√31
Waktuku terasa lebih sempurna jika ada kamu. Cuma kamu.
Irreplaceable
***
Thalia melirik jam tangan warna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu beralih menatap sang guru yang menjelaskan materi di depan kelas semenjak tiga puluh menit yang lalu. Kini pikirannya bukan lagi tentang pelajaran melainkan hal lain yang entah mengapa ia lupa lakukan.
Gadis itu melirik jam tangannya sekali lagi lalu senyum cerah terpancar di wajahnya. Ia mulai menghitung dalam hati.
Lima
Empat
Tiga
Dua
Satu
Kriiing!
"ASAAAA!" Thalia refleks berdiri dengan tangan yang mengepal di udara ketika bel tanda istirahat berbunyi sehingga semua siswa-siswi kelas itu langsung berpaling menatap Thalia, tak terkecuali bagi Pak Joko, sang guru Fisika yang sedang memelintir kumis panjangnya dengan menatap Thalia geram.
"Ada apa Thalia?" tanya Pak Joko dengan sedikit geram.
Thalia menatap sekelilingnya dengan cengiran, menurunkan tangannya pelan-pelan untuk berpindah di bagian dada sembari menari heboh. "Saya lagi nyanyi lagunya Rhoma Irama pak, Asa... Asa asa... Hooo asaaaa!!"
Pak Joko yang semula geram langsung tersenyum menatap murid didiknya yang menari bak orang gila. "Ternyata selera kita sama Tha! Mari kapan-kapan kita karaoke bersama."
Shit!
Mendengar respon dari pria tua itu membuat semua siswa di sana nampak menahan tawa ketika kalimat itu terlontar dari bibir Pak Joko yang hitam karena terlalu banyak merokok. Thalia hanya mengangguk dengan terpaksa. Mengiyakan agar ia bisa terbebas dari penjara ini.
Setelah guru berkumis tebal itu pergi, barulah semua siswa tertawa puas meratapi nasib Thalia yang selalu saja apes.
"Apa Tha? Asa... Asa asa," goda Fadli yang melewati meja Thalia dengan tawa yang menggelegar.
Thalia hanya mendengus sembari menelungkupkan wajahnya di meja. "Bodoh, tolol, goblok!"
Debby mengusap punggung Thalia sembari menahan tawa yang membuncah hebat jika tak ditahan. "Mau ketawa? Ketawa aja anjir!" langsung saja Debby menyemburkan tawanya yang menggelegar disertai Alisa yang ada di hadapannya.
"Lo pinter banget sih buat alesan," goda Alisa.
"Diem lo Al!" Dengus Thalia sebal.
Lalu dalam sepersekian detik, Thalia langsung berdiri dari kursinya. "Ya Tuhan, gue lupa lagi kan!?"
"Lupa apa sih Tha?" Debby sontak berdiri karena ikut terkejut atas tindakan Thalia yang diluar dugaan.
Thalia segera mengemasi barang-barangnya yang berserakan di meja. "Gue ada urusan, kalo ada guru yang tanya bilang aja perut gue sakit," gadis itu segera membuka jendela kelasnya yang ada di lantai dua lalu celana leging hitam yang ia sembunyikan di balik rok selututnya ia tarik keluar. "Bye gaes!" ucap Thalia sebelum akhirnya ia melompat ke luar jendela dengan sigap.
"Astaga Thalia!" pekik kedua sahabat Thalia yang langsung berlari menatap jendela.
Thalia sudah biasa melakukan ini. Dulu, ketika ia masih kecil, kedua orang tuanya melarang Thalia untuk bermain di luar terlalu lama. Thalia kecil yang bandel saat itu menghiraukan segala nasihat itu. Padahal itu semua demi kebaikannya. Alhasil, demi bermain bersama kawan-kawannya, ia rela meloncat jendela lalu berlari sebelum ketahuan bak maling yang takut ketahuan mencuri. Jadi, tak heran jika ia cukup mahir melakukan itu sekarang.
Ternyata, tinggi gedung kelasnya dengan dasar tak serendah yang ia bayangkan. Bangunan itu nampak rendah dari atas tetapi mengapa saat ia meloncat seakan terasa memajang?
Thalia menutup matanya ketika ia sadar, ia akan terjatuh dengan keras di tanah. Kakinya saja sudah lemas semenjak ia gunakan untuk loncat. Lantas, bagaimana bisa akan digunakannya untuk menahan tubuhnya?
Bruk!
Berharap ada yang menolongnya bak di film menye-menye jaman sekarang, Thalia malah terjerembab pada realita yang harus ia terima. Lututnya bergoresan dengan tanah sehingga menimbulkan goresan-goresan panjang yang perih. Kedua tangannya yang ia jadikan tumpuan juga ikut tergores dan beberapa pasir melekat di sana.
Thalia tak menangis, maupun meringis. Gadis itu malah tersenyum senang. Senyum yang sangat puas. Akhirnya ia bisa keluar dari sekolah, dengan alasan bahwa ia harus dibawa ke rumah sakit sehabis jatuh dari lantai dua dengan adanya bukti nyata berupa goresan-goresan luka yang menghiasi sepanjang kakinya. Thalia yakin seratus persen bahwa satpam yang ada di depan akan mengijinkannya pulang.
Namun, ketika Thalia berbalik, matanya mendelik keluar dan jantungnya berdegup dengan kencang. Ada seseorang di sana, seseorang yang raut wajahnya datar sedatar tembok, tanpa ekspresi hangat seperti sebelumnya.
Dia adalah Athan.
Lelaki itu bersedekap dengan tatapan dingin. "Mau ke mana?"
Thalia meringis, ia memainkan ujung roknya dengan takut. "Mau bolos," ucapnya takut.
"Kenapa mbolos?" tanya Athan selidik seperti seorang ibu yang bertanya kepada anaknya yang pulang larut malam.
Tak kunjung mendapat jawaban, Athan segera menggendong Thalia bak bridal style menuju parkiran sekolah. Lelaki itu menaruh Thalia dengan hati-hati di dalam mobil sebelum akhirnya berpesan untuk menunggunya beberapa saat.
"Gue ambil tas dulu," ucap Athan sebelum pergi dengan berlari ke kelasnya, meninggalkan Thalia yang masih terbengong-bengong di tempatnya. Hey, lelaki itu mau melakukan apa? Tak sampai lima menit, Athan datang dengan tas yang sudah tersampir di bahunya. Lelaki itu segera mengemudikan mobilnya menuju gerbang sekolah yang senantiasa tertutup ketika jam pelajaran berlangsung.
Jantung Thalia berdebar hebat ketika satpam botak itu muncul. Satpam yang amat galak dan juga judesnya minta ampun. Di SMA Gajah Mada, ada dua jenis satpam. Pertama, satpam itu dijuluki si beruang putih karena seragamnya berwarna putih, selalu. Beliau sangat ramah, selalu tersenyum, dan juga rajin membaca Al-Quran di saat menjaga gerbang. Satpam ini paling disukai siswa-siswi karena beliau tak menyulitkan siswa-siswi yang hendak keluar sekolah. Dan yang kedua disebut si beruang hitam. Yap, karena seragamnya berwarna hitam. Beliau galak, dan suka mengintrogasi siswa-siswi dengan berbagai pertanyaan ketika hendak keluar sekolah. Jika kita tersudut dengan pertanyaan itu, artinya kita kalah dan keluar dari sekolah hanya menjadi angan-angan. Seperti yang kalian ketahui, hari ini sang penjaga gerbang adalah si beruang hitam. Makanya Thalia rela jatuh seperti ini sebagai bukti nyata bahwa ia bisa keluar dari sekolah sekarang juga.
Athan menyerahkan sebuah kertas berwarna pink kepada satpam yang dibaca sekilas oleh orang itu. Matanya yang jeli melirik ke bangku penumpang, tempat Thalia berada, lalu mengangguk mempersilakan mereka keluar.
"Kok bisa?" tanya Thalia dengan begitu takjub lantaran si beruang hitam tak menanyainya hal yang aneh-aneh seperti dahulu.
"Apa sih yang Athan nggak bisa?" jawab Athan sembari melirik spion belakang. "Mau ke mana sih?"
Thalia tersenyum. "Entar Athan juga tau. Tenang, Thalia mbolos bukan untuk hal yang macem-macem kok. Tapi Thalia seneng, Athan mau nemenin Thalia bolos," kekeh gadis itu senang.
Mobil Athan menepi ke sebuah apotek yang buka 24 jam. Lelaki itu menggendong Thalia keluar lalu membeli beberapa obat-obatan yang ada di sana untuk mengobati luka goresan di lutut dan telapak tangan Thalia. Ada beberapa obat yang Athan beli, mulai dari obat merah, alkohol, kasa, dan juga plester luka.
Melihat Athan yang mengobati Thalia, salah seorang apoteker datang. "Ada yang bisa saya bantu?" apoteker di sana mengajukan bantuan yang ditolak oleh Athan. "Saya bisa sendiri."
Thalia menggenggam sofa berwarna hitam yang ada di sana dengan erat, menahan rasa perih yang menjalar dari bagian lutut sampai mata kakinya. Athan yang melihat itu memindahkan tangan Thalia menuju pundaknya. "Cakar aja gapapa. Biar gue juga tau rasa sakitnya."
Setelah selesai mengobati luka Thalia, Athan kembali menggendong gadis itu menuju mobilnya dengan penuh rasa khawatir. Saat mengemudipun sesekali ia melirik Thalia untuk memastikan bahwa kekasihnya itu sedang dalam keadaan yang baik-baik saja.
"Mau ke mana?"
"Toko mainan di ujung jalan itu ya Athan," Thalia menunjuk pada sebuah toko mainan terbesar yang ada di Bandung. Tempatnya tak begitu ramai kala itu, mungkin karena baru saja dibuka beberapa waktu yang lalu.
"Tapi Athan, ada satpol PP di sana, nanti pasti kita ditangkep, dikira mbolos." Thalia menatap Athan khawatir lantaran beberapa meter dari jarak parkir mereka sudah ada pasukan Satpol PP yang berjaga-jaga di seberang jalan. Tentu saja mereka berdua akan ditangkap jika keluar disaat jam pelajaran sekolah di tempat yang tidak seharusnya.
Namun, sebuah ide muncul di otak brilian milik Athan. Lelaki itu lantas mengambil sesuatu dari bangku penumpang. Sebuah paper bag yang berisi beberapa helai kain putih.
"Buat apa?" tanya Thalia bingung.
"Sebentar lagi juga tau." Jawab Athan sembari memberi celah pada kain putih itu dengan begitu serius.
Thalia dan Athan sudah siap dengan kostum konyol hasil ide brilian dari lelaki itu. Mereka nampak mengendap-endap menyelinap masuk ke dalam toko mainan itu dengan kain yang menutupi bagian tubuhnya dari ujung kepala hingga lutut. Kain itu pun sudah dilubangi tepat di bagian mata agar mereka masih dapat melihat jalan, berkat Athan juga.
Para pengunjung di sana terlihat sangat terkejut dengan kehadiran mereka berdua yang nampak seperti hantu berjalan. Namun, mereka berdua nampak cuek dan asyik menertawakan diri mereka sendiri dengan kelakuan bodoh yang mereka perbuat.
"Athan, itu Salsa!" Thalia segera menarik Athan menuju salah satu pegawai yang ada di rak nomor dua dari depan dengan sangat antusias.
"Sal!" panggil Thalia kepada seseorang bernama Salsa itu.
Salsa yang nampak merapikan beberapa mainan nampak terkejut dengan kehadiran dua orang dengan pakaian teraneh yang pernah ia lihat.
"Salsa, ini gue, Thalia." lanjut Thalia ketika ia melihat raut kebingungan dari wajah temannya itu.
Salsa lebih terkejut lagi ketika ternyata Thalia lah orang aneh itu. "Lo nggak bilang sih, kenapa pake kain kayak gitu sih Tha?"
Thalia menarik Salsa ke ujung rak mainan. Tangannya menunjuk pada kaca besar yang menampilkan jalanan Kota Bandung yang nampak landai. "Tuh, gara-gara mereka gue pake ginian."
Salsa mengangguk paham. "Emang beberapa akhir ini mereka selalu pantau di sana. Biasalah kebanyakan kasus pedagang liar sama siswa membolos kayak elo," kekeh Salsa.
Thalia menimpuk kepala Salsa sedikit keras. "Ini juga demi elo anjir."
Gadis berkucir kuda itu terkekeh lagi melihat temannya masih mengingat dirinya walaupun kehidupan yang keras telah menjungkir balikkan hidupnya tanpa ampun. Salsa dan Thalia ini sebenarnya adalah teman dekat. Sangat dekat malah karena sebenarnya pemilik rumah yang Athan pindahi itu adalah bekas milik keluarga Salsa. Tapi sayang, semenjak ayah Salsa terkena kasus korupsi, rumah itu terpaksa dilelang dan Salsa mau tak mau harus terbiasa hidup tanpa bergelimang harta. Bahkan untuk biaya sekolah pun ia tak mampu. Thalia dan keluarga sudah sempat menawarkan bantuan, namun Salsa dan ibunya menolak. Mereka lebih memilih hidup mandiri tanpa mau menyusahkan hidup orang lain.
"Nah itu siapa?" Salsa menggendikkan dagu pada Athan yang seperti biasanya nampak tak tertarik untuk bergabung dengan pembicaraan wanita. Lelaki itu lebih memilih melihat-lihat mainan yang berjejer di rak-rak yang menjulang tinggi di hadapannya ini.
"Pacar gue. Gimana? Cakep nggak?"
"Gue tau cakep darimana kalo mukanya aja ketutup kain, tolol!"
Thalia terkekeh. "Bener juga. Yaudah mana nih baju buat gue?"
Akhirnya, Salsa mengantarkan Thalia dan Athan pada ruangan khusus karyawan yang ada di sana. Gadis berkucir kuda itu memberikan sebuah sweater dan juga celana jeans yang beberapa hari yang lalu Thalia titipkan kepada gadis itu untuk situasi semacam ini. Sedangkan Athan terpaksa harus memakai jaket milik teman laki-laki Salsa karena gadis itu tak tahu jika lelaki itu akan ikut bersama sahabatnya itu. Sehingga ia tak mempersiapkan apapun kecuali baju untuk Thalia.
Ketika kain penutup itu dibuka, Salsa tak berhenti menganga melihat ciptaan Tuhan yang begitu sempurna di wajah Athan. Rasanya baru pertama kali ini Salsa memandang lelaki begitu tampan seperti Athan. Alisnya yang tebal, rahangnya yang tegas, serta lengannya yang berotot mampu membius kewarasan Salsa jika tangan Thalia tak segera menutup mata gadis itu. "Pacar gue anjir! Jangan nikung lo!"
Salsa melepas tangan Thalia yang menutupi matanya sembari berbisik. "Lo dapet ginian beli di mana? Ganteng parah!"
"Lo kira suami gue mainan apa pake beli! Eh iya sih. Belinya pake cinta, kasih sayang, perhatian, dan pengorbanan."
"Etdah, pengorbanan? Kayak mau perang aja lu tong!"
Athan yang sudah memakai jaket milik teman Salsa segera menghampiri keduanya. Ralat, kepada Thalia saja. Bahkan Athan menganggap seolah tak ada Salsa di sana. "Sekarang mau apa?" tanyanya.
Thalia menggenggam tangan besar Athan dengan antusias. "Kita beli mainan, sebanyak-banyaknya ya Athan!"
"Idih, mentang-mentang punya pacar pake pegangan tangan lagi! Apa daya tangan gue yang berdebu gegara kelamaan jomblo!" gerutu Salsa sebal ketika Thalia sudah pergi sembari memamerkan gandengan tangan mereka dengan cengiran lebar.
Athan dan Thalia mulai menyusuri lorong-lorong penuh rak mainan lalu memasukkan satu per satu mainan yang Thalia pilih ke troli yang Athan dorong, mulai mainan perempuan jenis berbie sampai mainan laki-laki jenis mobil-mobilan.
"Athan nggak sampe," Thalia berjinjit untuk menggapai sebuah mainan yang ada di atas rak dengan susah payah.
"Pendek," Athan memegang kepala Thalia dengan tersenyum remeh membuat Thalia cemberut dengan kesal. "Pendek itu imut, pendek itu keliatan lebih muda, dan pendek itu enak buat dipeluk sama dicium pas kening," bela Thalia tak terima. "Athan! Ambilin dong!"
Athan mengacak rambut Thalia dengan gemas. "Iya sayang," lalu lelaki itu segera jongkok, membuat Thalia bingung setengah mati. "Athan ngapain?"
"Naik," titah lelaki itu. Thalia semakin bingung.
"Naik ke mana?"
"Pundak gue Thalia, Ayo!"
Thalia mau tak mau menuruti apa yang Athan perintahkan. Kedua kakinya menyusup ke pundak Athan lalu perempuan itu memekik ketika Athan sedikit demi sedikit berusaha berdiri dengan kedua tangan yang memegangi rak mainan untuk menahan beban Thalia agar gadis itu tak terjatuh.
"Udah?" tanya Athan.
Thalia mengambil sebuah mainan truk lalu melemparnya pada troli dengan tepat sasaran. "Udah Athan," lelaki itu kembali merendah sedikit demi sedikit namun ketika sudah kembali berjongkok, Athan kembali bangkit dan memegang tubuh Thalia lebih erat karena ia memutar tubuhnya dengan Thalia yang ada di atas.
"Athan, Thalia takut jatoh! Ih Athan! Turunin Thalia!" omel Thalia ketika Athan membawa lari dirinya dari ujung lorong ke ujung lorong lainnya dengan begitu cepat.
Athan nampak tak peduli dan nampak tertawa puas mendengar segala omelan yang keluar dari bibir mungil Thalia yang sangat lucu dan menggemaskan. Setelah lelah, Athan menurunkan Thalia dengan hati-hati, tak mau membuat kekasihnya terjatuh.
Thalia bersedekap di samping Athan, bibirnya merengut sebal kepada lelaki yang nampak masih terdapat sisa-sisa tawa barusan. "Athan jahat!"
"Jahat kenapa?"
"Thalia pusing tauk di atas tadi."
Athan mendekat, mengusap rambut Thalia dengan penuh perhatian. "Mana yang pusing?"
Thalia menunjuk bagian pelipisnya. "Ini."
Dan cup!
Tanpa diduga-duga Athan mencium pelipis Thalia dengan lembut dan lama. Thalia langsung membeku di tempatnya, namun bibirnya tak urung menerbitkan senyuman yang indah. "Masih pusing?" tanya lelaki itu lagi.
Thalia mengangguk. Modus sedikit bolehlah.
"Ini juga pusing," Thalia mengetuk-ketukkan jarinya pada bibir mungilnya.
"Bibir juga bisa pusing?"
Thalia mengangguk. "Iya, pusingnya lebih parah dari ini," gadis itu kembali menunjuk pelipisnya, membuat Athan tersenyum.
Athan melambaikan tangannya, menyuruh Thalia untuk mendekat. "Merem dulu," perintah Athan yang langsung dilaksanakan Thalia tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Lalu sebuah benda menempel pada bibir Thalia. Tetapi Thalia merasa jika yang ada di bibirnya itu terdapat bulu-bulu halus yang menggelitik. Thalia refleks membuka matanya. Ia terkejut setengah mati ketika di hadapannya sudah ada topeng gorilla berwarna hitam yang sangat dekat dengan dirinya.
Athan yang melihat itu tertawa puas hingga terpingkal-pingkal. Wajah Thalia yang terkejut tadi sungguh lucu dan menggemaskan. Rasanya tak ada lagi hal terlucu di dunia ini selain wajah Thalia yang terkejut ketika mendapati hal yang ia takuti berada di hadapannya.
Thalia cemberut untuk kesekian kalinya lalu berjalan tergesa-gesa meninggalkan Athan. Athan yang masih tertawa puas mengejar pacarnya yang sedang ngambek itu lalu mencolek pundak kanan Thalia. Namun, gadis itu tak menggubrisnya. Lagi, Athan mencolek pundak kanan Thalia. Dan lagi, gadis itu mengacuhkannya. Hingga colekan keempat, Thalia menoleh ke kanan. Namun, itu bingung karena tak ada siapa-siapa di sebelah kanannya hingga akhirnya ia menoleh ke sebelah kiri dengan cepat dan saat itulah bibirnya menempel pada bibir seseorang yang sedari tadi menunggunya menoleh ke sebelah kiri. Bibir manis milik Athan.
Athan mencium bibir Thalia sekilas, lalu melepaskannya dengan berat hati. "Jangan minta di sini ya, takut khilaf."
Thalia terkekeh, ia mencubit pipi Athan dengan gemas. "Iya sayangnya Thalia."
"Gitu dong sayangnya Athan."
Setelah membeli berbagai mainan yang memenuhi bangku penumpang mobil Athan, Thalia dan Athan segera beranjak ke suatu tempat dengan Thalia sebagai pemandunya.
Tak sampai setengah jam, rumah putih yang asri dengan bunga-bunga bermekaran di halaman depan nampak di depan mata keduanya. Athan bingung. Dimana mereka sekarang? Tetapi melihat papan nama PELITA HATI membuat ia mengerti sepenuhnya. Mereka sedang ada di panti asuhan, tempat bagi mereka yang tak mempunyai keluarga lengkap yang ada di sisi mereka.
"Kak Thaliaaa!" sorak anak-anak kecil itu dengan bahagia ketika Thalia muncul dari balik pintu. Mereka yang ada disana langsung mengerubungi gadis itu sembari memeluk Thalia dengan erat. "Kak kami kangen, kakak kenapa jarang main ke sini sih?" tanya salah satu anak.
Thalia mengusap rambut anak itu dengan sedih. "Maaf ya, kakak lagi banyak tugas. Kapan-kapan sering main ke sini deh!"
Anak itu mengangkat jari kelingkingnya yang kecil. "Janji?"
Thalia mengaitkan jari kelingkingnya dengan mantap. "Janji!"
Athan nampak diam membisu melihat kejadian yang ada di hadapannya ini. Ini benar-benar di luar dugaannya. Gadis ini, Thalia, sungguh luar biasa. Tak hanya ceria, ia juga sangat baik hati kepada siapapun yang membutuhkan.
Setelah kejadian bertemu Rahma di rumah sakit dulu, mata Athan kembali terbuka lebar dengan kejadian ini. Ia benar-benar merasa kecil di antara para malaikat yang tetap tersenyum ceria walaupun mereka hanya sendiri tanpa ada dekapan orang tua. Ia jadi menyesal telah mengabaikan ibunya yang selalu bercerita ke sana-kemari hanya dengan tanggapan seadanya padahal di luar sana banyak anak yang membutuhkan hal itu.
Athan kembali tersadar dari lamunannya ketika Thalia menarik jaket hitamnya beberapa kali. Tanda bahwa saatnya ia menurunkan mainan yang baru saja mereka beli tadi. Semua anak nampak mengerubungi Athan dengan antusias yang tinggi. Banyak dari mereka mengangkat kedua tangannya untuk meminta jatah mainan dengan wajah yang sangat bahagia seolah mainan ini adalah harta terbesar yang mereka punya.
"Pangeran, aku mau barbie yang itu." anak kecil berkepang dua dengan gigi ompong menunjuk pada barbie yang ada di samping Athan.
Athan tersenyum. Lagi-lagi ia kembali dipanggil Pangeran oleh para pasukan kecil Thalia. Hingga sebuah tepukan di bahu membuat Athan menoleh dan mendapati seorang wanita berjilbab tengah tersenyum ke arahnya.
"Kamu pacarnya Thalia ya?" tanya Bu Irma dengan ramah.
Athan mengusap tengkuknya dengan kikuk. "Iya bu," jawabnya.
"Soalnya Thalia baru pertama kali ini ke sini bawa cowok." Bu Irma memandang Athan dengan harapan yang besar. "Jaga Thalia ya Nak. Thalia gadis yang baik. Di zaman yang udah modern ini banyak pemuda yang nggak peduli dengan orang lain. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi Thalia berbeda. Hampir setiap bulan ia datang ke mari, membawa makanan yang disukai anak-anak dan juga mainan."
Athan mengangguk. "Ibu bisa mengandalkan saya."
Bu Irma memandang taman belakang panti yang sudah dihiasi dengan berbagai hiasan warna-warni yang indah hasil karya anak-anaknya yang kebetulan hari ini adalah hari jadi Panti yang ke-25 tahun. Jadi tak heran jika Thalia rela jatuh dari lantai dua demi menghadiri acara ini.
"Thalia memang ceria, tapi Ibu tau dibalik senyum dan cerianya ia memendam masalah yang begitu besar. Ibu sudah sempat bertanya, tetapi Thalia tetap bilang bahwa dirinya baik-baik saja."
Athan diam, menyimak dengan serius. "Memangnya Thalia kenapa Bu?"
"Udah beberapa kali Ibu lihat Thalia mimisan di sini Nak Athan. Tapi Thalia selalu bilang kalo dia cuma kecapean aja. Awalnya ibu percaya, tapi lama kelamaan ibu jadi curiga. Apalagi mimisannya itu nggak seperti mimisan orang kebanyakan." Bu Irma menggenggam tangan Athan dengan kuat. "Jaga dia yang Athan. Ibu mohon. Jaga Thalia apapun kondisinya nanti. Ya?"
Satu demi satu puzzle hampir tersusun lengkap di benak Athan.
Thalia, sebenarnya rahasia apa yang lo sembunyiin dari gue?
Setelah berbincang-bincang cukup lama dengan Bu Irma selaku pemilik panti asuhan, Athan melangkah dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku menuju gadisnya. Gadis luar biasa yang pernah ia temui yang dengan hanya melihatnya saja senyum yang sekian lama sulit terbentuk menjadi begitu lentur terangkat.
Thalia tengah dikerubungi anak-anak di sekelilingnya dengan senyum yang selalu terpatri jelas di bibirnya. Apalagi ketika Athan datang, tangan mungilnya melambai-lambai dengan ceria. "Athan, sini!" teriak Thalia senang.
Athan menyejajarkan posisinya pada salah satu anak yang tengah asik menulis diatas kertas putih dengan begitu serius. Ketika Athan hendak melihat isi tulisan itu, anak kecil berkepang dua itu segera menyembunyikan kertas itu dalam dekapannya. "Kata Kak Thalia, pangeran Athan nggak boleh liat isi tulisan aku."
Athan mengernyit bingung. "Kenapa nggak boleh?"
Sontak saja semua anak berteriak secara bersamaan. "Rahasia!" dengan cekikikan.
Athan hanya mendengus pasrah lalu duduk di samping Thalia. "Nyuruh anak-anak ngapain sih?"
"Rahasia," jawab Thalia dengan cekikikan juga.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bermain bersama anak-anak malaikat ini membuat waktu tak terasa berjalan begitu cepat. Thalia dan Athan terpaksa harus pamit untuk pulang walaupun anak-anak mencegah mereka untuk pergi dan berniat membagi kamar mereka agar Thalia bisa tinggal lebih lama lagi, dan tentunya itu tak mungkin, mengingat Thalia harus sekolah keesokan harinya.
Thalia melambai dengan riang di balik jendela mobil Athan yang melaju kepada anak-anak yang juga ikut melambai. "Doakan kakak ya!" teriak Thalia sebelum pergi.
"Doakan apa?" tanya Athan.
Thalia yang sibuk melihat-lihat hasil jepretan foto bersama anak-anak panti dari ponselnya merespon dengan sesantai mungkin. "Biar Thalia bisa dateng ke sana lagi lain waktu."
"Next time bisa kan Tha? Gue juga siap nganter lo kapan aja."
Thalia mematikan ponselnya, menatap Athan yang juga berbalik menatapnya. "Never people know about the future Athan. Hanya Tuhan yang tau dan kita sebagai hamba hanya bisa berdoa untuk tetap diberi kesempatan berbuat kebaikan. Nggak ada salahnya kan Thalia minta doa ke mereka?"
Athan menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Boleh. Tapi agak ambigu aja."
Thalia tersenyum kecut. Ia menatap jendela mobil sebentar lalu mendengus untuk menetralkan hatinya yang tiba-tiba berdenyut sakit. "Athan?"
"Iya?"
Thalia menghirup udara dalam-dalam.
"Sebenarnya..."
"Sebenarnya?"
"Sebenarnya Thalia..."
Athan menoleh ke arah Thalia dengan cemas. "Thalia kenapa?"
Ini bukan saatnya Tha. Ini bukan saatnya. Lo nggak boleh bilang ke Athan atau dia bakal tersakiti. Biarin ini jadi rahasia. Biarin ini semua gue yang nanggung sendiri. Ya, begini lebih baik.
"Thalia laper hehe," kekeh Thalia dengan kaku. "Athan, mau kebab."
Athan merilekskan tubuhnya pada sandaran mobil. "Gue kira apaan. Yaudah beli kebab dulu. Kebab Turki mau?"
"Nggak mau Athan! Thalia maunya Kebab Istanbul. Itu lebih enak," balas Thalia sembari menghadap ke Athan.
Athan menyentil dahi Thalia pelan ketika mobil mereka berhenti pada persimpangan lampu merah. "Istanbul itu bagian dari Turki Thalia, jadi sama aja!"
Thalia mengusap dahinya pelan. "Masa sih? Kok Thalia nggak tau ya? Bukannya di Amsterdam ya? Kapan pindah Athan?"
Athan menghembuskan nafasnya kasar. Ia harus beruntung atau bagaimana mendapatkan gadis polos sebelas dua belas bodoh seperti Thalia. "Terserah lo deh enaknya gimana," jawab Athan akhirnya.
Mobil mereka sudah berhenti pada kedai Kebab Turki yang ramai dengan pengunjung. Thalia langsung jingkrak-jingkrak ketika bau kebab yang khas menguar di indra penciumannya. "Athan, Thalia mau beli sepuluh!"
Athan mendelik dengan terkejut. "Sepuluh Beneran?"
Thalia mengangguk semangat. "Iya! Eh sepuluh atau lima belas ya?" tanya Thalia dengan ekspresi nampak berpikir.
"Kuat habisinnya?"
Thalia lagi-lagi mengangguk. "Thalia udah nyari pasukan tadi."
Lelaki itu nampak bingung dengan ucapan Thalia namun tak urung ia membelikan pesananan sesuai yang gadisnya minta yaitu sepuluh kebab daging sapi ukuran jumbo. Athan tak masalah uangnya akan terkuras habis dengan makanan super yang Thalia pesan, tetapi ia masih bingung mengapa Thalia memesan makanan sebanyak itu. Dapat Athan tebak, Thalia pasti sudah merencanakan sesuatu di kepalanya sekarang.
Tak sampai setengah jam pesanan Thalia datang. Athan sudah membayar lalu mereka pergi dengan senyum indah yang terpatri jelas di bibir Thalia. Ah, senyuman itu. Senyuman favorit Athan dan demi apapun Athan akan mempertahankan senyuman itu kapanpun dan dimanapun itu.
Mobil mewah Athan sudah berjalan membelah kota Bandung yang menyemburatkan corak orange indah di cakrawala. Magic hours. Salah satu hal terindah yang Thalia suka setelah pantai, hujan, dan pelangi. Entah mengapa ketika melihat magic hours ia merasa begitu tenang. Ia merasa bahwa Tuhan sudah mau mengabulkan doanya untuk hidup sampai saat ini juga.
Saat mobil Athan berhenti di lampu merah. Di saat itulah pintu kaca Athan diketuk oleh seorang anak kecil dengan pakaian lusuh dan juga berlubang. Di tangannya sudah ada ukulele yang menemani. Kakinya pun tak beralas, miris. Thalia dengan senyumnya menyuruh anak itu menuju jendela mobilnya. "Kakak minta tolong boleh?"
"Boleh Kak. Kakak mau saya bantu apa?"
Thalia memberikan kresek putih besar berisi seluruh kebab yang ia inginkan tadi kepada anak kecil itu. "Ini makanan kesukaan Kakak. Namanya kebab. Kakak minta tolong sama kalian buat rasain kebab ini ya. Soalnya kakak lagi sariawan. Kalo enak, kapan-kapan kakak beliin lagi. Bisa?"
Anak itu mengangguk dengan antusias. "Ini buat saya kak?"
"Iya sayang. Dibagi sama teman-teman kamu lainnya ya." dari arah belakang sudah ada bunyi klakson mobil lainnya hingga membuat Thalia pamit dengan tergesa-gesa. "Kakak pergi dulu ya! Jangan lupa dimakan!"
"Makasih Kak! Makasih!" teriak anak kecil itu dengan senang.
Athan menoleh ke arah Thalia yang tersenyum. Benar dugaannya. Pasti Thalia merencanakan sesuatu dengan kebab itu dan lagi-lagi Thalia memberikannya kepada yang tak mampu, sungguh mulia hatinya.
"Kenapa semuanya dikasih?" tanya Athan.
"Thalia tiba-tiba nggak laper lagi." namun ucapan Thalia tak sesuai dengan situasi ketika tiba-tiba saja perutnya berbunyi nyaring. Nyaring sekali. Pipi Thalia langsung merah padam. Ia malu.
"Tuh, cacingnya udah pada demo. Masih mau bilang nggak laper?"
Thalia hanya tersenyum malu. "Lagian Thalia lapernya cuma hari ini. Tapi anak itu pasti hampir setiap hari kelaparan. Gimana Thalia bisa makan secara berlebihan kalo di luar sana masih banyak yang nggak bisa makan?"
Athan mengusap rambut Thalia halus. "Kamu luar biasa Thalia. Aku bangga."
Ha?
Aku kamu?
"Tapi kamu harus jaga kesehatan juga dong. Makan di nasi Padang mau?"
"Sekarang? Thalia kan nggak bawa apa-apa buat ke Padang, Athan." dan seketika Athan hanya mendengus pasrah, memilih bungkam. Yang benar saja Thalia mau ke Padang hanya untuk makan nasi Padang. Ada-ada saja.
Setelah makan nasi padang di daerah Bandung Selatan, Thalia dan Athan sudah kembali ke rumah dengan bunyi adzan magrib yang melantun indah.
Athan sudah selesai berbersih, ia juga sudah mandi dan berganti pakaian. Lelaki itu kini sibuk mencari charger ponselnya yang hilang entah kemana. Ah, ia baru ingat. Chargernya tadi dipinjam Reza dan pasti anak ingusan itu belum mengembalikannya. Dasar!
Athan mengetuk pintu kamar Thalia sekali, berniat meminjam charger. Bunyi suara Thalia yang fals di dalam kamar mandi diikuti suara shower yang menyala membuat Athan lagi-lagi tertawa.
"Tha? Thaliaa?"
Shower itu dimatikan untuk meredam kebisingan. "Apa Athan? Thalia masih mandi," ucap gadis itu dari balik kamar mandi.
"Pinjem charger!" teriak Athan lagi.
"Masuk aja, chargernya ada di tas Thalia."
Athan akhirnya masuk. Ia begitu tercengang melihat kamar Thalia yang begitu berantakan. Seragam-seragam yang gadis itu gunakan tadi berserakan di lantai. Ada juga bekas makanan ringan di karpet dan laptop dalam kondisi menyala. Ini mah namanya bukan kamar lagi, tapi kapal pecah!
Athan dengan sigap melipat selimut tebal milik Thalia, membersihkan remahan kripik kentang di karpet, memungut pakaian Thalia untuk dimasukkan ke dalam keranjang cucian, dan mematikan laptop yang masih menyala. Athan terdiam sebentar melihat laptop itu. Terdapat banyak baris dan juga kalimat-kalimat panjang yang tertera di sana. Seperti sebuah cerita yang belum dirampungkan. Namun, mendengar daya batrainya yang sudah memerah membuat ia segera men-sleep laptop itu dan menaruhnya di meja belajar.
Setelah membereskan kamar Thalia, Athan meraih tas hitam milik gadis itu, merogohnya untuk mendapatkan charger bersamaan dengan lipatan kertas yang jatuh. Ia kenal betul kertas itu. Kertas milik anak-anak panti yang disuruhnya menuliskan sesuatu.
Lelaki itu memungutnya, membaca kalimat demi kalimat yang ada di sana dengan tercengang. Apalagi judul yang tertera membuat dadanya sesak serta dipenuhi rasa penasaran yang luar biasa.
Jika Kak Thalia bertemu Tuhan, aku ingin memiliki ayah dan ibu.
Jika Kak Thalia bertemu Tuhan, aku ingin memiliki keluarga yang bahagia.
Jika Kak Thalia bertemu Tuhan, aku ingin makan es krim sepuasnya.
Dan masih banyak lagi dengan awalan yang sama. Jika Kak Thalia bertemu Tuhan, aku ingin...
Tha, kenapa lo mau menemui Tuhan? Apa keberadaan gue di sini nggak cukup buat alasan lo untuk tetap tinggal?
Hmmm jadi overthinking
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top