√26
Tetaplah di sini. Menungguku berubah agar menjadi layak di sisimu.
Athanabil Adventiano
***
Hoo.. semakin ku kejar, semakin kau jauh
Tak pernah letih tuk dapatkanmu
Terus berlari namun ku takut terjatuh lagi
Tak ingin lagi... membuat ku perih...
Sadarkan aku... dari mimpiku...
Inilah yang Thalia lakukan selama dua jam pelajaran kosong. Gadis itu tengah di depan kelas sembari membawa sapu di tangan. Di hadapan 35 siswa IPA F ia membuat konser dadakan. Debby yang merekam jalannya konser serta Alisa yang berkeliling meminta sumbangan sukarela dari kawan-kawannya.
Thalia terus berteriak layaknya penyanyi rocker profesional. Keadaan kelas menjadi ramai. Banyak yang sorak-sorak dan ikut bergabung dengan Thalia di depan kelas. Namun, tak banyak lainnya yang mencibir dan menganggapnya aneh. Thalia juga tak peduli. Ia tetap menggalang konser dadakan dengan penuh rasa bahagia.
Oh, mungkinkah dirinya ada di depan mataku
Bila mungkin terjadi pasti itu hanya mimpi
Mungkinkah jadi milikku? Hooo
"Mungkin."
Tiba-tiba saja suara seseorang yang ada di ambang pintu menghentikan aksi bernyanyi Thalia. Gadis itu otomatis menoleh. Ia begitu terkejut melihat Athan dan Reza sudah nangkring di sana.
Thalia buru-buru turun dari meja guru yang sempat ia naiki. Tak lupa ia melepas topi abu putih yang terpasang terbalik di kepalanya dan juga dasi yang ia ikatkan di dahi. Rambutnya yang acak-acakan pun ia rapikan. Dan tentu saja sapu yang ia gunakan sebagai microphone dadakan itu ia hempaskan jauh-jauh.
Jadi ceritanya begini, hari ini adalah Selasa. Hari di mana nama Thalia dijadwalkan untuk melaksanakan piket kelas. Namun, bukan Thalia namanya jika gadis itu akan melakukan apa yang diperintahkan. Bukannya menyapu lantai, Thalia malah menggunakan sapu itu sebagai alat pendukung konser bernyanyinya. Dan jadilah sekarang, konser itu berhenti mendadak ketika orang yang ia singgung dalam lagu berjudul Semakin Ku Kejar Semakin Kau Jauh ciptaan Five Minutes sudah ada di hadapannya dengan senyum geli.
Thalia tersenyum kikuk di hadapan Athan. Astaga, sudah berapa lama lelaki itu berdiri di sana? Mengapa ia tak menyadarinya? Demi Tuhan, mau ditaruh mana wajahnya sekarang!?
"Athan, udah lama?" tanya Thalia gugup dan malu.
"Hmm, lumayan." Thalia berucap syukur ketika lelaki itu tak melihat keseluruhannya. Lalu ucapan syukur itu berubah menjadi umpatan setelah Reza menyambung. "Setelah lo naik meja guru, tepatnya."
Damn it! Itu artinya sudah hampir satu lagu Thalia nyanyikan dan aish Thalia bahkan lupa apa saja kegilaan yang ia perbuat barusan.
Thalia menutup wajahnya sembari terus mengumpat dalam hati. "Kenapa gue sial mulu sih!" gumamnya.
Athan tersenyum tipis lalu menarik tangan yang Thalia gunakan untuk menutupi wajahnya. "Buruan, gue laper," ajak lelaki itu sembari menggenggam tangan mungil Thalia sedangkan Thalia hanya diam mematung ketika Athan menariknya keluar dari kelas. Tarikannya begitu halus dan juga tak kasar seperti biasanya.
Bahkan Thalia dapat mendengar teriakan histeris dari kaum hawa serta siulan maut dari kaum adam. Semua orang yang ada di kelas mendadak keluar dan mengabadikan momen itu di ponsel mereka masing-masing. Thalia menutupi wajahnya dengan tangan kirinya yang bebas. Mendadak artis seperti ini sungguh membuat jiwa pemberaninya ciut seketika.
Athan menyuruh Thalia duduk di bangku yang kosong. "Siomay sama es teh kan?" itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan ketika Athan bergegas pergi ke penjual kios siomay sebelum Thalia sempat menjawabnya.
Perasaan Thalia mendadak aneh. Mengapa Athan bersikap manis begini? Apakah Athan sudah mau membuka hatinya untuk dirinya? Apalagi sedari tadi kantin yang penuh dengan lautan manusia ini diam-diam meliriknya dengan tatapan aneh. Banyak juga yang mencibir dan menatap Thalia dengan tatapan tak suka secara terang-terangan. Thalia juga dapat melihat seseorang di pojok kantin mengepalkan tangannya tak suka.
Orang itu adalah Kiren.
"Nggak usah dipeduliin." Athan datang, membawa sepiring siomay dan segelas es teh. Thalia mendongak. Menatap Athan yang kini menatap Thalia juga.
"Kok cuma satu?"
Athan menyerahkan sendok di tangan Thalia. "Sepiring berdua," ucapnya sambil memasukkan kentang ke dalam mulutnya.
Thalia speechless seketika. Mendadak jantungnya bergemuruh hebat. Bahkan melihat Athan yang kian hari kian tampan nan romantis membuat perut Thalia kenyang seketika. Melihat lelaki itu tersenyum saja sudah membuatnya diabetes. Makanya jangan pernah lihat Athan tersenyum. Buat ketagihan. Biar Thalia saja.
"Kenapa? Nggak mau makan? Yaudah—" Thalia segera mengambil siomay lalu memasukannya ke dalam mulut sebelum piring itu diambil alih dan Thalia tak jadi makan apa-apa. Hey, mengapa Athan tak memberitahunya jika siomaynya masih panas?
Thalia kalang kabut sendiri ketika lidahnya terasa panas. Ia mengibaskan tangannya di depan mulut. Namun percuma saja. Siomay yang ada di dalam mulutnya tak kunjung dingin.
Athan segera beralih tempat duduk di samping Thalia. Lelaki itu menurunkan tangan Thalia yang terus menerus dikibaskan di depan mulut lalu lelaki itu mendekat ke arah Thalia. Meniupi mulut Thalia yang terbuka dengan penuh perhatian.
Tubuh Thalia menegang lantaran posisi dirinya dan Athan yang cukup dekat. Ia juga dapat merasakan hembusan nafas mint yang menerpa wajahnya. Athan terus menerus meniupi siomay yang ada di mulut Thalia. Tatapan lelaki itu terus menerus menatap bibir ranum gadis itu. Bibir yang beberapa waktu lalu hingga saat ini menjadi candu baginya. Bibir berwarna pink dengan sensasi rasa manis yang memabukkan. Hell, apa yang sedang kau pikirkan sekarang Athan? Jangan bilang jika kau menginginkan itu sekarang juga! Athan benar-benar harus menghentikan ini sekarang juga atau kejadian tak diinginkan akan terjadi disini.
Athan menarik tubuhnya menjauh. Ia tak lagi menatap Thalia. Tatapannya beralih kepada siomay yang ada di hadapannya. "Udah?"
Thalia mengangguk sembari mengunyah siomay yang sudah dingin itu dengan perasaan canggung. "Makasih ya Athan!" katanya dengan nada ceria seperti biasanya sembari menetralkan detak jantungnya yang menggila.
Athan dan Thalia sudah berjalan bersisihan di koridor setelah selesai makan bersama yang penuh kecanggungan setelah Athan meniupi mulut Thalia tadi. Thalia begitu terkejut ketika Athan yang biasanya akan nyelonong pergi setelah Thalia berada di depan kelasnya kini ikut berhenti. Lelaki itu mengusap tengkuknya dengan gusar.
"Rajin belajar. Jangan ngebo mulu." Tangan Athan terulur di pucuk kepala Thalia, lalu mengacaknya pelan. Tubuh Thalia menegang seketika. Namun dalam detik selanjutnya, Athan sudah kembali melangkah meninggalkan dirinya yang tak bisa bernafas dengan normal.
Melihat tingkah laku Athan yang berubah secara tiba-tiba ini membuat tubuh Thalia membeku di tempat. Ia menatap lurus kepergian Athan dengan bibir yang terbuka serta jantung yang berdegup menggila. Lagi-lagi Athan memporak porandakan hatinya dengan sikap manis tak terduga. Lama-lama ia bisa terkena penyakit jantung jika terus seperti ini. Ya tuhan, jika saja Alisa dan Debby tak merangkul dan menyeret Thalia masuk ke dalam kelas mungkin saja gadis itu akan tetap di sana hingga menua.
"Ciee yang makin nempel aja sama Pangeran," goda Debby sembari mencolek dagu Thalia dengan genit.
"Apaan sih!" Thalia menepisnya dengan malu. "Tapi kok gue ngerasa aneh ya?"
"Aneh gimana?" Kini Alisa bertanya. "Aneh kalo Athan jadi manis sama lo?"
Thalia mengangguk. "Kenapa dia berubah ya?"
Debby menghembuskan nafasnya lelah. Ia lantas merangkul tubuh Thalia dengan erat. "Bukannya lo seneng Athan bersikap seperti ini sama lo?"
"Iya sih, tapi—"
"Nggak ada tapi-tapian Thalia... Menurut gue sih Athan udah sadar kalo dia juga suka sama lo. Dan dia nggak mau kehilangan lo." ujar Alisa yakin. Namun entah mengapa Thalia tetap saja ragu.
"Udah ah, jalani aja. Kalo dia berani-beraninya nyakitin lo lagi, nih hadapin mayat gue dulu!" Debby bersungut membara. Ketiganya lantas tertawa terbahak-bahak melihat aksi Debby yang sok jagoan. Tapi benar, Debby akan melakukan hal nekat jika ada orang yang membuat sahabatnya bersedih. Tak percaya? Tanyakan saja pada mantannya Alisa yang sudah babak belur karena ditonjok habis-habisan oleh Debby. Sabuk hitam karate coy! Siapa yang berani melawan ha?
Jam pelajaran terakhir sudah selesai. Thalia, Debby, dan Alisa sedang beradu paling cepat memasukkan buku serta alat tulis ke dalam rumahnya kembali—tas. Setelah itu, mereka berjalan bersisihan sembari mengobrolkan banyak hal. Mulai dari film yang sedang tayang di bioskop, makanan, fashion, dan berita terkini lambe turah. Obrolan asik mereka harus terhenti kala seseorang menyapa mereka dengan sangat ceria walaupun wajahnya tergurat jelas bahwa ia sedang kelelahan.
"Hai gaes!" sapa orang itu.
"Hai Dave!" Debby dan Alisa menyapa balik dengan nada tak kalah cerianya seolah tertular dengan nada ceria milik Dave.
"Lama nggak keliatan sih Dave. Kemana aja?" tanya Alisa dengan nada rindu.
"Belajar lah. Apa lagi?" kekeh Dave dengan senyum khasnya. Memang di antara mereka, Dave lah yang paling berbeda lantaran hanya dia lah yang saat ini menduduki kelas dua belas. Tapi, dengan umurnya yang lebih muda dari teman seangkatan lainnya karena mengikuti jalur akselerasi, Dave mampu mengukuli mereka dengan prestasi yang luar biasa. Ia juga mampu membuktikan walaupun ia lebih muda, ia tak pantas untuk diremehkan. Maka dari itu, Dave sangat jarang berkumpul walaupun itu di jam istirahat. Alasannya hanya satu. Ia sedang belajar. Bahkan belajar di saat jam istirahat sudah menjadi rutinitas baginya dan siswa kelas dua belas lainnya. Sepulang sekolah pun bukan berarti mereka akan beristirahat. Tak sedikit dari mereka yang langsung pergi ke bimbingan belajar atau biasa disebut les-lesan untuk mempelajari lebih dalam tentang materi yang ada. Lelah memang. Tetapi mereka harus melakukan hal itu demi hasil yang terbaik. Apalagi sifat Dave yang menyukai kesempurnaan membuat dirinya penuh ambisius untuk menjadi yang terbaik dari yang paling baik.
"Tha, ayo pulang bareng gue." Dave menarik tangan Thalia dengan halus. Namun, Thalia tetap diam di tempatnya. "Lo nggak ada les?"
Dave tersenyum. "Gue libur les dulu. Pengen jalan sama lo sekaligus mau refreshing."
Thalia mengangguk mengiyakan. Mungkin menemani Dave untuk refreshing tidaklah buruk. Apalagi, hari ini Athan sedang ada bimbingan Olimpiade Biologi. Pasti lelaki itu tak bisa mengantarkannya pulang seperti kemarin.
Namun, ketika Thalia hendak melangkah pergi, tangan kirinya yang bebas di cekal seseorang. Seseorang itu adalah Athan. Lelaki yang menahan Thalia untuk pergi bersama lelaki lain dan meminta untuk tetap disisinya.
Thalia menatap tangan kiri dan kanannya secara bergantian ketika kedua tangan itu tengah dicekal oleh dua lelaki yang berbeda.
"Thalia pulang sama gue." Itu suara Athan. Lelaki yang baru saja menahannya tepat ketika Thalia hendak pergi jalan-jalan bersama Dave.
Thalia tersenyum hangat ketika Athan menyentuhnya. Lelaki itu juga nampak geram ketika tangan satunya dipegang oleh lelaki lain. Apa benar lelaki itu sedang cemburu sekarang?
Atmosfir di sana nampak menjadi panas. Kedua lelaki itu saling melemparkan tatapan tajam nan menusuk. Sedangkan Debby dan Alisa nampak menyaksikan adegan itu dengan penuh antusias, berbeda dengan Thalia yang sudah panas dingin.
"Athan, lo ke mana sih? Bimbingan bentar lagi dimulai." Kiren tiba-tiba datang dari arah belakang, nafasnya nampak tersenggal-senggal lantaran ia baru saja berlari dari kelas Athan menuju koridor dimana mereka berdiri sekarang. Apalagi Bu Endang sebentar lagi akan datang. Bagaimana jadinya jika wanita paruh baya itu datang ketika murid didiknya tak berada di sana? Mungkin wanita itu akan marah besar dan tak mau lagi membimbing mereka. Sebuah kesalahan yang harus dihindari.
Kedatangan Kiren membuat bendera kemenangan ada digenggaman Dave. Lelaki itu tersenyum puas bagaikan telah menang undian. "See? Thalia pulang bareng gue."
"Ck, nenek lampir ngapain sih!?" cibir Debby kesal dengan situasi di mana Kiren menghancurkan segalanya.
Alisa mengangguk. Ia segera berucap untuk membela Thalia. Ia tau jika Thalia lebih menginginkan Athan daripada Dave. Dan ia akan melakukan apa saja untuk mewujudkan mimpi sahabatnya itu. "Apa lo nggak bisa bolos sehari aja Than?"
"Nggak bisa dong. Olimp kita udah mau dua minggu lagi. Kita harus fokus sama itu, nggak boleh ke hal lain. Apalagi yang nggak berguna kayak gini." Bukan Athan yang menjawab, melainkan Kiren dengan nada yang menyebalkan.
Debby segera maju. "Lo pikir Thalia nggak berguna gitu?"
Kiren tertawa hambar. Ia memandang Debby dengan tatapan meremehkan. "Gue nggak ngomong gitu. Tapi lo cukup pintar buat baca situasinya ya, adek kelas!"
Debby menggeram. Tangannya sudah siap menghajar Kiren, tak peduli jika dia adalah seniornya hingga sebuah tatapan sendu mengarah padanya. Tatapan itu milik Thalia. Tatapan di mana Thalia memintanya untuk diam dan berkata jika apa yang dikatakan Kiren memang benar. Athan tak mungkin akan mempertahankan hal yang tak berguna baginya. Walaupun itu dirinya sekalipun.
Melihat situasi yanng seperti ini, Thalia sudah membuat keputusan. Gadis itu melepaskan salah satu tangan lelaki yang mencekal tangannya.
"Kayaknya emang bener deh kata Kak Kiren. Athan harus fokus bimbingan, nggak boleh fokus sama hal lain. Apalagi hal yang nggak berguna kayak Thalia."
Athan tetap diam membisu, menatap Thalia dengan senyum palsunya tanpa kata. "Thalia pergi dulu. Yuk, Dave." dan itulah keputusan yang dibuat Thalia. Ia yakin keputusan itu sudah benar. Yap, ini semua demi Athan. Athan harus memenangkan lomba itu. Dan apapun akan ia lakukan demi lelaki itu, tak terkecuali jika harus membunuh perasaannya sendiri.
***
"Dave kita mau kemana?"
"Mau ke suatu tempat. Lo pasti udah lupa," jawab Dave dengan senyum yang luar biasa manis hingga menampilkan lesung pipinya.
Thalia hanya diam mengiyakan. Pikirannya masih kacau tentang rentetan kejadian hari ini. Namun, semuanya bermuara pada satu nama. Athan. Rasanya lelaki itu sudah berubah. Ia sudah mau merespon apa yang Thalia rasakan. Athan juga sepertinya sudah memberikan balasan balik atas perasaannya selama ini. Tetapi, mengapa Thalia merasa takut? Takut jika hal seperti ini justru membuat Athan akan merasakan sakit?
"Dah sampai," ucapan dari Dave membuyarkan lamunan Thalia. Gadis itu menatap sekelilingnya dengan rasa takjub. "Trans Studio Bandung?"
Dave mangangguk. "Ayo Tha! Kita harus senang-senang hari ini!"
Seolah diberi ribuan vitamin penyemangat, senyum Thalia mengembang begitu saja. Bahkan ia juga tak sungkan jika tangan Dave menggenggamnya erat. Rasanya dengan di sini Dave membuat Thalia bernostalgia seperti dahulu.
"Tha, ke sana dulu yuk?" Dave menunjuk pada sebuah toko baju. "Nggak enak di sini pake seragam. Entar dikejar satpam dikira mau bolos, jadi berabe urusannya."
Thalia mengangguk. Ia mengikuti langkah Dave munuju toko baju yang tak jauh dari sana. Dave sibuk memilih baju untuk mereka berdua. Tentu saja baju couple. Sedangkan Thalia hanya duduk sembari sesekali mengecek ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Athan. Ah, nyatanya realita tak seindah ekspetasi. Tak ada pesan dari lelaki itu. Yang ada hanya pesan dari Alisa dan Debby yang ngomel-ngomel dengan pilihan yang ia buat.
"Ganti baju dulu Tha." Dave menyodorkan baju ke arah Thalia. Baju dengan warna serta motif yang sama. Mendadak Thalia jadi deja vu dengan kejadian ini. Ia pernah melakukan hal yang sama, memakai pakaian couple dengan seseorang. Dan orang itu adalah Athan. Lelaki yang hanya diam ketika Thalia lebih memilih bersama lelaki lain daripada bersama dirinya.
Baju couple sudah nampak serasi di tubuh Thalia dan Dave. Keduanya sudah keluar dari toko baju menuju berbagai wahana yang sudah disediakan. Memang keadaan pada hari itu tidak terlalu ramai, mengingat bahwa hari ini adalah hari biasa, bukan weekend atau hari libur. Jadi, mereka tak perlu susah payah mengantri wahana terlalu lama.
Dave menggandeng tangan Thalia menuju wahana pertama, Yamaha Racing Coaster. Sebuah wahana yang menguji nyali dan mengasah hormon adrenalin. Bayangkan saja wahana permainan ini mampu melesat dengan kecepatan 120 km/jam hanya kurang dalam waktu 3,5 detik! Sangat cepat sekali bukan!?
Thalia memandang wahana itu dari bawah, sembari mengantri di sebuah barisan yang sudah disediakan. Dave berada di sampingnya, ikut melakukan apa yang dilakukan Thalia. "Takut?" tanyanya.
Gadis itu menoleh, mendengar suara orang-orang yang berteriak histeris di atas sana sungguh membuat Thalia terpancing dan sejenak melupakan masalah yang ada. "Lo ngeremehin gue?"
Dave tertawa sembari mengacak rambut Thalia gemas lantaran melihat ekspresi Thalia yang sungguh menggemaskan. Kini pipi gadis itu sudah menggembung dengan mata menyalang tajam. "Thaliaku nggak mungkin bisa diraguin," ucapnya lembut.
Hati Thalia menghangat atas apa yang Dave lakukan. Dulu Dave memang memperlakukan Thalia sebegitu lembutnya seperti sekarang. Tak hanya itu, Dave juga begitu romantis dengan segala perilaku serta ucapan yang ia lakukan.
Dulu, Dave benar-benar tipikal seorang pacar yang goals. Bahkan hubungan mereka juga termasuk dalam relationship goals. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari Dave menjemput serta mengantar Thalia ketika sekolah. Tak hanya itu, ketika Thalia suka lapar di tengah malam, Dave rela datang membawa makanan. Entah itu martabak ataupun makanan cepat saji. Setiap minggu pun mereka selalu keluar bersama, ke tempat-tempat yang belum pernah mereka datangi di Yogyakarta. Mimpi mereka sama. Menjelajahi setiap wisata di Yogyakarta bersama-sama.
Namun, masa lalu tetaplah masa lalu. Semua itu hanyalah kenangan yang hanya tersimpan di memori. Masa lalu mereka memang begitu indah, bahkan layak dijadikan sebagai maha karya yang luar biasa hingga salah satu di antaranya menodainya. Salah satu di antara mereka memberikan noda kecil berwarna hitam yang lantas menyebar merenggut semua kenangan yang mereka lakukan bersama.
Tak ada yang patut disalahkan. Thalia sudah berdamai bersama masa lalu. Ia tak dendam ataupun marah pada lelaki ini. Hanya saja, ia tak pernah melupakan atas apa yang Dave lakukan pada dirinya. Memang seorang perempuan ditakdirkan untuk terus mengingat, tanpa belajar melupakan. Jadi, Thalia tak bisa lupa atas pengkhianatan yang Dave lakukan.
Mereka berdua sudah berada di bangku masing-masing di wahana tersebut. Thalia tak suka di depan maupun di belakang. Akhirnya mereka duduk tepat di tengah-tengah beberapa pengunjung lainnya. Sabuk pengaman sudah terpasang. Thalia terlihat cemas, namun senyum hangat Dave meluruhkan kecemasan itu. Apalagi tangannya setia digenggam erat oleh lelaki itu layaknya mengatakan 'lo aman sama gue' dengan tatapan penuh keyakinan.
Wahana tersebut sudah bergerak sedikit demi sedikit. Awalnya lambat lalu tiba-tiba cepat dan benar saja, jantung Thalia berdegup kencang. Angin yang kuat menyapu wajahnya hingga rambutnya terbawa ke belakang. Thalia berteriak sekencang-kencangnya. Sungguh wahana ini melesat dengan kecepatan tinggi seolah-olah sedang menaiki sepeda motor di arena balapan Grand Prix.
Thalia berteriak. Mereka sudah berada di tengah perjalanan hingga wahana itu bergerak mundur dengan kecepatan tak kalah cepat. Ya Tuhan! Jantungnya benar-benar berdegup menggila, tenggorokannya pun tercekat saking kerasnya ia berteriak. Tak heran jika wahana ini menjadi salah satu Roller Coaster tercepat di dunia dengan maneuver mundur yang sensasional di mana jenis ini hanya ada 3 di dunia.
Thalia sudah turun dari wahana itu diikuti Dave yang tersenyum puas. Dave menuntun Thalia menuju bangku di pinggiran, lalu pergi untuk membeli air. Dengan sekali tegukan, Thalia hampir menandaskan setengah botol air mineral 600 ml dengan dadanya yang masih setia naik turun tak bearaturan.
"Pulang aja ya Tha? Lo pucet kayak gitu." Dave mengusap punggung Thalia pelan, namun jawaban yang ia dapat sungguh di luar ekspetasinya.
Thalia tertawa.
Ya, gadis itu tertawa dengan nyaring. Matanya berbinar sempurna. "Ayo Dave! Kita harus taklukin semua wahana di sini!" ajak Thalia dengan semangat.
Dave memandang Thalia dengan tatapan tak percaya. Are you fuck kidding me?
Ucapan Thalia benar-benar terjadi. Setelah mereka bermain wahana Yamaha Racing Coaster, Thalia seperti anak kecil menarik Dave menuju wahana Jelajah. Salah satu wahana yang memberikan pengalaman tentang bagaimana berpetualang di lebat dan ganasnya hutan Afrika dengan sebuah perahu.
"Yuhuuuu!!" teriak Thalia senang ketika perahu yang ia naiki sudah berada di atas piramida dan turun di genangan air sehingga mau tak mau baju yang ia pakai basah kuyup.
Dave menarik Thalia menuju loker dimana tempat mereka menyimpan barang bawaan. Lalu lelaki itu dengan gantle nya memakaikan jaket boombernya kepada Thalia. Wajahnya tergurat rasa cemas. Bagaimana jika Thalia kedinginan? Atau bagaimana jika Thalia sakit? Semua itu saling bertabrakan di pikiran Dave. Damn, lelaki itu benar-benar tak ingin Thalia terjadi apa-apa.
"Thanks Dave," ucap Thalia dengan senyum lebar.
Dave mangangguk. Lalu mereka kembali memulai wahana selanjutnya. Mulai dari Sky Pirates, Vertigo, Trans Movie Magic, Negeri Raksasa, dan juga Dunia Lain.
Pada saat di wahana Dunia Lain pun Thalia tak sungkan memegang tangan Dave erat ketika hantu yang terkenal di wilayah Bandung bermunculan. Bagaimana tidak? Rasanya hantu itu terasa sangat nyata dan Thalia kan takut hantu.
Setelah lelah mengelilingi Trans Studio Bandung yang super luas, Thalia dan Dave duduk di sebuah bangku di depan Wahana Trans Magic Movie. Mereka sama-sama diam memandangi hiruk pikuk orang-orang yang ramai di tempat itu. "Tha lo inget nggak sekarang kita di mana?" tanya Dave sembari memandang langit-langit bangunan itu.
Thalia menoleh ke arah Dave. "Tempat pertama kali lo nembak gue?"
Dave tersenyum samar. "Lo masih ingat. Gue kira udah lupa."
"Gimana gue bisa lupa kalo hari itu termasuk salah satu kenangan paling berharga di hidup gue."
Dave kini tertawa miris. "Kenangan ya?" lelaki itu memandang Thalia dengan harapan besar. "Kalo kita mulai dari awal lagi lo mau nggak Tha?"
Thalia diam. Ia memandang sepatu sneakers putihnya tanpa berniat memandang balik tatapan Dave. "Jawaban lo waktu itu apa?" akhirnya pertanyaan yang menghantui Dave selama ini keluar begitu saja. Selama ini Dave penasaran, apa yang akan Thalia jawab atas perasaannya selama ini? Belajar pun tak tenang ketika Thalia terus menggantung perasaannya. Dan hari ini, Thalia harus menjawabnya. Bahkan Dave juga sudah siap hati jauh-jauh hari. Apapun keputusan Thalia, Dave akan terima. Apapun itu. Entah jika Thalia menolaknya, Dave akan terus menjaga dan selalu berada di sisi Thalia karena itu janjinya. Dan janji tak bisa diingkari walaupun hubungan mereka sudah tak seharmonis dahulu.
Sebuah pesan masuk di ponsel Thalia. Perempuan itu merogoh sakunya dan mendapati pesan dari Anggi. "Dave, pulang yuk. Tante Anggi udah nyuruh gue pulang."
Dave menyembunyikan raut kecewa yang terpatri jelas di wajahnya. Lelaki itu kembali tersenyum, menggandeng Thalia seolah hatinya tak merasakan apa-apa lalu kedua remaja itu keluar dari tempat dimana mereka memulai dan mengakhiri sebuah hubungan itu secara tak langsung.
Hweeee tim Dave angkat tangan yukkk! Kayanya Thalia bahagia banget ya dulu bareng Dave huhu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top