√3
Lo itu emang ceroboh atau sengaja cari perhatian ke gue sih?
Athanabil Adventiano
***
Athan mengikuti langkah kaki wanita yang ada di depannya. Ia mendengus pelan, jika bukan karena Darwis—papanya dipindahtugaskan di Bandung, mungkin lelaki itu tak akan mau berpisah dengan kota kesayangannya, Jakarta. Karena Jakarta memiliki kenangan tersendiri di dalam hidupnya, entah itu kenangan yang indah maupun kenangan yang menyayat hati.
Athan bukannya tak menyukai kepindahan yang kebetulan sangat tepat dengan situasi hatinya saat ini, tetapi ia hanya malas untuk beradaptasi lagi, menjadi pusat perhatian lagi, dan memulai semuanya dari awal lagi. Entahlah menurutnya ia sudah terlalu nyaman dengan sekolah lamanya, nyaman dengan hidupnya bersama teman-teman lamanya, dan nyaman dengan kenangan yang selalu silih berganti di benaknya.
Seluruh kaum hawa memekik ketika Bu Yulita masuk ke dalam kelas membawa seorang cogan di sampingnya. Bahkan, Athan dapat melihat mereka semua menatap dirinya tanpa berkedip sedetikpun, tatapan memuja seperti biasanya. Bahkan Athan sampai bosan melihatnya.
"Kita kedatangan murid baru dari Jakarta. Silahkan kenalin diri kamu." Bu Yulita mempersilahkan Athan untuk berbicara. Lelaki itu menatap seisi kelas dengan sorot dingin dan malas. "Athanabil Adventiano. Athan," ucapnya singkat, padat, jelas, serta tanpa ada embel-embel lain yang menyertai.
"Udah? Gitu doang?" tanya Bu Yulita yang tak percaya jika yang dikatakan murid barunya sesimple itu. Hanya tiga kata dan itu hanya mencakup nama saja. Jika biasanya siswa lain pasti akan memberikan deskripsi sepanjang mungkin untuk menarik perhatian, justru Athan melakukan sebaliknya. Buat apa ia mencari perhatian jika akhirnya hal itu akan datang dengan sendirinya? Buang-buang tenaga saja.
Athan mengangguk yakin sebagai jawaban. Bu Yulita tak bisa memaksa. Akhirnya ia mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di bangku kosong yanga ada di pojok kanan kelas.
Mata gadis-gadis di sana terus menatap gerak-gerik Athan layaknya sebuah CCTV memantau maling. Mulai dari cara lelaki itu berjalan hingga duduk di bangkunya, semua tak luput dari perhatian, sedangkan Athan hanya cuek, tak menanggapi.
"Athan! Lo inget gue kagak?" lelaki di depan Athan menoleh. Diikuti dengan lelaki yang ada di sampingnya.
Dahi Athan mengernyit sebentar, ia berpikir. Namun dengan otak cerdasnya, dalam hitungan detik ia sudah mampu mengenal kedua orang tersebut sekaligus. "Reza, Farell."
"Daebak! Ingatan lo cukup kuat ya! Kalo nggak gara-gara nama lengkap lo, gue mana inget sama lo, Than! Duh, temen SD gue udah gede." Farell berdecak kagum. Pasalnya, ternyata Athan adalah teman SD Farell dan Reza di Jakarta sebelum akhirnya kedua sobat itu juga pindah ke Bandung. Maklum, kedua orang tua Farell dan Reza berada di perusahaan yang sama dan bersahabat baik dari dulu hingga sekarang. Jadi, jika salah satu pindah, maka lainnya juga akan pindah. Coba bayangkan, sudah berapa tahun berlalu tetapi Athan masih mengingatnya dengan baik. Benar-benar lelaki jenius!
"Beruntung banget ya lo Than! Baru pertama—"
"Reza! Farell! Kalau kalian tetap berisik lebih baik keluar kelas sekarang juga!" Bu Yulita berteriak di depan kelas, membuat kedua lelaki itu refleks memutar tubuhnya ke depan karena tak ingin kena semprot guru killer tersebut untuk kesekian kalinya.
Diam-diam Athan bernafas lega. Setidaknya di sini ada Reza dan Farell yang akan menemaninya melalui hari-hari barunya yang pasti lebih membosankan daripada hidupnya di Jakarta.
"Than, kantin yok!" ajak Farell ketika pelajaran matematika sudah selesai dan bel istirahat sudah berbunyi.
Athan segera beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan sejajar dengan kedua sahabat lamanya itu, menyetujui ajakan Farell karena energinya sudah terkuras habis untuk menjawab soal-soal matematika tadi.
Berita adanya murid baru yang tampan menyebar luas bak kobaran api di padang rumput yang tandus. Buktinya, sekarang ketiga orang itu menjadi pusat perhatian ketika Athan berjalan melewati koridor dengan sebuah kamera yang ia kalungkan di leher dan juga buku digenggaman.
Kaum hawa segera memekik ketika Athan melewati dirinya, namun Athan berusaha tak peduli. Entah mengapa aura yang lelaki itu keluarkan seolah membuat orang-orang di sekitarnya merasa terpesona dan tak bisa berpaling darinya. Padahal Athan hanyalah manusia biasa yang kebetulan diberikan Tuhan dengan wajah yang tampan serta otak yang cerdas. Tak lebih. Bahkan mereka hanya memandang fisiknya, tanpa menelusuri lebih jauh tentang bagaimana hatinya serta sifatnya. Coba saja jika wajahnya pas-pasan, apakah mereka semua akan memujanya seperti ini? Tentu tidak bukan? Karena pada jaman sekarang, fisik adalah nomer satu dibandingkan perilaku maupun hati.
Setelah sampai di kantin, ia lebih tertegun lagi ketika seluruh kantin yang semula ramai menjadi sepi karena kedatangannya. Semua menatap dirinya dengan diam dan lamat-lamat mengagumi. Seolah permainan mannequin challenge baru saja dimainkan di sana.
Athan menelusuri kantin untuk mencari bangku yang kosong hingga tatapannya bertemu dengan gadis aneh yang menyerahkan paper bag tadi pagi. Mulutnya pun membuka seolah terkejut bukan main. Ah, kenapa harus satu sekolah sih? Menyebalkan!
"Than! Ke sono yok! Bangku sana kosong," ucapan dari Reza membuat Athan tersadar dan lekas memutuskan tatapan singkat itu.
"Gila! Baru sehari aja lo udah jadi most wanted gini!" Farell memamerkan gigi putihnya yang berderet rapi ketika banyak perempuan menatap bangku mereka secara terang-terangan.
"Lo pake pelet apa sih Than? Gue aja yang dua tahun disini nggak bisa sepopuler lo!"
Farell menimpuk kepala Reza kesal. "Sadar muka woy!"
Athan tak peduli. Ia membuka bukunya yang sudah ia tandai dengan pembatas buku lalu kembali membaca, menghiraukan segala perhatian yang tertuju padanya. Setidaknya ada Reza dan Farell yang bisa mengatasinya kali ini dengan bergaya seperti artis naik daun.
***
"Kok pulangnya telat? Ada apa?" Ratna menatap Thalia dengan penuh selidik dan Thalia yakin ia harus menyiapkan alasan yang padat, jelas, dan runtut kepada sang ibunda. Tak mungkinkan jika ia berkata bahwa dirinya sedang menyiapkan sebuah misi rahasia menaklukkan pangerannya?
"Itu ma, anu—"
"Anu apa?"
Thalia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Thalia ada eksul cheers."
Mata Ratna menyipit. "Bukannya kamu udah keluar dari eskul itu?"
Skak mat!
"Sekarang kamu jujur sama Mama. Kemana aja sampe pulang jam lima gini?" nada suara Ratna meninggi, membuat Thalia bergidik ngeri. Ibunya ini memang sangat posesif jika Thalia terlambat pulang tanpa meminta izin terlebih dahulu. Biasalah, anak satu-satunya. Perempuan pula.
Thalia mendengus pasrah. Kini ia tak punya alasan lain untuk berbohong setelah aksinya tadi sudah ketahuan. "Thalia tadi nyusun rencana, Ma."
Dahi Ratna mengernyit. "Rencana apa?"
"Rencana naklukin pangeran Thalia. Tetangga baru kita."
Ratna tertawa mendengar pernyataan anaknya yang malu-malu menjijikan, lalu ia mengelus rambut putrinya dengan sayang. "Cepatan mandi gih. Pangeran kamu ngajak kita dinner bareng malam ini!"
Mata Thalia membulat seketika. Ia tak salah dengar kan? Iya kan? Demi apa pangerannya mengajaknya dinner? Ini tidak mimpi bukan? Siapapun tolong cubit Thalia sekarang juga!
"Beneran Ma?" teriak Thalia antusias. Ratna mengangguk. "Dandan yang cantik ya, biar nggak dikira pengemis lagi."
"Ih Mama!" ucapnya lalu bergegas menuju kamarnya di lantai dua untuk bersiap-siap.
Matahari sudah pulang ke pelukan ibunya. Burung-burung juga sudah kembali ke sarangnya, bergantian dengan kelelawar yang siap bangun mencari mangsa. Hari sudah gelap, makanan yang disiapkan untuk menjamu tamu sudah dihidangkan, namun
Thalia tetap berkutat dengan bajunya hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat.
"Duh, pake baju yang mana ya?" tanya Thalia bingung hingga hampir seluruh isi lemarinya keluar memenuhi kasurnya. "Ini? Ah, nggak cocok!" gadis itu membuangnya, lalu tangannya kembali mengambil baju lagi. "Tapi kan ini udah dipake seminggu yang lalu di acara ulang tahunnya Debby," ujarnya lalu kembali membuang baju itu dengan asal hingga sebuah dress hadiah kenaikan kelas dari mamanya menjadi sebuah pilihan tepat.
Thalia menatap pantulan dirinya di cermin. Dress berwarna toska dengan renda-renda putih di tepi sudah melekat di tubuh mungilnya. Rambut sebahunya ia gerai begitu saja. Wajahnya pun sudah ia poles dengan make up tipis agar terkesan lebih girly. Ia ingin terlihat sempurna di mata pangerannya. Siapa tahu lelaki itu akan takluk dalam sekejap .
"Tha! Ayo!" teriak Ratna dari bawah dengan tak sabaran.
Thalia segera mencabut ponsel yang ia charge lalu turun dari tangga dengan tergesa-gesa. Ia dapat melihat Ratna sudah memakai gaun selututnya dan juga Aldhi dengan jasnya. Mereka nampak serasi dengan warna yang senada.
"Kamu bawa ini ya." Ratna menyerahkan toples berisi kue kering buatannya kepada Thalia lalu disambut senyuman oleh anaknya. "Kasih ke pangeran kamu. Sekalian modus," bisik Ratna pelan disertai kekehannya.
Mereka bertiga berjalan menuju ke sebelah rumah yang sudah dihias sedemikian rupa dengan lampu warna-warni untuk memperindah suasana. Rumah dengan warna krem itu sudah di depan mata, membuat detak jantung Thalia seperti sedang berkonser ria. Ia gugup dan gelisah. Bertemu pangerannya lagi bukanlah hal yang mudah baginya. Perlu persiapan mental dan juga batin agar ia tak pingsan melihat ketampanan lelaki itu yang sungguh tiada tara.
Seorang wanita seumuran ibunya menyambut mereka bertiga. Wanita itu nampak terkejut melihat keluarga kecil itu. "Kamu Ratna? Ratna Veronika?"
"Lho? Anggi Rosalina?" timpal Ratna dengan rasa antusias yang sama lalu segera memeluk Anggi dengan haru.
"Brarti kamu Aldhi Baskara?" Pria bersetelan jas itu segera memeluk Aldhi dengan erat. Aldhi menepuk pundak pria itu. "Lama nggak ketemu ya, Sob!"
Eh? Tunggu! Apa? Sob? Jadi?
"Kenalin, ini anak aku Nggi, Thalia." Ratna memperkenalkan Thalia kepada Anggi yang disambut ramah oleh wanita tersebut. "Cantik ya, kayak kamu dulu Rat."
Thalia tersenyum lalu menyalimi wanita itu dan juga pria yang ada di sampingnya. Raganya melayang ke angkasa ketika ucapan itu keluar dari bibir ibu dari pangerannya. Bukankah tandanya ia mendapat lampu hijau dari calon mertua hmm?
"Tha, ini teman Papa sama Mama waktu SMA. Dulu kita satu geng tapi sempat lost contact waktu lulus kuliah," tutur Aldhi menjawab kebingungan dari raut wajah Thalia.
Thalia tersenyum kembali. Ia senang bukan main. Pangerannya adalah anak dari teman kedua orang tuanya. Gadis itu merasa jika peluang untuk mendapatkan lelaki itu jauh lebih luas dengan adanya dukungan dari orang terdekat mereka. Namun, setelah Thalia melihat ke sana ke mari, tak ada tanda-tanda jika lelaki yang ia cari menunjukkan batang hidungnya. Kemana lelaki itu pergi?
"Sebentar ya, aku panggilin anak aku dulu." Anggi berlalu disertai dengan Darwis yang mempersilahkan mereka untuk duduk bersama tetangga lainnya yang sudah terlebih dahulu datang.
Thalia meremas toples kue kering yang ada di pangkuannya tersebut. Perasaan gugupnya menggelayuti hatinya lagi. Keringat dingin membasahi tangannya sehingga tangan itu bergetar basah.
Akhirnya, lelaki itu datang dengan setelan jas berwarna biru dongker, kemeja berwarna putih dan dasi yang senada dengan jas yang ia pakai. Ia tersenyum tipis kepada para tamu yang datang dan membiarkan Anggi mendominasi setiap pembicaraan di sana. Mata Thalia tak berhasil berkedip menatap ciptaan Tuhan yang begitu sempurna itu. Ia juga dapat melihat wajahnya yang nampak tak nyaman berada di tegah keramaian seperti ini. Dapat Thalia simpulkan bahwa pasti lelaki itu adalah tipe penyendiri dan tak suka keramaian.
"Ini anak aku, Rat. Athan namanya."
Oh... Namanya Athan. Batin Thalia senang ketika mengetahui nama pangerannya untuk pertama kalinya. Yap, Pangeran Athan.
Lengan Thalia segera disiku oleh Ratna karena Thalia hanya diam sembari memandangi Athan dengan mulut yang terbuka sedangkan ia masih mempunyai tugas untuk memberikan toples kue kering itu kepada Athan.
Thalia cepat-cepat sadar dan mengerti arti sikuan yang dilakukan ibunya. Ia segera berdiri lalu berjalan menuju Athan. Namun, sandal kelinci yang lupa ia ganti membuat jalannya terhuyung seketika. Dan dalam sepersekian detik toples itu melayang ke udara dan berakhir mengotori jas milik Athan.
Semua tamu yang ada di sana terkejut dengan kejadian itu. Tak terkecuali bagi Athan yang segera membereskan bajunya dari krim kue.
"Thalia! Kamu nggak papa?" Ratna menghampiri
Thalia yang terduduk di lantai.
Thalia mengangguk dengan tatapan yang nanar, tertuju pada sepatu hitam yang kian melangkah menjauh, meninggalkan dirinya sendiri. Kenapa semua yang ia impikan selalu jauh dari ekspetasinya? Ya Tuhan, apa yang sedang ia perbuat? Apakah lelaki itu kecewa atau bahkan marah padanya? Kau bodoh Thalia! Kau bodoh! Mengapa tak satupun pekerjaan dapat kau selesaikan dengan benar huh?
"Maafin Thalia ya, Nggi. Dia emang suka ceroboh gini."
Anggi membantu Thalia untuk bangun. "Nggak papa, Rat. Thalia, kamu ada luka?" tanya Anggi sembari meneliti setiap inci tubuh Thalia.
"Ya ampun! Lutut kamu berdarah, Sayang. Mau pulang aja diobati dulu?" tanya Aldhi khawatir karena melihat lutut Thalia berdarah akibat bergesakan dengan lantai.
"Nggak usah Pa. Thalia nggak papa kok." Thalia berusaha menampilkan senyumnya seolah ia baik-baik saja, padahal sedari tadi ia menahan perih yang kian menjadi-jadi.
"Diobati di sini gimana? Athan bakal bantu kamu." Darwis menimpali lalu menyuruh Athan yang sudah ganti baju dengan kaos berwarna hitam untuk mengobati lutut Thalia.
Thalia senang bukan main. Walaupun ia harus malu karena terjatuh di hadapan kedua orang tua Athan, kini ia bagaikan mendapat lotre berhadiah milyaran rupiah dengan diobati oleh pangerannya itu.
"Than! Ayo bantu Thalia ngobatin lukanya," titah Anggi kepada putranya.
Athan yang mendengar hal itu berdecak pelan. "Kenapa nggak Mama aja yang ngobatin?" tanyanya malas.
"Athan—"
"Hmm," gumam lelaki itu yang sudah lelah dengan segala ancaman yang akan ibunya berikan nanti setiap ia tak mau melaksanakan perintahnya. Athan mengisyaratkan Thalia untuk duduk di sofa yang terpisah dengan ruang tamu yang sepi, hanya tersisa dirinya dan siapa lagi kalau bukan Athan.
Keheningan menyelimuti keduanya ketika Thalia duduk di sofa sedangkan Athan berjongkok di hadapannya. Tiba-tiba sekelebat imajinasi masuk ke dalam pikirannya di mana perempuan membayangkan jika Athan tengah memakaikan sepatu kaca di kakinya dengan posisi seperti ini. Namun, khayalan itu segera menghilang ketika Thalia baru menyadari jika dirinya tak memakai sepatu heelsnya melainkan sandal kelinci berbulunya yang tak kontras sama sekali dengan gaun yang ia pakai sekarang. Argh! Bagaimana bisa ia lupa mengganti sandal rumahnya tadi?
Athan meraih kotak P3Knya, membuka botol dengan cairan kuning di dalamnya, lalu menuangkannya di kapas. Dengan hati-hati, ia mengobati luka Thalia. Gadis itu merasakan perih yang luar biasa. Ia mengeratkan gengamannya pada sofa dan juga menggigit bibirnya, menahan sakit. Namun sakit itu tak sebanding dengan perasaan bahagianya yang membuncah kala melihat pangerannya dalam jarak yang cukup dekat. Apalagi wajah serius lelaki itu dalam mengobatinya sungguh membuat Thalia tersenyum bak orang gila.
"Maaf," ucap Thalia ketika Athan sudah hampir selesai mengobati lukanya.
Athan mendongak tanpa kata. Bingung dengan kata yang gadis itu ucapkan.
"Maaf udah bikin jas lo kotor." Athan merapikan kembali kotak P3Knya lalu berdiri hendak melangkah meninggalkan Thalia. Sebelum lelaki itu benar-benar pergi, Thalia segera menyodorkan tangannya ke arah Athan. "Kenalin, nama gue Thalia. Kita satu se—" ucapan Thalia terpotong ketika lelaki itu memilih melanjutkan langkahnya daripada menerima uluran tangannya, membuat Thalia menarik kembali tangannya dengan senyum kecut.
"Shit, gue ditolak untuk kedua kalinya."
Jangan lupa vote dan comment ya!
Yang masih nunggu KeylanDara update lagi, sabar yakk. Masih bingung bikin alur kekeke mending baca ini buat refreshing sebelum menerima kenyataan dari lapak sebelah hehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top