√34
Langit, bisakah kau turunkan aku hujan dan petir sekarang? Karena aku ingin menangis tanpa terlihat dan menjerit tanpa terdengar.
Thalia Novenda
***
Thalia memandang jendela kamarnya sembari melipat kedua kakinya dengan tangan yang bertumpu pada lutut. Pandangan gadis itu kosong ke depan, sedangkan telinganya berusaha ia tulikan untuk sementara waktu karena tak ingin mendengar suara apapun di luar sana.
Pintu kamar gadis itu terbuka, ternyata Ratna yang datang, mengusap rambut anak semata wayangnya dengan penuh pengertian. "Tha, sampe kapan kamu biarin Athan berdiri di luar sana?"
Thalia diam. Tak menyahut. Pikirannya masih kosong. Hatinya masih ngilu. Namun, suara teriakan Athan yang meminta maaf di luar sana masih meraung di indra pendengarannya. Nyatanya telinganya tak bisa diajak kerja sama walau sementara.
Sudah hampir dua jam lamanya Athan berteriak meminta maaf kepada Thalia di depan pagar. Lelaki itu berdiri, menatap jendela kamar Thalia yang masih tertutupi kelambu putih dengan jendela tertutup. Ia yakin gadisnya ada di sana, tetapi sudah sedari tadi ia tak menampakkan diri. Mungkin marah dan sudah tak sudi melihatnya.
Biasanya Thalia akan berlari dari kamarnya ke lantai dasar dengan tergesa-gesa ketika Athan datang, menyambut lelaki itu dengan senyum ceria nan hangat. Namun, kali ini tak ada teriakan antusias yang hadir ketika dirinya datang. Bahkan kini sepertinya kedatangannya ditolak keras oleh gadis itu. Namun, Athan tak mungkin menyerah begitu saja atas keputusan Thalia yang begitu mendadak. Ia yakin betul jika semua hal yang pernah mereka lakukan bersama bukanlah sandiwara semata. Ia yakin bahwa Thalia benar-benar tulus mencintainya dan pasti ada alasan khusus mengapa gadis itu melakukan ini.
Apakah gara-gara Lisa? Jika itu penyebabnya, maka Athan bisa menjelaskan semuanya. Menjelaskan bahwa apa yang Thalia pikirkan itu salah. Benar-benar salah.
Ratna datang menghampiri Athan. Mata Athan berbinar luar biasa, namun ketika wanita paruh baya itu menggeleng, pupus sudah harapannya detik itu juga. "Thalia tetep nggak mau ketemu, Athan. Maafin Tante ya. Tante udah bujuk tapi hasilnya tetep sama."
Athan berusaha tersenyum walaupun sakit. "Nggak papa Tan. Memang saya yang salah."
"Nunggu Thalia di dalem aja yuk?"
Athan menggeleng. Ia harus membuktikan kepada Thalia bahwa ia berani berjuang dan pantang menyerah demi cinta mereka. Athan tak mau dianggap lemah. Ia juga tak mau jika hubungan mereka harus kandas secepat ini. Mungkin dengan melakukan hal seperti ini mampu meluluhkan hati Thalia sehingga gadis itu mau menemuinya dan keadaan akan membaik seperti sedia kala.
Athan pikir, Thalia tak akan pernah meninggalkannya. Athan pikir, Thalia akan selalu bersamanya di setiap kelakuan menyebalkan yang ia lakukan dahulu. Tapi nyatanya, Thalia juga manusia biasa yang bisa lelah jika cintanya tak pernah dihargai. Athan sudah mencoba untuk menerima Thalia. Namun, tanpa diduga Lisa datang, menghancurkan segalanya menjadi berkeping-keping. Di balik itu semua, Athan yakin. Ia yakin bisa mengembalikan kepercayaan Thalia yang sudah ia hancurkan.
Athan menatap angkasa sore itu. Jika biasanya angkasa menampilkan magic hours yang begitu indah sehingga ia bisa melihatnya berdua bersama Thalia, kini angkasa menampilkan awan kelabu berwarna abu-abu gelap yang menakutkan. Bunyi pertir menggelegar cukup keras disusul dengan rintik hujan yang kian waktu kian deras. Lelaki itu mencoba tak peduli. Ia terus berdiri, tanpa berniat untuk berteduh sama sekali. "GUE BAKAL TETEP DISINI THA, SAMPE LO MAU KELUAR NEMUIN GUE!" teriak Athan lagi walaupun tenggorokannya sakit karena dehidrasi.
"Tha, kamu yakin nggak mau nemuin Athan?" Ratna duduk di samping putrinya lagi. Wanita itu sungguh tak tega melihat Athan yang masih setia menanti di luar walaupun hujan turun dengan begitu derasnya.
Thalia mengangguk. "Ini yang terbaik, Ma."
Ratna menghembuskan nafasnya kasar. "Kamu yakin bakal ngasih akhir seperti ini pada Athan?"
Thalia menggeleng, tak tau harus mejawab apa.
"Jika menurutmu hal itu akan membuat Athan bahagia, kamu salah nak. Kamu malah menyakiti hatinya dan juga hatimu sendiri." Ratna menatap Thalia dengan penuh harap. "Temui dia ya?"
"Tapi Ma—"
"Kalo emang ini sudah menjadi keputusan kamu, setidaknya jelasin semuanya ke Athan. Jangan buat dia bingung seperti ini, sayang." Ratna menyerahkan payung hitam kepada Thalia. "Buat Athan sejelas mungkin sebelum kamu—"
"Iya Ma. Thalia tau. Thalia akan coba." dengan sekali hembusan nafas, Thalia mengambil payung hitam itu untuk menemui Athan, yang sama halnya dengan mematahkan hatinya sendiri untuk kesekian kalinya.
Pintu rumah kediaman Aldhi terbuka. Athan yang menatap sepatu conversenya yang basah kuyup spontan memandang ke depan. Binar bahagia terlihat di kedua bola matanya ketika gadis yang berjam-jam ia tunggu akhirnya muncul juga.
Thalia menghampiri lelaki itu, memayunginya dengan hati yang sudah siap akan teriris kembali. Athan tersenyum hangat walaupun hawa dingin menerpa seragam sekolahnya yang basah kuyup karena terkena air hujan. "Thalia?"
"Jangan bodoh!"
Athan tersenyum. Ia sangat menyukai jika gadisnya ini mulai marah dan akan mengomel panjang kali lebar atas tindakannya yang selalu ngawur. Apalagi bibir mungilnya selalu cemberut ketika Athan mulai menggodanya. Sungguh, ia merindukan gadis ini. Sangat rindu.
Kaki Athan melangkah ke depan. Ia bersiap hendak memeluk Thalia, menyalurkan rasa lega dan bahagianya bahwa gadis itu masih mau menghampirinya lagi. Namun, ketika tangan kekar itu hampir menyentuh tubuh Thalia, gadis itu memilih mundur beberapa langkah, menolak untuk dipeluk.
Athan menurunkan tangannya dengan rasa kecewa. Jika biasanya Thalia sangat suka dipeluk dan menggosokkan hidungnya di dada bidangnya karena menyukai aroma tubuhnya, kini tanpa disangka gadis itu malah menolak seolah semakin memperjelas kandasnya hubungan keduanya.
"Pulang gih! Jangan kayak anak kecil."
Athan cukup terkejut dengan respon yang Thalia berikan. Lelaki itu menatap Thalia dengan sendu. Bibirnya sudah memucat dan tubuhnya mulai menggigil karena sudah lama di bawah rintikan hujan. Tapi ia tak peduli. "Sayang? Kita nggak putus kan?" tanya Athan dengan bibir yang gemetar.
Thalia diam.
"Jangan diem dong Tha. Bilang kalo yang lo ucapin tadi cuma lelucon. Iya kan?"
Gadis itu menggeleng. "Gue serius Athan."
Bahkan panggilan Thalia pun sudah berubah menjadi lo-gue seolah mengikis jarak di antara mereka. Athan meraih tangan Thalia, namun segera ditepis oleh gadis itu. "Tapi kenapa Tha? Kenapa lo ngelakuin ini semua? Apa karena Lisa? Gue bisa jelasin tanpa harus kita putus."
Thalia meremas ujung jaketnya dengan keras. Ia harus kuat. Ia tak boleh menangis di depan Athan. Ia tak boleh merasa lemah. "Apa yang gue bilang tadi siang kurang jelas buat lo?"
"Se—secepat itu kah Tha?"
Thalia mengangguk dengan mantap. "Bukannya gue udah bilang kalo semua yang gue lakuin ke elo itu cuma sandiwara?" gadis itu tertawa. "Lo itu cuma pelampiasan gue Athan. Sadar diri dong! Nyatanya gue cuma cinta sama Dave. Cuma Dave."
Thalia meraih tangan Athan, memberikan payung hitam dalam genggaman lelaki itu yang tak sehangat biasanya. Dingin. Seperti es. "Pulang aja gih. Nggak ada gunanya lo di depan rumah gue."
Thalia berbalik, pergi meninggalkan Athan yang masih diam mematung, tak bisa berkutik seperti seluruh saraf dan ototnya mati untuk sementara ketika kata-kata Thalia menusuk tepat di relung hatinya yang paling dalam.
Matanya memandang kepergian Thalia dengan haru. Payung hitam itu jatuh, bersamaan dengan tubuh Athan yang ambruk ke tanah. Lelaki itu berteriak sekuat tenaga, memprotes kepada hujan yang turun malam itu seolah sangat mendukung acara perpisahan keduanya yang begitu cepat.
Athan tak sanggup. Ia tak sanggup jika lenteranya pergi. Ia tak sanggup jika princessnya pergi. Ia tak sanggup jika Thalia pergi. Apa jadinya jika seorang pangeran tanpa princess di sampingnya? Apa jadinya jika malam tanpa bulan senyum di angkasa? Dan apa jadinya jika Athan tanpa Thalia di sisinya? Semuanya akan terasa begitu hambar, hitam putih seperti monokrom karena Athan yakin, setelah ini tak ada lagi definisi bahagia di hidupnya.
Thalia menutup pintu rumah. Tubuh mungilnya langsung ringsuk ke lantai yang dingin. Air matanya meluruh tak bisa dibendung lagi, bahunya naik turun sesenggukan, dan dadanya sesak bukan main. Ia ingin berteriak sekencang mungkin, namun bibirnya seperti membisu. Ia ingin menyalurkan beban berat ini. Tetapi kepada siapa?
Thalia menatap tangan kanannya yang ia gunakan untuk menyerahkan payung hitam tadi. Sebuah genggaman singkat yang akan menjadi genggaman terakhir di dalam hidupnya bersama Athan.
Terima kasih langit, kau meluruhkan hujan di saat yang tepat seolah semesta benar-benar membenci perpisahaan ini, seolah semesta ikut bersedih atas kejadian ini. Tetapi apa boleh buat, kadang kita harus melakukan hal yang tak kita suka dan inginkan demi kebaikan semua orang. Walaupun berat, semuanya harus dijalani dengan ikhlas dan tabah.
Terima kasih langit, sudah mau menurunkan hujan dengan petir yang menggelegar. Terima kasih sudah menutupi tangis ini dan teriakan protes yang tak akan kunjung habis. Terima kasih Tuhan, semoga keputusan ini adalah keputusan yang terbaik. "Buat Athan bahagia Tuhan, walaupun bukan Thalia penyebabnya. Walaupun bukan Thalia yang menjadi alasannya untuk bahagia. Karena Thalia tahu, semuanya kini terasa mustahil di hidup Thalia. Athan... Maafin Thalia."
Sedih ngga siii huhu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top