√29

She's mine! You touch her, and I'll kill you!

Athanabil Adventiano

***

Athan berjalan dengan tergesa-gesa sembari melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Baik, jam sudah menunjukkan angka dua lebih sepuluh menit dan dia sudah terlambat sepuluh menit untuk segera menemui Thalia dikarenakan Kiren yang tiba-tiba datang untuk membicarakan masalah olimpiade biologinya beberapa hari yang akan datang.

Lelaki itu panik, jelas. Apalagi sedari tadi ponsel Thalia tak bisa dihubungi sama sekali. Damn, ia benar-benar khawatir dengan keadaan gadisnya itu walaupun ia hanya terlambat sepuluh menit saja. Sepuluh menit, garis bawahi itu!

"Thalia mana?" tanya Athan ketika ia melihat Debby dan Alisa baru saja keluar dari kelas tanpa Thalia di sana.

"Thalia pergi sama Dave."

Mendengar nama Dave membuat gigi Athan bergemelatuk dan tangannya mengepal hingga memutih. Cih, Dave ternyata masih berani mendekati Thalia walaupun ia sudah menjadi miliknya. Ya, Thalia sudah menjadi miliknya sekarang dan tak kan ada yang boleh menyentuh bahkan mengusik gadis itu jika tak mau berurusan dengan bogeman Athan yang luar biasa hebatnya.

"Di mana?" tanya Athan dengan tergesa-gesa.

"Roof—" belum saja Debby menjawab pertanyaan itu seutuhnya, Athan sudah berlari bak kesetanan menuju tangga yang ada di ujung koridor. Lelaki itu bahkan beberapa kali menabrak siswa-siswi lain yang berlalu lalang di area tersebut. Namun, Athan tak peduli. Kini yang ia pedulikan hanyalah Thalia. Hanya gadis itu, tak ada yang lain.

Athan tak mau lagi membuang-buang waktunya untuk segera menemui Thalia. Ia ingin melihat keadaan sehingga mengharuskan gadis itu bertemu dengan Dave yang tak lain adalah mantan kekasihnya. Hey mengapa Thalia tak memberitahunya jika ingin bertemu Dave? Apa ada hal khusus yang tak boleh diketahuinya? Akhirnya, tiga tangga sekaligus ia langkahi, untuk mempercepat lajunya.

Pintu besi yang sudah berkarat itu sedikit terbuka hingga nampak seperti ada secercah cahaya di gelapnya ruangan. Benar, ada orang di sana, terbukti dengan suara sayup-sayup yang terdengar antara percakapan dua orang. Mereka adalah Thalia dan Dave yang berada di pinggir sisi balkon rooftop memandang Kota Bandung yang panas siang itu.

Athan berjalan dengan cepat. Tangannya tak pernah terlepas untuk selalu mengepal kuat. Hingga akhirnya...

Bugh!

Satu bogeman mentah melayang, mendarat mulus di rahang Dave. Sontak saja Thalia memekik keras karena terkejut melihat tiba-tiba saja Dave sudah ambruk karena terkena bogeman dari Athan yang datang secara tiba-tiba. "Maju lo!" Athan berucap dengan amarah kepada Dave yang sudah ambruk ke tanah dengan tatapan nyalang siap menghabisi apapun yang menghalangi jalannya.

Dave bangkit, mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar lalu dalam sepersekian detik, satu pukulan juga sudah mendarat sempurna di rahang Athan hingga adu jotos tak bisa terelakkan. Thalia bingung harus berbuat apa pada mereka berdua. Perkelahian antar lelaki ini sungguh membuat nyalinya terkuras habis. Namun, ia tau jika ini dibiarkan begitu saja pasti keadaannya akan semakin parah. Apalagi wajah tampan keduanya sudah berlumuran darah seperti ini.

Thalia tak tega melihat Athan dan Dave berperilaku begitu brutal. Walaupun itu sudah terbiasa bagi kaum adam, tetapi tetap saja Thalia tak akan tinggal diam jika mereka saling menyakiti satu sama lain.

Dengan sisa-sisa keberanian yang ada serta derasnya tetesan air mata di pipi, Thalia berlari untuk menjadi penengah di antara mereka hingga kejadian beberapa waktu lalu saat di apartement Dave terulang kembali. Thalia mendapat pukulan salah sasaran di antara keduanya hingga tubuh gadis itu harus bergesekan dengan kasarnya lantai rooftop.

Athan dan Dave segera menghentikan aksinya. Mereka secara kompak menuju Thalia yang sudah terduduk dengan beberapa luka goresan di kaki.

"Apa gue harus luka dulu biar kalian berhenti berantem ha!?" itu suara Thalia, ia marah.

Athan dan Dave menunduk, merasa bersalah.

"Maaf," kata mereka kompak.

"Ya ampun, Thalia! Lo kenapa!?" Debby dan Alisa datang bersama Reza yang ada di belakangnya.

"Kalian berantem lagi?" tanya Reza sedikit emosi.

Athan dan Dave hanya diam. Mereka saling menyalahkan diri sendiri melihat Thalia yang sedang mengadu kesakitan.

"Biar gue yang gendong Thalia," Athan menawarkan diri, namun langsung ditolak begitu saja.

"Nggak usah!" tolak Thalia sembari menghempaskan tangan Athan. "Gue sama Debby Alisa aja."

Thalia berdiri dengan lutut yang amat nyeri dan perih bukan main akibat luka goresan yang dibantu oleh Debby dan Alisa di samping kanan dan kirinya untuk menopang tubuhnya. "Kita bawa Thalia ke UKS," Alisa mengintrupsi yang disetujui oleh Debby.

"Tapi lo duluan aja Al, ada masalah yang harus gue selesaiin disini."

Alisa mengangguk, meminta Reza untuk membantunya menopang tubuh Thalia yang tak bisa berjalan sempurna sedangkan Debby berkacak pinggang kepada dua lelaki di hadapannya ini layaknya seorang ibu yang hendak memarahi anak mereka yang bandel. Sesuai perkataan Debby dulu bahwa siapapun yang melukai sahabatnya, ia akan maju untuk melawan, seperti yang ia lakukan saat ini.

"Ini yang bisa kalian lakuin buat Thalia? Buat dia luka gitu?"

Athan dan Dave diam. Tak berani menjawab.

"Gue bener-bener nggak habis pikir sama jalan pikiran kalian. Bisa-bisanya diumur kalian yang udah dewasa ini masih belum bisa ngontrol emosi sama sekali. Kayak anak kecil tau nggak!? Kalo Thalia kenapa-kenapa siapa mau tanggung jawab ha!?"

Athan dan Dave menjawab berbarengan. "Gue bakal tanggung jawab."

Debby menghembuskan nafasnya kasar sembari membuang muka. "Tanggung jawab apaan kalo bisanya cuma berantem mulu? Ayo dong gaes, kalo kalian bener-bener sayang Thalia, jagain dia. Jangan malah bikin dia luka kayak gini... Jangan mudah kemakan emosi sesaat, masalah itu bisa diomongin baik-baik trus dicari solusinya. Kalian pikir main tangan bisa nyelesain semuanya?"

Athan dan Dave menggeleng serempak. Benar-benar layaknya anak kecil yang sangat menyesal berbuat suatu kesalahan.

"Gue nggak mau denger lagi kalian berantem, apalagi sampe Thalia terluka. Hari ini gue masih berbaik hati ngelepas kalian, tapi kalo lain kali lo berdua masih cari masalah, siap-siap aja duel sama gue." Debby pergi, meninggalkan Athan dan Dave yang saling merenung untuk memikirkan kesalahan yang mereka perbuat. Andai saja Athan tak memukul Dave duluan, pasti Thalia masih baik-baik saja. Andai saja Dave tak membalas pukulan Athan, pasti Thalia masih berada di sini sekarang. Dan seandainya-seandainya itu sudah pupus, lenyap bersama dengan munculnya penyesalan yang tak bisa diperbaiki lagi.

Athan mengulurkan tangannya ke arah Dave. "Sorry, bro," ucapnya.

Dave mangangguk, membalas jabatan tangan Dave. "Gue juga sorry,"

Dave tertawa, menatap Athan yang juga tersenyum. "Bogeman lo dahsyat juga,"

"Itu spesial buat orang-orang yang ganggu milik gue."

Dave kembali tertawa. "Ah, Thalia udah milik lo ya?"

Athan menatap Dave dengan sorot waspada.

"Kenapa?"

"Pantesan dia nolak gue."

"Maksudnya?"

Dave merogoh saku celananya sembari mengeluarkan sebungkus rokok dengan merek terkenal. "Mau?"

"Gue nggak ngerokok," tolak Athan.

Dave mengambil rokok lalu menyelipkannya di bibir sembari menyalakannya dengan korek api hingga asap dari benda itu mengepul keluar di udara.

"Candu?" tanya Athan.

Dave menggeleng. "Pas tertekan aja," jawabnya sebelum akhirnya menghisap tembakau itu dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi. "Thalia tadi ngejak ketemuan sama gue."

"Thalia?"

"Yap, awalnya gue seneng dia mau ketemu sama gue buat jawab pertanyaan yang gue ajuin beberapa waktu yang lalu. Tapi realitanya nggak seindah ekspetasi gue." Dave menghembuskan asap rokoknya ke udara. Menatap Athan dengan harapan yang sangat besar. "Gue harap lo bisa jagain Thalia lebih baik dari gue jagain dia. Inget, kalo lo buat Thalia nangis, gue bakal jadi orang pertama yang mengusap air matanya dan lo akan gue buat bertekuk lutut buat minta maaf udah nyakiti hatinya."

Dave menjatuhkan rokoknya lalu menginjaknya. "Dan gue nggak sabar buat menantikan hal itu." lelaki itu menepuk pundak Athan, lalu pergi, membiarkan Athan berpikir sendirian.

"Hubungan lo sama Thalia apa?"

Dave hanya tersenyum. "Lo bakal tau suatu hari nanti," tuturnya sok misterius lalu menghilang dibalik pintu berkarat itu.

Athan memegang pinggiran balkon rooftop sembari menghirup udara dalam-dalam. "Bahkan tanpa lo bilang, gue bakal jagain Thalia semampu gue."

***

Athan berjalan sembari menendangi batu-batu kecil yang menghalanginya dengan desahan berat. Ia terus saja meruntuki kesalahannya hingga membuat gadis yang ia sayang terluka bahkan di saat hari pertama mereka jadian. Sungguh, Athan menyesal dibuatnya. Lelaki itu menatap lurus ke depan. Matanya sedikit terkejut ketika di samping mobilnya sudah ada gadis yang bersandar sembari memainkan ponselnya. Itu Thalia.

"Bukain."

Yap, sepertinya gadis itu benar-benar marah.

Baru pertama kali ini Athan melihat seorang Thalia bisa marah atas apa yang ia lakukan. Dan yang paling ia takuti telah terjadi, Thalia hanya diam tanpa bersuara seperti biasanya seolah cahaya yang terpancar di dalam dirinya sudah meredup. Athan bersumpah akan menghidupkan cahaya itu lagi apapun caranya.

"Ehem, Tha?" ucap Athan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Thalia diam, tak menjawab.

"Maaf, Tha... Maaf udah tindak gegabah kayak tadi."

Thalia menoleh, menatap Athan tak percaya ketika mulut lelaki itu mengucap kata maaf, bukan sorry seperti biasanya. Bahkan Thalia tak ingat kapan kata itu terakhir kali terlontar dari bibir lelaki itu.

Athan memegang bahu Thalia, menyelami sorot mata gadis itu untuk memadamkan api amarah yang membumbung tinggi di sana. "Gue khawatir sama lo, gue khawatir lo bakal ninggal gue dan memilih Dave."

"Tapi—" Thalia berucap, namun jari telunjuk Athan sudah mendahului di bibir Athan untuk mencegah kata lain yang terucap.

"Gue tau. Dave udah bilang, dan kekhawatiran gue memang nggak mendasar. Maaf udah nggak percaya sama lo, maaf udah buat lo luka, maaf—"

Kini bibir Athan sudah dibungkam oleh bibir Thalia sekilas, membuat lelaki itu terkejut setengah mati. Setelah ciuman singkat itu berakhir, Thalia tertawa puas melihat ekspresi Athan yang sungguh menggemaskan. "Athan kebanyakan maaf deh, kan lebarannya udah lewat," kekeh gadis itu senang.

Yap, pancaran cahaya lampu dalam diri Thalia sudah bersinar lagi, dengan begitu mudahnya.

Athan mengusap rambut panjang Thalia dengan lembut. "Jangan pernah nyium gue duluan atau lo nggak bakal gue ijinin buat berhenti."





Kyaaaa aku tidak tahan dengan couple ini vlissss kasi oksigenn!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top