√30
I can't say how much i love you and how special you are to me, but I can say my world is full of smiles when I am with you
Irreplaceable
***
Malam telah tiba. Matahari sudah pergi ke pelukan ibunya, berganti dengan rembulan yang tengah tersenyum di angkasa ditemani milyaran bintang-bintang yang saling beradu memancarkan cahayanya.
Di bawah rengkuhan malam dengan udara yang dingin, Thalia menjelajahi rumah super mewah milik Keluarga Darwis. Gadis dengan celana pendek serta jaket jeans itu tengah mencari ke mana perginya Athan setelah makan malam berakhir. Awalnya Thalia pergi ke kamar lelaki itu, tetapi hasilnya nihil, Athan tak ada di sana. Lalu ia pergi ke dapur, ruang tamu, tetapi hasilnya juga sama. Kini tujuan terakhir pencarian Thalia adalah taman belakang rumah, tempat di mana gazebo serta kolam renang pribadi milik keluarga itu berada dan benar saja, Athan ada di sana. Duduk di tepian kolam sembari menggigit apel yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian.
Thalia tersenyum senang. Ia menghampiri Athan dan melakukan hal yang sama atas apa yang lelaki itu lakukan, mencelupkan kakinya ke dalam air kolam yang dingin tetapi menyejukkan. Athan menoleh ke samping, melepas earphone yang senantiasa bertengger di telinganya. "Mau?" tanyanya sembari menyodorkan sepiring apel kepada Thalia. Gadis itu mengangguk, lalu mengambil satu bagian apel yang ia makan dengan tersenyum ceria. "Athan, liat! Bulan Senyum!" Thalia menunjuk pada bulan dengan nada antusias.
"Bulan sabit, Thalia."
"Bukan, itu namanya bulan senyum! Liat, bagus ya? Tapi kasihan," ekspresi Thalia berubah menyendu yang sukses membuat Athan yang memandang angkasa beralih menatap Thalia. "Kenapa?"
"Bentar, Thalia habisin apelnya dulu," Thalia memakan apel itu dengan rakus hingga pipinya yang tembam menjadi lebih tembam dibuatnya.
"Pelan-pelan," namun ucapan Athan hanya dianggap angin berlalu oleh Thalia. Gadis itu tetap memakan apel itu dengan cepat, secepat menelannya juga.
"Kenapa bulan sabit kasihan?"
"Bulan senyum, Athan!"
Athan menghembuskan nafasnya sembari geleng-geleng kepala. Gadis ini ada-ada saja. "Iya-iya, kenapa bulan senyum kasihan?"
"Coba Athan liat," Thalia menunjuk pada bulan sabit yang ia juluki dengan bulan senyum itu menggunakan tangannya. "Bulan itu perlu dikasihani karena ia tak bisa jujur pada dirinya sendiri. Ia harus terus tersenyum setiap saat demi menghibur semua orang, nggak peduli gimana isi hatinya sendiri, entah itu sedang terluka, patah hati, maupun bersedih. Ia menyembunyikannya dengan senyuman yang terpancar begitu indah. Kadang, melakukan itu semua sulit Athan, sangat sulit. Bulan harus mengorbankan kebahagiannya sendiri demi kebahagiaan orang lain. Ia bahkan rela menyingkirkan perasaannya sendiri demi orang lain."
Athan diam, menyimak gadisnya yang begitu memukau malam ini. Bahkan pemikiran seperti itu tak pernah terlintas di benak Athan. Thalia begitu spesial. Ia mengamati keadaan sekitarnya untuk membuka jalan pemikiran orang lain bahwa setiap inci kehidupan di bumi ini pasti ada hikmah serta alasan tersembunyi yang kadang tak banyak orang mau memahami.
"Tapi, bulan senyum nggak pernah mengeluh. Itu semua karena ia percaya apa yang ia lakukan pasti ada balasannya. Lihat, dengan senyuman yang ia lengkungkan, banyak orang yang menyukainya, memandanginya berlama-lama, dan ikut tersenyum dibuatnya. Itu sudah cukup bagi si bulan." Thalia menoleh hingga tatapan keduanya bertemu. Degup jantung Thalia berirama cepat, nafasnya juga memburu ditatap sedemikian rupa oleh Athan.
Tangan Athan terulur tepat di tangan Thalia, lalu tangan mungil itu diletakkannya di dada bidang miliknya. "Apa yang lo rasain?" tanya Athan.
Thalia merasakan dada bidang Athan yang dibalut dengan kaos berwarna abu serta jaket berwarna hitam itu dengan serius. "Jantung Athan kenapa?"
Athan menggenggam tangan Thalia yang berada di dadanya. "Tanya sama diri lo sendiri kenapa jantung gue bisa kayak gini,"
"Kok Thalia?"
"Karena cuma lo alesan jantung gue berdebar."
Thalia tersenyum, ia speechless dengan kata-kata yang terlontar dari bibir Athan. Kata-kata manis yang singkat tak seperti dahulu yang begitu pahit dan nyelekit di hati. Semua itu ia pelajari dari bulan.
Seperti katanya tadi, semua pasti ada balasannya dan ini balasan yang ia dapat atas penantian, kesabaran, serta kegigihannya selama ini untuk mendapatkan Athan. Dengan itu semua, hati Athan yang sekeras batu meluruh juga dan inilah yang ia dapat. Kebahagiaan yang tiada tara melebihi penderitaannya yang sudah berlalu.
"Kenapa nolak Dave?" tanya Athan tiba-tiba.
Thalia yang menggoyang-goyangkan kakinya di kolam renang langsung berhenti ketika pertanyaan itu terlontar. Matanya menatap Athan yang memandang air kolam yang kembali tenang.
"Kenapa Thalia harus jawab?"
"Gak usah dijawab, nggak penting juga,"
"Kenapa Thalia harus jawab kalau jawabannya udah ada di samping Thalia sendiri?"
Sontak saja Athan memandang Thalia lalu tersenyum lebar. Tangannya terulur mengusap rambut Thalia yang panjang. "Thanks," katanya.
Namun, gadis itu malah menggeleng. "Athan nggak usah berterima kasih. Thalia yang seharusnya berterima kasih karena Athan udah mau nerima Thalia sebagai pacarnya Athan. Nggak ada kebahagiaan yang lebih dari itu."
Athan kembali tersenyum lalu mencubit pipi Thalia pelan. "Gemes..."
Thalia terkekeh sebentar lalu mengambil ponselnya yang ada di saku. "Thalia lupa bilang sama Mama Papa kalo Thalia udah punya pacar, apalagi pacarnya Athan."
"Emang kenapa?"
"Dulu, Mama pernah bilang kalo Thalia bisa pacaran sama Athan, Mama bakal kasih Thalia kebab sebanyak-banyaknya."
Athan tersenyum. Gadisnya ini sungguh menggemaskan dan polos sekali. Entah mengapa tak sedari dulu saja ia membuka matanya bahwa ada gadis setulus ini mencintainya tanpa ada imbalan suatu apapun bahkan di saat ia sudah menyakitinya dengan perilaku kasar dan juga ucapan yang buat sakit hati. "Gue aja yang traktir."
"Beneran?"
Athan mengangguk. "Nyokap bokap lo juga udah tau."
Thalia mengernyit bingung. "Tau dari mana? Kan Thalia belum bilang."
"Tadi sebelum nembak gue udah ijin, mau minta restu menjaga anak semata wayangnya."
Thalia bungkam seribu bahasa. Mulutnya bahkan menganga mendengar pernyataan dari Athan. Lalu detik selanjutnya ia memukul lengan Athan dengan terharu. "Athan romantis banget sih, makin sayang deh!"
Athan merengkuh tubuh Thalia dalam dekapannya lalu mengecup pucuk rambut Thalia dengan begitu sayang. "Sayang apa cinta?"
"Dua-duanya hehe," kekeh Thalia.
"Sama."
Dari balik gazebo, dua orang tengah tersenyum hangat melihat interaksi di antara mereka yang sungguh di luar dugaan. Anggi senang, jelas. Apalagi ketika kemarin malam lelaki itu mendatangi kamarnya untuk membicarakan bahwa dirinya ingin menjaga dan membahagiakan Thalia. Anggi terkejut, sangat. Melihat Athan yang nampak berbeda dan jauh lebih hangat seperti dulu membuat Anggi meneteskan air mata haru. "Kamu berhasil nak," batin wanita itu sembari tersenyum haru.
Darwis merekuh tubuh istrinya yang tengah menangis bahagia itu. "Mereka cocok ya Ma."
Anggi mengangguk. "Andai aja Ratna di sini, pasti dia juga ikutan nangis kayak aku."
"Seharusnya Athan bertemu Thalia sejak dulu ya Pa? Bukan sama si perempuan itu."
Darwis menatap Anggi dengan sedikit terkejut dengan pernyataan yang wanita itu keluarkan. "Jangan gitu dong Ma, berdamai sama masa lalu, lagipula Athan juga udah punya Thalia kan?"
"Tapi tetep aja Pa, dia udah merenggut kebahagiaan anak kita," ucap Anggi sembari menangis tersedu-sedu mengingat kejadian masa lalu yang berhasil membuat Athannya berubah seratus delapan puluh derajat. "Perempuan itu nggak boleh muncul lagi, Lisa nggak boleh muncul lagi Pa."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top