dengan semangatnya duduk di hadapan Thalia yang sedang mengaduk siomaynya dengan tak nafsu. Bagaimana tidak semangat jika ini adalah hari pertama Farell masuk sekolah setelah hampir satu minggu mendekam dalam neraka penuh obat-obatan itu?
"Za, titip gado-gado satu ya!" Farell berteriak ketika Reza hendak membeli makanan di kios-kios yang berjejeran di kantin.
"Idih nyuruh! Beli sendiri napa!"
Farell menunjukkan tangannya yang masih di gips sehabis kecelakaan. "Masih atit!" ucapnya dengan manja.
Reza segera memukul gips itu dengan pelan. "Rese lo! Mentang-mentang barusan kecelakaan manjanya ngalahin pengantin baru!"
Namun, walaupun begitu Reza tetap membelikan pesanan yang Farell minta. Farell tersenyum penuh terima kasih kepada salah satu sahabatnya yang pengertian itu. "Oh ya Tha, kenapa Athan nggak masuk?"
Thalia yang sedang meneguk es tehnya langsung tersedak seketika. "Athan nggak masuk?" ulang Thalia dengan terkejut.
"Loh, lo nggak tau? Athan nggak hubungin lo?"
"Apaan sih kunyuk! Apa semua yang Athan lakuin harus Thalia tau ha?" ucap Debby segera ketika melihat ekspresi Thalia yang menyendu.
"Gimana sih, kan Thalia pac—" sebelum ucapan Farell selesai, seseorang sudah memasukkan sesendok penuh sambal ke dalam mulut lelaki itu. Farell langsung bangkit dari duduknya, memuntahkan sambal yang luar biasa pedas itu dengan tangan yang tidak digips meraba-raba meminta minum. Lidahnya menjulur bagai anjing dan dalam sekejap, keringat sudah membasahi pelipis dan dahi lelaki itu. Poor Farell...
Farell segera meminum es teh milik Thalia dan dua gelas es jeruk milik Debby dan Alisa seperti kesetanan. Namun, lidahnya tetap terasa seperti terbakar. Panas dan ah, Farell tak tau lagi bagaimana mendeskripsikannya. "Gila lo Al!" ucap Farell di tengah kepedasannya.
"Makanya jangan bacot!"
Thalia masih diam, seolah keributan yang ada di dekatnya hanyalah angin lalu. Perasaan bersalah nan khawatir itu hadir menyelimuti hatinya. Ya Tuhan, Athan sakit. Ingin sekali ia menjenguk lelaki itu, namun ia harus menguatkan benteng pertahanan batinnya. Ia tak boleh melakukan itu, apapun alasannya.
Sebuah panggilan membuat Thalia tersentak dari lamunanya. Thalia segera menyepi pada hiruk pikuk kantin untuk menerima panggilan. Ia tersenyum miris membaca nama kontak yang tertera di ponsel. "Calon Mertua". Yap, yang tak lain tak bukan adalah Anggi, ibu Athan.
Thalia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengangkat telpon itu.
"Hallo Tha?"
"Hallo Tan, ada apa ya?"
"Thalia bisa nggak pulang sekolah nanti ke rumah dulu? Athan sakit Tha, daritadi manggil nama kamu terus."
Deg!
Hati Thalia terasa teriris-iris mendengar fakta bahwa Athan masih mencarinya walaupun gadis itu sudah membuat hati lelaki itu terluka. Air mata Thalia kembali menetes, namun segera ia seka dengan kasar ketika suara Anggi kembali hadir.
"Gimana Tha? Kamu bisa nggak? Siapa tahu dengan kamu di sini demam Athan bisa turun."
Dalam setiap ucapan Anggi yang keluar dapat Thalia yakini jika wanita itu belum mengerti keadaan yang terjadi antara dirinya dengan Athan. Mungkin jika Anggi tahu, wanita itu tak menelpon dirinya untuk memintanya datang ke rumah, tetapi justru memakinya habis-habisan.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, Thalia ingin sekali berlari saat ini juga menuju rumah Athan. Namun semua itu hanya angan-angan belaka. Lagi-lagi Thalia harus memantapkan hati. Ia tak bisa begini. Ia harus membuat keputusan demi yang terbaik untuk keduanya. Baik untuk Athan walaupun tak baik untuk dirinya sendiri.
Thalia memejamkan matanya, merasakan sesak di dada yang menyerangnya secara bertubi-tubi. "Maaf Tan, Thalia nggak bisa. Hari ini ada kelompokan di rumah teman," ucapnya lalu segera mematikan sambungan telepon. Tak kuasa lagi mendengar suara Anggi yang akan membuat hatinya diluputi rasa bersalah.
Saat Thalia hendak kembali ke kantin, sebuah daun kering jatuh tepat di bahunya. Thalia terdiam, sekelabat memori hinggap di kepalanya. Memorinya bersama Athan, kala itu...
Sore itu, di bawah langit senja yang sungguh memukau bagi para penikmatnya, Athan dan Thalia berjalan beriringan di sepanjang jalan berbatu kecil yang tersusun rapi namun acak di sebuah taman kota.
Tangan mereka saling berpautan, mengisi celah-celah yang ada. Tangan Athan terasa begitu besar, tak sebanding dengan tangan Thalia yang mungil. Namun karena itulah Thalia menyukainya. Selain seperti merasa terlindungi, tangan Athan terasa begitu hangat.
Di tengah jalan-jalan sore di tepi danau, Athan tiba-tiba saja melepas genggaman tangan Thalia dan berlari dengan cepat, lalu melompat tinggi-tinggi, seperti sedang meraih sesuatu.
"Tha! Gue dapat!"
Thalia yang penasaran segera berlari kecil ke arah Athan. "Dapat apa?"
"Daun."
Gadis itu lantas tertawa dengan nyaring. Ia kira Athan mendapatkan apa, ternyata hanya sehelai daun kering yang bentuknya pun sama sekali tak istimewa. "Daun? Buat apa?"
Athan meraih tangan Thalia, menaruh daun kecil itu di antara telapak tangan gadis itu lalu ditutup menggunakan telapak tangan lainnya. "Kata Papa, daun yang jatuh tertiup angin akan mengabulkan setiap doa bagi siapapun yang mencegah daun itu turun ke tanah. Mau coba?"
"Yakin bisa terwujud?"
Athan mengangkat bahunya. "Kita buktikan saja."
Thalia mengangguk, lalu memejamkan matanya sembari bergumam. Setelah selesai, ia meniup telapaknya tiga kali lalu melepas daun itu ke tanah.
Athan berbisik, "Permintaan apa yang lo buat?"
Seperti sekarang, Thalia kembali melakukan hal yang sama. Namun, bedanya tak ada Athan di sisinya. Tak ada Athan yang membimbingnya untuk melakukan permintaan itu. Tak akan ada lagi Athan di sisa-sisa hidupnya ini. Thalia tau itu hal konyol yang pernah ia lakukan. Berharap pada daun yang jatuh, hey yang benar saja... Tetapi, ketika itu semua ia lakukan bersama Athan, tingkah konyol itu menjadi begitu indah dan menyenangkan.
Thalia kembali mnegucap harapan pada daun kering itu. Ia bergumam pelan, sebuah gumaman yang sama persis ia ucapkan dahulu.
"Tuhan, aku ingin Athan bahagia..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top