√27
Semakin lama aku menunda, semakin lama aku tersiksa. Semakin lama aku mencegah, semakin lama hatiku perih. Semakin lama aku mengabaikan, semakin lama pilu yang ku rasakan. Seharusnya aku sadar, cintamu datang sebagai jawaban. Bukan ancaman maupun ketidakpastian. Karena alasannya hanya satu, yaitu kamu, seseorang yang tak akan pernah meninggalkanku pergi seburuk-buruknya aku.
Irreplaceable
***
Athan membuka buku biologinya dengan malas, tak seperti biasanya. Di sampingnya sudah ada Kiren dan di depannya ada Bu Endang. Mereka sedang melakukan bimbingan di perpustakaan SMA Gajah Mada di tengah teriknya matahari yang bersinar di luar sana.
Pikiran Athan saat ini sana sekali tak bisa berpusat pada pembelajaran yang tengah diterangkan oleh guru setengah baya itu. Sedari tadi pikirannya melayang, entah pergi piknik di mana yang terpenting bukan di perpustakaan ini yang Athan rasa semakin lama semakin terasa menyebalkan.
Sudah sedari tadi Thalia memenuhi kepalanya. Hati Athan gelisah. Melihat raut wajah Thalia yang sendu membuat Athan ikutan bersedih. Ia merasa telah berbuat kesalahan dengan membiarkan gadis itu pergi bersama orang lain. Apalagi orang itu adalah Dave. Salah satu saingannya yang terberat. Entah sejak kapan Athan menganggap Dave sebagai saingan, Athan pun tak tahu.
Athan menjambak rambutnya frustasi. Ia benar-benar merasa menjadi manusia terbodoh di dunia ini. Seharusnya ia tidak diam saja ketika Thalia pergi dengan Dave. Seharusnya ia mencegah dan menarik Thalia pergi bersamanya. Dan seharusnya-seharusnya itulah yang kini hanya menjadi angan-angan.
Kiren yang membaca buku biologi menatap Athan yang sedari tadi melamun sembari sesekali menjambak rambutnya. Sepertinya lelaki itu sedang tertekan dan raut wajah penuh penyesalan terpatri jelas di wajahnya. "Lo mikirin apa sih Than?"
Athan menoleh, lalu menggeleng. "Nggak ada."
Kiren menatap Athan dengan raut sedih. Tak perlu menjadi cenayang untuk menebak apa isi hati serta pikiran Athan. Sudah pasti lelaki itu memikirkan Thalia. Nampaknya Athan sudah mulai jatuh cinta pada gadis itu dan mungkin saja tak kan ada kesempatan untuk dirinya memiliki lelaki itu sepenuhnya. Namun Kiren terlalu naif untuk mengakui hal itu. Gadis cantik itu memilih bungkam dan menganggap segala persepsinya bahwa Athan menyukai Thalia adalah praduga yang amat salah. Ia hanya melindungi hatinya sendiri dari patah hati yang dalam walaupun akhirnya akan berujung sia-sia.
Di tengah kesunyian perpustakaan yang sudah di tinggali para peminatnya, deringan ponsel Athan menggema di seluruh penjuru. Athan meminta izin kepada Bu Endang, lantas mengangkat panggilan itu.
Ah, mengapa ia berharap itu dari Thalia jika ternyata yang menelponnya adalah Farell? Sungguh mau gila rasanya.
Athan mengemasi barang-barangnya dengan cepat. "Maaf bu saya ada urusan mendadak. Saya pulang duluan," pamit Athan pergi.
Lelaki itu mengemudi mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Membelah Kota Bandung dan berhenti di rumah sakit tempat Farell dirawat. "Nih," Athan melempar kresek putih pada kasur Farell lalu menghempaskan dirinya pada sofa cream yang tak jauh dari tempat Farell berada.
"Wah, Maacih Athanku Sayang!" Farell membuka bungkusan itu. Ternyata isinya satu tandun pisang yang sudah matang lalu melahapnya dengan rakus.
"Thalia kok nggak ikut? Kemana?" tanyanya.
Athan memejamkan matanya sembari memijit pelipisnya pelan. "Pergi sama Dave."
Seketika saja pisang yang masuk ke dalam mulut Farell berhenti tepat di tenggorokan hingga akhirnya lelaki itu tersedak. Dengan susah payah Farell menepuk-nepuk dadanya seorang diri tanpa ada yang membantu karena Athan nampak bergeming seperti tak terjadi apa-apa di tempatnya, tak peduli jika sahabatnya itu bisa mati karena tersedak pisang.
Lagipula mana ada monyet yang akan mati hanya karena tersedak pisang?
"Gila lo!" Farell mengumpat setelah berhasil melancarkan pisang menuju lambung. "Lo nggak punya hati atau gimana sih Than!?"
Athan diam. Mendengarkan Farell memakinya karena memang itu pantas ia dapatkan. Farell mengusap rambutnya dengan kasar. "Gue nggak ngerti jalan pikiran lo. Thalia udah perjuang buat lo man, tapi apa balesannya? Lo malah ngerelain dia sama orang lain? Trus ngapain juga lo buat di baper akhir-akhir ini ha!?"
"Gue nggak tau."
"Ah, rasanya gue mau gila lama-lama sama lo." Farell menatap Athan dengan marah. "Denger ya, kemarin Dave dateng ke sini."
Mata Athan terbuka sempurna. Lelaki itu segera menegakkan badannya dengan sedikit terkejut.
"Ngapain?"
"Dia bilang kalo dia nggak bakal nyerah buat dapetin Thalia."
Athan ber-oh ria lalu menghempaskan dirinya ke sofa lagi hingga Farell menggeram penuh emosi.
"Cuma Oh? Ya Tuhan Athan! Kapan sih lo mau sadar ha!? Thalia udah berjuang selama ini dan apa lo nggak bisa ngehargai dia sedikitpun?"
"Kalo lo mau dia pergi dari hidup lo, bilang! Jangan buat dia berada diketidakpastian yang lo buat. Kalo lo suka, hampiri dia dan bilang untuk berjuang sama-sama. Jangan cuma diem dan mengandalkan Tuhan dengan takdir-Nya! Tuhan emang sudah mengatur semuanya bro, tapi semuanya dapat berubah tergantung gimana hamba-Nya. Mau berjuang atau hanya berserah diri tanpa usaha."
Athan diam, menyimak.
"Sekarang mau lo apa?" Farell mengontrol nafasnya yang menggebu-gebu. Percuma saja memarahi Athan, buang-buang tenaga.
Athan tak menjawab, lelaki itu segera pergi dari kamar Farell tanpa kata. Farell menghembuskan nafasnya lelah. Dalam hembusan nafas itu ia berteriak. "Jangan sia-sia kesempatan yang Tuhan kasih. Lo nggak tau gimana masa depan. Semua bakal berubah dan gue harap, lo nggak akan menyesal."
***
Jam sudah menunjukkan angka tujuh. Athan sudah sampai di rumahnya beberapa jam yang lalu, tetapi gadis itu tak kunjung kembali. Apakah acara ngedate mereka berjalan lancar dan sangat menyenangkan hingga pulang bukan lagi tujuan?
Athan sudah tak dapat menahan diri lagi setelah hampir dua jam mondar-mandir di depan pintu kamar bak seterika. Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya yang ada di ranjang.
Kontak bernama Kutu Laut sudah ada di hadapannya. Namun rasanya memencet panggilan itu terasa amat berat.
Apa lo udah gila!? Nggak-nggak. Lo nggak boleh ngerusak kebahagiaan Thalia. Mungkin dia lagi seneng-seneng sama Dave. Inget, sekali lagi lo nggak boleh ngerusak kebahagiaan Thalia. Jangan telpon. Dia udah bahagia sama yang lain. Inget itu!
Athan menghempaskan ponselnya di ranjang. Pikirannya benar-benar kacau. Hatinya juga tak tenang. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia berniat untuk mengambil air di lantai dasar karena mendadak rasa haus menggelayutinya.
Di lantai bawah, Athan dapat melihat Anggi yang tertidur pulas dengan televisi yang masih menyala. Athan melangkah ke arahnya, lalu mematikan televisi tersebut. Ketika ia hendak melangkah pergi, ada satu benda yang sangat membuatnya tertarik.
Ponsel milik ibunya. Ya, itulah jawabannya.
Athan segera membawa ponsel ibunya ke lantai dua. Kemudian jari-jarinya mengetik di papan pesan.
Tha, pulang!
"Nggak-nggak, Mama nggak sekejam itu."
Pesan itu dihapus, lalu Athan kembali mengetik.
Thalia sayang, pulang ya. Athan kangen.
"La dalah! Kok gue malah curhat sih? Hapus-hapus," gerutunya sembari menggaruk rambutnya yang tak gatal.
Athan diam sembari berpikir bahasa yang tepat agar pesan palsu yang ia buat benar-benar mirip seperti buatan ibunya. Akhirnya lelaki itu mulai menscroll riwayat chat yang ada di sana. Bibir Athan merekah lebar ketika Thalia bertanya tentang banyak hal tentang dirinya. Mulai kebiasaannya, makanan favoritnya, minuman favoritnya, cerita masa kecilnya, dan banyak hal lainnya. Athan juga kembali tersenyum ketika tersadar bahwa nama Thalia di dalam kontak ibunya adalah Menantu Thalia. Geez, hanya itu dan Athan sudah bahagia?
Setelah dirasa cukup membaca ulang pesan-pesan antara Thalia dan ibunya, Athan mengetik sesuatu dengan senyuman yang masih terpampang jelas.
Thalia pulang, udah malam.
Yap, bukankah itu sangat mirip dengan bahasa ibunya?
***
Jam menunjukkan angka setengah delapan. Athan sudah setia menunggu Thalia sembari membaca sebuah novel misteri dengan mondar-mandir. Hingga akhirnya sebuah suara pintu dibuka membuat Athan terkejut. Begitu pula si pembuka pintu, siapa lagi kalau bukan Thalia.
"A—Athan, ngapain di kamar Thalia?" tanya Thalia dengan gugup karena jantungnya nyaris copot melihat Athan ada di kamarnya. Ya, selama itu Athan menunggu di kamar Thalia, bukan di kamarnya sendiri.
Athan segera maju, membuat Thalia refleks mundur selangkah. Athan kembali maju, dan tentu saja Thalia mundur dan God! Punggungnya menabrak pintu kamar! Athan tersenyum smirk, lalu ia mendekat ke tubuh Thalia, mengikis jarak yang terbentang di antara mereka. Gadis itu segera menahan nafasnya dan memejamkan matanya dengan cepat. Namun, ketika bunyi ceklek tanda pintu dikunci mampu membuyarkan pikiran Thalia tentang Athan yang akan menciumnya lagi. Oh God! Thalia nyaris saja pingsan karena jantungan. Hey dan bagaimana bisa gadis itu berpikiran sedemikian rupa?
Athan mundur selangkah, membuat Thalia menghembuskan nafasnya lega.
"Gimana? Asik jalannya sama orang itu?" tanya Athan dengan nada ketus seperti mau mengintrogasi narapidana saja.
"O—orang itu? Dave?"
"Jangan disebut!"
"Jangan sebut apa?" tanya Thalia bingung.
Athan menggeram. "Nama bajingan itu."
"Maksudnya Dave?"
"Kalo jangan disebut ya jangan disebut!"
Thalia tersenyum lebar. Ia dapat melihat wajah Athan yang nampak memerah menahan amarah. Apakah lelaki ini cemburu hah? Bagus, terus goda saja Thalia. "Emang kenapa kalo gue nyebut nama Dave?" goda Thalia.
"Lo akan tau akibatnya!"
Thalia menyembunyikan senyumannya. Rasanya ia sangat menyukai menggoda Athan yang nampak cemburu itu. Lelaki itu benar-benar menggemaskan!
"Gue nggak takut!"
Athan tersenyum devil. "Coba aja."
Thalia merasa tertantang. Ia segera menghirup udara dalam-dalam. "Da—"
Belum saja Thalia menyelesaikan ucapannya, bibir mungil Thalia sudah dibungkam dengan bibir Athan. Thalia melotot terkejut. Apakah ini mimpi? Athan menciumnya lagi? Ya Tuhan! Ini sungguh nyata?
Athan memegang bahu Thalia, memperdalam ciuman mereka hingga akhirnya Thalia yang terkejut terbuai dalam cumbuannya. Mata Thalia ikut terpejam menikmati sensasinya. Rasanya ia ingin berlama-lama seperti ini.
Thalia yang sedari tadi diam akhirnya membalas ciuman Athan dengan penuh semangat. Kesempatan langka, harus dimanfaatkan!
Athan dengan posisinya yang masih mencium bibir Thalia mulai menurunkan tas ransel yang masih melekat di punggung Thalia. Lalu lelaki itu menggendong Thalia untuk duduk di meja belajarnya. Thalia merangkulkan tangannya di leher Athan sembari sesekali menggerang ketika Athan memaksanya untuk membuka bibirnya, memperdalam cumbunya lagi.
Thalia seolah lupa diri. Ciuman ini begitu hangat dan manis. Athan melakukannya dengan sangat ahli tanpa menyakitinya sama sekali. Justru ia malah menikmatinya. Athan bahkan menggigit bibir bawah Thalia dengan gemas. Akhirnya setelah sekian lama menahan diri, ia bisa merasakan bibir Thalia yang begitu manis dan memabukkan itu. Rasanya ia ingin menghentikan waktu saat ini juga.
Tak dapat dipungkiri, jantung keduanya berdegup kencang. Thalia kembali mengeratkan rangkulan tangannya di leher Athan sedangkan lelaki itu menarik punggung Thalia agar semakin mendekat.
Hingga akhirnya sebuah telepon masuk di dalam saku Athan. Keduanya nampak terkejut lalu melepas pagutan satu sama lain dengan nafas yang memburu. Keduanya benar-benar seperti kehabisan oksigen.
Athan mengumpat dalam hati kepada siapapun yang mengacaukan aktivitasnya. Ia mengambil ponsel yang ada di sakunya bertepatan dengan pintu kamar Thalia yang diketuk keras oleh seseorang.
"Tha, kok kamar kamu dikunci kenapa?"
Deg!
Athan dan Thalia langsung panik ketika di luar sana sudah ada Anggi. Ya tuhan apa jadinya jika wanita itu tau ada Athan di dalam kamarnya dan dalam keadaan terkunci? Athan segera mematikan panggilan itu. Lalu ia berbisik pelan untuk memberi petunjuk agar Thalia bisa membuat wanita itu pergi.
"Thalia lagi ganti baju Tan," teriak Thalia sembari menatap Athan gemas.
"HP Tante apa ada di kamar kamu ya? Soalnya Tante denger deringan di kamar kamu."
Thalia menatap ponsel yang ada di tangan Athan sembari terkekeh hingga tatapan tajam menjadi hadiah dari lelaki itu. "Itu ponsel Thalia Tante. Thalia lagi dengerin lagu di sini. Mungkin Tante salah denger," teriak Thalia lagi sembari memandang wajah Athan yang tiba-tiba salah tingkah.
"Oh yaudah, nanti kalo ketemu HP-nya Tante bilang ya Tha!"
"Siap Tante!"
Suara derap langkah kaki yang menjauh mampu membuat Athan dan Thalia bernafas lega. Keduanya saling pandang tanpa kata sembari tersenyum jenaka. "Jadi, yang nyuruh Thalia pulang tadi— "
"Bukan gue." Athan segera membuka kamar Thalia lalu pergi dengan wajah yang merah padam. Malu.
Thalia tersenyum puas lalu dirinya loncat dari meja belajarnya sembari mengikuti Athan menuju kamarnya. "Athan, kenapa Athan lakuin itu?"
Athan berhenti melangkah. Tanpa berbalik, lelaki itu berucap. "Te Amo, Thalia."
KYAAAAAAA!!!!! MELAYANG NGGA TUHHH
Nggak mau next ah kalo vote nya dikit banget :((
Oh ya jangan lupa buat baca karya aku lainnya. Sequel dari KeylanDara! Wohooo anak-anaknya Keylan dan Dara cuyy
1. BimaSena
2. Matahari Tengah Malam
Dann jangan lupa follow instagram @aameliars dan @duniamelia ya!
See u next chapter!
Eh aku hiatus dulu aja ya wkwkw Bye By
aameliars
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top